Saat ini Bagaskara bersiap seperti bisa, lalu tiba-tiba saja ia teringat oleh Alieen. Pertanyaan dari temannya itu terus berputar di kepalanya .
“Kalau gue di tanya rela melepas status itu, jelas tidak! Buat dapatin status itu bukan hal yang mudah.” ucapnya.
Tiba-tiba saja ponselnya terus berbunyi, notifikasi tidak berhenti bermunculan. Bagas yang risih berakhir menjadi penasaraan saat ia melihat nama Rafandi. Ketika ia mengklik notifikasi tersebut tidak sedikit yang menghina bahkan mencaci maki seseorang yang bernama Alieen.
“Kenapa ada nama Rafandi sama Alieen? Bukannya Alieen ini cewek kemarin?” Rasa penasarannya terus memunculkan beberapa pertanyaan di benaknya. Lalu ia baru ingat jika Shintia pernah menanyakan soal, sudah melihat artikel sekolah atau belum. Tanpa ia berpikir panjang, Bagas segera mengirim link artikel itu kepada Rafandi melalui pesan online.
Bagaskara : Apa yang lu lakukan sama gadis di artikel ini?
Rafandi : Ah, artikel itu lagi. Gue udah cukup frustrasi sama artikel itu.
Bagaskara : Tapi foto itu beneran lo?
Rafandi : Iya, itu beneran gue dan kebetulan beneran lagi bareng Alieen.
Bagas : Kok kebetulan? Kok lo tau nama gadis itu? lo tidak ada maksud apapun kan?
Rafandi : Astaga, gini deh kita bahas ini nanti aja. Ketemu gue di ruang basket kayak biasanya.
Rafandi : Oh ya, kakak lo semalam udah transfer gue. Jadi hutangnya udah lunas, lo tidak usah pikiran lagi soal tuh duit.
Bagas hanya membacanya. Ia mulai menggendong tasnya dan keluar dari rumah, tidak lupa juga untuk mengunci pintunya.
Untuk pertama kalinya ia sudah tidak memikirkan Shintia lagi. Biasanya, ia akan mengirim pesan terlebih dahulu padanya, hanya sekedar menanyakan apa sudah siap ke sekolah, apa sudah sarapan, dan menanyakan rencana dia hari ini . Sampai akhirnya setiap pagi Bagas sering melewati sarapannya. Kali ini pikirannya penuh dengan pertanyaan hubungan antara Alieen dan Rafandi, yang ia tau jika temannya tersebut hanya mencintai satu perempuan yaitu sahabat kakaknya. Bagas tiba-tiba terhenti ketika ia hampir sampai ke halte bus, karena menyadari keberadaan seseorang di depannya.
***
Alieen sedang duduk dengan pandangan yang tidak lepas dari layar ponselnya, ia membaca semua komentar buruk di artikel tentang dirinya dan Rafandi. Hal yang tidak pernah ia bayangkan, hanya sesak yang ia rasakan. Ingin sekali rasanya ia bolos sekolah lagi, namun Ibunya pasti tidak akan membiarkan melakukan hal itu. Alieen membalikkan layar ponselnya dan meletakkannya di saku bajunya. Ia menangis dalam diam.
Tak lama, bus tujuan sekolahnya datang. Alieen segera menyeka air matanya dan naik. Karena bus sudah hampir penuh, ia hanya bisa berdiri dan berpegangan pada strap hangers. Alieen melamun selama perjalanan, melihat pemandangan dari jendela bus, dan berharap jika hari ini bisa berlalu lebih cepat tanpa insiden apapun.
Sekilas ada tangan seseorang yang akan menyentuh bahu Alieen, tapi orang tersebut mengurungkan niatnya. Pemilik tangan itu adalah seorang pria berhoodie dan masker yang serba hitam.
20 menit berlalu, bus berhenti di halte dekat sekolah. Banyak yang turun di sana. Saat Alieen turun pun ia melihat Rani di seberangnya. Seketika ia bersemangat kembali. Alieen tersenyum dan melambaikan tangannya saat Rani menoleh kearahnya. Tapi justru Rani menatapnya dingin dan pergi begitu saja.
“Ah... Lupa kalau dia masih marah sama gue,” Batin nya.
Alieen baru menyadari bahwa dirinya dipandang aneh oleh kebanyakan murid yang baru saja datang. Seketika ia menundukkan kepalanya dan berjalan perlahan masuk ke gerbang sekolah. Tanpa diduga Alieen melihat ada sepasang kaki yang menghalanginya. Perlahan mendongakkan kepalanya dan melihat jika Shintia sedang melipat kedua tangannya di dada. Alieen segera menegakkan kembali pandangannya dan menatapnya tanpa takut.
“Oh, ternyata masih punya nyali ke sekolah. Hebat juga ya.” sindirnya.
“Wah, kenapa lo semangat banget ya ngurusin urusan gue? Lo ngefans sama gue?” Alieen melipat kedua tangannya, ia tidak ingin terlihat lemah oleh Shintia.
“Bukannya gue bermaksud sok ‘mengurus urusan’ lo itu. Tapi semua yang ada di sini tidak suka sama kehadiran lo. Sorry.” cibir Shintia. Suara desas-desus mulai terdengar, semua yang menyaksikan mereka setuju dengan ucapannya.
Alieen sebenarnya merasa tertekan dengan semua ini, bahkan ia hampir menangis. Alieen tidak bisa melakukan apapun karena tidak ada bukti yang kuat jika dirinya tidak salah.
Di antara semuanya, hanya Shintia yang tersenyum senang. Tiba-tiba ia mengeluarkan susu kemasan yang dibawa dan melemparnya ke arah Alieen.
Pluk!
Wajah dan pakaian Alieen basah terkena susu itu.
“Mending lo tidak usah masuk ke sekolah lagi, balik sana!” bentak Shintia yang mengusirnya, lalu mulai di ikuti murid lain.
Bagas yang baru saja turun, melihat Shintia dengan tidak percaya. Gadis yang sangat dicintainya benar-benar tidak seperti yang ia kenal selama ini.
“Gadis yang di tengah itu Alieen? Gue harus bantu dia,” batin Bagas dan bergegas menghampiri Alieen.
Tapi ada orang lain yang lebih dulu menghampiri dan melindunginya. Akhirnya Bagas mengurungkan niatnya.
“Ck! Gue kenapa sih? Bikin malu aja,” Bagas segera pergi sebelum ia melihat siapa sosok yang melindungi Alieen mendahuluinya.
***
Sesuai perjanjian, Bagas dan Rafandi akan bertemu di ruang lapangan basket indoor dan kebetulan sedang tidak ada siapapun di sana.
“Jelasin sama gue.” ujarnya singkat. Rafandi menghela nafas nya.
“Gue enggak ada hubungan spesial apapun sama Alieen, dia cuman sebatas adek kelas gue aja. Ya, karena dia keliatan polos, jadi gue suka isengin dia,” ucap Rafandi yang mencoba meyakinkan Bagas.
“Lo suka isengin dia sebatas karena adek kelas yang polos atau lebih?” tanyanya dengan penuh kecurigaan.
“Lo selalu ceramahin soal cewek, lo bilang harus hati-hati jangan sampai lukai hati cewek,” sambungnya. Rafandi masih diam mendengarkan ucapan Bagas.
“Kalau hal ini sampai di ketahui kakak gue, bukan cuman kakak gue yang marah tapi pacar lo juga!” tegas Bagas.
“Gue ngerti, justru ada hal yang mau gue bilang juga ke lo.” sahutnya dengan tatapan serius kepada Bagas.
“Apa maksud lo?” tanya Bagas.
Rafandi membisikan sesuatu ke pada Bagas. Setelah mendengar semua yang di katakannya, seketika Bagas mengerutkan dahinya dan menatap mata Rafandi.
“Lo serius soal itu?” tanya Bagas untuk meyakinkan dirinya tidak salah dengar.
“Gue tidak pernah seserius ini, Gas.” tekan Rafandi. Akhirnya Bagas meyakinkan dirinya jika ‘itu’ benar.
“Bahkan gue ada buktinya kalau lo tidak percaya, nanti gue kirim ke lo,” Rafandi mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah foto ke Bagas, sebagai bukti.
Ting!
Sebuah foto dikirimkan oleh Rafandi melalui Chat. Bagas menatap layar ponsel miliknya lalu kembali menatap Rafandi.
“Apa? Masih enggak percaya lo.” ujar Rafandi. Bagas hanya menggelengkan kepalanya, ia hanya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.
“Sekarang sudah paham, kan? Ini gue dapat dari cctv sekolah. Untung aja tertangkap kamera.” tuturnya. Rafandi memperhatikan setiap ekspresi Bagas, berharap lebih pada responnya.
***
Alieen duduk di bangkunya seperti biasa. Tapi sekarang ia hanya duduk sendirian dengan di pandang menjijikan oleh yang lain. Untuk mengalihkan pikirannya, Alieen memutuskan untuk mendengarkan musik yang sedang ia sukai. Lalu memejamkan mata, untuk menikmati alunan musik.
BRAK!
Deshi kembali datang dan menarik headset yang sedang dipakai Alieen, hingga ponselnya pun ikut ketarik dan jatuh membentur kaki meja.
“Berani ya muncul di sini?” ketus Deshi yang membencinya.
Alieen tidak menggubris mereka, dan hendak mengambil kembali ponselnya yang kini retak. Tapi Deshi dengan kasar meraihnya lebih dahulu dan menghancurkan ponselnya ke tembok. Seketika mata Alieen menatap mereka tajam.
“Oh, hoo! Dia mulai marah girls haha.”ejek Deshi.
“Lo pasti mau ngadu kan ke ‘Rafa tersayang’ nya itu.” kelakarnya.
“Udah puas kalian?!” pekik Alieen. Semua murid yang menertawakannya kini terdiam, setelah mendengar nada bicaranya yang benar-benar serius dan marah.
“Jangan pakai teriak dong! Santai aja. Dasar nyari sensasi mulu lo kerjaannya.” kesal Deshi. Ia mendorong bahu Alieen keras hingga terpental dan hampir jatuh.
Bagas datang di saat yang tepat. Ia menahan tubuh Alieen dan berkata. “Kalian emang suka banget ngebully ya?”
Alieen menatap Bagas bingung. Ia sangat tau betul jika pria itu sangat acuh, dan jarang sekali berbicara jika bukan dengan yang ia kenal. Tidak hanya Alieen, semua murid di kelas juga kebingungan. Bagaimana bisa Bagas si raja peringkat satu dan terkenal acuh dengan sekitar itu justru membantu menangkap tubuh Alieen. Hanya satu orang yang justru geram melihat mereka.
—Terkadang sifat manusia itu sulit untuk di tebak. Bagaimana menurut kalian?—
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo