Saat tiba di kediaman orang tuanya, Zayden bahkan belum sempat duduk sebelum suara tegas ibunya langsung menyambut.
“Zayden! Sini, Mama mau bicara.” Zayden menghela napas. Dia mengikuti ibunya ke ruang keluarga, duduk, lalu berkata, “Kalau ini tentang ‘wanita itu’, bisa kita tunda dulu? Aku lelah.” “Zayden, tidak sopan memanggilnya ‘wanita itu’ terus! Beri tahu Mama namanya!” Seperti yang sudah Zayden duga. Sang ibu benar-benar menanyakan soal Alisha. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya Zayden menjawab dengan nada datar, “Alisha Gayatri.” Mata Martha berbinar. “Jadi namanya Alisha, ya?” Nada bicaranya melembut saat menyebut nama wanita yang ia bayangkan akan menjadi calon menantunya. Wanita itu cantik, dengan wajah manis yang sulit dilupakan. “Namanya cukup bagus,” puji Martha, membuat Zayden diam-diam memutar bola mata. “Lalu, bagaimana latar belakang keluarganya? Dia anak ke berapa? Orang tuanya bekerja di mana?” “Dia tidak punya orang tua. Keluarga juga tidak ada.” Seketika Martha mengerutkan kening, lalu menatap putranya tajam. “Maksudmu dia yatim piatu?” “Bisa dibilang begitu.” “Lalu dia tinggal di mana saat ini?” Zayden menyandarkan tubuhnya ke sofa, mengulur waktu sebelum akhirnya menjawab, “Dia tinggal sendiri. Di apartemen biasa.” Detik itu juga, Martha tertegun. Wajahnya yang tadi cerah langsung diselimuti awan mendung. Melihat ekspresi sang ibu yang berubah, Zayden mengangkat alis kanannya. Sepertinya, ini adalah sebuah kesempatan. Kalau memang ibunya tidak menyukai Alisha, maka kekonyolan ini tidak akan berlanjut. Dengan kata lain, Zayden bisa bebas sementara dari permintaan orang tuanya untuk menikah! “Dari awal, banyak yang berkata aku dan Alisha tidak sepadan, terutama saat melihat latar belakang keluarga kita,” ucap Zayden, memulai sebuah drama dengan berpura-pura ragu dan kesulitan. “Namun, aku tetap jatuh hati padanya.” Kalimat Zayden membuat mata Martha menyipit, kentara ada konflik dalam dirinya. Menangkap hal tersebut, Zayden tersenyum dalam hati. Bagus. Sang ibu mulai bimbang. Kalau begitu, ini saat yang tepat baginya untuk mengakhiri semuanya! “Tapi kalau memang Mama tidak setuju… sebagai anak, aku hanya bisa mengikuti permintaan Mama dan memutus hubungan dengannya. Mengenai anak itu, aku akan mencari solusi dengannya nanti dan bicara lagi dengan Mama.” Hening. Sejenak, wajah Martha tak terbaca, dan hal itu membuat Zayden menduga-duga. Akan seperti apa balasan akhir sang ibu. Detik berikutnya, Martha menghela napas panjang. “Kamu benar. Akan ada banyak orang yang menganggap rendah Alisha.” Zayden tersenyum, sudah dia duga kalau sang ibu tidak akan— “Tapi tidak dengan keluarga kita.” Zayden menegang. Apa?! “Selama kamu benar-benar cinta, maka kalian harus bersama dan menikah! Mama akan pastikan itu!” Sial. Tidak. Ini bukan yang Zayden rencanakan! “Ma, aku—" “Tenang, Zayden!” potong Martha dengan semangat. Matanya agar berkaca-kaca. “Kalau selama ini kamu menyembunyikan hubunganmu dengan Alisha karena khawatir dengan pendapat Papa, kamu tenang saja. Mama akan membujuknya!” Zayden membesar. Siapa yang bilang dia menyembunyikan hubungan karena khawatir pendapat sang ayah? Dianggap menyimpang saja dia tidak peduli, apalagi soal orang lain! Martha menghapus air mata harunya yang sempat luruh. Kemudian, dia menggenggam tangan Zayden. “Kebetulan besok ada acara keluarga di rumah Bibimu, ajak Alisha ke sana dan perkenalkan dia kepada keluarga besar sebagai calon istrimu, oke?!” “Ma, tapi—” “Sudah, kamu jangan takut, Mama akan dukung kamu!” potong Martha cepat seraya langsung berdiri. “Sekarang juga, Mama akan telepon Papa! Sedangkan kamu… segera hubungi Alisha. Besok, kamu harus hadir bersamanya!” Dia berhenti sesaat sebelum akhirnya menambahkan, “Kalau tidak, kamu akan berada di kantor cabang selamanya.” Usai mengatakan semua itu, Martha pun meninggalkan ruang tamu menuju kamar tidurnya. Melihat kepergian sang ibu, Zayden mengepalkan tangannya kuat. ‘Kenapa ini malah semakin buruk?!’ gerutunya dengan wajah frustrasi. Memang, Zayden sudah memutuskan untuk bekerja sama dengan Alisha, tapi kalau bisa mencari jalan keluar lebih mudah dengan tidak menikah, itu akan lebih baik. Oleh karena itu, dia mencoba menggunakan situasi latar belakang Alisha agar sang ibu yang sangat memikirkan reputasi berpikir dua kali tentang pernikahan ini. Akan tetapi, siapa yang menduga wanita itu sama sekali tidak peduli?! Menyandarkan kepalanya ke sofa, Zayden menutup wajahnya dengan satu tangan dan menghela napas. “Hah … Alisha, Alisha … kamu memang bencanaku!” ** Di sisi lain, Alisha baru saja tiba di rumahnya setelah hari yang melelahkan. Dia merebahkan diri di tempat tidur, mencoba memahami kembali apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Kenapa tiba-tiba hidupnya seperti plot drama absurd? Alisha menutup mata sejenak, tapi suara notifikasi ponselnya menyadarkannya. Pesan dari nomor tak dikenal. [Besok malam ikut aku ke pertemuan keluarga. Aku baru mentransfer uang ke akun bankmu, pergunakan dengan baik.] Alisha langsung tahu siapa pengirimnya. Detik berikutnya, notifikasi dari bank muncul. [Kredit masuk: Rp50.000.000] “Lima puluh juta?!” Mata Alisha membelalak, lalu tanpa sadar senyuman lebar muncul di wajahnya. . “Punya big boss baik hati memang beda!” celetuknya bahagia. “Tenang saja, Pak Bos! Akan kugunakan dengan baik!” Baru saja ingin mengirimkan pesan balasan, tiba-tiba satu pesan lagi masuk dari Zayden. [Besok tidak perlu masuk kerja. Pakai uang yang saya berikan untuk cari pakaian yang layak dan berdandan dengan rapi. Sebelum pukul 5 sore, datang ke tempat ini.] Pesan itu diikuti dengan pin lokasi. Alisha mengernyit. Tempat itu adalah kompleks perumahan elite, tempat di mana dulu dia pernah diusir karena suatu hal. Pengamanannya sangat ketat. Masuk ke sana tidak semudah hanya meninggalkan kartu identitas, harus ada undangan dari pemilik rumah yang terdaftar dalam sistem keamanan. Alisha menghela napas panjang sebelum mengetik balasannya. [Pak, cara saya masuk ke sana gimana? Komplek itu perlu izin khusus, ‘kan?] Namun… Sepuluh menit. Satu jam. Bahkan sampai keesokan paginya Alisha mengecek ponselnya, tetap tidak ada balasan dari Zayden. “Ck! Dia apa-apaan, sih?!” gerutu Alisha seraya melempar ponselnya ke tempat tidur. Semalaman, Alisha bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan sampingan yang dia miliki sebagai pembuat konten video promosi. Oleh karena itu, sekarang dia sangat lelah dan emosinya menjadi sedikit tidak stabil. Kalau memang Zayden tidak memberikan balasan padanya, maka Alisha juga tidak akan melakukan apa pun! Di sela kekesalannya, Alisha melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kemudian, dia tersenyum penuh arti. “Dia sendiri yang bilang aku boleh tidak masuk kantor, ‘kan? Kalau begitu, aku mau tidur!” ucapnya ke arah ponsel yang masih belum menerima balasan. “Kalau mau menyalahkanku karena telat ke lokasi pertemuan, salahkan diri sendiri karena tidak balas pesan!” imbuh Alisha sembari menarik selimut dan langsung membenamkan diri di kasur. Namun, di tengah tidurnya, Alisha mendengar suara ponselnya berdering nyaring! Dengan malas, dia meraba tempat tidur, meraih ponsel, dan menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon. “Halo .…” suaranya masih serak karena baru bangun tidur. Tapi suara di seberang terdengar sangat dingin dan tajam. “Kamu sudah sampai mana?” Alisha mengerutkan kening. “Ini … siapa?” Tidak sopan sekali cara bertanyanya. “Alisha! Apa selain janji pertemuan kita, suara saya juga tidak bisa kamu ingat?!” Bentakan itu langsung membangunkan otak Alisha. Dia melihat layar, lalu wajahnya memucat. Oh, sial. Itu Zayden. Alisha yang tadinya masih malas-malasan langsung terduduk! “P-Pak Zayden!” “Sudah sadar kamu?” balas Zayden ketus. “I-iya, Pak. Maaf, saya baru saja bangun…” “Baru bangun?! Apa kamu sedang bermain-main dengan saya!?” Alisha menautkan alis. Kenapa sih pria ini terus marah-marah? Punya darah tinggi? “Kita ‘kan janjian sebelum jam 5, Pak …” balas Alisha selagi mengusap matanya. “Oh? Sebelum jam 5, ya?” ulang Zayden dengan amarah tertahan. Kemudian, pria itu meledak. “Lihat sekarang jam berapa!” Alisha kaget, lalu menoleh ke jam di dinding. Seketika, matanya membesar. Jarum jam menunjukkan nyaris pukul 5 sore! “AHH!!” Alisha menjerit panik seraya langsung turun dari tempat tidur. Sementara itu di seberang, Zayden menjauhkan ponselnya dari telinga. “Jangan teriak! Berisik!” geram Zayden, membuat Alisha yang kembali tenang langsung gemetaran. “M-maaf, Pak. S-saya kaget.” Sadar bahwa Alisha juga tidak sengaja, Zayden menggeram rendah dan bertanya, “Di mana kamu sekarang?!” pria itu membentak lagi. “Saya … di rumah, Pak…” jawab Alisha lirih. Dalam hati menambahkan, ‘Tadi ‘kan sudah bilang baru bangun. Masa iya aku tidur di jalan ….’ Namun, cepat-cepat dia menepis rasa kesal di hati dan berkata, “Jadi, gimana ini, Pak? Bapak jemput saya saja, ya ….” Zayden terdiam. “…Kamu memerintahku?” suara pria itu terdengar sangat berbahaya, membuat Alisha langsung waspada dan memutar otak sebelum Zayden kembali meledak. “Pak! Saya mau mandi dulu! Nanti saya kirimkan alamat apartemen saya! Makasih, Pak! Sampai ketemu nanti!” TUT! Dan sambungan pun terputus. Zayden menatap ponselnya, tangan mengepal keras. “Alisha Gayatri!!!!!!”Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Alisha.Menangis?Apa tidak apa-apa?Apa boleh?Apa itu tidak terlihat cengeng?Alisha masih diam, sejujurnya dia terus menahan, hanya saja … dia selalu harus terlihat kuat. Tidak boleh bersedih karena itu, adalah sebuah kelemahan.“Keluarkan kesedihanmu dan biarkan jiwamu menjadi sedikit lebih tenang, hehm.” Zayden menangkupkan tangannya ke pipi Alisha.“Jangan memendamnya, karena aku … tidak ingin kamu … terluka lebih jauh dan menderita terlalu dalam,” sambung Zayden lagi.Alisha masih diam, matanya masih menatap lurus ke depan.“Lakukanlah, itu bukan suatu kejahatan, keluarkan apa yang kamu rasakan,” ucap Zayden lagi.“Apa … itu tidak terlalu … lemah?” Alisha berkata pelan.Zayden menghela napas. “Kamu nggak harus begini. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis… aku di sini, Al.”Suara itu… Lembut, hangat, dan entah kenapa justru membuat dinding pertahanan yang selama ini Alisha bangun mulai retak.Zayden menggeleng pelan, senyum tipisnya menyert
Alisha cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin, keningnya sedikit mengerenyit, belum sempat berpikir jauh tentang tingkahnya itu, lagi-lagi Kevin bersujud padanya, kepalanya nyaris menyentuh ujung kakinya.“Kak Alisha maafkan aku,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lirih sekali.“Semua salahku … semua salahku ….” Lagi-lagi Kevin berkata dengan sangat pilu, siapa pun yang mendengarnya tentu akan merasakan kalau dia penuh dengan penyesalan dan merasa sangat kehilangan. Kehilangan yang cukup dalam yang tidak mampu dikeluarkan sepenuhnya. Bahkan ini cukup membuat Kevin sangat menderita.“Bangunlah,” ucap Alisha datar.Hanya saja sepertinya perintah Alisha barusan tidak terlalu diindahkan oleh laki-laki itu. Di maish terus bersujud dan beberapa kali mengentukkan keningnya ke lantai.“Bangun dan jangan bertindak konyol di depan jenazah adikku!” Dia berkata dengan cukup tegas. Membuat Kevin akhirnya berusaha untuk bangkit.Dia terlihat sangat kacau, Alisha menatapnya tajam. Wala
Alisha membuka matanya, saat itu yang pertama kali dilihat olehnya adalah Zayden. Menyadari sesuatu, Alisha langsung duduk dan wajahnya terlihat panik.“Iza … Iza dia … dia …!” Alisha tidak bisa mengeluarkan kata-kata, otaknya terasa tidak sanggup untuk berpikir banyak. Napasnya kembali memburu, hingga akhirnya Zayden membawanya dalam pelukannya.“Sabar, Sha, sabar,” ucap Zayden pada Alisha sambil mengelus kepalanya.Alisha diam, dia hanya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur napasnya. Rasanya sangat sesak sekali. Sulit baginya untuk menerima semua ini.Zayden mengendurkan dekapannya, menjepit dagu Alisha hingga mata mereka bertemu, Zayden memandang dalam, sementara tatapan Alisha terasa sangat kosong dan hampa.“Sha, semuanya sudah takdirnya masing-masing.” Zayden berkata dengan tenang, setidaknya dia harus membuat Alisa bisa menerima semua ini.Hanya saja, Alisha tidak memberikan reaksi apapun, jangankan menangis, saat ini ekspresinya hanya diam dengan tatapan kosong. Hal in
Sesampainya di apartemen, setelah pulang dari pengadilan, Nariza masuk ke dalam kamarnya. “Kak aku istirahat dulu,” ucapnya pada Alisha.“Ya, istirahat saja, Kakak juga mau ke atas dulu.” Alisha langsung ke kamarnya, sementara Nariza dibantu perawatanya berjalan ke kamar. Sebelum benar-benar ke atas, Alisha berpesan pada Nariza, “Kamu jangan lupa minum obatnya Iza, kalau ada apa-apa–”“Iya-iya! Kakak tenang saja. Kan udah ada suster juga kan yang tahu persis jadwal minum obatnya.” Nariza terkekeh pelan.Alisha mengangguk sambil tersenyum.Sesampainya di kamar, Alisha langsung menghubungi Zayden.“Bagaimana semuanya? Lancar?” tanya Zayden.“Ya, sesuai dengan perkiraan kita sebelumnya dan Kevin … sepertinya dia juga tidak membantah sedikit pun.” Alisha memberikan laporannya pada suaminya.“Baguslah, tapi … apa tadi Kevin tetap datang sendiri? Maksudku, di sana tidak ada Tante Vivian?” tanya Zayden lagi.“Ya dia hanya datang dengan pengacaranya saja.”“Lalu, bagaimana keadaan Nariza? Apa
Kevin melihat Nariza, jantungnya berdegup kencang, Narisa yang kini berdiri di hadapannya sungguh jauh berbeda dengan Nariza yang dia lihat sebelum masuk rumah sakit. Saat ini gadis itu terlihat kian kurus dengan wajah yang makin pucat, tentu hal ini membuatnya merasa sangat merasa bersalah.“Zaza kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kevin dengan nada khawatir. Dia ingin meraih wajah gadis itu, tapi saat tangannya terangkat setengah di udara, dia langsung menghentikan gerakannya – tidak pantas rasanya. Dia lalu menurunkan kembali tangannya dan mengepal erat di samping tubuhnya.Nariza hanya tersenyum samar.“Aku baik-baik saja, terima kasih karena sudah menyesali semuanya.” Nariza berkata datar sambil tersenyum.“Maaf,” ujar Kevin lagi, matanya memandang dalam ke arah Nariza, “Aku juga minta maaf karena terlalu tidak berani untuk menemuimu selama kamu ada di rumah sakit.” Suara Kevin terdengar serak.Sebenarnya saat mengetahui Nariza mengalami perawatan di rumah sakit, se
Beberapa waktu berlalu, Nariza mulai menunjukkan kalau dirinya sudah lebih baik dan dua hari ini dia sudah ada di ruang perawatan biasa. Alisha selalu menemaninya seperti biasa. “Kakak, aku mau pulang,” ucap Nariza pada Alisha, saat Alisha baru saja duduk di dekatnya.Alisha hanya tersenyum singkat. “Boleh pulang kalau kamu benar-benar sudah sembuh! Kalau sampai kejadian seperti waktu itu bagaimana?” Alisha berkata dengan suara cukup berat.“Aku sudah pulih kok, Kakak dengar sendiri kan tadi dokter bilang apa?” Nariza berkata dengan datar.“Iya, tapi tetap harus dalam pengawasan, Kakak gak mau liat kamu masuk ruang ICU lagi.” Alisha berkata dengan tegas.“Iya, Kak, cuma aku beneran nggak mau di rumah sakit lagi. Bagaimana kalau pas kita pulang, kita pergi liburan saja?” Nariza berkata dengan nada ceria, namun detik berikutnya wajahnya menjadi murung.“Tapi kayaknya nggak mungkin deh, ya.” Dia kembali menambahkan dengan nada melemah.“Kalau kamu mau ayo kita lakukan!” Alisha berkata de