Home / Rumah Tangga / 100 Hari Bilang Sayang / Bab 3 - Unconditional First Meeting

Share

Bab 3 - Unconditional First Meeting

Author: Ekayaki
last update Huling Na-update: 2022-06-12 18:40:57

Hari pembukaan telah dimulai. Yup, bertepatan dengan hari Sabtu di bulan Oktober akhir. Semua peserta yang terdiri dari guru se-Indonesia mulai memasuki kawasan kampus tersebut, termasuk Aku. Beberapa mahasiswa menyambut dan membagikan sebuah road map untuk membantu peserta pelatihan menyusuri kampus. Di satu sisi, para panitia mulai sibuk bersiap-siap, antara lain Alvaro dan Denias. Mereka berdua tengah kebingungan mencari keberadaan Prabu yang belum nongol di Balairung Hastinapura.

"Varo, nih anak satu dimana sih? Jam segini belum nyampe! Awas lo kalau telat Prab!" keluh Denias kepada Alvaro yang kesal dengan Prabu yang belum datang saat acara genting.

"Paling nih anak kebanyakan pacaran sama motornya nih." keluh Alvaro.

Padahal, sebenarnya Prabu tengah mengendarai motornya terjebak macet karena ada pohon tumbang di jalan yang sering ia lewati. Akhirnya, ia memutuskan untuk putar arah dan mencari jalan alternatif lain karena terburu-buru. Dan setelah beberapa waktu, akhirnya Prabu dan motornya sampailah memasuki gerbang masuk kampus Universitas Pandawa. Namun, disinilah hal yang tidak mengenakan terjadi.

Seorang wanita paruh baya yang merupakan peserta pelatihan berumur 52 tahun, baru saja keluar dari toilet yang ada di samping pos satpam dan hendak menyebrang menuju ke rombongan peserta yang lain. Karena agak jauh berjalan dan tidak ingin kecapekan memutar arah, ia memutuskan untuk memotong jalan. Dihadapannya, ada dua jalan. Satu jalan yang berisi rombongan peserta tetapi agak jauh. Satu jalan lagi, yang tepat dihadapan Ibu tersebut jalannya masih sepi. Karena ia berpikir jalan itu boleh dilewati, maka dengan nekatnya ia menyebrang jalan tersebut yang sekiranya lebih efektif.

Saat ia menyebrang di jalan yang pertama, tiba-tiba dari arah kiri ada sepeda motor yang melaju dengan kencang. Karena muncul secara tiba-tiba, sontak membuat pengemudi itu mengerem mendadak yang menimbulkan suara decitan ban yang sangat keras sampai meninggalkan bekasnya di aspal. Wanita tersebut pun kaget dan akhirnya jatuh. Hal itu membuat rombongan yang sedang berjalan pun terhenti dan melihat kejadian tersebut. Namun, panitia acara yang berada di sana meminta peserta untuk segera memasuki Balairung dan memanggil satpam terdekat untuk mencairkan suasana.

Pengendara motor itu kemudian berhenti dan mengecek keadaan motornya. Untungnya, motornya tidak terjadi apa-apa. Dengan marah, ia akhirnya membuka helm dan ternyata pengendara tersebut adalah Prabu. Dengan emosi, ia menghampiri wanita paruh baya tersebut.

"Eh, bu! Bisa baca gak sih!" kata Prabu yang marah sambil telunjuknya menunjukkan papan pemberitahuan yang ada di dekat pos satpam bahwa jalanan tersebut khusus untuk dilewati dosen.

"Ini, jalan khusus kendaraan dosen Pandawa. Anda paham? Untung saja saya tadi ngerem, kalau gak bakal panjang urusannya. Ibu sengaja ya! biar saya menabrak Ibu?" Prabu dengan nada tingginya yang membuat wanita itu mulai ketakutan.

"Ma... maa... maaf, nak. Ibu tidak tahu." kata wanita itu sambil ketakutan.

"Asal ibu tahu ya, kalau pun terjadi lecet atau rusak pada motor saya! Bakal saya minta ganti rugi!" kata Prabu yang mengancam.

Wanita tua itu terbelalak dan napasnya mulai tidak teratur. Prabu melihat surat undangan yang jatuh. Surat undangan tersebut milik Ibu itu. Baru disadari oleh Prabu ternyata wanita tua tersebut merupakan peserta pelatihan yang tak lain adalah guru.

"For your information, lagi pula ibu mau ganti rugi motor saya juga gak bakalan mampu. Gaji ibu tidak cukup untuk membereskan itu semua, apalagi seorang G.U.R.U." kata Prabu yang mulai menyindir dengan ketus.

Wanita tersebut tambah ketakutan dan beberapa kali meminta maaf sambil bersimpuh. Prabu seperti di atas angin. Karena sikap Prabu sudah keterlaluan, yang membiarkan wanita paruh baya ini bertekuk lutut di depan Prabu dengan notabene lebih muda. Aku yang lewat melihat kejadian tersebut, merasa muak dan akhirnya mengambil alih. Aku berlari menuju ke arah Prabu dan menolong wanita itu berdiri.

"Bu, Anda gak papa?" kataku sambil membantu wanita tersebut.

"Mbak, ngapain bantu dia!" kata Prabu membentak.

"Mas, bisa sopan gak sih ngomongnya sama orang tua!" tegasku.

Pria itu kemudian melirik sinis padaku dengan tatapan emosi.

"Lagian juga ibu ini sudah meminta maaf, sudahlah jangan diperpanjang lagi," pintaku untuk segera mengakhiri perdebatan.

"Ibu ini, saya dan kami semua yang di sini lagi pertama kali ke sini lho mas, ya wajar dong kalau belum tahu daerah sini," kata Eka menambahkan. Emang harus dijelasin ya?

"Dan juga, Mas kan dosen. Bukankah dosen dan guru itu sama. Intinya kan jobdesk sama-sama pengajar, memberikan ilmu. Cuman beda penempatan sama gelar aja yang berbeda!" tegasku yang tidak terima perkataan Prabu yang cenderung membanding-bandingkan. Kalau perlu Farel Prayoga aku undang buat nyanyi di depan mukanya.

"Lo gak usah ikut campur ya!" kata Prabu yang marah sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Namun, Aku yang kesal dengan sikapnya tidak takut ditatap olehnya. Karena diriku paling benci dengan kesombongan dari Pria itu.

Tak lama, satpam pos kampus datang menghampiri dan melerai permasalahan yang ada. Akhirnya, Prabu memilih pergi dengan motornya karena Denias menelpon untuk segera kumpul.

"Ibu beneran gapapa?" tanyaku yang khawatir.

Wanita tersebut memberikan senyuman sebagai penanda baik-baik saja dan menyampaikan rasa terima kasihnya karena sudah membantunya. Akhirnya, kami berdua berjalan bersama menuju ke balairung.

"Oh iya, panggil saya ibu Sri ya. Saya mengajar di SD Negeri Banjarmasin." kata wanita itu selama di jalanan.

"Perkenalkan saya Eka bu, dari Kendal. Saya mengajar di MTs." jawabku yang sangat menghormati Bu Sri yang lebih senior.

Kami pun akhirnya berkenalan dan berjalan bersama menuju ke Balairung, karena acara sebentar lagi akan dimulai. Saat masuk ke Balairung dan mengisi daftar hadir, mereka pun akhirnya duduk  terpisah karena sudah di plot bangkunya per jenjang sekolah.

Di balik layar, Denias dan Alvaro menunggu Prabu yang tidak segera muncul. Alvaro menanyakan apakah Denias sudah menghubungi Prabu, karena acara segera dimulai dalam beberapa menit lagi. Tak lama, Alvaro dipanggil oleh panitia lain untuk membantu. Alvaro tak bisa berkutik lagi. Ia meminta Denias yang bertugas menunggu Prabu. Setelah itu, ia berpamitan dan berjanji akan menemuinya lagi. Denias yang pasrah, akhirnya pergi menuju ke parkiran dosen.

Rombongan Menteri Pendidikan memasuki gerbang kampus Universitas Pandawa dengan penjagaan yang ketat. Tak lama Denias menunggu, terdengar suara motor yang menghampirinya. Prabu sudah tiba! Denias menghampirinya dan mulai mengomelinya yang telat.

"Lo nih! kebanyakan pacaran sama motor. What happened with you bro? Nih dah mau mulai acaranya!" Denias yang mengeluh.

"Sorry bro, gue tadi ada insiden kecil. Nanti gue jelasin di dalam." jawaban Prabu yang kemudian mengambil kontak dan melepas helmnya. Ia menenangkan Denias yang mulai panik, dan akhirnya mereka berdua bergegas menuju Balairung Hastinapura.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 50 - Tak Tahu Diri

    Setelah satu jam berurusan dengan Bank, akhirnya hutang Ibuku lunas ! Tak lama Paman Yanto menghubungiku. Kebetulan ia berada di bank daerahnya. Ia begitu kaget bahwa aku bisa mengembalikan uang seratus juta kepadanya. Tak lama percakapan kami dipotong oleh Eyang yang merebut ponselku. Nada bicaranya mulai berubah kepada anak kesayangannya. Tak lama, panggilan pun ditutup.“Bagaimana Eyang, sudah puas kan?” tanyaku dengan culas.Eyang hanya terdiam, kemudian pertikaian kami dihentikan oleh Kakek. Akhirnya kami pulang bersama.Sesampainya di rumah, aku menyuruh Reza untuk membawa Ibu ke kamarnya karena butuh istirahat. Ia kemudian menuntun Ibu ke kamarnya. Kemudian, kakek menghentikanku dan mengajakku bicara.Di ruang tamu, Kakek dan Eyang duduk berhadapan denganku.“Bagaimana kamu bisa mendapatkan uang sebesar itu ?” Tanya kakek yang begitu tak percaya.Aku terdiam awalnya, tapi Eyang masih saja berpikir negatif tentangku.“Kamu gak mungkin kerja bareng om-om kan? Tahu gak mas, itu te

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 49 - Pertaruhan

    Aku benar-benar bisa gila. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat nominal sembilan digit ini di dalam rekeningku. Paling maksimal saja cuma tujuh digit saja. Tak pernah lebih dari itu. Harus ku apakan semua uang ini. Karena terlalu banyak berpikir, tukang ojek yang aku pesan memintaku untuk segera membayarnya karena ia akan lanjut mengambil orderan. "Baik Pak, maaf sebentar lagi ya," balasku.Ia pun menuruti. Aku mulai menjernihkan pikiranku. Dan segera mengatur anggaran yang harus dikeluarkan. Manakah yang anggaran yang paling urgensi dulu. Setelah aku pertimbangkan."Bayar biaya rumah sakit, setelahnya melunasi hutang Ibuku dahulu. Sip!" Kemudian aku mengambil uang sebesar satu juta untuk keperluan Ibuku selama di Rumah sakit. Setelah itu, membayar segala administrasinya secara kontan."SERRRR .... KLEKK" bunyi ATM yang melakukan transaksi. Uang lembaran seratus ribu keluar dari mulut mesin itu. Setelah ku rasa nominalnya sudah benar, aku kemudian keluar dan membayar tagihan oje

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 48 - Signed

    Matanya mengeluarkan aura yang sangat tajam. Kali ini ia tidak boleh ada kata GAGAL, agar bisa mempertahankan warisan dari Nyonya Mirna. Kali ini aku terjebak oleh permainannya. Ia sudah mengetahui apa yang menjadi kelemahanku saat ini yaitu Ibuku. "Kalau aku jadi kau, aku tak terima jika hal itu terjadi pada keluargaku. Walau yang menghina adalah kerabat terdekatku. Solusi dariku adalah pisahkan Ibumu dari Eyangmu. Kita lihat apakah ia mampu bertahan dan buat dia semakin jera karena menyesal melakukan tindakan bodoh itu!" desaknya. Tak lama, ia menyodorkan surat yang sudah diberi meterai dan nama terangku. "Don't waste the time! gunakan kesempatan emasmu ini!" ucapnya dengan seringai. Aku mulai melihat sekilas surat kontrak itu. Kemudian menghela napas. "Satu tahun ?" tanyaku. "Kata dokter, usia nenek bertahan satu tahun lagi. Kemungkinan bisa panjang, bisa juga tidak." jelasnya. Satu tahun, aku harus hidup dengannya dengan penuh sandiwara kemudian setelah ditinggal Nyonya Mirn

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 47 - Kerjasama

    Aku menceritakan apa yang terjadi setelah Reza menanyakan hasilnya. Ibu mendengar, langsung menangis sesenggukan. Dipeluklah ia oleh Reza dan berusaha menenangkan. Baru kali ini aku melihat mata Reza yang berkaca-kaca. Mungkin, sebagai anak laki-lakai berpikir bahwa sudah saatnya dia harus memikul beban keluarga juga. Lalu, bagaimana dengan kuliahnya? Walaupun sudah dibantu dengan biaya Bidikmisi, tapi sama saja belum cukup untuk membantu orangtuanya itu. Hatiku semakin tersayat mengingat sebagai anak pertama dan perempuan. Sempat ada rasa sesal karena tak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku ingin membantu ekonomi keluarga, tapi pekerjaan sebagi guru honorer tak bisa membantu apa-apa kepada keluargaku.Ibu setelah menjalani perawatan kemudian tertidur pulas. Terlihat wajahnya yang sudah lelah itu. Belum juga pasti kepikiran perkataan nenek tadi. Di lantai, Reza juga tertidur pulas. Tak lama, seorang perawat masuk untuk pengecekan pasien. Setelahnya, ia memanggilku dan meminta untuk

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 46 - Menunggu

    Keesokan harinya, Ulma bangun dari tidur nyenyaknya. Kebetulan juga ia mau menunaikan salat subuh berjama’ah di mushola penginapan tersebut. Sembari memakai mukena, tak lupa ia mengecek sesuatu. Dengan harapan, ia bisa bertemu dengan Denias. Tak lama, adzan subuh berkumandang. Inilah saatnya Ulma beraksi. Ia keluar dari kamarnya dan tak lupa menguncinya. Setelahnya, ia berjalan menuju ke mushola, sesekali ia memantau sekitar untuk melihat batang hidung dosen idolanya itu. Sesampainya di depan mushola, ia beberapa kali menunggu kehadiran Denias. Tapi, tak kunjung muncul juga. Sampai akhirnya, Tuti yang datang lebih dahulu di masjid, menengok kelakuan Ulma yang tak kunjung masuk masjid. Ia pun meninggalkan sajadahnya dan menghampiri Ulma. “Duh, dari tadi gak nongol-nongol ya. Di dalam juga gak ada, apa dia salat sendiri?” gumam Ulma. Tuti kemudian berada di belakangnya, dan mendengar omongan darinya. Melihat temannya sedang risau, sebuah kaplokan kencang dari Tutut terhempas di punggu

  • 100 Hari Bilang Sayang   Bab 45 - Masalah yang Tak Kunjung Berakhir

    Prabu masih tak percaya mengenai kampus yang memperlakukannya seperti ini. Lantas, Alvaro pun menyanggahnya dengan melihatkan bukti berupa surat keterangan dari kampusnya secara resmi di hadapan Prabu. Terlebih, ia juga sudah mengkonfirmasi dengan sang ketua program studi, Pak Abimana dan dikonfirmasi bahwa benar ia tidak masuk dalam daftar dosen pendamping PKM tahun ini. Prabu mengeluarkan kekecewaannya karena ia tak dianggap, padahal beberapa tahun silam ia meloloskan beberapa tim-nya bahkan hampir semuanya lolos. Denias menenangkannya, dengan alasan mungkin kampus ingin adanya pembaruan. Sehingga, mau tidak mau kampus harus meregulasi semua timnya. Ia juga menambahkan, bahwa dosen pendamping yang tahun lalu yang meloloskan selain Prabu juga tidak diikutkan. Dengan begitu, Prabu merasa setidaknya ia tak sendiri. Ia pun bernapas lega. Sayangnya, berita lebih buruknya adalah besok subuh mereka harus pulang lebih awal karena mereka berdua wajib hadir dalam rapat dengan dosen pendamping

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status