Bumi menyandarkan kepala ke jok kulit yang lembut, napasnya baru saja kembali teratur setelah percakapan dengan Max. Kabar itu—kabar yang bahkan bisa membuat darahnya yang mendidih tadi mendingin seketika—telah mengusir awan gelap di kepalanya.“Sebentar lagi...” bibirnya berbisik hampir tak terdengar, sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme kemenangan.Dia melirik ke kaca spion. Di sana, Gilea duduk bagai patung yang diukir dari es, wajahnya tak berubah meski mobil mewah itu meluncur di jalanan yang panas.Rolls-Royce Phantom hitam mereka—si pembisik jalanan yang selalu membuat kepala orang menoleh—kini berhenti dengan anggun di depan lobi Grand Hyatt.“Kita sampai,” ucap Bumi, sengaja menggunakan kata kita kali ini. Matanya menatap Gilea lewat kaca spion, menunggu—apakah wanita itu akan tetap diam.“Baik, Tuan Bee.”Suara Gilea datar seperti air mengalir, tanpa getaran emosi sedikit pun. Dia melangkah keluar dengan gerakan sempurna—tidak terlalu cepat hingga terkes
“Mau sampai kapan kau di sini, Maria?” suara Anita terdengar datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesal yang menebal. “Kenapa kau tidak pulang ke keluargamu saja? Atau… kembali ke Bee? Aku rasa dia akan menerimamu. Dia masih mencintaimu, bukan?""Lagi pula, tidak ada salahnya mengatakan kau menyesal atas tindakan cerobohmu." tambahnya sambil membersihkan tangan di celemeknya.Maria tidak segera menjawab. Asap cerutunya membentuk lingkaran sempurna di udara sebelum akhirnya dihancurkan oleh hembusan nafas Anita yang kesal."Aku akan menunggu Daniel sampai langit ini runtuh," akhirnya Maria bersuara, jari-jarinya yang berpernis merah mengetuk-ngetuk lengan kursi seperti detak jam waktu. "Dia tidak bisa meninggalkan ku begitu saja setelah semua aku korbankan demi bisa bersamanya. Tidak! Aku tidak akan menyerah begitu saja!" Tolak Maria, sambil menyilangkan kaki dan menghisap kembali cerutu kesukaannya.Anita menyeringai. Rumahnya sendiri kini berbau tembakau murah dan parfum Maria y
Rasa sakit di antara pahanya masih terasa menusuk, tapi tidak ada yang lebih pedih daripada luka di hatinya.Kata-kata Bumi bergema dalam benaknya seperti pisau yang terus menggores: "Kau adalah pemuas nafsuku." Gilea menggigit bibirnya sampai berdarah, mencoba menahan isakannya. Air pancuran yang panas membakar kulitnya, tapi tidak cukup panas untuk membersihkan rasa hina yang menempel. Dia menggosok tubuhnya dengan sabun sampai kulitnya memerah, berharap bisa menghapus setiap kenangan sentuhan Bumi. Namun, bekas-bekas itu tetap ada!Bibir bengkak dari ciuman paksa Bumi Biru keunguan di pinggul tempat jari-jari Bumi mencengkeram terlalu keras Gigitan merah di bahu kanannya yang sekarang terasa perih terkena air Goresan kuku di punggung bawah saat dia mencoba melarikan diri Dan yang paling memalukan—rasa sakit yang dalam di rahimnya, pengingat brutal bahwa Bumi telah mengambil sesuatu yang seharusnya diberikan dengan cinta."Bukankah kau sendiri yang datang untuk menjadi istriku?
Langit malam telah gelap ketika Gilea tiba di rumah. Sepi. Hanya lampu taman yang menyala, menciptakan bayangan panjang di jalan setapak. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum masuk."Mungkin Bumi belum pulang," pikirnya, meski ada kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Dia melepas sepatunya dengan pelan, berharap tak ada yang mendengar. Ruang tamu kosong, hanya suara jam dinding yang berdetak mengisi keheningan. Langkahnya ringan saat menaiki tangga, jari-jarinya gemetar menyentuh gagang pintu kamar dan memasukkan kode akses kamar Bumi."Aku harus kuat. Aku harus—"Pintu terbuka.Dan sebelum Gilea sempat melangkah lebih jauh ke dalam kamar, sebuah kekuatan kasar menariknya ke dalam. Tubuhnya terhantam ke dinding, napasnya tercekat saat lengan Bumi mengurungnya dari belakang. Pintu terkunci dengan hempasan yang keras."Pulang dari kencanmu, Gilea?" suara Bumi mendesis di telinganya, panas dan penuh ancaman. "Sudah puas jadi pelacur di depan Jonathan?" tambahnya, pen
Tamparan itu masih membakar di pipinya, tapi yang lebih pedih adalah sengatan di harga dirinya. Bumi menyentuh bagian yang memerah, matanya menyipit seperti predator yang baru saja dicakar mangsanya."Beraninya dia menolakku..?"Sementara itu, Gilea sudah melesat pergi, suara pintu kamar mandi yang terkunci menggema seperti tamparan kedua. Bumi berdiri kaku, nafasnya berat dan tak teratur. Bau Gilea masih menempel di jari-jarinya—wanginya yang manis itu, bau tubuhnya yang sempat ia kuasai—sekarang terasa seperti penghinaan.Di balik pintu kamar mandi, air mengalir deras, tapi tak bisa menyamarkan suara isakan Gilea yang tersendat."Brengsek... brengsek...!"Tangannya menggosok-gosok kulitnya dengan kasar, mencoba menghapus setiap kenangan sentuhan Bumi. Air mata bercampur air panas yang membuat kulitnya memerah.Sementara di kamar, Bumi mengepalkan tangan, sendi-sendi jarinya berderak."Sial! Berani sekali dia!!"Tinjunya menghantam dinding—sekali, dua kali—hingga plester retak dan ku
Bumi tak lagi bisa berpikir.Nafsu yang datang tak diduga malah meledak bagai banjir bandang, menghanyutkan sisa-sisa logikanya. Sebelum akal sehatnya kembali menang, ia sudah menangkupkan bibirnya ke bibir Gilea—hangat, lembut, dan terlalu sempurna.Gilea mengerang terkejut, tangan mungilnya menekan dada Bumi, tapi tak cukup kuat untuk mendorong. Atau... mungkin tak benar-benar ingin mendorong? Bumi tak peduli. Ia menggigit lembut bibir bawah Gilea, merasakan tubuh gadis itu menggetar di pelukannya."K—kau...!" Gilea mencoba memalingkan wajah, tapi Bumi sudah menelusuri garis rahangnya dengan mulut, turun ke leher yang menggoda. Tangannya merayap ke punggung Gilea, menekan tubuh mereka semakin erat—sampai tak ada celah, sampai Gilea bisa merasakan setiap denyut nafsunya yang membara."Aku tahu kau juga menginginkannya," Bumi bergumam kasar di telinganya, suaranya serak oleh hasrat. Tangannya menyusup ke bawah baju tidur Gilea, menyentuh kulit mulus tiba-tiba bagai magnet mengikatnya.