*Beberapa saat sebelumnya*
Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Alisha Gayatri,” gumamnya dengan suara rendah, namun penuh ancaman. “Ternyata tidak susah untuk menemukanmu,” ucapnya dengan amarah menggebu dalam hati. Bagaimana tidak? Wanita itulah yang menjadi awal dari semua kekacauan dalam hidupnya! Kalau saja Alisha tidak muncul malam itu di depan ibunya, Zayden tidak akan dipindahkan dari kantor pusat ke kantor cabang yang bobrok ini! Kalau bukan karena Alisha, tidak mungkin sekarang posisinya sebagai calon pewaris menjadi terancam! Sejak insiden di restoran, Martha Wicaksana—ibunya—bersikeras agar Zayden bertanggung jawab terhadap Alisha. Kalau memang Alisha tidak hamil, paling tidak Martha ingin menemuinya terlebih dahulu sebelum menentukan langkah selanjutnya. Tak ada alasan dari Zayden yang bisa membuat wanita itu mengubah pikirannya. Semua bantahan ditolak mentah-mentah! Seakan tidak cukup buruk, begitu tiba di rumah, Martha langsung melaporkan kejadian itu kepada suaminya, Jimmy Wicaksana, ayah Zayden. Alih-alih marah atau merasa kecewa, ayah Zayden malah terlihat gembira. Sama seperti Martha, kejadian ini dianggap sebagai konfirmasi bahwa putra sulungnya tidak memiliki ‘selera menyimpang’, seperti yang selama ini ia khawatirkan! Tanpa memberi kesempatan Zayden untuk berargumen, keputusan tidak masuk akal pun dijatuhkan. Jimmy mengirimnya ke anak perusahaan yang sedang mengalami krisis besar. Dia hanya bisa keluar dari tempat ini dengan dua cara: Membawa seorang istri ke rumah. Menyelamatkan perusahaan cabang dalam waktu tiga bulan. Tiga bulan!? Itu jelas tantangan yang gila! Terutama karena kantor cabang memiliki masalah korupsi yang berat dan hanya bisa diselamatkan dengan memulai dari nol, sesuatu yang perlu dilaksanakan dalam waktu berbulan-bulan! Namun, tak peduli seberapa keras Zayden membantah, keputusan orang tuanya sudah final. Satu-satunya jalan keluar dari neraka ini adalah wanita itu, Alisha Gayatri. Dan sekarang… Tanpa perlu mencarinya, wanita itu sudah ada di hadapannya sendiri. Senyuman miring terukir di bibir Zayden. “Sepertinya, dunia sedang berpihak padaku.” Dia menggeser tabletnya ke arah asistennya, Arsel. “Panggil wanita ini ke sini. Sekarang.” Selanjutnya, yang terjadi adalah Arsel meminta manager sales memanggil Alisha, dan Alisha pun berada di hadapan Zayden dengan wajah pucat. Alisha merasakan lututnya melemas. Situasinya saat ini buruk. Benar-benar buruk. Siapa yang menyangka pria yang menjadi korban kesalahan sandiwaranya kemarin adalah bosnya hari ini!? Melihat Alisha terdiam mematung, Zayden menaikkan alis kanannya. Sudah pria itu duga wanita itu akan sangat kaget melihatnya. “Alish—" "Saya mengaku salah, Pak! Tolong jangan pecat saya!" Zayden terkejut, matanya agak membesar dan pandangannya yang tajam sedikit melunak. Sama sekali tidak pria itu sangka wanita ini akan bersujud di hadapannya seperti seorang menteri di hadapan kaisar. “Saya benar-benar salah! Saya minta maaf atas kejadian kemarin, Pak!” suara Alisha begitu lantang dan wajahnya dibenamkan di lantai, membuat Zayden tidak bisa melihat ekspresinya yang terpojok. Namun, permintaan maaf Alisha membuat Zayden mendengus. Pria yang tadi terkejut itu sekarang berubah menyipit. “Cepat juga mengaku salah,” ucapnya dingin. “Akan tetapi, setelah mempermalukan saya di depan umum dan berbohong kepada orang tua saya… sekarang kamu masih berani memohon untuk tetap bekerja di sini?” Nada suara Zayden berubah tajam. “Tidak tahu malu sekali kamu.” Tubuh Alisha menegang. Dia menggigit bibirnya, sudah dia duga Zayden tidak akan melepaskannya dengan mudah. Rasa malu di hari kemarin pasti juga sangat membekas kepada pria itu, terutama karena Alisha mengaku sebagai kekasih hamil yang ditinggal menikah. Tapi tidak, Alisha tidak boleh menyerah! Dengan cepat, Alisha mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Sa-saya juga terpaksa, Pak! Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin saya bersandiwara seperti itu?!" Zayden menautkan alisnya. “Terpaksa?” gumamnya, mulai curiga. Pria itu punya banyak musuh. Kemungkinan ada seseorang yang ingin menjatuhkannya bukan hal yang mustahil. Jadi, apa wanita ini kiriman salah satu musuhnya? “Siapa yang menyuruhmu melakukan hal ini?” tanyanya tajam. Alisha menelan ludah. Dia bisa merasakan nada suara pria itu semakin menekan. Dia berpikir cepat. Kalau jujur, dia pasti akan dimaki habis-habisan. Bahkan, dia pasti akan dipecat! Akan tetapi, kalau ingin berbohong, bagaimana caranya agar bisa dipercaya? Akhirnya, Alisha menghela napas berat. Dia hanya ada satu cara. "S-sebenarnya… saya salah orang, Pak." Mata Zayden semakin menyipit. “Salah orang?” Alisha mengangguk cepat. “Saat itu harusnya…” Dia lalu menceritakan semuanya. Tentang bagaimana sahabatnya meminta bantuan untuk menggagalkan pertemuan pria yang disukainya dengan wanita yang dijodohkan padanya. Tentang bagaimana sahabatnya mengancam akan bunuh diri jika pria itu menikah. Tentang bagaimana dia melakukan ini demi persahabatan. Tentu saja, Alisha tidak mengatakan soal uang 50 juta. Dia hanya menekankan betapa dramatisnya situasi sahabatnya yang akan berakhir tragis jika dia tidak melakukan sesuatu. Setelah mengakhiri ceritanya, Alisha menelan ludah dan tersenyum canggung. "U-untungnya perjodohan itu batal, Pak. Jadi teman saya nggak jadi bunuh diri juga…." BRAK!! Suara meja yang digebrak membuat Alisha melonjak kaget. Jari-jarinya langsung saling meremas, wajahnya sedikit pucat. Zayden menatapnya penuh amarah. “Temanmu tidak jadi patah hati, tapi muka saya mau ditaruh di mana sekarang!?” Suara baritonnya memenuhi ruangan, membuat Alisha menundukkan kepala dalam. “Asal kamu tahu!” lanjut pria itu dengan suara penuh kemarahan. “Kejadian kemarin dilihat langsung oleh tamu restoran, yang mana sebagian besar jelas mengenal saya dan orang tua saya! Sekarang saya terkena hukuman, dikirim ke perusahaan bermasalah ini, semua karena kamu!” Alisha mengepalkan tangannya, lalu mengangkat wajahnya dengan suara lirih. “Pak, saya akan melakukan apa pun, tapi tolong jangan pecat saya….” Matanya yang biasanya ceria kini penuh dengan ketakutan. Jika dia dipecat, bagaimana bisa dia bertahan? Lima puluh juta dari Yumi memang besar, tapi itu diperuntukkan untuk hal lain yang tidak bisa diganggu gugat! Zayden menatap Alisha lama. Ekspresinya masih keras, tapi pikiran jelinya mulai berjalan. Wanita ini masih menyembunyikan sesuatu. Tapi lebih dari itu… Ada cara yang jauh lebih baik untuk membuat Alisha membayar semua kesalahannya. Dengan suara pelan, dia berkata, “Saya bisa tidak pecat kamu.” Mata Alisha berbinar. “Serius, Pak?! Astaga, Bapak baik sekali! Memang orang tampan itu hatinya baik dan–” “Tapi ada syaratnya.” Kalimat itu langsung memotong harapan Alisha. Dia langsung diam, tahu bahwa tidak mungkin syarat yang dilontarkan Zayden Wicaksana akan semudah itu dipenuhi. “… Apa syaratnya, Pak?” tanyanya hati-hati. Zayden menatapnya tajam. Kemudian, dengan suara rendah namun penuh kepastian, dia berkata, “Jadi istri saya.” Alisha membeku. “Hah!?”Alisha terkejut, matanya membesar mendengar pernyataan Zayden. “Apa Bapak tidak salah ngomong?” tanyanya ragu, suaranya sedikit meninggi karena keterkejutan. Namun, alih-alih mendapat jawaban masuk akal, wajah Zayden malah terlihat semakin menggelap. “Aku tidak punya waktu untuk bermain-main seperti kamu,” balasnya dingin. “Kalau kamu tidak mau dipecat, jadi istri saya.” Alisha mengerjapkan mata, memastikan telinganya tidak salah dengar dan otak Zayden bekerja dengan baik. Namun, wajah serius pria di depan mata menunjukkan bahwa ini bukan lelucon. “Lagipula,” lanjut Zayden, nada suaranya penuh sindiran, “seperti yang kamu bilang kemarin, kalau sudah menghamili wanita, bagaimana mungkin aku tidak bertanggung jawab, bukan?” Alisha menelan ludah, merasa kepalanya mendadak pusing. Namun, di tengah keterkejutannya, sebuah pemikiran aneh muncul dalam benaknya. Apa mungkin pria ini… hanya ingin menutupi kelainan orientasi seksualnya? Alisha langsung teringat dengan ibunya Za
Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut. “Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tid
Tepat saat jarum jam menunjuk ke angka lima, Alisha sudah keluar dari rumah dan menunggu di lobi apartemennya. Di sana, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir, kentara sedang menunggu seseorang.Perlahan, kaca pintu belakang mobil terbuka, dan sosok tampan Zayden yang hadir dengan jas hitam, muncul sembari menatap tajam dirinya. “Masuk,” titah pria itu, membuat Alisha menelan ludah.Masuk setelah dibukakan pintu oleh sang sopir, Alisha pun masuk dan duduk di sebelah Zayden. Di bibir, wanita itu tidak lupa memaksakan sebuah senyum ke arah Zayden.“Maaf, Pak, karena saya ketiduran, jadi merepotkan Bapak,” ucapnya berbasa-basi.Hanya mendengus dan tidak membalas, Zayden mengalihkan pandangan ke depan, pada sopir yang sudah kembali siap di depan kemudi. “Jalan,” perintahnya dengan nada rendah penuh tekanan.Tahu jelas bahwa Zayden sedang marah, Alisha pun memutuskan untuk bungkam. Dia tidak mau mencari-cari masalah dengan singa tidur itu.Namun, memang hidup tidak selalu berjalan sesu
Semua orang menoleh, lalu melihat seorang wanita muda bertubuh ramping dengan gaun ketat menghampiri. Rambut panjang bergelombangnya mencapai pinggang, dan wajahnya yang cantik tampak diselimuti keangkuhan.Ekspresi Zayden mengeras, dan dia langsung menarik Alisha mendekat ke sisinya, seakan melindungi wanita itu. “Jaga bicaramu, Tania,” balas Zayden dengan ekspresi gelap dan suara rendah yang mengancam. “Apa kamu sedang menghina calon istriku?”Diam-diam, Alisha cukup terkejut. Kalau bukan karena dirinya tahu mereka sedang bersandiwara, dia bisa mengira Zayden benar-benar perhatian padanya!Wanita bernama Tania, yang Alisha duga adalah sepupu Zayden, mengedikkan kedua bahunya. “Bukan menghina, Zay, hanya mempertanyakan aja,” ucapnya. “Tante Vivian tuh nggak salah loh. Dari dulu kami nggak pernah dengar kamu dekat sama wanita, tapi sekarang kamu tiba-tiba bisa bawa calon istri ke rumah, siapa sih yang nggak merasa aneh?”Semua orang mulai berbisik, merasa omongan Tania ada benarnya.
Bukan cuma Alisha yang berakhir terbengong, tapi seisi ruangan seolah membeku, terlebih lagi Vivian dan Tania. “Pa, Papa bilang apa? Hamil? Siapa yang hamil? Anaknya siapa?!” seru Vivian, sedikit terlalu panik untuk memproses pernyataan sang ayah. Henry menghela napas, seolah putrinya baru saja menanyakan sesuatu yang sangat jelas. Ia lalu melirik Alisha, ekspresinya berubah lembut, sebelum mengumumkan dengan lantang, “Alisha sedang mengandung anak Zayden, dan karena itu, mereka akan menikah secepatnya!” DUAR! Seolah granat meledak di tengah ruangan, semua orang langsung berseru dan berbisik-bisik. “Apa? Jadi, Zayden benar-benar punya pacar secara diam-diam dan tidak menyimpang?” “Pacarnya bahkan sudah hamil! Bagaimana dia bisa dirumorkan menyimpang?!” Melihat pernyataannya mengenai Zayden mulai tergeser, Tania yang masih tidak percaya dengan ucapan itu langsung berkata, “Kakek jangan mengada-ada. Mana mungkin Zayden menghamili wanita? Selama ini kita tahu dia ini kan menyimpang
‘Astaga, Alisha! Kamu benar-benar gila!!!’ Alisha berteriak panik dalam hati. ‘Harusnya Pak Bos gak marah, kan?!’ tambahnya lagi. ‘Ini demi akting agar sukses, kan?!!’ Alisha kemudian melihat ke dalam mata Zayden yang saat ini tubuhnya sedikit menegang. Namun, Zayden masih tidak bereaksi lebih. Hanya tatapan matanya yang semakin dalam, menyapu wajah Alisha yang kini bersemu merah.Alisha yang sadar kalau dia sudah kelewatan, berniat menarik dirinya mundur. Namun, tangan kanan Zayden tiba-tiba menahan tengkuknya, membuat Alisha tidak bisa bergerak. Lalu, pria itu memiringkan kepalanya sedikit, dan mulai membalas, bahkan memperdalam ciuman mereka!‘Apa yang–!’Protesnya hanya tersangkut di tenggorokan ketika kehangatan yang menguar dari bibir pria itu mulai melumpuhkan kewarasannya. Sensasi itu mengalir deras, merampas akal sehatnya. Ia ingin berontak. Harusnya berontak. Tapi sial! Tubuhnya justru berkhianat. Ia larut dalam ciuman yang menuntut, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Pertanyaan Zayden yang tiba-tiba terlontar membuat Alisha membeku. Wanita itu menoleh cepat dengan bingung.“Hah?” Alisha tak bisa menyembunyikan sedikit rasa tersinggungnya.Zayden meliriknya sekilas, lalu berkata, “Apa aku salah?” Pria itu mendengus dingin dan menambahkan, “Berani menciumku di depan banyak orang seperti itu, kentara sekali kamu sangat profesional dan berpengalaman dalam hal ini, bukan begitu?” tanyanya. “Berapa banyak pria yang sudah kamu cium?”Mendengar kalimat Zayden dan juga nada bicara pria itu yang seakan merendahkan, membuat Alisha merasa emosinya membumbung tinggi.Kalau bukan karena dirinya terikat perjanjian untuk membantu Zayden, dan juga merasa kasihan dengan betapa pria itu disalahpahami, apa pria itu pikir Alisha akan nekat menciumnya!?Namun, Alisha tahu marah tidak ada gunanya, terutama karena bosnya ini adalah kulkas berjalan. Alhasil, dia hanya menjawab singkat, “Itu ciuman pertama saya.”CIIIT!“Aduh!”Rem yang diinjak kencang secara mendadak memb
“Ugh … aku kayaknya bisa mati muda deh …” gumam Alisha setengah menggeram selagi membaringkan kepalanya di atas meja kantor.Walau pagi ini dia mendapatkan tugas kantor yang lebih banyak dari biasanya, tapi Alisha tidak bisa fokus mengerjakan apa pun. Semua itu karena benaknya terus kembali ke percakapannya dengan Zayden di malam yang lalu.“Apa maksud Bapak pernikahan sesungguhnya? Bapak nggak berniat bercerai dengan saya setelah menikah?!” tanya Alisha malam itu.“Pernikahan bukan permainan. Orang waras mana yang akan menikah dan cerai semudah itu?” balas Zayden dengan wajah datarnya. Padahal, dia sendiri menawarkan pernikahan kepada orang tak dikenal hanya karena terpojok situasi!“Tapi–”“Pokoknya, saya nggak berniat menceraikan kamu setelah menikah. Kalau kamu keberatan, bisa saja kita batalkan semuanya, tapi kamu tetap saya pecat dan …” sebuah seringai terlukis di wajah Zayden, “...nanti kamu akan bermasalah dengan keluarga Wicaksana.”Mengingat pernyataan Zayden membuat Alisha m
Mendengar pengakuan itu, Yumi langsung menarik Alisha ke dalam pelukannya. Jantungnya berdebar, namun ia berusaha menenangkan Alisha yang terlihat begitu rapuh.Yumi tahu betul, meskipun Alisha selalu tampak kuat, dia punya cara tersendiri untuk menyembunyikan kesedihan. Dan kini, kesedihan itu begitu jelas terlihat, walau tanpa air mata seperti wanita kebanyakan. Sepanjang Yumi mengenal Alisha, Yumi tidak pernah melihatnya sekali pun menangis, termasuk saat ini.Sebenarnya, Alisha cukup senang saat tahu informasi kalau Zayden tidak menyimpang, setidaknya apa dia masih bisa ada kesempatan untuk memperoleh hatinya? Walaupun hal ini dirasa terlalu serakah.Hanya saja … jika sudah berhubungan dengan seseorang dari masa lalu … rasanya hal itu tidak mungkin! Apalagi dia bisa melihat jelas sorot kehilangan mendalam yang dirasakan oleh Zayden saat dirinya menyinggung tentang masalah masa lalu Zayden itu.“Sebenarnya … ini yang kutakutkan sejak awal, Al!” Suara Yumi memecah keheningan yang a
Rapat berjalan lancar dan menghasilkan kerjasama yang mulus. Untuk selanjutnya akan dilakukan penandatanganan kontrak di kantor pusat OWL. Sepanjang rapat itu, Alisha tak hentinya memperhatikan Zayden, dia benar-benar sangat profesional, mulai dari gayanya bicara, gestur tubuhnya yang terlihat cukup bijak, dan semua itu tidak menampakkan apa yang sebenarnya terjadi beberapa jam sebelum ini.Dalam hal ini Alisha merasa lega. Sepertinya dia yang sedikit berlebihan untuk mengkhawatirkan pria itu, mungkin … yang perlu dikhawatirkan saat ini adalah dirinya sendiri yang secara perlahan berjalan mendekati pria itu!Setelah, semuanya bubar, Alisha melihat Zayden yang langsung pergi ke luar bersama dengan klien mereka.“Baguslah,” gumamnya pelan.Walaupun dia bergumam dengan nada senang dan bibir yang tersenyum, tetapi tetap saja dia tidak bisa membohongi hatinya sendiri, atas apa yang dia ketahui dari Zayden.“Al, berhubung kita akan bertemu dengan klien yang satu lagi besok siang, malam ini a
Tiga puluh menit sebelum rapat dengan calon klien, Alisha sudah memastikan semuanya berjalan aman, dia juga sudah berkoordinasi dengan orang-orang dari calon klien ini terkait persiapan-persiapannya. Tentu saja, masalah pribadi tidak boleh membuat moodnya berantakan, dia harus tetap profesional dengan pekerjaannya, lagipula dia datang kemari bukan untuk urusan pribadi, kan? Setelah urusan di sini selesai, Alisha kembali menghubungi Zayden, hanya saja pria itu masih belum menjawabnya. Jelas saja hal ini membuat Alisha mendadak khawatir! Bagaimana jadinya kalau tiba-tiba Zayden tidak datang?! Dengan cepat dia mengambil tindakan untuk kembali menyusul Zayden ke kamarnya. “Al, mau kemana?” tanya Tika saat berpapasan di depan lift, saat itu Tika ingin menuju ke ruang pertemuan yang sudah disiapkan bersama rekan mereka yang lain. “Aku mau menemui Pak Zayden dulu, memastikan makan malamnya aman atau tidak.” Tanpa mendengar jawaban dari Tika Alisha berjalan dengan langkah cepat. Alisha
