*Beberapa saat sebelumnya*
Di dalam ruangan kantor eksekutif yang luas, Zayden Wicaksana tampak duduk dengan ekspresi dingin, menelusuri sejumlah dokumen di tangan. “Tuan, ini laporan lengkap perihal nama-nama karyawan yang diduga memiliki keterlibatan dengan manajemen lama yang bermasalah. Ada juga sejumlah karyawan berprestasi yang kami harap bisa dipertahankan dan digunakan untuk menggantikan manajemen lama,” ucap manager HR seraya memberikan sebuah tablet kepada Zayden. “Hmm, aku akan mengeceknya. Kamu bisa pergi,” ucap pria tersebut. Saat Manager HR meninggalkan ruangannya, Zayden pun beralih mengalihkan pandangan pada tablet yang baru saja diletakkan di mejanya. Dia mulai memeriksa satu persatu data karyawan, sampai akhirnya … pandangannya terpaku pada satu wajah yang terlihat sangat familier. Mata Zayden menggelap, dan dia melihat nama karyawan tersebut. Alisha Gayatri. Seketika, rahang Zayden mengeras dan senyuman sinis yang mengerikan terlukis di bibirnya. “Alisha Gayatri,” gumamnya dengan suara rendah, namun penuh ancaman. “Ternyata tidak susah untuk menemukanmu,” ucapnya dengan amarah menggebu dalam hati. Bagaimana tidak? Wanita itulah yang menjadi awal dari semua kekacauan dalam hidupnya! Kalau saja Alisha tidak muncul malam itu di depan ibunya, Zayden tidak akan dipindahkan dari kantor pusat ke kantor cabang yang bobrok ini! Kalau bukan karena Alisha, tidak mungkin sekarang posisinya sebagai calon pewaris menjadi terancam! Sejak insiden di restoran, Martha Wicaksana—ibunya—bersikeras agar Zayden bertanggung jawab terhadap Alisha. Kalau memang Alisha tidak hamil, paling tidak Martha ingin menemuinya terlebih dahulu sebelum menentukan langkah selanjutnya. Tak ada alasan dari Zayden yang bisa membuat wanita itu mengubah pikirannya. Semua bantahan ditolak mentah-mentah! Seakan tidak cukup buruk, begitu tiba di rumah, Martha langsung melaporkan kejadian itu kepada suaminya, Jimmy Wicaksana, ayah Zayden. Alih-alih marah atau merasa kecewa, ayah Zayden malah terlihat gembira. Sama seperti Martha, kejadian ini dianggap sebagai konfirmasi bahwa putra sulungnya tidak memiliki ‘selera menyimpang’, seperti yang selama ini ia khawatirkan! Tanpa memberi kesempatan Zayden untuk berargumen, keputusan tidak masuk akal pun dijatuhkan. Jimmy mengirimnya ke anak perusahaan yang sedang mengalami krisis besar. Dia hanya bisa keluar dari tempat ini dengan dua cara: Membawa seorang istri ke rumah. Menyelamatkan perusahaan cabang dalam waktu tiga bulan. Tiga bulan!? Itu jelas tantangan yang gila! Terutama karena kantor cabang memiliki masalah korupsi yang berat dan hanya bisa diselamatkan dengan memulai dari nol, sesuatu yang perlu dilaksanakan dalam waktu berbulan-bulan! Namun, tak peduli seberapa keras Zayden membantah, keputusan orang tuanya sudah final. Satu-satunya jalan keluar dari neraka ini adalah wanita itu, Alisha Gayatri. Dan sekarang… Tanpa perlu mencarinya, wanita itu sudah ada di hadapannya sendiri. Senyuman miring terukir di bibir Zayden. “Sepertinya, dunia sedang berpihak padaku.” Dia menggeser tabletnya ke arah asistennya, Arsel. “Panggil wanita ini ke sini. Sekarang.” Selanjutnya, yang terjadi adalah Arsel meminta manager sales memanggil Alisha, dan Alisha pun berada di hadapan Zayden dengan wajah pucat. Alisha merasakan lututnya melemas. Situasinya saat ini buruk. Benar-benar buruk. Siapa yang menyangka pria yang menjadi korban kesalahan sandiwaranya kemarin adalah bosnya hari ini!? Melihat Alisha terdiam mematung, Zayden menaikkan alis kanannya. Sudah pria itu duga wanita itu akan sangat kaget melihatnya. “Alish—" "Saya mengaku salah, Pak! Tolong jangan pecat saya!" Zayden terkejut, matanya agak membesar dan pandangannya yang tajam sedikit melunak. Sama sekali tidak pria itu sangka wanita ini akan bersujud di hadapannya seperti seorang menteri di hadapan kaisar. “Saya benar-benar salah! Saya minta maaf atas kejadian kemarin, Pak!” suara Alisha begitu lantang dan wajahnya dibenamkan di lantai, membuat Zayden tidak bisa melihat ekspresinya yang terpojok. Namun, permintaan maaf Alisha membuat Zayden mendengus. Pria yang tadi terkejut itu sekarang berubah menyipit. “Cepat juga mengaku salah,” ucapnya dingin. “Akan tetapi, setelah mempermalukan saya di depan umum dan berbohong kepada orang tua saya… sekarang kamu masih berani memohon untuk tetap bekerja di sini?” Nada suara Zayden berubah tajam. “Tidak tahu malu sekali kamu.” Tubuh Alisha menegang. Dia menggigit bibirnya, sudah dia duga Zayden tidak akan melepaskannya dengan mudah. Rasa malu di hari kemarin pasti juga sangat membekas kepada pria itu, terutama karena Alisha mengaku sebagai kekasih hamil yang ditinggal menikah. Tapi tidak, Alisha tidak boleh menyerah! Dengan cepat, Alisha mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Sa-saya juga terpaksa, Pak! Kalau bukan karena terpaksa, mana mungkin saya bersandiwara seperti itu?!" Zayden menautkan alisnya. “Terpaksa?” gumamnya, mulai curiga. Pria itu punya banyak musuh. Kemungkinan ada seseorang yang ingin menjatuhkannya bukan hal yang mustahil. Jadi, apa wanita ini kiriman salah satu musuhnya? “Siapa yang menyuruhmu melakukan hal ini?” tanyanya tajam. Alisha menelan ludah. Dia bisa merasakan nada suara pria itu semakin menekan. Dia berpikir cepat. Kalau jujur, dia pasti akan dimaki habis-habisan. Bahkan, dia pasti akan dipecat! Akan tetapi, kalau ingin berbohong, bagaimana caranya agar bisa dipercaya? Akhirnya, Alisha menghela napas berat. Dia hanya ada satu cara. "S-sebenarnya… saya salah orang, Pak." Mata Zayden semakin menyipit. “Salah orang?” Alisha mengangguk cepat. “Saat itu harusnya…” Dia lalu menceritakan semuanya. Tentang bagaimana sahabatnya meminta bantuan untuk menggagalkan pertemuan pria yang disukainya dengan wanita yang dijodohkan padanya. Tentang bagaimana sahabatnya mengancam akan bunuh diri jika pria itu menikah. Tentang bagaimana dia melakukan ini demi persahabatan. Tentu saja, Alisha tidak mengatakan soal uang 50 juta. Dia hanya menekankan betapa dramatisnya situasi sahabatnya yang akan berakhir tragis jika dia tidak melakukan sesuatu. Setelah mengakhiri ceritanya, Alisha menelan ludah dan tersenyum canggung. "U-untungnya perjodohan itu batal, Pak. Jadi teman saya nggak jadi bunuh diri juga…." BRAK!! Suara meja yang digebrak membuat Alisha melonjak kaget. Jari-jarinya langsung saling meremas, wajahnya sedikit pucat. Zayden menatapnya penuh amarah. “Temanmu tidak jadi patah hati, tapi muka saya mau ditaruh di mana sekarang!?” Suara baritonnya memenuhi ruangan, membuat Alisha menundukkan kepala dalam. “Asal kamu tahu!” lanjut pria itu dengan suara penuh kemarahan. “Kejadian kemarin dilihat langsung oleh tamu restoran, yang mana sebagian besar jelas mengenal saya dan orang tua saya! Sekarang saya terkena hukuman, dikirim ke perusahaan bermasalah ini, semua karena kamu!” Alisha mengepalkan tangannya, lalu mengangkat wajahnya dengan suara lirih. “Pak, saya akan melakukan apa pun, tapi tolong jangan pecat saya….” Matanya yang biasanya ceria kini penuh dengan ketakutan. Jika dia dipecat, bagaimana bisa dia bertahan? Lima puluh juta dari Yumi memang besar, tapi itu diperuntukkan untuk hal lain yang tidak bisa diganggu gugat! Zayden menatap Alisha lama. Ekspresinya masih keras, tapi pikiran jelinya mulai berjalan. Wanita ini masih menyembunyikan sesuatu. Tapi lebih dari itu… Ada cara yang jauh lebih baik untuk membuat Alisha membayar semua kesalahannya. Dengan suara pelan, dia berkata, “Saya bisa tidak pecat kamu.” Mata Alisha berbinar. “Serius, Pak?! Astaga, Bapak baik sekali! Memang orang tampan itu hatinya baik dan–” “Tapi ada syaratnya.” Kalimat itu langsung memotong harapan Alisha. Dia langsung diam, tahu bahwa tidak mungkin syarat yang dilontarkan Zayden Wicaksana akan semudah itu dipenuhi. “… Apa syaratnya, Pak?” tanyanya hati-hati. Zayden menatapnya tajam. Kemudian, dengan suara rendah namun penuh kepastian, dia berkata, “Jadi istri saya.” Alisha membeku. “Hah!?”Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Alisha.Menangis?Apa tidak apa-apa?Apa boleh?Apa itu tidak terlihat cengeng?Alisha masih diam, sejujurnya dia terus menahan, hanya saja … dia selalu harus terlihat kuat. Tidak boleh bersedih karena itu, adalah sebuah kelemahan.“Keluarkan kesedihanmu dan biarkan jiwamu menjadi sedikit lebih tenang, hehm.” Zayden menangkupkan tangannya ke pipi Alisha.“Jangan memendamnya, karena aku … tidak ingin kamu … terluka lebih jauh dan menderita terlalu dalam,” sambung Zayden lagi.Alisha masih diam, matanya masih menatap lurus ke depan.“Lakukanlah, itu bukan suatu kejahatan, keluarkan apa yang kamu rasakan,” ucap Zayden lagi.“Apa … itu tidak terlalu … lemah?” Alisha berkata pelan.Zayden menghela napas. “Kamu nggak harus begini. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis… aku di sini, Al.”Suara itu… Lembut, hangat, dan entah kenapa justru membuat dinding pertahanan yang selama ini Alisha bangun mulai retak.Zayden menggeleng pelan, senyum tipisnya menyert
Alisha cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin, keningnya sedikit mengerenyit, belum sempat berpikir jauh tentang tingkahnya itu, lagi-lagi Kevin bersujud padanya, kepalanya nyaris menyentuh ujung kakinya.“Kak Alisha maafkan aku,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lirih sekali.“Semua salahku … semua salahku ….” Lagi-lagi Kevin berkata dengan sangat pilu, siapa pun yang mendengarnya tentu akan merasakan kalau dia penuh dengan penyesalan dan merasa sangat kehilangan. Kehilangan yang cukup dalam yang tidak mampu dikeluarkan sepenuhnya. Bahkan ini cukup membuat Kevin sangat menderita.“Bangunlah,” ucap Alisha datar.Hanya saja sepertinya perintah Alisha barusan tidak terlalu diindahkan oleh laki-laki itu. Di maish terus bersujud dan beberapa kali mengentukkan keningnya ke lantai.“Bangun dan jangan bertindak konyol di depan jenazah adikku!” Dia berkata dengan cukup tegas. Membuat Kevin akhirnya berusaha untuk bangkit.Dia terlihat sangat kacau, Alisha menatapnya tajam. Wala
Alisha membuka matanya, saat itu yang pertama kali dilihat olehnya adalah Zayden. Menyadari sesuatu, Alisha langsung duduk dan wajahnya terlihat panik.“Iza … Iza dia … dia …!” Alisha tidak bisa mengeluarkan kata-kata, otaknya terasa tidak sanggup untuk berpikir banyak. Napasnya kembali memburu, hingga akhirnya Zayden membawanya dalam pelukannya.“Sabar, Sha, sabar,” ucap Zayden pada Alisha sambil mengelus kepalanya.Alisha diam, dia hanya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur napasnya. Rasanya sangat sesak sekali. Sulit baginya untuk menerima semua ini.Zayden mengendurkan dekapannya, menjepit dagu Alisha hingga mata mereka bertemu, Zayden memandang dalam, sementara tatapan Alisha terasa sangat kosong dan hampa.“Sha, semuanya sudah takdirnya masing-masing.” Zayden berkata dengan tenang, setidaknya dia harus membuat Alisa bisa menerima semua ini.Hanya saja, Alisha tidak memberikan reaksi apapun, jangankan menangis, saat ini ekspresinya hanya diam dengan tatapan kosong. Hal in
Sesampainya di apartemen, setelah pulang dari pengadilan, Nariza masuk ke dalam kamarnya. “Kak aku istirahat dulu,” ucapnya pada Alisha.“Ya, istirahat saja, Kakak juga mau ke atas dulu.” Alisha langsung ke kamarnya, sementara Nariza dibantu perawatanya berjalan ke kamar. Sebelum benar-benar ke atas, Alisha berpesan pada Nariza, “Kamu jangan lupa minum obatnya Iza, kalau ada apa-apa–”“Iya-iya! Kakak tenang saja. Kan udah ada suster juga kan yang tahu persis jadwal minum obatnya.” Nariza terkekeh pelan.Alisha mengangguk sambil tersenyum.Sesampainya di kamar, Alisha langsung menghubungi Zayden.“Bagaimana semuanya? Lancar?” tanya Zayden.“Ya, sesuai dengan perkiraan kita sebelumnya dan Kevin … sepertinya dia juga tidak membantah sedikit pun.” Alisha memberikan laporannya pada suaminya.“Baguslah, tapi … apa tadi Kevin tetap datang sendiri? Maksudku, di sana tidak ada Tante Vivian?” tanya Zayden lagi.“Ya dia hanya datang dengan pengacaranya saja.”“Lalu, bagaimana keadaan Nariza? Apa
Kevin melihat Nariza, jantungnya berdegup kencang, Narisa yang kini berdiri di hadapannya sungguh jauh berbeda dengan Nariza yang dia lihat sebelum masuk rumah sakit. Saat ini gadis itu terlihat kian kurus dengan wajah yang makin pucat, tentu hal ini membuatnya merasa sangat merasa bersalah.“Zaza kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kevin dengan nada khawatir. Dia ingin meraih wajah gadis itu, tapi saat tangannya terangkat setengah di udara, dia langsung menghentikan gerakannya – tidak pantas rasanya. Dia lalu menurunkan kembali tangannya dan mengepal erat di samping tubuhnya.Nariza hanya tersenyum samar.“Aku baik-baik saja, terima kasih karena sudah menyesali semuanya.” Nariza berkata datar sambil tersenyum.“Maaf,” ujar Kevin lagi, matanya memandang dalam ke arah Nariza, “Aku juga minta maaf karena terlalu tidak berani untuk menemuimu selama kamu ada di rumah sakit.” Suara Kevin terdengar serak.Sebenarnya saat mengetahui Nariza mengalami perawatan di rumah sakit, se
Beberapa waktu berlalu, Nariza mulai menunjukkan kalau dirinya sudah lebih baik dan dua hari ini dia sudah ada di ruang perawatan biasa. Alisha selalu menemaninya seperti biasa. “Kakak, aku mau pulang,” ucap Nariza pada Alisha, saat Alisha baru saja duduk di dekatnya.Alisha hanya tersenyum singkat. “Boleh pulang kalau kamu benar-benar sudah sembuh! Kalau sampai kejadian seperti waktu itu bagaimana?” Alisha berkata dengan suara cukup berat.“Aku sudah pulih kok, Kakak dengar sendiri kan tadi dokter bilang apa?” Nariza berkata dengan datar.“Iya, tapi tetap harus dalam pengawasan, Kakak gak mau liat kamu masuk ruang ICU lagi.” Alisha berkata dengan tegas.“Iya, Kak, cuma aku beneran nggak mau di rumah sakit lagi. Bagaimana kalau pas kita pulang, kita pergi liburan saja?” Nariza berkata dengan nada ceria, namun detik berikutnya wajahnya menjadi murung.“Tapi kayaknya nggak mungkin deh, ya.” Dia kembali menambahkan dengan nada melemah.“Kalau kamu mau ayo kita lakukan!” Alisha berkata de