LOGINSelayaknya pengantin baru, Gilea pun diboyong ke kediaman Bumi. Sepanjang perjalanan menuju rumah Bumi, tidak ada percakapan di antara mereka. Gilea yang masih terguncang enggan membuka pembicaraan, terlebih Bumi juga rasa-rasanya tidak ingin Gilea berbicara sedikit pun.
Begitu sampai di rumah Bumi, pria itu segera turun dari mobil dan meninggalkan Gilea begitu saja. Gilea terdiam sejenak sebelum mengikuti langkah Bumi. Begitu masuk, Bumi sudah menunggu di samping pintu.
Ia menatap tajam Gilea. Lalu..
BAAM!
Pintu besar itu ditutup dengan keras, suara gemanya memenuhi ruangan mewah yang luas.
Gilea tidak tahu harus berbuat apa. Kakinya seolah terpaku ke lantai, membuatnya hanya bisa berdiri di depan Bumi yang sedang melepas dasi dengan gerakan kasar.
Gilea tidak buta. Dia bisa melihat wajah tampan Bumi masih dipenuhi kemurkaan. Dan itu membuat tatapan Bumi semakin tajam seolah siap untuk menelannya kapan saja.
“Dengar baik-baik, Gilea. Aku hanya akan mengatakan ini sekali,” kata Bumi dengan nada rendah yang mengancam, “Kita hanya suami istri di atas kertas ini! Di luar itu, kita bukan suami istri. Jangan pernah berpikiran untuk memberi tahu siapa pun tentang pernikahan ini!” Peringat Bumi pada Gilea sambil melemparkan buku nikah mereka ke wajah Gilea.
Mata Gilea otomatis terpejam saat buku nikah tersebut menyapa kasar wajahnya. Perlahan Gilea menelan ludah, berusaha menahan air matanya yang mulai menggenang di kedua ujung matanya.
“Dan satu lagi! Kau jangan pernah berlagak sebagai nyonya di rumah ini. Ini rumah ku! Dan kau tidak ada bedanya dengan pelayan lainnya di rumah ini! Camkan itu!” Tekan Bumi memperjelas posisi Gilea sebenarnya di rumah nan besar tersebut.
Gilea menatap Bumi, air mata yang sedari tadi ditahannya akhir jatuh perlahan di kedua pipinya. “Ya Tuhan! Kenapa aku bisa terjebak dalam pernikahan dengan pria monster ini?!” gumam Gilea dalam hati, mengatup kedua bibirnya- menahan rasa sakit yang teramat dalam.
Setelah memuntahkan semua kata-kata kasarnya, Bumi berbalik kemudian berjalan pergi, meninggalkan Gilea sendirian di ruang tamu yang luas dan dingin.
Gilea masih berdiri di sana, tubuhnya gemetar. Rumah ini besar, indah, dan megah, tapi entah mengapa terasa begitu mencekam baginya.
Dengan sejuta perasaan yang sulit untuk diungkapkan, Gilea menghapus linangan air mata di kedua pipinya. Ia menatap Bumi yang terus naik tangga tanpa menoleh ke dirinya sedikit pun.
***
Gilea akhirnya duduk di sudut ruangan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Gaun pengantin putih yang telah kusut, tampak tak lagi memancarkan keanggunannya. Riasan wajahnya yang luntur akibat air mata membuat wajahnya tampak sangat menyedihkan.
Mata Gilea memandang kosong ke lantai. Sungguh! Saat ini ia tak tahu harus berbuat apa. Bumi sama sekali tidak memberi tahu di mana ia harus tidur. Tak mungkin ia masuk ke kamar pria itu. Bukankah di rumah ini dia adalah pembantu? Bagaimana mungkin seorang pembantu masuk dan tidur di kamar majikan? Sungguh tolol jika dia melakukannya!
Lantas, dimana dia harus tidur malam ini?
Gilea benar-benar terjebak dalam keruwetan di tengah kebisuan malam, hingga suara langkah tinggi sepatu stiletto terdengar menggema di lantai mewah ruang tamu.
Gilea mengangkat kepalanya perlahan. Di depan pintu, seorang wanita berdiri dengan anggun dan penuh kepercayaan diri. Wanita itu mengenakan gaun merah ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya, rambut panjangnya yang bergelombang jatuh sempurna dan bibir merah menyala yang tampak begitu menonjol di bawah cahaya lampu kristal di ruangan itu. Sungguh sebuah gambaran kesempurnaan dan kesombongan dalam satu tubuh
Wanita cantik nan seksi tersebut melangkah masuk, pandangan matanya langsung tertuju pada Gilea yang masih duduk di lantai dengan raut wajah penuh kesedihan. Alisnya terangkat sinis dan bibirnya melengkung membentuk senyuman mengejek.
“Apa dia wanita yang baru saja kak Bumi nikahi? Sama sekali tidak berkelas,” kata wanita itu dengan nada penuh ejekan. Ia menatap Gilea dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan yang begitu merendahkan. “Kau pasti anak haram keluarga Wijaya, kan? Cih! Sungguh menjijikkan.” hinanya, padahal dia dan Gilea bahkan belum sempat berkenalan.
Gilea terpaku di tempat. Dia terlalu kaget, bahkan untuk sekedar merespons ucapan wanita asing tersebut.
Siapa wanita ini? Dan mengapa ia berbicara seolah mengenalnya? Hanya kata-kata itu yang mengisi kepala Gilea saat ini.
Tapi dengan pongah, wanita itu berjalan mendekat ke arah Gilea dengan langkanya yang lambat- bak seorang ratu yang sedang menilai pelayannya. Dan tanpa peringatan, wanita dari antah berantah tersebut melemparkan mantel bulunya ke arah Gilea dengan kasar. Mantel itu jatuh tepat di pangkuan Gilea.
“Taruh mantelku di tempatnya. Awas rusak!” perintah wanita itu seolah ia tahu kalau Gilea baru saja dinobatkan sebagai pembantu oleh Bumi.
Gilea hanya menatapnya, bingung. Ia tidak tahu harus berkata apa atau berbuat apa. Dia masih dalam zona zonk yang tak berkesudahan.
Tapi naasnya, sikap diam Gilea malah membuat wanita itu mendengus kesal.
“Jangan berdiri seperti patung! Cepat lakukan apa yang kuperintahkan!” bentak wanita itu, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Wanita tersebut lalu berjalan menuju sofa besar di tengah ruangan. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa itu dengan gerakan angkuh, mengambil ponselnya, lalu mulai bermain-main dengan layar tanpa sedikit pun mengindahkan Gilea. Setelah beberapa saat, ia mengangkat wajahnya dan berkata, “Cepat, ambilkan aku segelas air. Sekarang.”
Gilea yang memang tidak mengenal wanita ini tentunya tidak mau disuruh-suruh begitu saja. Jadi dia tetap diam bagaikan seonggok timun busuk di posisinya sambil memandangi wanita tersebut.
Wajah wanita di sofa itu semakin memerah. Ia bangkit berdiri dan mendekati Gilea lagi. Mulutnya terbuka, hendak mengeluarkan kata-kata pedas lagi sebelum tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari lantai atas.
Ia mendongak dan tersentak kaget ketika melihat Bumi keluar dari pintu terbuka. Ia menoleh kembali ke Gilea dan memasang wajah memelas.
“Kakak ipar, kenapa kau begitu kasar padaku? Aku hanya memintamu mengambilkan minum untukku. Aku sungguh tidak bermaksud lain.” Tiba-tiba saja kata-kata hardikan yang sedari tadi keluar dari mulut wanita antah berantah itu- kini berubah. Dan bak kelinci kecil yang tersakiti, dia mulai memainkan permainannya.
Gilea mengerutkan alis. Dia sama sekali belum memahami aturan permainan ini! Di saat otaknya berusaha mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi, sayup-sayup telinganya mendengar derap langkah berat dari arah tangga.
Gilea melihat ke arah tangga, dan Bumi di anak tangga. Ia berdiri menatap Gilea tajam seolah-olah Gilea baru saja melakukan kesalahan yang sangat fatal.
“Apa yang kau lakukan ke adikku?” tanya Bumi dingin, membuat tubuh Gilea kembali menegang ketakutan.
Sementara Gilea memulai kehidupan baru di Eropa, lima tahun terakhir menjadi neraka bagi Bumi Wicaksono.Mansion megah yang dulu dipenuhi tawa dan kehidupan, kini sunyi bagai kuburan. Bumi menghabiskan hari-harinya di ruang kerja, dikelilingi botol minuman keras dan asap rokok. Foto Gilea yang terpasang di mana-mana menjadi pengingat akan apa yang telah hilang dari hidupnya."Bee, ini laporan kuartal terakhir." Damian meletakkan setumpuk dokumen di meja Bumi. "Performa perusahaan stabil, tapi kita kehilangan beberapa proyek besar karena...""Urus saja sendiri," potong Bumi dengan suara parau. "Aku tidak peduli."Damian menghela napas. Ini sudah menjadi pemandangan biasa selama lima tahun terakhir. Setelah "kematian" Gilea, Bumi seperti kehilangan jiwa. Perusahaan yang dulu dibanggakannya, kini hanya dijalankan oleh Damian dan Vino.Di sudut ruangan, Maria duduk diam memperhatikan. Selama lima tahun ini, dia adalah satu-satunya yang tetap tinggal di mansion. Bahkan Rene sudah menyerah
Lima tahun.Lima tahun sudah berlalu sejak Gilea melompat dari balkon rumah sakit itu. Lima tahun sejak dia meninggalkan kehidupan lamanya, meninggalkan Bumi, meninggalkan semua kepalsuan yang menyelimuti hidupnya. Kini, dengan identitas baru sebagai Elena Rossi, dia berdiri di depan jendela apartemennya di Paris, memandangi menara Eiffel yang berdiri megah di kejauhan. Tangan kanannya memegang segelas anggur merah, sementara tangan kirinya dengan lembut membelai rambut dua anak kembarnya yang sedang tertidur pulas di sofa."Luca, Sofia, bangun sayang. Ibu sudah pesan makan malam favorit kalian," bisik Gilea dengan suara lembut.Dua pasang mata kecil itu terbuka. Luca, si sulung, langsung melompat dan memeluk ibunya. "Ibu, tadi aku bermimpi kita main di taman yang penuh bunga!"Sofia, yang lebih pendiam, hanya tersenyum manis sambil mengusap matanya yang masih mengantuk. Kedua anak ini adalah kejutan terbesar dalam hidup Gilea. Saat operasi sesar dulu, dokter Rania tidak menyangka bah
Rencana besar itu akhirnya memasuki fase eksekusi. Setelah bermingu- minggu menyusun strategi, tim kecil yang terdiri dari Gilea, Daniel, Damian, dan Vino kini siap menjalankan aksi mereka. Semuanya bergantung pada timing yang sempurna dan keluguan Bumi.Awalnya, segalanya berjalan sesuai skenario. Gilea mulai berpura-pura mengalami pendarahan ringan di mansion, cukup untuk membuat khawatir tetapi tidak sampai menimbulkan kepanikan berlebihan. Seperti yang diperkirakan, Bumi langsung panik. Dia mengingat betapa traumatisnya pengalaman kehamilan pertama Gilea, dan ketakutannya akan kehilangan Gilea membuatnya mengambil keputusan cepat."Kita harus ke rumah sakit sekarang!" seru Bumi, wajahnya pucat melihat kondisi Gilea yang terlihat lemah.Gilea, dengan akting yang sempurna, hanya mengangguk lemah, membiarkan dirinya digendong oleh Bumi menuju mobil. Seperti yang telah diprediksi oleh tim, Bumi membawanya ke rumah sakit keluarga Wicaksono yang paling dekat dan paling mewah - tepatnya
Usaha Gilea meyakinkan setiap orang ternyata tidak sia-sia. Bukitinya pertemuan rahasia itu berlangsung di sebuah gudang tua milik keluarga Daniel yang sudah tidak terpakai, tersembunyi di pinggiran kota. Di dalamnya, berkumpullah empat orang. Mereka adalah Gilea yang wajahnya pucat namun matanya berapi-api, Daniel dengan bayangan kelelahan di pelupuk matanya, Damian dengan ketenangan yang menyimpan kekhawatiran, dan Vino yang masih tampak gelisah namun berusaha terlihat baik-baik saja.Mereka duduk melingkar di sekitar meja kayu sederhana, diterangi oleh lampu tempel yang menggantung di langit-langit. Udara di dalam gudang terasa pengap, sepadan dengan beban yang mereka pikul."Kita semua sudah setuju untuk membantu Gilea," buka Daniel, memecah keheningan. "Tapi kita bukanlah orang-orang bodoh. Kita tahu Bumi seperti apa. Jika Gilea menghilang begitu saja, kita bertiga akan menjadi target utama kemarahannya. Dan dia punya sumber daya untuk menghancurkan kita semua."Damian mengangguk
Setelah pertemuan rahasianya dengan Damian, hati Gilea dipenuhi oleh sebuah harapan baru, namun juga kecemasan yang tak kunjung reda. Damian belum memberikan jawaban pasti, dan waktu baginya terus berdetak bak bom waktu. Daniel, dalam pesan singkatnya melalui nomor rahasia, terus mendesaknya untuk segera menemui Vino."Vino adalah saudaranya. Dia satu-satunya yang bisa menembus tembok pertahanan Bumi dari dalam," begitu kira-kira pesan Daniel.Mendekati Vino adalah tantangan yang berbeda. Sebagai adik kandung Bumi, Vino memiliki akses dan kedekatan emosional yang tidak dimiliki siapapun. Tapi dia juga dikenal dengan sifatnya yang impulsif dan mudah terbawa emosi. Satu kesalahan kata bisa berakibat fatal.Kesempatan itu datang ketika Bumi harus melakukan perjalanan dinas singkat selama dua hari ke luar kota untuk menangani masalah besar di salah satu proyek propertinya. Ini adalah kesempatan emas. Malam setelah kepergian Bumi, Gilea mengirim pesan kepada Vino, memintanya untuk datang k
Nama Damian selalu muncul dalam benak Gilea sebagai sebuah opsi yang hampir mustahil. Sepupu Bumi ini dikenal sebagai sang "penengah" dalam segala hal—seorang yang bijaksana, jarang terlibat konflik, tetapi sangat disegani karena integritasnya. Mendekatinya adalah sebuah risiko, namun setelah penolakan halus dari Daniel, Gilea merasa ini adalah satu-satunya jalan.Dia menyusun rencana dengan hati-hati. Sebuah acara amal untuk yayasan anak-anak yang diselenggarakan oleh keluarga Wicaksono menjadi kesempatan sempurna. Bumi, yang sedang sibuk dengan launching anak cabangnya di salah satu kota, setuju untuk tidak hadir dengan syarat Gilea ditemani oleh dua pengawal lengkap. Maria, yang biasanya selalu ingin ikut, kali ini mengeluh pusing dan memilih tinggal di mansion. Gilea hampir bersyukur untuk itu.Gaun hamilnya yang longgar dan berwarna lembut membuatnya terlihat rapuh dan tidak mengancam. Dia sengaja memilih penampilan itu—sebuah strategi untuk menarik simpati.Acara berlangsung mer