Alisha duduk diam, isi kepalanya terasa penuh dan sangat berisik, apalagi dia terngiang-ngiang kalimat sang nenek yang bertanya tentang masa lalu Zayden, ternyata itulah kenapa wanita itu terlihat skeptis saat Alisha mengatakan kalau semua orang memiliki masa lalu. Bukankah dia terlalu naif dan sombong dengan pernyataannya sendiri?Alisha kembali mengatur napasnya, agar bisa menjaga moodnya tetap baik, walau sebenarnya itu cukup sulit.“Al, apa kamu mendengarkanku?” tanya Yumi dengan suara pelannya.Yumi sudah yakin sejak awal, kalau Alisha pasti akan menyukai Zayden! Dia adalah Zayden, yang mana walaupun semua orang menghujatnya sebagai pria penyuka sesama jenis, tetap akan ada wanita yang berlomba berdiri paling depan untuk meraihnya, dan mengatakan kalau cinta bisa mengubah segalanya!“Alisha,” panggil Yumi lagi.“Ah, iya, Yum! Aku tidak apa-apa kok!” Lalu Alisha terkekeh ringan. “Kamu … yakin tidak apa-apa?” tanyanya Yumi dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa kok!” Alisha masih ter
Alisha masih berdiri terpaku, mencoba mencerna kata-kata pria itu.Membunuh?Siapa yang dibunuh? Maksudnya seseorang itu siapa?Atau jangan-jangan…Entahlah, dia tidak berani menebak-nebak, hanya saja, entah kenapa dia merasa kalau ada perasaan aneh mulai menyusup dalam hatinya. Ini sedikit berlebihan dan terasa seperti hal yang siap meledak.Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan menyusul Zayden. Dia menghubungi Zayden, hanya saja tidak ada jawaban. Saat mendatangi kamar Zayden, juga sama, tidak ada sahutan.“Apa … dia gak balik ke kamar ya?” gumam Alisha.“Ya kalo gak ke kamar dia pergi kemana?” tanya Alisha sambil berpikir keras. Kakinya berjalan tak kenal lelah melewati koridor hotel ini, lalu berakhir di lobi hotel. Melihat jam di pergelangan tangannya sudah pukul 4 sore.“Duh! Apaan sih, kayak anak kecil aja! Padahal tinggal angkat aja teleponnya kok susah sekali sih!” gerutu Alisha.Akhirnya dia mempunyai ide.Dia menghubungi seseorang dengan harapan b
Zayden masih diam. “Masih tidak mau cerita ya?” Alisha terkesan sedikit memaksa. Zayden menarik napas dalam dan berkata, “Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan–” “Kalau kasusnya begini, jelas aku harus tahu, setidaknya ini melibatkanku sebagai istrimu. Kecuali kalau aku tidak ada di tengah-tengah kalian!” potong Alisha cepat dengan nada frustrasi. Entah kenapa susah sekali membuka mulut Zayden ini! SREET! Suara kursi tertarik mundur, Alisha berdiri dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir di sekitar kursinya dan kursi Zayden sambil menghela napas panjang. Sementara, Zayden masih di tempat yang sama, duduk membisu seperti patung, menatap lurus tanpa ekspresi. Alisha menghentikan langkahnya tepat di depan pria itu. Matanya menatap sebal, bibirnya manyun, dan kedua tangan dilipat di depan dada. “Ya sudah kalau kamu nggak mau cerita!” serunya dengan nada tinggi, bola matanya berputar malas. “Menyebalkan sekali! Nggak nenek, nggak cucu, sama-sama biki
Suasana sedikit menjadi dingin, dan … baru saja Helena akan bicara, bunyi ponsel Alisha terdengar nyaring. Dia diam sejenak menatap layar ponselnya.Zayden.Namun, Alisha membuatnya menjadi senyap dan meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Helena melihatnya dengan tatapan menyelidik.“Zayden pasti menghubungimu, kan?” tanyanya dengan nada datar.Alisha mengangguk. “Benar, Nek.” “Kenapa kamu tidak menjawabnya? Dia pasti akan sangat khawatir padamu.” Helena berkata pelan namun penuh penekanan.Hal ini membuat minat Alisha makin tinggi terhadap apa yang terjadi pada keduanya. Dia menyipitkan matanya dan memandang ke arah Helena dan berkata, “Khawatir? Kenapa Zayden harus khawatir, Nek? Aku bersama neneknya, kan? Tidak mungkin juga neneknya melakukan sesuatu padaku.” Memancing!Akan tetapi Alisha lupa kalau yang berada di hadapannya ini bukan orang sembarangan yang bisa diberdayakan begitu saja.Helena tersenyum sekilas lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.“Itu pikiranmu, kan? Berbe
Helena menatap Alisha tanpa berkedip. Sorot matanya tajam, menusuk hingga membuat Alisha tak kuasa mengalihkan pandangan."Aku ingin mendengarnya darimu, Alisha," Helena mengulang, suaranya kali ini lebih dalam, lebih menekan. "Apa kamu... benar-benar mencintai Zayden?"Ruangan terasa semakin hening. Seolah udara mendadak lenyap dari sekitar mereka.Alisha meremas ujung rok yang menutupi pahanya, berusaha mencari kekuatan untuk membuka mulut, tapi suaranya justru menghilang.Helena mengangkat satu alisnya, seakan tidak sabar menunggu. "Kalau kau ragu..." bisiknya, nyaris seperti sebuah ancaman tersembunyi, "sebaiknya kau berhenti sekarang sebelum kau membuat cucuku lebih terluka dari sebelumnya."Alisha tertegun.Seketika wajah Zayden melintas di benaknya—tatapan dinginnya, sikap acuhnya, perhatian kecilnya ... dan semua luka yang mungkin disembunyikan pria itu dari dunia, entah kenapa itu semua nampak nyata. Apalagi, sikap Zayden padanya beberapa hari terakhir ini, seolah-olah dia ad
Siang itu suasana terasa berbeda. Bahkan sikap Zayden ini membuat penilaian 180 derajat berbalik kepada Zayden. Sikap angkuh, sombong dan juga sok berkuasa langsung sirna begitu saja. Mereka melihat sisi lain yang dimiliki oleh Zayden.“Kebetulan calon klien kita yang akan kita temui ini ada halangan dan dia baru bisa bertemu di jam setengah delapan malam. Mereka juga sudah mengatur tempatnya, di hotel yang nanti kita tempati.” Zayden berkata dengan suara tegas dan penuh dengan wibawa.“Lalu, untuk masalah perusahaan dan penyelidikannya, juga bisa kita tunda untuk hari ini, karena saya mendapat informasi kalau tempat mereka tutup dan baru ada di hari Senin, jadi kemungkin untuk tim marketing, kita akan ada di sini sampai Senin malam.” Zayden berkata sambil melihat ke arah tim marketing yang duduk dekat Alisha.Mereka menganggukkan kepala pelan.“Selebihnya, siang ini, sebagai bentuk permintaan maaf saya, mari kita makan di restoran western yang katanya paling enak di kota ini.” Zayden