Bab 44: Kota Tanpa NamaDua hari perjalanan dari Tanah Pendarah membawa Li Yuan dan rombongannya ke sebuah wilayah terlarang di peta kuno—wilayah tanpa penanda, tanpa nama, dan selalu tertutup kabut hitam bahkan saat siang hari.Feng Qiyan menatap ke depan, keningnya berkerut. “Ini... bukan kabut biasa. Ini kabut jiwa. Masing-masing dari kita akan melihat hal berbeda.”Yue Lian mengeluarkan kalung kristal birunya, menggenggam erat. “Kota Tanpa Nama. Tempat yang dihapus dari sejarah oleh Kaisar Petir Abadi sendiri.”Li Yuan menatap Pena Langit yang bergetar pelan di pinggangnya. “Tapi kenapa dia menghapus kota ini?”Sihuan Mo menjawab datar, “Karena kebenaran tentang dirinya... tersembunyi di sini.”---Kabut tebal mulai menelan mereka satu per satu.Langkah pertama ke dalam kabut seperti memasuki dunia lain—hening, gelap, dan menusuk ke dalam pikiran. Suara langkah kaki lenyap. Tak ada gema. Tak ada angin.
Langit masih merah, tapi di dalam dada Li Yuan, badai lain sedang mengguncang. Di tangannya, Pena Langit kini menyala kembali. Tapi cahaya itu berbeda—di ujung pena, terdapat simbol mata berlapis, menatap balik ke jiwanya.> Menulis ulang masa lalu. Satu kali. Satu kesempatan. Tapi... masa kini akan berubah.Li Yuan berdiri di depan Pilar Dunia Ketiga, keringat dingin menetes dari pelipisnya. Di sekelilingnya, tanah Pendarah kembali tenang. Tak ada lagi Pengawas Naskah, tak ada suara ancaman. Hanya keheningan yang menggoda.Yue Lian berjalan pelan ke arahnya. “Apa yang akan kau tulis, Yuan?”Li Yuan terdiam. Namun matanya menyiratkan keraguan yang dalam. Aku bisa menyelamatkan mereka. Klan Naga Langit. Ayah... ibu... semua.Jika aku menulis ulang malam pembantaian itu, mungkin mereka masih hidup.---“Kalau kau menyentuh masa lalu,” gumam Sihuan Mo, “kau akan mengguncang banyak hal.”Li Yuan menoleh. “Aku tahu. Tapi mereka semua mati karena pengkhianatan. Karena Kaisar Petir Abadi.
Bab 42: Tanah PendarahLangit di atas Tanah Pendarah berwarna merah pekat, seolah darah yang mengering membentuk kabut. Tidak ada matahari, hanya semburat merah yang menggantung tanpa sumber. Setiap langkah di tanah ini seperti melangkah di atas arwah: berat, sunyi, menjerat batin.Li Yuan berdiri di depan celah batu raksasa yang menganga seperti mulut iblis. Di tangannya, Pena Langit bergetar… namun tidak bersinar. “Aneh… pena ini tidak merespons,” gumamnya.Sihuan Mo mengangguk pelan. “Sudah kuduga. Ini adalah wilayah tertulis.” “Wilayah tertulis?” tanya Feng Qiyan.“Ya,” jawab Sihuan Mo. “Wilayah yang ditulis bukan oleh Pena Langit, tapi oleh pena lain—pena milik Penulis Asli. Di sini, Pena Langit tak punya kuasa. Takdir telah dikunci... dengan darah.”---Mereka melangkah masuk ke Tanah Pendarah.Di dalam, hamparan tanah bergelombang merah tua menyambut mereka. Akar-akar hitam keluar dari celah bebatuan dan menggeliat seperti cacing lapar. Di kejauhan, tampak Pilar Dunia Ketiga—
Bab 41: Harga Sebuah TakdirLi Yuan duduk bersila di sudut gua, Pena Langit melayang di depan wajahnya. Ujungnya yang runcing menari-nari di udara, membentuk huruf-huruf tak dikenal. Tapi setiap guratan… terasa seperti bisikan dewa. “Jadi ini... kekuatan menulis takdir,” gumamnya pelan.Yue Lian menatap dari kejauhan, khawatir. “Kau belum pulih sepenuhnya. Jangan paksa dirimu.”Li Yuan tidak menjawab. Dalam benaknya, satu bayangan terus muncul—seorang bocah lelaki di desa bawah, yang pernah ia tolong bertahun lalu. Bocah itu cacat sejak lahir, tak bisa berjalan, hidup dalam cemoohan.“Jika pena ini benar-benar bisa mengubah takdir... aku akan mulai dari dia.”---Ia memejamkan mata, mengingat wajah bocah itu: Tian Ze. Nama yang nyaris tenggelam dalam pusaran waktu. Tapi kenangan itu masih hangat. “Tian Ze… diubah menjadi ‘berkaki normal, takdir tubuh seimbang, umur panjang hingga seratus tahun’…”Pena Langit mulai bersinar.SRRTTT...Tinta emas mengalir di udara, membentuk huruf-hur
Gelap.Lalu terang.Lalu... hening. Tak ada batas. Tak ada atas atau bawah. Hanya satu garis cahaya tipis yang berdenyut perlahan seperti detak jantung purba.DUG. DUG. DUG.Li Yuan membuka matanya—atau lebih tepatnya, membuka kesadarannya. Tubuhnya tak terasa. Tak ada daging, tak ada berat, bahkan tak ada napas. Ia tidak sedang hidup. Tapi ia juga tidak mati.Ia... hanyalah wujud kehendak. “Apa ini… alam baka?” bisiknya, nyaris tanpa suara.“Bukan,” jawab sebuah suara. Lembut, tak berbentuk, datang dari segala arah sekaligus. “Ini adalah Dunia Sebelum Nama. Tempat semua makhluk berasal sebelum diberi makna. Sebelum diberi identitas. Sebelum kau disebut Li Yuan... bahkan sebelum langit tahu kau ada.”---Sekelilingnya perlahan berubah.Tanah muncul, tapi seperti air yang memantulkan cahaya. Langit melengkung seperti tinta yang tumpah di at
Langit bergetar.Tanah merekah bagai kulit retak dari makhluk tua yang bangkit dari tidur panjangnya. Udara berubah pekat, disesaki oleh desisan lidah-lidah asing yang saling berbisik dalam bahasa yang tak dikenali manusia mana pun. Di sekeliling gua tempat Li Yuan dan yang lainnya bersembunyi, ratusan makhluk menyeruak dari kegelapan—mereka bukan binatang, bukan manusia, bukan roh.Tubuh-tubuh membusuk dengan mata menyala biru, tangan-tangan panjang yang bengkok dan melengkung, bibir robek yang terus menggumamkan mantra yang tak dikenal.“Mereka bukan binatang… bukan manusia… dan bukan roh,” gumam Feng Qiyan, suaranya tercekat. “Apa mereka… hasil perpaduan kutukan?” “Bukan,” jawab Sihuan Mo, datar dan dingin. “Mereka adalah Manifestasi Lidah Langit. Bukan makhluk. Tapi hukum hidup… yang diberi tubuh.”Yue Lian bergerak cepat, mencabut pedangnya dan mengukir formasi pelindung mengelilingi gua. Namun, bahkan