Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden.
“Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Zayden yang begitu bahagia saat mengetahui putranya “menghamili” seorang wanita. Jangan-jangan, ini semua bagian dari strateginya untuk mempertahankan citra di hadapan keluarga? Itu alasan Zayden tidak berpikir panjang dan langsung saja ingin menikahinya!? “Hei! Kamu dengar tidak?!” Suara tegas Zayden menyentaknya kembali ke realitas. Alisha mengerjap panik. “Ah, iya… iya, Pak! Saya dengar!” Wanita itu mencoba berpikir cepat. Harus ada cara lain untuk keluar dari situasi ini. “Tapi, Pak! Kalau ini hanya kesalahpahaman, saya bisa jelaskan ke ibu Anda kalau saya hanya berbohong, dan—” “Kamu pikir saya sedang bercanda?” potong Zayden tajam, suaranya dingin bagaikan es. Alisha langsung tersentak, tapi dia masih berusaha. “Tapi… apa Bapak yakin mau menikah dengan saya? Apa Bapak tahu siapa saya? Bagaimana kalau saya jahat dan memeloroti kekayaan keluarga Bapak? Bagaimana kalau saya mempermalukan keluarga Bapak? Saya tidak menjamin pernikahan kita nanti akan bahagia, lho!” Kata-katanya yang meluncur begitu cepat membuat Zayden mengangkat alis, tertarik. “Kamu ingin pernikahan yang bahagia?” tanyanya dengan nada sarkastik. Alisha terdiam. Tentu saja tidak. Dia tidak percaya dengan konsep pernikahan. Seumur hidup, Alisha sudah melihat terlalu banyak luka akibat pernikahan, dan dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah terikat dalam hubungan semacam itu. Jadi sekarang, ketika Zayden menawarkan pernikahan padanya, Alisha merasa terpojok dan sangat kesulitan! Zayden memperhatikan ekspresi Alisha dengan tatapan penuh arti. “Kalau kamu punya pacar, putuskan. Kalau kamu punya suami …” dia berhenti sejenak, tampak berpikir, lalu melanjutkan, “… ceraikan saja.” Alisha semakin terperangah. Apa dugaannya benar? Pria ini benar-benar hanya ingin menutupi sesuatu? Kalau tidak kenapa begitu memaksa ingin menikah dengannya!? “Pak, mana boleh memisahkan hubungan orang lain seperti itu?” protes Alisha cepat. Zayden mendengus dingin. “Boleh saja. Lagipula, kamu sudah menghancurkan hubungan saya dengan keluarga saya. Setidaknya dengan menikah dengan saya, kamu bisa mempertanggungjawabkannya, seperti saya sedang mempertanggungjawabkan ‘kehamilanmu’ itu, kan?” Kata-kata Zayden menusuk tajam, membuat Alisha terdiam. Kalah telak. “Tapi … apa tidak ada cara lain untuk menebusnya?” tanya Alisha sedikit merengek. Zayden tidak langsung menjawab. Respons pria tersebut hanyalah menatap Alisha lekat dan membuat tubuh wanita tersebut merinding dengan tatapan tajamnya yang mematikan. Alisha menghela napas. Kentara dia tidak ada jalan mundur lagi. “Kalau begitu,” Alisha akhirnya berkata dengan nada menyerah, “selama pernikahan nanti, apa saya harus bersembunyi dari publik? Maksud saya… hubungan kita akan diam-diam dan tidak boleh diketahui orang lain?” Zayden mendengus pelan, lalu menggerakkan dagunya ke arah kursi di depan mejanya. “Duduk.” Alisha menegang. Dia baru menyadari bahwa sejak tadi, dia masih berlutut di lantai. Dengan sedikit gemetar, Alisha berdiri dan merasakan lututnya ngilu akibat terlalu lama menyentuh marmer dingin. Saat dia duduk, jaraknya dengan Zayden menjadi lebih dekat, membuat udara di sekitar terasa semakin menekan. Zayden menatapnya tajam, lalu akhirnya menjawab, “Hubungan ini tidak bisa disembunyikan. Keluarga saya tidak akan membiarkan hal semacam itu terjadi.” Alisha mengepalkan ujung roknya. Pernikahan? Dia bisa melakukan apa saja dalam hidupnya. Tapi menikah? Menyerahkan hidupnya kepada seorang pria? Itu mustahil. Namun, di sisi lain, dia juga tidak bisa kehilangan pekerjaannya. Dia butuh uang. Banyak. Zayden memperhatikan ekspresi bimbang Alisha, lalu melanjutkan, “Selama menjadi istriku, tiap bulan aku akan memberikan seratus juta rupiah sebagai kompensasimu.” Alisha membelalak. Seratus juta!? Refleks, Alisha bertanya dengan suara tercekat, “Apa Bapak tidak bercanda?” Zayden tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia memperhatikan ekspresi Alisha yang dengan jelas menunjukkan keterkejutan sekaligus ketertarikan. Walaupun hanya sekejap, dia bisa melihat reaksi asli wanita ini. “Kalau kamu tidak setuju,” katanya akhirnya, “silakan keluar dari perusahaan ini dan jangan pernah muncul lagi di hadapan saya.” Alisha menahan napas. Tawaran ini terlalu besar untuk ditolak. Dalam sekejap, otaknya mulai berhitung. Seratus juta sebulan berarti satu miliar dua ratus juta dalam setahun. Dengan uang sebanyak itu, Alisha bisa mengubah hidupnya sepenuhnya. Tanpa berpikir lebih lama, Alisha menegakkan punggungnya. “Baiklah,” katanya mantap. “Saya mau jadi istri Bapak.” Senyuman tipis muncul di bibir Zayden. Motif wanita ini jelas. Uang. Bersandiwara untuk temannya? Itu pasti omong kosong belaka. “Kalau begitu,” ucap Zayden, “katakan pada keluargamu bahwa saya akan datang besok.” Mendengar itu, Alisha langsung terdiam. “… Tapi, Pak,” katanya pelan, “saya tidak punya keluarga.” Tatapan Zayden berubah. “Apa?” Alisha menghela napas. “Saya tidak punya keluarga. Saya hidup sendiri.” Zayden mengernyit, tampak berpikir sejenak. “… Apa keluarga Bapak tidak akan mempermasalahkan hal ini?” tanya Alisha hati-hati. Zayden menghela napas panjang. “Tidak masalah.” Dia menatap Alisha dengan ekspresi yang sulit ditebak. “Justru itu akan membuat semuanya lebih mudah.” ** Setelah pembicaraan berakhir, Zayden mempersilakan Alisha keluar dari ruangan. Dari tempatnya duduk, pria tersebut bisa melihat Alisha pergi dengan wajah campur aduk antara shock, lega, dan kebingungan. Sementara itu, setelah Alisha menghilang, Arsel masuk ke ruangan Zayden dengan membawa berkas laporan yang tadi ia minta. “Ini latar belakang Alisha, Pak,” katanya, meletakkan dokumen di atas meja. Zayden mengambilnya dan mulai membaca. Dalam waktu singkat, ekspresinya berubah. Alisnya bertaut. Matanya sedikit menyipit. Lalu, dengan suara pelan namun penuh makna, dia bergumam, “Cukup menarik.” Wanita ini … jelas tidak biasa.Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Alisha.Menangis?Apa tidak apa-apa?Apa boleh?Apa itu tidak terlihat cengeng?Alisha masih diam, sejujurnya dia terus menahan, hanya saja … dia selalu harus terlihat kuat. Tidak boleh bersedih karena itu, adalah sebuah kelemahan.“Keluarkan kesedihanmu dan biarkan jiwamu menjadi sedikit lebih tenang, hehm.” Zayden menangkupkan tangannya ke pipi Alisha.“Jangan memendamnya, karena aku … tidak ingin kamu … terluka lebih jauh dan menderita terlalu dalam,” sambung Zayden lagi.Alisha masih diam, matanya masih menatap lurus ke depan.“Lakukanlah, itu bukan suatu kejahatan, keluarkan apa yang kamu rasakan,” ucap Zayden lagi.“Apa … itu tidak terlalu … lemah?” Alisha berkata pelan.Zayden menghela napas. “Kamu nggak harus begini. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis… aku di sini, Al.”Suara itu… Lembut, hangat, dan entah kenapa justru membuat dinding pertahanan yang selama ini Alisha bangun mulai retak.Zayden menggeleng pelan, senyum tipisnya menyert
Alisha cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin, keningnya sedikit mengerenyit, belum sempat berpikir jauh tentang tingkahnya itu, lagi-lagi Kevin bersujud padanya, kepalanya nyaris menyentuh ujung kakinya.“Kak Alisha maafkan aku,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lirih sekali.“Semua salahku … semua salahku ….” Lagi-lagi Kevin berkata dengan sangat pilu, siapa pun yang mendengarnya tentu akan merasakan kalau dia penuh dengan penyesalan dan merasa sangat kehilangan. Kehilangan yang cukup dalam yang tidak mampu dikeluarkan sepenuhnya. Bahkan ini cukup membuat Kevin sangat menderita.“Bangunlah,” ucap Alisha datar.Hanya saja sepertinya perintah Alisha barusan tidak terlalu diindahkan oleh laki-laki itu. Di maish terus bersujud dan beberapa kali mengentukkan keningnya ke lantai.“Bangun dan jangan bertindak konyol di depan jenazah adikku!” Dia berkata dengan cukup tegas. Membuat Kevin akhirnya berusaha untuk bangkit.Dia terlihat sangat kacau, Alisha menatapnya tajam. Wala
Alisha membuka matanya, saat itu yang pertama kali dilihat olehnya adalah Zayden. Menyadari sesuatu, Alisha langsung duduk dan wajahnya terlihat panik.“Iza … Iza dia … dia …!” Alisha tidak bisa mengeluarkan kata-kata, otaknya terasa tidak sanggup untuk berpikir banyak. Napasnya kembali memburu, hingga akhirnya Zayden membawanya dalam pelukannya.“Sabar, Sha, sabar,” ucap Zayden pada Alisha sambil mengelus kepalanya.Alisha diam, dia hanya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur napasnya. Rasanya sangat sesak sekali. Sulit baginya untuk menerima semua ini.Zayden mengendurkan dekapannya, menjepit dagu Alisha hingga mata mereka bertemu, Zayden memandang dalam, sementara tatapan Alisha terasa sangat kosong dan hampa.“Sha, semuanya sudah takdirnya masing-masing.” Zayden berkata dengan tenang, setidaknya dia harus membuat Alisa bisa menerima semua ini.Hanya saja, Alisha tidak memberikan reaksi apapun, jangankan menangis, saat ini ekspresinya hanya diam dengan tatapan kosong. Hal in
Sesampainya di apartemen, setelah pulang dari pengadilan, Nariza masuk ke dalam kamarnya. “Kak aku istirahat dulu,” ucapnya pada Alisha.“Ya, istirahat saja, Kakak juga mau ke atas dulu.” Alisha langsung ke kamarnya, sementara Nariza dibantu perawatanya berjalan ke kamar. Sebelum benar-benar ke atas, Alisha berpesan pada Nariza, “Kamu jangan lupa minum obatnya Iza, kalau ada apa-apa–”“Iya-iya! Kakak tenang saja. Kan udah ada suster juga kan yang tahu persis jadwal minum obatnya.” Nariza terkekeh pelan.Alisha mengangguk sambil tersenyum.Sesampainya di kamar, Alisha langsung menghubungi Zayden.“Bagaimana semuanya? Lancar?” tanya Zayden.“Ya, sesuai dengan perkiraan kita sebelumnya dan Kevin … sepertinya dia juga tidak membantah sedikit pun.” Alisha memberikan laporannya pada suaminya.“Baguslah, tapi … apa tadi Kevin tetap datang sendiri? Maksudku, di sana tidak ada Tante Vivian?” tanya Zayden lagi.“Ya dia hanya datang dengan pengacaranya saja.”“Lalu, bagaimana keadaan Nariza? Apa
Kevin melihat Nariza, jantungnya berdegup kencang, Narisa yang kini berdiri di hadapannya sungguh jauh berbeda dengan Nariza yang dia lihat sebelum masuk rumah sakit. Saat ini gadis itu terlihat kian kurus dengan wajah yang makin pucat, tentu hal ini membuatnya merasa sangat merasa bersalah.“Zaza kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kevin dengan nada khawatir. Dia ingin meraih wajah gadis itu, tapi saat tangannya terangkat setengah di udara, dia langsung menghentikan gerakannya – tidak pantas rasanya. Dia lalu menurunkan kembali tangannya dan mengepal erat di samping tubuhnya.Nariza hanya tersenyum samar.“Aku baik-baik saja, terima kasih karena sudah menyesali semuanya.” Nariza berkata datar sambil tersenyum.“Maaf,” ujar Kevin lagi, matanya memandang dalam ke arah Nariza, “Aku juga minta maaf karena terlalu tidak berani untuk menemuimu selama kamu ada di rumah sakit.” Suara Kevin terdengar serak.Sebenarnya saat mengetahui Nariza mengalami perawatan di rumah sakit, se
Beberapa waktu berlalu, Nariza mulai menunjukkan kalau dirinya sudah lebih baik dan dua hari ini dia sudah ada di ruang perawatan biasa. Alisha selalu menemaninya seperti biasa. “Kakak, aku mau pulang,” ucap Nariza pada Alisha, saat Alisha baru saja duduk di dekatnya.Alisha hanya tersenyum singkat. “Boleh pulang kalau kamu benar-benar sudah sembuh! Kalau sampai kejadian seperti waktu itu bagaimana?” Alisha berkata dengan suara cukup berat.“Aku sudah pulih kok, Kakak dengar sendiri kan tadi dokter bilang apa?” Nariza berkata dengan datar.“Iya, tapi tetap harus dalam pengawasan, Kakak gak mau liat kamu masuk ruang ICU lagi.” Alisha berkata dengan tegas.“Iya, Kak, cuma aku beneran nggak mau di rumah sakit lagi. Bagaimana kalau pas kita pulang, kita pergi liburan saja?” Nariza berkata dengan nada ceria, namun detik berikutnya wajahnya menjadi murung.“Tapi kayaknya nggak mungkin deh, ya.” Dia kembali menambahkan dengan nada melemah.“Kalau kamu mau ayo kita lakukan!” Alisha berkata de