"Maksud Anda, apanya yang telah dipersiapkan?" Zuri masih saja tetap bertanya.
Pasalnya Asisten Geri tetap melajukan mobilnya menuju ke sebuah apartemen dan tetap tidak mempedulikan omongan Zuri. Namun disaat mereka mulai memasuki area apartemen tersebut, dari kejauhan Zuri dapat melihat sahabatnya, Mirah sedang memerintahkan beberapa orang untuk menurunkan banyak kotak dari sebuah mobil box. "Lho, Asisten Geri? Bukannya itu, Mirah?" "Betul sekali, Nona." sahut Geri singkat. "Terus, ngapain Mirah berada di sini?" tanya Zuri masih saja bingung dengan semuanya. "Anda akan tinggal bersama Nona Mirah di apartemen. Semua juga berdasarkan perintah dari Tuan Opa," tutur Geri menjelaskan. "Apa? Tapi kok bisa?" tanya Zuri tak menyangka, dia bisa tetap tinggal bersama Mirah, sahabatnya sejak di bangku kuliah. Mobil yang membawa Zuri akhirnya sampai juga di depan mobil box tersebut. Asisten Geri segera ke luar dari dalam mobil. Lalu membuka pintu mobil kepada Zuri. "Silakan, Nona." "Terima kasih, Asisten Geri." Zuri pun ke luar dari dalam mobil berdasarkan arahan dari sang asisten. Mirah yang sedang sibuk dengan beberapa orang, seketika merasa senang saat melihat Zuri, sahabatnya akhirnya berada di tempat itu. "Zuri! Ya ampun, kamu dari mana saja? Dari tadi gue menghubungi Lo. Kok ponsel Lo nggak aktif, sih? Sibuk ngapain Lo?" ketus Mirah sambil berkacak pinggang di hadapan sang sahabat. "Sorry banget, Mir. Gue baru saja menjenguk Opa Bram. Beliau sedang dirawat di rumah sakit." "Apa? Opa Bram sedang sakit?" ucap Mirah tak percaya. "Lho kok nggak bilang-bilang gue, sih? Kita kan bisa bareng-bareng menjenguknya," tukas Mira lagi. "Bagaimana gue bisa ngajak Lo, Mir. Opa Bram hanya ingin bertemu gue." gumamnya dalam hati. Kedua sahabat itu, pun menunggu di sebuah kafe yang berada di dekat area apartemen. Sedangkan Asisten Geri dan Sekretaris Mayang sedang fokus membersihkan dan merapikan apartemen milik Zuri. "Apa? Lo disuruh Opa Bram untuk merayu cucunya agar jatuh cinta kepada Lo?" "Yap!" "Makanya Beliau memberi Lo satu unit apartemen?" tanya Mirah lagi. "Iya, Mirah. Dari tadi kan gue bilang iya kepada Lo! Bagaimana, sih?" kesal Zuri. "Ya maaf, Zur. Habis gue setengah percaya nggak percaya dengan semua ucapan Lo!" seru Mirah. Lalu gadis itu pun berkata penuh harap, "Opa Bram, angkat diriku menjadi salah satu cucu mantumu!" "Idih! Apaan sih Lo, Mirah! Gue aduin Lo, ya! Sama cowok Lo! Mau?" ancam Zuri. "Yaelah, Zuri! Gue bercanda kali ...." ucap Mirah. Gadis itu telah memiliki kekasih yang saat ini bekerja di luar negeri. Mereka telah berpacaran sejak lama. Walaupun Mirah dan sang kekasih menjalin hubungan secara LDR namun keduanya telah sepakat untuk saling setia. Obrolan keduanya, terhenti saat Sekretaris Mayang menghampiri mereka, lalu berkata, "Permisi para, Nona. Apartemen Anda telah selesai dirapikan. Silakan ikut saya, untuk melihat-lihat." "Baik, sekretaris Mayang." jawab keduanya serentak. Mereka pun mengikuti langkah sang sekretaris. Alangkah terkejutnya para gadis saat melihat interior di dalam apartemen tersebut, begitu sangat elegan. Zuri dan Mirah masing-masing punya kamar sendiri. Gadis-gadis itu tak henti-hentinya merasa terkaget-kaget karena semua perabotan di dalam apartemen itu telah lengkap. Mereka tinggal menempatinya saja. Bahkan isi di dalam kulkas tak luput telah penuh dengan berbagai jenis dan macam bahan makanan. Sungguh kedua hati para gadis itu sangat senang. Setelah semuanya lengkap, Asisten Geri dan Sekretaris Mayang, segera undur diri dari apartemen. "Nona Zuri, kami permisi dulu. Jika Anda merasa ada yang kurang. Anda tinggal menghubungi saya atau pun Sekretaris Mayang," ucap Asisten Geri. "Sa ... saya rasa semuanya telah tersedia, bahkan lebih dari cukup. Terima kasih Asisten Geri, Sekretaris Mayang." sahut Zuri dari kesungguhan hatinya. "Semoga Nona Zuri, dapat menaklukkan hati Tuan Muda Edward," ucap Geri kepada Mayang. Saat ini, mereka sedang berada di dalam mobil. Perjalanan menuju ke rumah sakit untuk melaporkan semuanya kepada Tuan Bram. "Ya, kita berharap seperti itu. Tuan Edward dengan segera dapat melupakan Nona Ranti," sahut Sekretaris Mayang. Kembali ke apartemen, Zuri baru saja selesai bertelepon dengan ibunya yang berada di kampung. Dia merasa terharu, ternyata Opa Bram benar-benar malaikat penyelamat untuk keluarganya. Selain membayar semua utang-utang keluarganya, Opa Bram juga membiayai renovasi rumah dan membelikan sepetak sawah untuk dikelola oleh Bu Heni. Tak terasa air mata Zuri yang dari tadi dirinya tahan, akhirnya mengalir juga. Hatinya merasa terenyuh atas semua kebaikan Opa Bram kepada keluarganya. "Aku harus bisa menjalankan semua keinginan Opa Bram. Opa sungguh sangat baik kepada keluargaku," isaknya. Mirah yang baru saja selesai memasak, seketika melihat Zuri yang sedang berada di ruang tv. Dari kejauhan, gadis itu dapat melihat jika sang sahabat sedang menangis saat ini. Dia pun segera menghampiri Zuri sembari berkata, "Zuri, are you okay? Lo kenapa? Kok menangis begitu?" tanya Mirah tak mengerti. "Gue hanya sedang terharu saja kok, Mir." "Lo terharu kenapa? Lo tahu kan, Zur. Lo bisa cerita apa pun ke gue?" tukas Mirah lagi. Lalu Zuri pun menceritakan kebaikan lain dari Opa Bram kepada keluarganya. "Wah, Zuri! Opa Bram memang the best," puji Mirah. "Iya, Mir. Aku pikir juga begitu. Makanya gue sudah membulatkan tekad untuk mengikuti semua perintah dari Opa Bram," ujar Zuri tegas. "Membuat sang cucu jatuh cinta kepadamu?" "Iya, Mir. Gue harus bisa membuat cucu Opa Bram jatuh cinta kepada gue. Hanya itu satu-satunya cara agar gue dapat membalas semua budi baik sang opa kepada keluarga gue," seru Zuri. Gadis itu telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya untuk menuruti semua keinginan Opa Bram kepadanya. "Tenang saja, Zur. Gue akan bantu Lo dengan sepenuh hati gue!" sahut Mirah. Ternyata secara diam-diam, Mirah juga ditugaskan oleh Opa Bram untuk ikut menyukseskan misi untuk membuat Edward jatuh cinta kepada Zuri. Akan tetapi Opa Bram menugaskan Mirah secara tersembunyi tanpa diketahui oleh gadis itu. Hal itu dilakukan agar proses pendekatan Zuri dan Edward terjadi secara natural. "Hanya saja, Mir. Apakah gue sanggup membuatnya Cucu Opa Bram ke gue? Lo tahu sendiri kan, gue tidak pernah sekalipun berpacaran atau menjalin hubungan kepada siapa juga?" Zuri pun sedikit ragu. "Ha-ha-ha! Makanya dari dulu gue suruh Lo pacaran, tapi Lo malah nggak mau!" sergah Mirah sambil tertawa terbahak-bahak saat ini. "Padahal kan, begitu banyak cowok-cowok yang mengantri ingin menjadi pacar Lo, Zuri." sergah Mirah lagi. "Ih apaan sih, Mir. Gue kan tidak menyukai mereka. Masa dipaksa?" "Apa? Jadi Lo tidak menyukai satu pun dari mereka?" Mirah menjadi sangat heran. Apalagi Zuri segera menganggukkan kepalanya.Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri dipenuhi kegembiraan. Liburan anak-anak telah tiba, dan janji Edward untuk membawa mereka keliling Kota London semakin mendekati kenyataan. Zuri tampak sibuk di kamar, mengemas barang-barang untuk perjalanan panjang mereka."Nasya, Sayang, jangan lari-lari! Kita akan berangkat sebentar lagi," ujar Zuri sambil tersenyum melihat putri bungsunya yang berlari-lari kecil di sekitar tempat tidur.Nasya, yang baru berusia tiga tahun dan duduk di playgroup, menghentikan langkahnya dan menatap Zuri dengan senyum lebar. "Mommy, Nasya boleh bawa boneka nggak?" tanyanya dengan mata berbinar-binar."Boleh, Sayang. Tapi cuma satu, ya? Jangan kebanyakan barang," sahut sang ibu.Sementara itu, di ruang tamu, Edward sedang membantu kedua anak laki-lakinya, Edzhar yang berusia tujuh tahun dan Ben yang berusia enam tahun, mengemasi mainan yang akan mereka bawa."Daddy, nanti di London kita naik bus tingkat, ya?" Edzhar bertanya sambil memasukkan mobil mai
Sore yang mendebarkan,Saat sore menjelang, langit Jakarta memancarkan semburat jingga yang indah, namun hati Edward, sang CEO EK Corp terasa tak tenang. Baru saja dia selesai menandatangani berkas terakhir di kantornya ketika ponselnya berdering. Dengan cepat pria sibuk itu menjawab panggilan tersebut.Edward :”Hallo, Maid. Ada apa?”Maid :"Tuan, Nonya Zuri sudah dibawa ke rumah sakit. Sepertinya sudah waktunya melahirkan!" suara maid-nya terdengar di ujung telepon.Edward langsung berdiri, rasa panik mulai menyeruak di dadanya. “Baik, saya segera ke sana,” jawabnya sebelum memutus panggilan dari sang asisten rumah tangga. Pria itu lalu meraih jasnya dengan cepat, berlari menuju lift, dan segera melangkah ke mobilnya yang ada di parkiran.Perjalanan dari kantor Edward di kawasan pusat Jakarta menuju rumah sakit keluarga langganan keluarganya, biasanya memakan waktu lama karena kemacetan yang tak terelakkan. Namun, sore itu, keajaiban seolah berpihak kepadanya. Jalanan tampak lebi
Di suatu pagi,Suasana di rumah Edward dan Zuri sangat tenang dan damai. Sinar matahari di hari Sabtu pagi menyelinap di antara dedaunan pohon yang rimbun, menerangi halaman rumah yang luas, termasuk kolam renang pribadi mereka. Di sana, Edward tampak sedang berenang dengan putra-putranya, Edzhar dan Jacob Benedict yang biasa dipanggil Ben yang juga telah dikaruniai oleh Tuhan kepada mereka dan ikut meramaikan keluarga kecil Edward dan Zuri.Edward dengan sabar mengajarkan kedua putranya cara berenang gaya bebas saat ini.“Lihat, Daddy! Aku bisa melakukannya!” teriak Edzhar, anak sulung mereka yang baru berusia lima tahun, sambil mencoba menggerakkan tangannya dengan gaya bebas.“Bagus, Nak! Teruskan! Ben, kamu juga harus mencoba, ya,” seru Edward sambil mengawasi kedua putranya dengan penuh perhatian.Ben yang masih berusia empat tahun mencoba mengikuti, namun gerakannya masih kaku. “Daddy, aku agak susah berenang, airnya malah masuk ke dalam hidungku,” rengek Ben sambil mengusap wa
Beberapa bulan kemudian,Hari ini adalah hari istimewa bagi Zuri dan Edward. Tepat tujuh bulan sudah usia kandungan Zuri, dan mereka baru saja pulang dari rumah sakit setelah pemeriksaan USG yang menunjukkan bahwa mereka akan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hasil pemeriksaan itu membuat mereka semakin antusias untuk menyambut kehadiran sang buah hati. Edward, yang selalu memperhatikan setiap detailnya, sudah lama merencanakan acara tujuh bulanan untuk merayakan momen istimewa ini. Acara tersebut digelar di ballroom hotel Fairmont, Jakarta, dengan dekorasi elegan dan suasana yang penuh kehangatan.Ballroom yang luas itu dihiasi dengan bunga-bunga berwarna putih dan biru pastel, mencerminkan tema kebahagiaan menyambut putra mereka. Di tengah ballroom, tampak panggung kecil dengan meja panjang yang dihiasi kue tujuh bulanan dan berbagai hadiah untuk Zuri. Para tamu mulai berdatangan, dan suasana semakin meriah dengan kehadiran keluarga dan teman-teman dekat pasangan ini.Zuri mengena
Zuri terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat pucat akan tetapi tampak lebih tenang setelah beberapa jam dirawat di UGD. Setelah dipastikan kondisinya stabil, tim dokter memutuskan untuk memindahkannya ke ruang perawatan yang berada di lantai atas. Keadaannya mungkin sudah lebih baik, namun kekhawatiran masih menggelayuti wajah setiap orang yang menunggunya di luar.Bunda Ayu, Opa Bram, Jemy, Mirah, dan Bobby sudah menanti dengan penuh harap di depan pintu ruang perawatan. Ketika perawat memberitahu bahwa mereka diperbolehkan masuk, Bunda Ayu segera melangkah masuk, diikuti oleh yang lainnya. Dengan langkah tergesa, Bunda Ayu menghampiri menantu kesayangannya yang masih terbaring di ranjang, sambil menggenggam erat tangan Zuri."Zuri, syukurlah kamu baik-baik saja, Nak," ucap Bunda Ayu dengan suara penuh kelegaan. “Bunda sangat khawatir tadi.”Zuri tersenyum lemah, akan tetapi senyum itu cukup untuk menenangkan hati Bunda Ayu. "Terima kasih, Bunda. Saya juga ber
Jemy melangkah cepat di tepian Pantai Ancol, langkah-langkahnya teratur namun tegang. Dia memeluk tubuh Zuri yang pingsan dengan erat, tubuh perempuan itu terasa ringan di pelukannya, akan tetapi beban yang dirasakan Jemy di hatinya jauh lebih berat. Pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Untungnya Tadi, sebelum dia menggendong Zuri, dia sempat menelepon Bobby, yang juga merupakan sepupu Edward, yang baru saja selesai mengikuti rapat penting di gedung yang sama yang ada di area Pantai Ancol."Bobby, aku sudah menemukan keberadaan Zuri. Tapi dia sedang pingsan! Sekarang aku sedang menggendongnya, cepat siapkan mobil di parkiran. Kita harus segera ke rumah sakit!" Suara Jemy terdengar panik di telepon.Tanpa banyak bicara, Bobby langsung bergegas menuju parkiran dan menyiapkan mobilnya.Sesampai di parkiran, Bobby melihat Jemy datang dengan langkah cepat, Zuri berada dalam gendongannya. Bobby segera membuka pintu penumpang yang ada di belakang, memberikan ruang bagi Jemy untuk memasuk