Sherine Souad Ahlam, wanita dengan simbol kecantikan yang sempurna, memiliki darah Lebanon dan Rusia menambah kecantikannya yang tidak biasa. Sebagai supervisor di perusahaan skincare ternama, Moonsky, sekaligus influencer dengan jutaan pengikut, ia tampak memiliki segalanya. Wajah menawan, karier cemerlang, dan kehidupan glamor yang diidamkan banyak orang. Namun, di balik semua itu, ia menyimpan rahasia kelam. Ia terlilit utang hampir 400 juta rupiah akibat gaya hidup borosnya. Dihantui ketakutan, ia tak berani meminta bantuan keluarganya dan memilih menanggung semuanya sendiri. Hingga di titik terendah, ketika tak ada lagi jalan keluar, sebuah tawaran datang dari pria misterius yang merupakan pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Solusi atas seluruh beban yang mengikatnya ada di tangan pria itu, namun dengan syarat yang tak biasa. Apakah Sherine akan menerima tawaran tersebut? Dan berapa harga yang harus ia bayar demi kebebasannya?
View MoreKebaya putih rancangan desainer ternama itu membalut tubuhnya dengan sempurna fit, presisi, mengikuti setiap lekuk tubuhnya yang ideal, membentuk siluet feminin yang begitu menawan.
Di depan cermin raksasa, Sherine berdiri dalam diam. Sorot matanya kosong. Untuk sesaat, ia seperti tidak mengenali pantulan dirinya sendiri. Wajah yang selama ini tampil sempurna di layar gawai jutaan orang, kini justru tampak asing.Mata hazel kehijauannya berkilau dalam balutan riasan sempurna. Kulitnya bersih dan bercahaya, seolah tak pernah disentuh kesedihan. Namun jauh di balik penampilan nyaris surgawi itu, hatinya tak ubahnya ruang kosong yang tak bersuara.
Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Hari ini bukan tentang cinta.
Bukan pula tentang impian pernikahan dalam dongeng masa kecil.Hari ini tentang... reputasi.Tentang rahasia yang harus dikubur dalam, dan hanya diketahui oleh dirinya, Dewa, dan Tuhan.
Suara ijab kabul menggema dari balik dinding ballroom.
"Saya terima nikahnya Sherine Souad Ahlam binti Mustafa Ahlam dengan mas kawin tersebut, tunai."
Suara Bramastha Sadewa Tharaindra Hadisetyo, pria dingin yang kini menjadi suaminya, terdengar tegas, dalam, dan mantap.
Meski nada suaranya tak menyiratkan emosi, gemanya justru menusuk hingga ke jantung Sherine. Satu kata dari para saksi mengunci takdirnya "Sah!"
Seakan dibangunkan dari mimpi yang dipaksakan, Sherine tersentak pelan.
Ilona Elianoor Meer, sang Umma, masuk dengan langkah terburu dan mata basah. Ia langsung memeluk Sherine, menumpahkan haru yang sejak tadi ditahan.
“Sherine… selamat, Nak. Kini kamu telah sah menjadi seorang istri. Semoga rumah tanggamu selalu dalam lindungan-Nya,” bisiknya lembut.Sherine membalas pelukan itu dengan senyum tipis. Tapi jauh di balik senyum dan kebaya mewahnya, hatinya seperti baru saja retak dalam diam.
Ia kini tak lagi sekadar beauty vlogger dengan jutaan pengikut, atau supervisor berpenghasilan dua digit di perusahaan skincare elit milik Dewa. Kini, ia adalah seorang istri. Dari pria yang tidak mencintainya dan yang tidak ia cintai.
Didampingi Zoya, adik perempuannya, dan Farah, sepupu seumuran yang selalu ceria, Sherine melangkah keluar ruangan.
Mata-mata para tamu langsung mengarah padanya, takjub akan kecantikannya yang nyaris tak masuk akal. Namun hanya Sherine yang tahu, di balik pancaran pesona itu, luka sedang tumbuh diam-diam.
Di ujung ballroom, Dewa terpaku memandang istrinya. Ada yang aneh dalam dadanya. Sherine begitu... memesona. Bahkan terlalu memesona.
Ia yang selama ini percaya bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas, kini mulai merasakan sesuatu bergerak dalam dirinya. Sesuatu yang tak ia undang. Tak ia rencanakan.
“Pak Dewa, sampai bengong lihat istri sendiri ya?” seloroh sang MC, disambut gelak tawa para tamu.
Dewa tersadar. Ia mengangguk kaku, menyeka lehernya yang tiba-tiba terasa panas. Sherine melirik sekilas. Ada geli yang nyaris muncul di wajahnya, kalau saja hatinya tak sedang bergumul dengan ribuan kegelisahan.
Acara dilanjutkan dengan doa. Dewa duduk di samping Sherine. Tangannya yang besar menyentuh ubun-ubun istrinya. “Allāhumma inni as’aluka min khairihā...”
Doanya lirih, namun penuh makna. Tangannya sedikit gemetar, dan Sherine bisa merasakannya. Dewa terkejut dan gugup.
Lelaki yang biasanya tegas, tenang, dan percaya diri saat memimpin rapat bersama client dengan ratusan miliaran rupiah, kini bergetar di hadapan seorang wanita yang kini menjadi istrinya.Usai doa, tamu-tamu mulai berdatangan. Ruangan mewah itu menjadi panggung megah penuh senyum dan sorotan kamera.
Di antara mereka, hadir pasangan elegan seorang pria dengan setelan abu muda dan wanita anggun berhijab. Mereka adalah keluarganya sendiri yaitu Om Arya Wisnu Hadisetyo dan istrinya yaitu Tante Jahanara.
“Maaf, Om, Tante, merepotkan harus datang jauh-jauh,” ucap Dewa sambil menyalami mereka.
“Tentu tidak, ini hari bahagiamu, Nak,” jawab Om Arya, menepuk bahunya.
Tante Jahanara tersenyum manis. “Tante minta maaf, sayang. Sepupu kamu itu belum bisa hadir. Dia masih sibuk di London, katanya pekerjaannya tak bisa ditinggal sama sekali.”
Dewa tertawa ringan. “Anak bodoh itu memang keras kepala. Bahkan di hari sepenting ini, dia tetap menolak cuti.”
“Setiap hari Tante telepon, jawabannya cuma satu, sibuk,” sambung Jahanara sambil menggeleng pelan.
“Ya tapi... kamu juga panutannya. Kamu seorang pekerja keras, dia itu meniru kamu,” timpal Om Arya sambil tertawa.
Sherine hanya mengangguk sopan. Ia belum mengenal keluarga itu dengan baik. Namun sorot mata Tante Jahanara, meski ramah, terasa... menilai. Seolah sedang mengukur siapa Sherine sesungguhnya.
MC kembali memanggil keluarga untuk sesi foto bersama pengantin.
“Pak Dewa, saya juga hampir gagal fokus lihat istri Bapak. Luar biasa,” canda MC, yang lagi-lagi membuat seisi ruangan tertawa.Sherine hanya tersenyum tipis.Sementara Dewa gelagapan. Ia menarik napas panjang, berusaha mengendalikan degup jantung yang semakin liar.
Langkah awal telah dimulai. Dua orang asing, berdiri di altar kehidupan, saling menyembunyikan kebenaran yang tak bisa diungkap.
Malam menjelang. Hotel tempat mereka menikah telah menyiapkan kamar penganti secara khusus. Ranjang didekorasi dengan kelopak mawar dan lampu remang romantis.
Tirai putih melambai lembut di tiupan angin malam yang masuk dari balkon ber-view kota.
Sherine masuk ke kamar pengantin mereka, menyeret gaunnya yang menjuntai. Matanya berbinar penuh kekaguman.
“Wow… ini indah sekali. Terlalu indah dan... mahal,” ujarnya dengan senyum kagum. Ia menelusuri dinding kamar, jemarinya menyentuh ornamen klasik dan cahaya lilin yang memantul di kaca.
Dewa berdiri di belakangnya. “Kamar ini memang dirancang khusus,” jawabnya singkat, mencoba tetap tenang.
Sherine tertawa kecil. “Ini seperti adegan film. Romantis banget.”
Dewa hanya menatap. Ia mengedip pelan, lalu membuang pandangan ke arah lain. Tapi sesungguhnya, pikirannya tak lagi bisa dikendalikan.
Kecantikan Sherine... tubuhnya... caranya tersenyum... semuanya mengusik sisi maskulinnya.
Bayangan liar mulai bermain di kepala Dewa. Ia membayangkan Sherine mendekat, ia memeluk pinggang ramping itu, lalu membenamkan ciuman di bibir manis yang sejak tadi menantang pikirannya.
“Pak Dewa?” suara lembut itu menyadarkannya.
“Hm? Apa?”
“Saya mandi dulu, ya.”
“I—iya. Tentu,” ucapnya gugup.
Sherine tersenyum manis. Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi, lalu dengan tenang mulai membuka kancing belakang gaunnya. Dewa sempat menangkap punggung mulus yang tersingkap.
Ia buru-buru membalik badan, wajahnya memanas. Pintu kamar mandi tertutup, dan suara air mengalir mulai terdengar. Dewa menelan ludah. “Ya Tuhan... kenapa jantungku berdetak dua kali lebih cepat?”
Tiba-tiba...
“Aaaa!!! Pak Dewa!!!”
Suara teriakan Sherine menggema dari dalam kamar mandi.Dewa langsung menoleh panik. “Sherine?!”
Setelah makan siang bersama, suasana meja makan terasa hangat, namun Dewa belum sepenuhnya lepas dari kekakuan. Sherine masih terlihat menjaga jarak dengannya, sedangkan Thamara tampak sangat menikmati kebersamaan mereka.Selesai membereskan piring, Thamara memanggil putranya. “Dewa, Mama mau bicara sebentar sama kamu di ruang tamu.” Nada suaranya tegas, tapi lembut.Dewa menurut. Ia berjalan di belakang ibunya, melirik sekilas ke arah Sherine yang sibuk bersama Una di dapur. Begitu tiba di ruang tamu, Thamara duduk di sofa elegan berlapis kain beludru, menyilangkan kaki dengan anggun, lalu memandang putranya lekat-lekat.“Mama tahu, kalian nggak lama pacaran, bahkan hampir nggak ada waktu untuk benar-benar saling mengenal sebelum menikah,” Thamara membuka pembicaraan. “Tapi Mama bisa lihat satu hal… kalian saling mencintai.”Dewa terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi menghunjam. Entah mengapa ia merasa sulit mengelak. Namun hingga saat ini ia masih belum bisa mengakui pe
Sherine dan Thamara tampak sibuk menata hidangan di meja makan. Aroma masakan yang baru matang memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di ruang makan megah itu. Piring demi piring ditata rapi, gelas kristal berkilau terkena pantulan cahaya lampu gantung.Dewa yang baru saja masuk ke ruang makan menghentikan langkahnya sejenak. Ada rasa asing tapi nyaman di dadanya melihat dua wanita itu—istrinya dan ibunya—tertawa kecil sambil berdebat manis soal letak piring dan hiasan salad."Aku bantu, ya?" ucap Dewa sambil tersenyum, lalu mengambil salah satu piring hidangan untuk ia letakkan di meja.Sherine sempat menatapnya sekilas, tatapan yang singkat namun sarat makna. Namun, sebelum Dewa sempat membalas dengan senyum, Sherine sudah mengalihkan pandangan, kembali sibuk mengatur sendok dan garpu. Masih ada sisa jarak di antara mereka, jarak yang mungkin lahir dari peristiwa semalam.Rama ikut masuk, langsung menawarkan bantuan. Dengan cepat ia mengatur gelas-gelas dan memindahkan beberapa
Mobil hitam berlogo elegan itu berhenti mulus di depan halaman rumah mewah keluarga Hadisetyo. Pintu belakang dibuka oleh Rama, dan Dewa melangkah keluar dengan jas masih dikenakan setengah bahu dan dasi sedikit longgar—tanda bahwa pikirannya belum juga tenang.Langkahnya cepat, nyaris seperti terburu. Matanya menyapu halaman depan, lalu ke teras—tak ada tanda-tanda kehadiran Sherine di sana. Rasa cemas yang selama perjalanan tadi ia coba tahan mulai merayap kembali."Di rumah nggak ada siapa-siapa, Pak?" tanya Rama ragu dari belakang.Dewa menggeleng kecil. “Entahlah...”Tanpa menjawab lebih lanjut, ia melangkah ke dalam rumah. Baru saja menapakkan kaki di area ruang tengah, Bi Lilis muncul dari arah dapur sambil membawa seikat daun seledri."Bi Lilis," panggil Dewa cepat.Perempuan paruh baya itu sedikit tersentak, namun segera tersenyum sopan. "Eh, Pak Dewa. Sudah pulang, Nak.""Bu Sherine di mana?" tanyanya langsung."Oh, Nyonya besar sama Bu Sherine sedang masak di dapur, Pak."
Sherine turun dengan langkah tenang, menyembunyikan kecamuk hati yang sejak pagi tak kunjung reda. Saat kakinya menyentuh anak tangga terakhir, ia mendapati sosok anggun duduk dengan sikap santai namun elegan. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul Prancis, coat krem berpotongan ramping membalut tubuh semampainya, dan kalung mutiara melingkar manis di leher jenjangnya. Aura sosialita tak hanya tampak dari pakaian, tapi dari caranya duduk, tersenyum, dan bahkan sekadar memutar cangkir teh.Thamara Paramitha Soedono, ibunda Dewa. Sosok yang disegani di kalangan sosialita, pemilik butik high-end dan donatur tetap di berbagai acara amal besar.Sherine segera menghampirinya dan membungkuk sopan sebelum memeluknya."Mama, kok nggak bilang mau ke sini? Saya bisa siapkan masakan dulu atau sesuatu untuk Mama," ucap Sherine lembut, matanya tulus dan penuh hormat."Ahhh, sayang… Mama sengaja bikin kejutan buat kamu dan Dewa. Tapi kata Una, Dewa hari ini malah pergi bekerja," sahut Thamara sambil me
Di apartemennya yang mewah di New York, langit malam mulai berganti dengan warna tembaga matahari terbit. Veneza berdiri di depan jendela besar, mengenakan kimono sutra berwarna ivory, menatap langit dengan tatapan gelisah.Tangannya menggenggam ponsel, namun layar itu tetap gelap—Dewa tak kunjung membalas.“Sudah tiga hari… dan dia belum menjawab satupun pesanku,” gumamnya, suara pelan namun tajam. Ia mengusap wajahnya, frustasi.Ponsel itu dilemparkannya ke atas sofa. Pikiran cemburu mulai membakar hatinya, apalagi sejak berita pernikahan Dewa dan Sherine muncul di media.“Dia terlalu cantik…” lirih Veneza, saat melihat salah satu foto Sherine yang terpampang di layar tablet. Mengenakan kebaya pastel, senyumnya tenang… dan itu membuat hatinya semakin tidak tenang.Ia tak bisa menahannya lagi. Dengan nada tegas, ia memanggil asistennya, “Marry, carikan penerbangan paling awal ke Jakarta. Aku akan ke sana hari ini juga.”Marry terkejut. “Miss, Anda yakin ingin pergi tanpa memberitahu M
Cahaya pagi menembus tirai kamar dengan lembut, membiaskan siluet dua tubuh yang terbungkus selimut putih. Sherine duduk membelakangi Dewa, punggungnya tegak tapi matanya sayu. Di sampingnya, Dewa baru saja membuka mata. Sorotnya kosong sejenak sebelum menyadari kenyataan di hadapannya.Tubuh Sherine.Hangatnya masih terasa di sisi ranjang.Dewa bangkit perlahan. Jemarinya, entah karena naluri atau penyesalan, menyentuh pelan punggung Sherine—hangat dan gemetar. Sherine tersentak, langsung menarik tubuhnya menjauh.“Pak Dewa!” serunya pelan, panik, tak siap menghadapi pagi ini.“Good morning...” ucap Dewa dengan suara serak, mencoba tenang meski jantungnya berdegup kencang.Sherine hanya diam. Napasnya tak stabil. Ia menarik selimut lebih tinggi, seolah ingin menyembunyikan luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang tak tertutup.Dewa duduk di sisi tempat tidur, memandang wanita itu yang kini terlihat seperti bayangan dirinya sendiri—hancur, diam, tapi tegar.“Aku minta maaf... unt
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments