Langit Abyysal tak pernah benar-benar gelap, tapi juga tak pernah membawa cahaya. Ia membusuk, seperti luka terbuka yang tidak pernah sembuh. Asap kelabu menggantung tanpa arah, dan bumi di bawah kaki Fabio terasa tidak nyata—seolah setiap langkah hanya membawanya lebih dalam ke dalam kehampaan, bukan ke permukaan.Namun kali ini, ia tidak mencoba masuk lebih dalam. Ia mencoba keluar.Di belakangnya, masih terdengar napas panik Thalysa dan suara serak K yang mencoba menahan luka barunya. Mereka hanya selangkah lagi dari mulut Abyysal, satu loncatan dari kebebasan, dari dunia nyata, dari cahaya yang meski semu, tetap lebih hangat daripada kekosongan ini.Lalu udara berhenti.Tidak, bukan hanya udara—waktu berhenti. Suara berhenti. Gerak berhenti. Bahkan detakan jantung Fabio pun terasa tercekik, digenggam oleh sesuatu yang tak kasatmata.Lalu terdengar suara itu."Lambat sekali, adikku."Langkah-langkah lembut seperti serpihan pasir yang berguguran. Fabio berbalik, dan di ambang kabut
Matahari tidak benar-benar bersinar di atas Benua Iblis—yang menggantung di langit hanyalah semburat merah darah yang tersaring debu dan ampas waktu. Langit tampak seperti luka yang belum sembuh. Di bawahnya, tiga sosok berjalan menuruni lereng berbatu menuju sebuah lembah tersembunyi, dibatasi oleh tebing-tebing tinggi yang menjulang seperti gigi raksasa. Di sanalah, Desa Karowai berdiri—jika tempat ini bisa disebut ‘berdiri’.Fabio dan Thalysa diam membisu. Sejak perjalanan dimulai, K tidak banyak bicara, dan mereka pun tak mendesaknya. Gurun yang mereka lewati seperti menelan suara, dan setiap langkah hanya disertai oleh desir angin yang membawa bisikan. Seperti tangisan yang sudah lama mati, namun belum benar-benar menghilang.Desa Karowai bukanlah desa dalam pengertian manusia. Tidak ada bangunan rapi, tidak ada rumah berbentuk. Yang ada hanyalah struktur batu besar yang menyembul dari tanah seperti tulang-tulang purba, tempat Nyxaroth dari berbagai bentuk bersandar, bermeditasi,
Langit Benua Iblis masih menggantung kelabu ketika mereka meninggalkan tempat perkemahan sementara. Pasir kasar bergesekan di bawah sepatu mereka, dan angin dingin dari utara sesekali membawa bau tanah terbakar yang tidak bisa dijelaskan asalnya. “Dari sini, kita akan berjalan ke arah utara selama setidaknya empat jam,” ucap K dengan nada pasti, matanya menatap lurus ke depan. "Barulah kita sampai di desaku." Langkah mereka perlahan, namun mantap, membelah jalur sunyi yang hanya ditandai jejak-jejak makhluk yang telah lama berlalu. Tidak ada rambu, tidak ada jalan. Hanya reruntuhan dan patahan batu yang menjadi penanda bahwa peradaban pernah mencoba tinggal di tanah yang tak kenal ampun ini.Perjalanan mereka tidak benar-benar tenang. Beberapa kali, mereka harus menghadapi mutan Nyxaroth yang mengendap dari balik pasir atau merayap dari celah tanah. Tidak ada bentuk yang konsisten—beberapa memiliki kulit sekeras baja, yang lain lidah bercabang dan penglihatan yang menusuk jiwa. Salah
Malam di gurun Benua Iblis tak pernah ramah. Udara dingin menggigit kulit, dan pasir yang tertiup angin menggores wajah seperti jarum halus. Di kejauhan, langit hitam yang tak berbintang menggantung diam—seolah-olah langit sendiri menahan napas, menunggu sesuatu untuk pecah. Fabio dan Thalysa menyalakan api kecil, cukup untuk memberi cahaya dan sedikit kehangatan, namun tidak cukup besar untuk menarik perhatian. Atau begitulah mereka kira. Hanya dalam sekejap mata, kesunyian itu terkoyak. Bayangan tak bernama melintas di sekitar mereka, samar dan cepat. Thalysa sudah berdiri dengan sihir di ujung jarinya, sementara Fabio mencabut pedangnya, tubuhnya kaku seperti batu, matanya menyapu gurun yang hening. Ia melihatnya—cahaya samar dari kristal merah yang bersinar dari dalam pasir, bergerak seirama napas makhluk yang tidak pernah seharusnya ada. “Bunglon?” Thalysa berbisik, kaget melihat kulit makhluk itu berubah-ubah, menyatu dengan gurun. “Nyxaroth,” jawab Fabio datar. “Tapi… berb
Benua Tengah, yang sering dijuluki sebagai "Etherian" atau "Tanah Para Dewa", merupakan wilayah yang sangat luas dan kaya akan keragaman geografis, budaya, serta spiritualitas. Dalam sejarah panjang Aetherian, Benua Tengah telah lama dianggap sebagai pusat peradaban tertua dan tempat kelahiran para kerajaan besar yang mengukir dunia dengan sihir, teknologi kuno, dan pemikiran tinggi. Julukan “Tanah Para Dewa” tidak sekadar simbolik; melainkan mencerminkan keyakinan kuno bahwa para makhluk agung pertama—baik dari langit maupun dari dalam Aether itu sendiri—pernah menjejakkan kaki di tanah ini, membentuk jejak kekuasaan yang masih terasa hingga hari ini.Secara geografis, Benua Tengah terbagi menjadi berbagai zona ekologis dan struktural yang memberikan tantangan sekaligus kekayaan tersendiri bagi para penghuninya. Di bagian utara terdapat pegunungan tinggi seperti Krinci dan Deretan Pegunungan Thalon, yang membentang dari barat hingga timur, membentuk tulang punggung benua dan menjadi
Angin panas berhembus perlahan melewati jendela kayu penginapan yang menghadap ke arah selatan kota Ebonhold. Saat matahari tergelincir pelan di atas cakrawala berwarna tembaga, Fabio duduk di kursi tua, membuka lembar demi lembar gulungan peta dan dokumen yang mereka temukan selama perjalanan. Thalysa, duduk tak jauh darinya, menyandarkan dagu di atas tangannya, matanya menyusuri garis-garis lengkung pada peta yang menggambarkan benua yang sedang mereka tapaki—Benua Iblis, tanah yang telah lama hanya disebut-sebut dalam cerita buruk dan bisikan tak berani. Malam itu tidak diisi dengan pembicaraan tentang bahaya atau kematian, melainkan percakapan pelan yang penuh dengan rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang bersiap untuk perang atau ritual, tetapi mencoba memahami tanah tempat mereka kini berdiri.Dengan luas mencapai 9,2 juta kilometer persegi, Benua Iblis hampir menyamai ukuran Benua Utama, rumah bagi Thalos, Valtor, dan berbagai peradaban besar lainnya yang telah berdiri sejak zaman