Mata Gilea masih belum teralihkan dari Bumi yang saat ini sedang mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku dengan rambut yang sedikit berantakan.
Tatapan dingin dan penuh kemarahan yang tadi Bumi arahkan pada Gilea seketika berubah saat wanita antah berantah itu meraih tangan Bumi.
Bumi menoleh ke samping. Wajahnya seketika melunak dan bahkan tampak sedikit hangat.
“Joanna? Kapan kau datang? Kenapa tidak menghubungi kakak? Kakak pasti akan menjemputmu,” sapa Bumi dengan nada lembut, sangat kontras dengan cara bicaranya pada Gilea.
“Joanna?” gumam Gilea, membatin, matanya bergantian menatap Bumi dan wanita bernama Joanna itu.
Joanna tersenyum lemah sambil merapat ke sisi Bumi. “Aku tidak ingin merepotkan, Kak. Ini hari pernikahanmu... Aku tidak mau mengganggu waktumu dengan... istrimu.” Ucapannya terdengar penuh pertimbangan, namun gerak tubuhnya—yang menggenggam lengan Bumi erat—berbanding terbalik dengan nada rendah hatinya.
Bumi meletakkan tangannya di atas tangan Joanna. “Kau tidak akan pernah merepotkanku, Joanna. Kau tahu itu.”
Joanna mengangguk pelan dan melirik ke arah Gilea. Senyumnya berubah sekilas, terlalu cepat untuk disadari oleh Bumi, tapi cukup jelas bagi Gilea. Ada sesuatu yang tajam di balik senyuman itu.
“Kau pasti lelah. Ayo, duduk dulu di ruang tamu,” ucap Bumi sambil menuntun Joanna menuju sofa.
Gilea masih berdiri di tempatnya, mencoba mencerna semuanya. Tadi Bumi memandangnya seperti musuh bebuyutan, tapi kepada wanita ini—Joanna—ia menunjukkan sisi yang nyaris tidak pernah Gilea lihat- ya, paling tidak dalam belasan jam sejak mereka bertemu.
Sambil duduk, Joanna menyandarkan kepalanya di bahu Bumi, namun kali ini dengan raut wajah seolah sedang sakit. “Kak... aku sedikit pusing... Mungkin karena perjalanan tadi.”
Bumi terlihat panik. “Kau butuh air? Obat? Atau kutelpon dokter?”
“Aku hanya butuh istirahat. Kakak jangan khawatir,” katanya, lalu menatap Gilea sekilas. “Tapi... mungkin akan lebih tenang kalau aku tidak ada di ruangan yang sama dengan dia.”
Tatapan Bumi kembali berubah saat memandang Gilea. Terlihat dingin dan tajam.
“Kau dengar, kan? Pergilah. Kau tidak diperlukan di sini.”
Gilea menggertakkan giginya dalam diam. Ia ingin membalas, ingin bertanya siapa sebenarnya wanita ini hingga bisa mengusirnya begitu saja. Tapi lidahnya kelu.
Setelah Gilea mundur beberapa langkah, Bumi bangkit dan berjalan ke arah dapur.
Begitu Bumi hilang dari pandangan, Joanna mengalihkan pandangan ke Gilea Ia tersenyum manis, tapi matanya berkilat kejam.
“Kenapa kau masih di sini? Sana pergi!” usir Joanna ke Gilea yang masih berdiri mematung. Gilea tidak juga beranjak, ia menatap Joanna lamat-lamat dan bertanya pelan, “anda.. adik Tuan Bumi?”.
“Kalau iya, kenapa?” Joanna memutar bola matanya malas, “Sana cepat pergi! Kau benar-benar gambaran keluarga Wijaya! Lihatlah! Kau bahkan tidak punya sopan santun. Dasar tidak tahu diri! Andaikan kakakku tidak terlanjur jatuh cinta dengan kakak mu yang wanita murahan itu, keluarga ku yang terhormat ini tidak perlu berurusan dengan kalian.” maki wanita itu sejurus kemudian.
Gilea menahan napas. Tubuhnya bergetar pelan. Hanya karena kakaknya kabur, keluarga Bumi jadi sebenci ini dengan keluarganya? Benar-benar arogan! Batin Gilea geram.
Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Joanna langsung berubah. Sekejap saja wajahnya kembali menjadi lembut, tubuhnya tampak rapuh saat ia menyandar di sandaran sofa sambil mengelus pelipisnya.
“Kak... aku masih sedikit pusing,” keluhnya saat Bumi muncul dengan segelas air.
Bumi menyerahkan air itu dengan cemas. “Minumlah. Kalau masih pusing, kakak akan panggilkan dokter.”
Joanna mengambil gelas itu lalu tersenyum lemah. “Terima kasih, kak. Kau memang kakak terbaik di dunia ini.”
Bumi kemudian menoleh ke arah Gilea dengan sorot menghina, “Kenapa kau masih berdiri di sana? Mataku sakit melihat keberadaan mu!.”
Gilea menelan ludahnya. “Aku... tidak tahu harus tidur di mana,” katanya pelan.
Bumi mendengus. “Ambil kamar mana saja. Dasar bodoh!”
Gilea mengangguk lemah dan berlalu menuju ke salah satu kamar yang ada di lantai bawah, meninggalkan Bumi dan Joanna yang kembali tertawa bersama- seolah sedang mengejek keberadaan Gilea di rumah tersebut.
Saat ini yang bisa Gilea lakukan hanyalah berjalan pergi tanpa melihat ke belakang.
Malam sudah larut. Udara mulai dingin, dan langit gelap pekat tanpa bintang. Mobil keluarga Wijaya berhenti perlahan di halaman rumah Bumi, lampunya menyala redup sebelum akhirnya dimatikan. Gilea membuka pintu mobil dengan gerakan pelan. Di tengah kekusutan hatinya, ia masih sempat menoleh ke arah kursi pengemudi dan berkata, “Terima kasih, Pak Larno. Lea masuk dulu. Hati-hati, ya... ini sudah malam. Jangan ngebut.” Kalimat itu terucap lembut, tapi jelas. Perhatian kecil yang tercipta bahkan saat pikirannya sedang penuh. Ya, begitulah Gilea. Sesulit apa pun hidup yang ia jalani, ia tetap menyisakan ruang untuk peduli. Bahkan dalam situasi tak menentu seperti sekarang, empatinya tak pernah hilang. Pak Larno menatapnya melalui kaca spion, ragu. “Baik, Non Lea. Tapi… apa tidak Bapak tunggu Non masuk dulu, baru Bapak pergi?” ucapnya sambil memutar tubuh sedikit, khawatir meninggalkan Gilea sendirian. Gilea menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Saya tahu kode akses ma
"Kau yakin tak mau kuantar pulang, my little Lili?" tanya Daniel sekali lagi, suaranya lembut tapi masih memuat desakan manis yang tak sepenuhnya bisa diabaikan.Gilea hanya mengangguk pelan dan tersenyum sopan, enggan memperpanjang momen itu."Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu lagi. Nomor ponselmu sudah aku simpan." Daniel memperlihatkan layarnya, seolah sedang memamerkan tiket keberuntungan yang baru saja dimenangkan.Lalu ia menoleh ke arah Bumi. Senyumnya masih lebar. "Baiklah, Tuan Bumi. Aku menunggu keputusanmu. Aku sangat yakin kerja sama ini akan menarik perhatian. Ini bukan proyek biasa. Bahkan Tuan Zee dari Hardata Cooperation bisa saja tertarik berinvestasi. Aku percaya ini akan besar."Dengan penuh percaya diri, Daniel mengulurkan tangan ke arah Bumi."Wakilku, Damian, akan menghubungimu nanti," jawab Bumi datar. Tangannya menyambut jabatan itu, tapi matanya tetap dingin.Dia memang tak pandai menyembunyikan perasaannya—dan pada Daniel, rasa tidak suka itu muncu
