Saat Arka memutuskan untuk membawa wanita lain ke atas ranjang mereka, Alea dibiarkan menelan kehancuran pernikahan dan luka yang dalam. Bukan cinta, tetapi luka yang membuat Alea bertahan!
Lihat lebih banyak"Urusanku bukan cuma soal kamu Alea."
Kalimat itu keluar dari bibir Arka seperti pisau tajam, dingin dan tanpa emosi. Kata-kata itu terus menggema di kepala Alea, bahkan bertahun-tahun setelah ia mendengarnya.
Sekarang hatinya seperti kaca yang retak—tidak pernah benar-benar utuh lagi.
Dulu, Arka adalah segalanya. Sosok pria yang setiap malam memastikan pintu terkunci, memeluknya erat saat ia bermimpi buruk, dan selalu mengirim pesan, "Aku akan terlambat pulang, jangan tunggu aku, ya."
Sekarang? Arka adalah pria yang bahkan tak pernah benar-benar pulang, meski tubuhnya ada di rumah. Kehangatan itu lenyap, seperti mimpi yang menguap sebelum sempat ia genggam.
Alea mengingat masa-masa indah mereka, pernikahan yang penuh tawa dan janji. Saat ia mengabarkan bahwa dirinya hamil, Arka memeluknya begitu erat, mencium perutnya yang masih datar, lalu berkata dengan mata berbinar, "Aku akan jadi ayah yang terbaik untuk anak kita." Saat itu, Alea percaya bahwa bahagianya akan abadi.
Tapi semuanya berubah setelah Raka lahir. Pelukan itu perlahan menghilang. Kata-kata penuh cinta digantikan dengan keheningan yang memekakkan.
Arka mulai pulang larut tanpa kabar, mengunci diri di ruang kerja, dan setiap kali mereka bicara, nada suaranya terdengar seperti berbicara dengan orang asing.
Malam ini, Alea duduk sendirian di ruang tamu, menatap cangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya berkelana ke hari-hari ketika cinta mereka masih utuh, ketika Arka masih pria yang membuatnya merasa seperti satu-satunya wanita di dunia ini.
Sekarang, ia hanyalah seorang istri yang dilupakan, seorang wanita yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa cinta yang hampir habis.
"Apa aku salah?" pikir Alea, membiarkan air mata yang tertahan akhirnya jatuh. Ia tidak tahu apa yang salah. Tetapi ia tahu satu hal, Arka yang dulu, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, telah menghilang.
Dan yang tersisa hanyalah bayangannya.
Alea masih membuka matanya malam itu, terjaga dalam kegelapan kamar yang sunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari.
Di sampingnya, Arka berbaring dengan posisi membelakangi, napasnya teratur, tanda ia sudah lama tenggelam dalam mimpi.
Alea menatap siluet suaminya yang terasa asing. Dulu, saat mereka baru menikah, posisi ini sering jadi candaan kecil di antara mereka. “Aku nggak bisa tidur kalau membelakangi kamu, Alea,” katanya sambil tersenyum, lalu memeluknya erat. Tapi kini, itu hanya tinggal memori yang terasa jauh.
Alea menghela napas panjang, merasakan dingin yang menyusup hingga ke tulang. “Masihkah aku ada di hatimu, Mas?” gumamnya lirih.
Ia tidak berani berkata lebih keras, takut keheningan malam akan mengungkap semua luka yang selama ini coba ia pendam. Tangannya terulur, ingin menyentuh bahu Arka, namun ia urungkan niat itu.
Di luar, suara hujan mulai terdengar, mengetuk perlahan di kaca jendela kamar. Alea memejamkan mata, berharap hujan bisa menenangkan hatinya yang kacau.
Tapi justru memori lama mulai mengalir, membawa ia kembali pada saat segalanya terasa sempurna.
Hujan semakin deras, membawa Alea kembali ke kenyataan. Janji itu ... janji yang dulu diucapkan dengan penuh keyakinan kini terasa kosong.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit kamar. Mungkin, cinta mereka dulu terlalu indah untuk bertahan menghadapi kenyataan hidup.
Alea meraih ponselnya, membuka galeri foto. Foto pernikahan mereka masih ada di sana.
Dalam gambar itu, Arka tersenyum lebar, memandang Alea dengan tatapan penuh cinta. Alea memandang dirinya sendiri di foto itu, mengingat betapa bahagianya ia saat itu.
Tapi sekarang, bayangan di cermin hanya menunjukkan seorang perempuan yang lelah, dengan mata sembab dan senyum yang sulit ditemukan.
Pagi itu, seperti biasa, Alea bangun lebih awal. Langkahnya pelan menuju dapur, untuk menyiapkan kopi dan sarapan. Di ruang tengah, Raka asyik menonton kartun, tawanya sesekali terdengar, menjadi satu-satunya suara yang mengisi rumah yang sunyi.
Saat ia mengaduk kopi, pintu kamar terbuka. Arka muncul dengan langkah tegas, mengenakan setelan rapi seperti biasa. Wajahnya tampan, tapi kosong—tanpa senyum, tanpa kehangatan.
Matanya bertemu dengan Alea sejenak, tapi hanya lewat seperti angin, tak ada sorot yang menunjukkan cinta atau perhatian. Ia berjalan menuju meja, mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan Alea. Gerakannya sederhana, tetapi terasa dingin, seolah ini hanya rutinitas tanpa arti.
“Pagi,” katanya singkat, mengambil kopi yang sudah Alea siapkan.
Alea mencoba tersenyum. “Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu ya, sebelum ke kantor.”
Arka tidak menoleh. “Nggak usah. Aku sarapan di kantor aja.” Suaranya datar, tanpa sedikit pun perhatian.
Alea terdiam. “Oke, hati-hati ya, Mas,” katanya pelan, menahan rasa yang menghantam dadanya.
Arka hanya mengangguk kecil sebelum melangkah keluar, seolah keberadaan Alea hanyalah bayang-bayang yang tak layak diperhatikan.Sebelum pergi, ia membungkuk untuk mencium kening Raka dengan lembut—satu-satunya momen hangat yang masih tersisa darinya.
Tetapi kepada Alea? Tidak ada. Bahkan tidak sepatah kata atau tatapan singkat.
Pintu tertutup, dan keheningan yang menyakitkan kembali mengisi rumah. Alea berdiri di dapur, tubuhnya terasa seperti batu yang berat. Ia menatap cangkir kopi di tangannya, yang dinginnya mulai menyusup hingga ke hatinya.
Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh, satu per satu, membasahi pipinya. Suara hatinya berbisik dengan getir, “Masihkah aku ada di hatinya? Atau aku sudah benar-benar hilang dari dunianya?”
Di dalam dirinya, cinta yang dulu terasa kokoh kini seperti reruntuhan yang hanya menyisakan debu dan luka. Luka yang terus berdarah setiap kali Arka berlalu tanpa melihatnya.
Namun, tawa kecil Raka yang sedang menonton serial kartun kesukaannya seolah menjadi pengingat bagi Alea. Ia mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menghapus jejak air mata yang tidak akan hilang begitu saja dari hatinya. Ia tahu, meski hatinya runtuh, ia harus tetap berdiri untuk Raka!
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen