"Iya," jawab Ilona gugup.
Ilona tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi ibu susu untuk anak mantannya. Dulu, Ilona dan Egar menjalin hubungan yang cukup lama, sejak kelas dua hingga kelas tiga SMA. Ilona masuk ke sekolah itu dengan beasiswa karena kecerdasannya, jika mengandalkan uang dia tidak akan mampu, sekolah itu cukup terkenal dengan sebutan sekolah anak orang kaya. Dan ternyata, kepintarannya itulah yang membuat Egar mendekatinya. Ia pikir Egar mencintainya, tapi ternyata, itu semua hanya kebohongan. Setelah ujian akhir, Egar memutuskannya dengan cara yang paling kejam. "Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya memanfaatkan kepintaranmu. Buktinya, aku berhasil masuk sebagai juara dua." Ucapan itu masih terpatri jelas di benak Ilona, meski bertahun-tahun telah berlalu. Ia masih bisa mengingat bagaimana teman-teman mereka tercengang mendengar kata-kata itu. "Kau kejam sekali, Egar," ujar salah satu temannya sambil tergelak. "Kalau kalian mau dia, ambil saja. Belum aku bobol kok." Namun, itu bukan luka terburuk yang Egar berikan. Pada malam setelah mereka berpisah, Egar hampir memperkosanya. Untungnya, Ilona berhasil melarikan diri sebelum kehormatannya direnggut. Itu adalah malam terburuk dalam hidupnya, malam yang membuatnya berjanji tidak akan pernah berhubungan lagi dengan pria itu. Setelah lulus, mereka tidak pernah bertemu lagi. Ilona sibuk berjuang hidup, mencari pekerjaan demi membiayai ibunya yang sudah tua. Hingga hari ini. Hingga takdir membawanya kembali ke dalam kehidupan Egar, kali ini sebagai ibu susu untuk anaknya. Ilona masih terkejut saat mendapati Egar berdiri di hadapannya. Lelaki itu menatapnya dengan wajah datar, seolah mereka tidak pernah memiliki masa lalu yang menyakitkan. "Kau kenal?" suara Nyonya Bira membuyarkan lamunan Ilona. Egar hanya meliriknya sekilas sebelum menjawab cuek, "Pernah kenal," lalu berlalu begitu saja, tanpa sedikit pun memperdulikan Ilona yang sedang menggendong anaknya. Ilona menghela nafas panjang. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu. Kini, dia berada di rumah ini dengan satu tujuan—menjadi ibu susu untuk Mayumi. Ia melangkah masuk ke kamar yang telah disiapkan untuknya. Kamar itu cukup luas, dengan ranjang mewah untuk Mayumi di satu sisi, dan ranjang kecil sederhana di sudut ruangan untuk Ilona. Bagi orang lain, mungkin itu terlihat tidak adil. Tapi bagi Ilona, itu sudah cukup. Dia tidak meminta banyak. Yang terpenting, dia hanya perlu bertahan selama enam bulan—sampai Yumi mulai bisa menikmati makanan pendamping ASI. Setelah itu, dia bisa pergi dan merencanakan hidupnya, setidaknya dia punya modal dari gajinya tiap bulan selama enam bulan ini. Ilona tengah menyusui Mayumi ketika tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Egar masuk begitu saja tanpa mengetuk, sudah pasti dia bersikap begitu, ini rumahnya dan juga ini kamar anaknya. Ilona langsung merasa tidak nyaman. Meski bertahun-tahun telah berlalu, tatapan Egar tetap sama—penuh kesombongan dan penuh hasrat. Dan kali ini, tatapan itu tertuju ke satu tempat yang membuat Ilona meradang. Dada Ilona yang sedikit terbuka karena ia sedang menyusui Mayumi. Ilona buru-buru membenahi letak kain yang menutupi dadanya, namun itu tidak menghentikan Egar untuk menatapnya dengan tatapan yang sama seperti dulu. "Kenapa kau jadi ibu susu untuk Yumi?" tanya Egar, duduk di depan Ilona tanpa permisi. Ilona menelan ludah. Dia ingin mengabaikan keberadaan lelaki itu, tapi ia tahu Egar tidak akan pergi sebelum mendapatkan jawaban. "Dia terus menangis," jawab Ilona pelan. Egar menatapnya lekat-lekat, seolah menilai sesuatu. Kemudian, dengan nada rendah yang penuh dengan kesombongan, ia berkata, "Kalau begitu, boleh jadi ibu susu untuk papanya juga?" Ilona membeku. Mata Egar menyiratkan keinginan pada salah satu bagian tubuh Ilona. Meski baru saja kehilangan istrinya, lelaki itu tidak berubah. Tetap serakah, tetap memperlakukannya seolah dirinya hanyalah barang yang bisa dimanfaatkan sesuka hati. Tanpa pikir panjang, Ilona menatapnya tajam. "Aku di sini untuk Yumi, bukan untukmu!" katanya tegas. Egar terkekeh kecil. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, masih dengan tatapan penuh ketertarikan. "Kau masih galak seperti dulu, ya?" Ilona tidak menjawab. Dia hanya menunduk, fokus kembali pada Yumi yang sudah tertidur di pelukannya. "Baiklah," kata Egar akhirnya, "tapi ... kalau butuh bantuan untuk memuaskanmu, aku bisa meskipun aku tidak tertarik dengan wanita yang sudah terpakai. Toh, Kau baru saja dibuang suamimu, kan?”Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m