Bumi menyandarkan kepala ke jok kulit yang lembut, napasnya baru saja kembali teratur setelah percakapan dengan Max. Kabar itu—kabar yang bahkan bisa membuat darahnya yang mendidih tadi mendingin seketika—telah mengusir awan gelap di kepalanya.“Sebentar lagi...” bibirnya berbisik hampir tak terdengar, sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme kemenangan.Dia melirik ke kaca spion. Di sana, Gilea duduk bagai patung yang diukir dari es, wajahnya tak berubah meski mobil mewah itu meluncur di jalanan yang panas.Rolls-Royce Phantom hitam mereka—si pembisik jalanan yang selalu membuat kepala orang menoleh—kini berhenti dengan anggun di depan lobi Grand Hyatt.“Kita sampai,” ucap Bumi, sengaja menggunakan kata kita kali ini. Matanya menatap Gilea lewat kaca spion, menunggu—apakah wanita itu akan tetap diam.“Baik, Tuan Bee.”Suara Gilea datar seperti air mengalir, tanpa getaran emosi sedikit pun. Dia melangkah keluar dengan gerakan sempurna—tidak terlalu cepat hingga terkes
“Mau sampai kapan kau di sini, Maria?” suara Anita terdengar datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesal yang menebal. “Kenapa kau tidak pulang ke keluargamu saja? Atau… kembali ke Bee? Aku rasa dia akan menerimamu. Dia masih mencintaimu, bukan?""Lagi pula, tidak ada salahnya mengatakan kau menyesal atas tindakan cerobohmu." tambahnya sambil membersihkan tangan di celemeknya.Maria tidak segera menjawab. Asap cerutunya membentuk lingkaran sempurna di udara sebelum akhirnya dihancurkan oleh hembusan nafas Anita yang kesal."Aku akan menunggu Daniel sampai langit ini runtuh," akhirnya Maria bersuara, jari-jarinya yang berpernis merah mengetuk-ngetuk lengan kursi seperti detak jam waktu. "Dia tidak bisa meninggalkan ku begitu saja setelah semua aku korbankan demi bisa bersamanya. Tidak! Aku tidak akan menyerah begitu saja!" Tolak Maria, sambil menyilangkan kaki dan menghisap kembali cerutu kesukaannya.Anita menyeringai. Rumahnya sendiri kini berbau tembakau murah dan parfum Maria y
Rasa sakit di antara pahanya masih terasa menusuk, tapi tidak ada yang lebih pedih daripada luka di hatinya.Kata-kata Bumi bergema dalam benaknya seperti pisau yang terus menggores: "Kau adalah pemuas nafsuku." Gilea menggigit bibirnya sampai berdarah, mencoba menahan isakannya. Air pancuran yang panas membakar kulitnya, tapi tidak cukup panas untuk membersihkan rasa hina yang menempel. Dia menggosok tubuhnya dengan sabun sampai kulitnya memerah, berharap bisa menghapus setiap kenangan sentuhan Bumi. Namun, bekas-bekas itu tetap ada!Bibir bengkak dari ciuman paksa Bumi Biru keunguan di pinggul tempat jari-jari Bumi mencengkeram terlalu keras Gigitan merah di bahu kanannya yang sekarang terasa perih terkena air Goresan kuku di punggung bawah saat dia mencoba melarikan diri Dan yang paling memalukan—rasa sakit yang dalam di rahimnya, pengingat brutal bahwa Bumi telah mengambil sesuatu yang seharusnya diberikan dengan cinta."Bukankah kau sendiri yang datang untuk menjadi istriku?
Langit malam telah gelap ketika Gilea tiba di rumah. Sepi. Hanya lampu taman yang menyala, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum masuk."Mungkin Bumi belum pulang," pikirnya, meski ada kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Dia melepas sepatunya dengan pelan, berharap tak ada yang mendengar. Ruang tamu kosong, hanya suara jam dinding yang berdetak mengisi keheningan. Langkahnya ringan saat menaiki tangga, jari-jarinya gemetar menyentuh gagang pintu kamar dan memasukkan kode akses kamar Bumi."Aku harus kuat. Aku harus—"Pintu terbuka.Dan sebelum Gilea sempat melangkah lebih jauh ke dalam kamar, sebuah kekuatan kasar menariknya ke dalam. Tubuhnya terhantam ke dinding, napasnya tercekat saat lengan Bumi mengurungnya dari belakang. Pintu terkunci dengan hempasan yang keras."Pulang dari kencanmu, Gilea?" suara Bumi mendesis di telinganya, panas dan penuh ancaman. "Sudah puas jadi pelacur di depan Jonathan?" tambahnya, pen