Vita kini menepikan mobilnya tepat di depan rumah Alvira, rumah dengan nuansa putih bersih itu tampak sepi. Alvira keluar dari mobil Vita tidak lupa ia mengucapkan terima kasih. Setelah Alvira keluar vita kembali menacapkan gasnya meninggalkan pelataran rumah Alvira. Alvira berjalan masuk ke dalam rumah.
“kenapa vitanya nggak disuruh masuk sayang?” tanya Alea
“Sudah sore bu,” jawab Alvira lalu bergabung bersama ibu Alea di ruang tengah.
“Sayang ibu mau bicara sama kamu,”ujar Alea menatap manik mata anaknya dengan intens.
“Bicara aja kali bu, biasanya juga langsung ngomong,” jelas Alvira.
Alea diam ia menarik nafasnya dan membuangnya secara kasar, melihat ibunya yang serius Alvira mengerutkan keningnya bingung. Ia pun menunggu ibunya untuk mulai berbicara.
“Gini tadi kevin ke sini bersama keluarganya,” ucap Alea.
Alea sengaja menjeda pembicaraannya ingin melihat reaksi anak sulungnya itu gimana pun ia tidak ingin membuat anaknya terluka.
“Kevin melamar kamu, ia bersama kedua orang tuanya datang untuk melamar kamu tadi.Tapi ibu tidak memberi jawaban kok, semua keputusan ada sama kamu. Ibu akan mendukung kamu apa yang menurut kamu terbaik.” papar Alea dengan lembut sambil membelai rambut hitam Alvira.
Alvira tampak diam ia mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Alea.
"Biar nanti aku yang bicara sama Kevin ya bu,” jawab Alvira mencoba untuk tetap tenang.
“Kamu pikirkan betul-betul yang tebaik buat diri kamu ya sayang,” lanjut Alea lagi.
Alvira hanya mengagguk,” aku ke kamar dulu yah bu, mau siap-siap kerja,” pamit Alvira.
Alvira beranjak dari tempat duduknya menuju kamarnya, Selama perjalanan menuju kamar otaknya kembali mengingat masa-masa dirinya bersama kevin. Gimana pun kevin pernah ada di hatinya dan kevin telah banyak membantunya. Tapi setelah Alvira mengingat lagi penghiatan yang dilakukan Kevin, ia menutup kembali hatinya rapat-rapat. Tidak ingin terus memikirkan Kevin, ia pun segera masuk kamar mandi yang masih berada di dalam kamarnya. Alvira ingin mandi dan bersiap untuk kerja di kafe.
Tidak membutuhkan waktu yang lama Alvira mandi, selesai mandi ia pun segera memakai pakaian dan mengaplikasikan make up naturalnya lalu mengambil sling bag miliknya. Alvira keluar dari kamar mencari sang ibu untuk berpamitan.Ternyata yang dicari masih berada di ruang tengah sedang menonton televisi.
“Aku pergi dulu yah bu,” pamit Alvira sambil mencium punggung tangan Alea.
“Hati-hati sayang," jawab Alea.
Alvira pun mengangguk lalu mengeluarkan ponselnya untuk memesan ojol. Alvira menunggu di teras rumahnya, sepuluh menit kemudian abang ojolnya datang.
“Neng Vira yah?” tanyanya.
“Iya bang,”sahut Alvira yang sudah berdiri di samping ojol.
“Sesuai aplikasi kan non?” tanyanya balik.
“Iya bang,” sahut Alvira lalu naik ke atas motor.
Abang ojolnya pun memberikan helm untuk Alvira pakai, Karena kafe dan rumah Alvira tidak jauh jadi hanya sekitar lima belas menit saja sudah sampai.
“Nih bang,” ucap Alvira sambil menyodorkan uang untuk pembayarannya.
“Kembaliannya ambil aja bang,” lanjut Alvira lagi, lalu pergi meninggalkan abang ojol tidak lupa ia menyerahkan helmnya.
“Makasih neng,” teriak bang ojolnya.
Alvira masuk ke kafe, saat sudah di dalam kafe terlihat sudah ramai pengujung. Doni sedang sibuk melayani customer.
“Maaf gua telat,” ucap Alvira saat sudah berada di meja bar melihat Doni membuat kopi.
“Enggak papa kok,” sahut Doni sambil melihat jam yang tergantung di dinding.
“Lo lanjut gua mau pergi dulu yah,” titah Doni menyerahkan cup yang akan diisj oleh kopi.
Alvira mengangguk, kini ia sudah memakai apron untuk mulai aktifitasnya di kafe. Alvira begitu cekatan melayani para tamu kafe. Kafe yang memang tidak besar itu hanya mempekerjakan beberapa orang saja sesuai kebutuhan. Pengujung kafe adalah anak muda semua, para pasangan atau para kumpulan anak-anak muda.
Saat sedang asyik membuat kopi, Alvira mendengar suara seperti tidak asing di telinganya. Ia pun mendongakkan wajah guna melihat siapa yang sedang berbicara.
Deg...
Jantungnya terasa berhenti, orang yang tadi ada di pikirannya kini berada di depan matanya. Alvira berusaha untuk bersikap biasa saja ia tidak mau terlihat gugup di mata kevin. Setelah sebulan lamanya iya tidak bertemu kevin setelah ia mengetahui penghiatan yang dilakukan kevin, kini Kevin berada di depannya. Tampilan kevin sedikit berubah ia terlihat sangat tampan, gimana pun hati Alvira masih menyimpan sedikit rasa untuk Kevin.
“Hemmmm...," dehem Kevin.
Deheman kevin membuyarkan lamunan Alvira.
“Eh, mau pesan apa?” tanya Alvira yang mencoba menutupi kegugupannya.
“Seperti biasa, kamu tidak lupa kan minuman favorit aku di sini,” jawab Kevin setenggah menggoda dengan mengangkat kedua alisnya.
Alvira langsung saja membuatkan minuman untuk Kevin, selesai ia buatkan langsung disodorkannya kepada Kevin.
“Gua tunggu lo di sini yah, nanti kita pulang bareng,” ajak Kevin, to the point.
“Enggak usah gua lama, lo kalau mau pulang, duluan aja,” jawab Alvira.
Tapi Kevin tidak menghiraukan jawaban Alvira.
Kevin ingin membicarakannya kembali dengan Alvira. Alvira awalnya menolak terus untuk ditungguin Kevin karena ia masih belum siap membicarakan semuanya. Tapi Kevin tidak mau mendengar alasan dari Alvira, ia tetap duduk di kursi yang berada di pojokan kafe, memandang dari jauh Alvira bekerja.
Pada akhirnya Alvira membiarkan Kevin duduk menikmati coffe latenya. Sambil bekerja Alvira menyusun kata-kata untuk dia sampaikan pada Kevin nantinya agar ia menyetujui untuk menunggunya hingga lulus nanti. Bagaimanapun ia tau wataknya Kevin yang sangat keras kepala dan tidak mau ditentang apa yang menjadi keinginannya.
Alvira tengah membersihkan peralatan yang kotor, tiba-tiba Doni datang dan mengambil ahli kerjaan Alvira.
“Lo kenapa, tumben banget ditungguin lagi, udah balikkan?” tanya Doni yang baru saja datang dan melihat Kevin sedang duduk.
“Ih ogah gua balikkan sama dia,” sahut Alvira.
“Jangan gitu entar jodoh baru tahu,” balas Doni yang masih berada diri di samping Alvira.
“Dia ngelamar gua,” ceplos Alvira.
“What?” teriak Doni tepat di telinga Alvira membuat Alvira reflek memukul lengannya.
“Lo bisa pelan nggak sih," ucap Alvira sedikit kesal.
"Maaf,” lirih Doni sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Selamat ya, harusnya lo senang bukan malah murung gini. Kan dilamar sebentar lagi gua mau punya ponaan dong,” seru Doni, tapi langsung didamparat lagi oleh Alvira.
“Keponaan lambe mu, gua nggak mau nikah sama dia ah. Ini malah gua cari alasan biar dia nggak jadi nikahi gua,” jelas Alvira.
Doni mengangguk ia mengerti, kenapa Alvira tidak ingin dinikahi oleh Kevin. Karena saat Alvira terpuruk akibat penghiatan itu Doni ada bersama Alvira. Doni juga tampak berpikir untuk membantu sahabatnya itu.
“Gini aja suruh dia nunggu lo sampai lulus kuliah dan menjadi seorang dokter, nanti setelah itu kita pikirkan lagi kelanjutannya,”ucap Doni.
“Itu juga yang tadi gua pikirkan,” jawab Alvira.
“Lo pulang aja udah, sudah ditungguin dari tadi,” usir Doni.
“Tapi ini kan kerjaan ku belum selesai,” protes Alvira.
“Biar gua yang lanjuti kayanya ada hal yang serius yang mau dibicarakannya tuh," jawab Doni sambil menunjuk keberadaan Kevin dengan dagunya.
“Dulu juga dia sering nunguin gua kaya gitu,” acuh Alvira.
"Itu dulu lain ceritanya sekarang, udah sana pergi," Doni mengibaskan kedua tangannya di depan Alvira.
“Ih apaan sih lo, Ya udah kalau gitu gua pergi dulu, makasih,” pamit Alvira yang langsung melepaskan apron yang menempel di tubuhnya lalu diberikan pada Doni.
Ia jalan mendekat ke arah Kevin.
“Sudah selesai?”tanya Kevin yang melihat Alvira sudah tepat di sampingnya.
“Sudah, ayo,” ajak Alvira.
Mereka pun meninggalkan kafe LAIN, Kevin melajukan mobilnya membelah jalan raya yang sudah tampak sedikit sepi karena juga malam sudah hampir larut. Kevin tidak langsung memulangkan Alvira ia membelokkan mobilnya di daerah pantai. Alvira mengerutkan keningnya bingung dengan ajakan Kevin. Ia pun mengikuti Kevin turun dari mobil. Mengikuti ke mana kaki Kevin melangkah, mereka kini tidak jalan berdampingan melainkan Alvira yang berjalan di belakang Kevin. Tidak ada hal-hal yang romantis yang dilakukan Kevin seperti dulu saat belum adanya perselingkuhan.
BERSAMBUNG....
Alvira mencuri pandang pada Kevin, seandainya Kevin tidak berselingkuh mungkin ini adalah kabar yang paling mengembirakan untuk dirinya. Ia juga ingin menolak secara langsung tidak bisa karena Kevin telah banyak membantunya, Kevin juga yang sudah membantu keuangannya saat ingin membeli rumah yang sekarang ia tempati bersama ibu dan juga adiknya. Saat itu Alvira ingin menyicilnya namun Kevin menolaknya. Sekarang ia hanya akan mencari alasan untuk memperlambat acara pernikahannya. Setelah ia berhasil mengumpulkan uang banyak ia akan membayarnya pada Kevin biar dirinya tidak berhutang budi. Mengingat uang, ia pun belum tau apa bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Soalnya kuliahnya saat ini pun memerlukan banyak biaya. "Apakah ayah masih mau memberikan aku uang?" batin Alvira yang mengingatkan kalau dirinya susah untuk bertemu sang ayah. “Silahkan duduk,” titah Kevin dengan suara lembutnya sambil menarik kursi yang ada di depan. Alvira hanya mengikuti saj
Reiki mengikuti langkah Daffin, Sampainya di basement pak Budi sudah siap di dalam mobilnya. Jika Daffin lembur dua orang inilah yang selalu menemaninya dan terpaksa ikutan untuk lembur juga. Jalanan kota Jakarta sudah tampak lenggang, jam sudah menunjukkan pukul 12:22. Hanya untuk menghasilkan produk yang terbaik Daffin rela untuk lembur hingga dini hari, jika tidak mengingat anak buahnya ia akan lembur hingga pagi menjelang. Pak Budi sopir pribadi Daffin mengantarkan Daffin lebih dulu ke apartementnya barulah ia mengantar Reiki dan terakhir barulah ia pulang ke rumah. Daffin memilih tinggal di apartement karena ia ingin sedikit bebas dan tidak terus di tanya oleh sang mami soal calon pendamping hidup. Apartment yang terletak di daerah semanggi memiliki fasilitas yang cukup memuaskan untuk penghuninya. Dengan menggunakan private lift Daffin sudah sampai di dalam apartemantnya. Ia meletakkan jas dan juga tasnya di sembarang tempat, ia menghempaskan bo
Arka akan bertanya pada seketaris ke mana uang yang selama ini disuruhnya mengirim ke anak-anaknya. “Maafkan ayah ya sayang,” ujar Arka lagi dengan perasaan yang sangat bersalah, sambil mengenggam tangan Alvira. Arka benar-benar merasa bersalah pada anak-anaknya, kali ini dirinya akan bersikap tegas. Sudah cukup ia mengalah pada Maya. Arka langsung mengambil dompetnya dan memberi salah satu kartu debitnya pada sang putri. “Simpan itu untuk keperluan kalian,” ucap Arka. “Tapi yah, ini terlalu banyak.” Protes Alvira yang tau kalau isi di dalamnya pastilah sangat banyak. “Itu untuk ibu mu, dan uang untuk biaya kuliahmu nanti akan ayah kirim lagi, sebenarnya tiap bulan ayah mengirimkan kalian uang melalui seketaris ayah. Tapi tampaknya uang tersebut tidak dikirim ke kalian, nanti ayah akan menanyakannya,” jelas Arka. "Untuk kartu itu, itu milik ibu mu yang waktu itu ayah ambil dan sekarang ayah ingin mengembalikannya. Maafkan ayah ya sudah
Sebulan sudah berlalu kini Alvira dan Vita sudah menyandang gelar S.ked. Namun mereka belum bisa menjadi seorang dokter sungguhan masih ada beberapa tahapan lagi yang harus mereka jalani. Salah satunya melakukan koas. Koas atau dokter muda adalah tahapan mereka menjalani kegiatan di rumah sakit dengan dokter pembimbing. Mereka akan menjalani koas selama 1,5 tahun atau bisa menjadi 2 tahun lamanya. Selama menjalani koas mereka akan mendampingi dokter senior untuk memeriksa pasien dalam segala macam penyakit. Mereka pun harus mau untuk berjaga malam. Karena itu merupakan sebagian dari tugas dokter. Alvira dan Vita mendapatkan rumah sakit yang sama. Rumah sakit tempat mereka melakukan koas adalah pilihan dari kampusnya. Alvira begitu bersyukur karena ia bisa mengikuti koas, seperti apa yang dicita-citakannya. Walaupun belum menjadi dokter sungguhan tapi ini adalah tahapan di mana ia bisa langsung berhadapan dengan seorang pasien. Menolong mereka dengan i
Tibalah sudah hari Sabtu di mana Kevin membawa Alvira menemaninya untuk menghadiri acara bisnisnya. Kevin memberhentikan mobilnya tepat di depan hotel di mana acara itu diadakan. Seperti pasangan kekasih pada umumnya Kevin membukakan pintu mobil untuk Alvira, lalu ia menyerahkan kunci mobilnya oleh petugas. Mereka berjalan menuju ballroom hotel sambil bergandengan tangan. Keduanya begitu tampak serasi. Mereka disambut hangat oleh usher. Usher merupakan orang-orang yang ditunjuk untuk menerima tamu. Mereka mengarahkan Kevin dan juga Alvira untuk duduk di kursi yang telah disediakan. “Wah, ada yang ditemani nih,” ujar rekan bisnis Kevin sambil melirik Alvira yang berada di samping Kevin. Kevin hanya tersenyum menanggapinya. Kevin pun terlibat percakapan serius, percakapan seputaran bisnis. Al
Karena yang dicarinya tidak ketemu Daffin kembali ke meja yang terdapat papi dan maminya di sana. “Liat tuh para sahabat kamu pada bawa gandengan, kamu kapan Daffin?” tanya mami penuh penekanan, sambil melirik orang-orang yang berada di sekitar mereka. “Sabar mi, nanti juga kalau sudah waktunya pasti Daffin kenalkan sama mami,” ucap Daffin. “Iya tapi waktunya itu kapan?” “Apa kamu sudah ada cuman nggak mau dikenalkan sama mami?” tanya Shela lagi. “Jodoh Daffin masih dijaga orang nih,” celetuk Daffin asal. “Apa?” tanya Shela yang menang tidak mendengar ucapan Daffin karena Daffin mengucapkannya sangat pelan. “Enggak mi, bukan apa-apa.” Selesai acara Daffin beserta papi dan maminya meninggalkan tempat acara. Dengan menggunakan mobil masing-masing mereka berpisah di basement hotel. Daffin masih ditemani oleh Reiki dan pak Budi. “Langsung ke apartemen aja ya pak!” titah Daffin. Pak Budi hanya mengangguk seba
Papi Ahmad membuka pintu ruang Shela, ia langsung berjalan mendekat mami. Duduk di sisi mami Shela sambil membelai rambut Shela dengan lembut. “kenapa kamu nggak bilang sakit parah seperti ini?” Lirih Ahmad, ia sudah tidak kuasa menahan air matanya agar tidak jatuh. Air mata itu menetes perlahan, Daffin yang mengetahuinya langsung mendekat ke arah sang papi mencoba untuk menenangkan. Kini mereka saling berpelukan mencoba untuk menguatkan diri. “Apa kita bawa mami ke Singapura aja ya?” tanya Ahmad pada putra satu-satunya itu. “Kalau itu yang terbaik kenapa tidak, tapi sepertinya kita harus menunggu mami benar-benar stabil dulu, baru kita bisa membawa mami,” jawab Daffin. Ahmad menyetujui ucapan Daffin. Mereka pun kembali diam sambil menatap wajah Shela yang pucat. Pikiran Ahmad kini kembali pada adik satu-satunya yang telah lama dipanggil yang maha kuasa. Sama seperti sekarang, waktu itu Ahmad juga lah yang menemani adiknya di rumah sakit sampai
Papi Ahmad tidak bisa menghentikan tangisnya. Tangisnya begitu pecah saat mengetahui kalau sang istri tidak ingin membuat dirinya susah dan bersedih. “Mami kenapa bilang seperti itu, mami nggak nyusahin papi kok,” ucap Ahmad disela-sela tangisnya. “Kita berobat ya mi, mami harus sembuh,” sambung Daffin yang masih berada di samping Shela. “Iya mami mau berobat, untuk kalian,” sahut Shela sambil menatap dua orang kesayangannya. Mereka bertiga saling berpelukan mencurahkan kasih sayang satu sama lain. “Mami boleh minta permintaan nggak sama kamu?” Ucap Shela pada Daffin. Daffin tampak bingung ia mengerutkan keningnya,” Mami mau apa?” tanyanya kemudian. “Mobil, tas, pergi liburan, Semua bakal Daffin turuti asal mami bahagia dan cepat sembuh ya,” lanjut Daffin kemudian mencium punggung tangan Shela. Shela menggelengkan kepalanya. Daffin dan papi Ahmad saling bertatapan tidak mengerti apa yang ingin mami Shela m