Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara.
"Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.
Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya.
"Tuan Joan!"
Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle.
"Suster Elle!" seru Joan.
"Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.
Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memutari Luke sembari terus tertawa.
"Anda gagal lagi, Kesatria!"
Luke mendecak. Ia bergegas berdiri dan membantu Elle. Ia berusaha keras untuk tidak menghiraukan ucapan cahaya yang terus meledeknya.
"Mari kita kembali ke dalam, Suster," kata Luke yang sudah berjalan di depan.
Elle mengangguk dan mengikuti langkah pria tersebut. Namun saat tiba di pintu masuk utama, Luke mendadak menghentikan langkahnya. Elle yang tidak memperhatikan ke depan, mau tidak mau menabrak punggung Luke.
"Ada apa, Tuan Joan?" tanya Elle.
Luke hanya diam. Di depannya sudah ada Caroline yang sedang berdiri sembari menatap ke luar jendela. Beberapa menit kemudian, nampaknya Caroline menyadari keberadaan mereka, lalu ia menoleh. Gadis itu terkejut, sebelah tangannya bergerak mengusap kedua matanya secara bergantian.
"A-apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Caroline dengan panik.
Luke menunjuk ke belakang. "Taman. Lalu Suster Elle menjemputku."
Elle tersenyum tipis, ia sedikit membungkuk dengan sopan. Caroline hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menatap Luke.
"Suster Elle, Anda boleh pergi," kata Caroline.
Elle langsung pamit pergi meninggalkan kedua orang tersebut. Setelah kepergian Elle, Caroline mengulurkan sepucuk surat pada Luke.
"Ambil ini," ujar Caroline.
Luke menaikkan sebelah alisnya. "Apa ini?"
Helaan napas yang begitu berat lolos dari mulut Caroline. "Undangan pesta dansa jam 2 siang."
"Pesta dansa siang hari?"
Luke mengerutkan dahinya dan langsung membuka isi surat tersebut. Rupanya pesta dansa diselenggarakan di kediaman orang tua Caroline. Namun yang mengejutkan, tidak ada nama Luke di undangan tersebut. Justru nama Bran yang tertera.
"Tapi sepertinya aku tidak diundang," kata Luke sembari tertawa pelan.
"Jika aku pergi dengan Bran, menurutmu berita apa yang akan tersebar di media?"
"Benar juga," sahut Luke.
Caroline mendecih pelan, lalu pergi tanpa mengatakan apa pun. Setelah itu, Luke berjalan pelan sambil membaca isi surat yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja cahaya mengikutinya. Tidak seperti biasanya, cahaya itu berkelip dan berubah warna menjadi biru.
"Tugas bernilai 10 sedang menunggu Anda, Kesatria!"
Luke menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tugas bernilai 10? Apa maksudnya?"
"Jika Anda berhasil menyelesaikan tugas ini, maka tugas Anda langsung dikurangi 10."
Senyum Luke mengembang. "Itu tandanya kalau aku berhasil, tersisa 89 tugas?"
"Benar sekali. Anda akan lebih cepat kembali!"
Luke yang sangat bersemangat tanpa sadar melepaskan surat di tangannya. Ia menatap cahaya itu dengan mata berbinar.
"Seperti apa tugasnya? Apa sangat sulit?" tanya Luke.
"Tugas kali ini tingkat kesulitannya menengah, Kesatria."
Luke mengerutkan dahinya dengan bingung. "Apa maksudnya?"
"Anda bisa saja mati jika tidak berhati-hati dalam tugas ini, Kesatria Luke!"
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di
Caroline menoleh ke sekelilingnya. Entah sejak kapan ia kehilangan sosok Bran. Padahal sedari tadi, ia ingat sekali sedang bergandengan tangan. Ia ingin keluar dari kerumunan, tapi jalannya seolah tertutup."Bran?!" serunya.Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara alunan musik dan hiruk pikuk orang-orang berbincang di sekitar. Caroline menelan ludahnya dengan kasar. Ia bisa melihat meja kue lewat celah keramaian, namun ... tidak ada Joan di sana."Joan!!" teriaknya.Tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkram dari belakang. Ia ditarik paksa menuju ke pintu keluar samping bangunan tersebut."Siapa kalian?!" jerit Caroline sembari meronta.Pria berjas cokelat yang kini berdiri di depannya hanya diam. Sampai akhirnya ia membekap wajah Caroline dengan kain beralkohol. Tidak perlu menunggu lama, Caroline pun tidak sadarkan diri."Bawa ke mobil."~~~Luke membasahi bibir bagian bawahnya. Ia melirik ke sekitar, suasananya begitu tenang. Pasti tidak akan ada orang yang datang ke tem
Kedua mata Luke melebar. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya berputar. Apalagi saat Ciel terus menjilat darahnya yang menempel di pisau. "Hentikan!" seru Luke. Ciel tersenyum miring. Ia menarik kerah kemeja Luke hingga mengikis jarak mereka. Dalam jarak sedekat itu, Luke bisa bisikan dari gadis tersebut. "Mau menjemput ayahmu sekarang?" tanya Ciel. Pandangan Luke mulai tidak fokus. Ia memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk jarum. Secepat mungkin ia mendorong tubuh Ciel. Sepertinya tubuh Joan bereaksi hanya dengan mendengar Ciel yang mengungkit kematian ayahnya. Luke berusaha keras untuk mengambil alih tubuhnya, namun tiba-tiba ... Jleb! Luke meringis saat pisau lipat milik Ciel sudah menancap di perutnya. Rasa nyeri berhasil membuatnya mulai lunglai dan jatuh terduduk. Sebelah tangannya memegang gagang pisau sambil sesekali menariknya. "Siaaal! Sakit sekali!" jeritnya. Ciel menatap Luke dengan tatapan sedih, namun bibirnya melengkung sempurna. Gadis itu benar-be
Beberapa menit sebelum melarikan diri...Luke memandang langit-langit bangunan mewah tersebut. Ia merasa sangat familiar dengan keadaan ini. Tepatnya saat berhasil dikalahkan oleh Naga emas generasi kedua. Namun kali ini ia dikalahkan oleh seorang gadis bertubuh ramping dan mungil.Ternyata aku sudah melemah, batinnya.Begitu memejamkan mata, cahaya langsung memenuhi pandangan Luke. Lalu terdengar suara-suara yang familiar menggema di telinganya."Bangunlah. Jangan melupakan tugasmu."Luke terkekeh pelan. Sepertinya ia sudah hilang kesadaran. Makanya ia bisa berada di tempat terang ini lagi."Apa aku mati untuk kedua kalinya?" tanya Luke.Cahaya itu tertawa. "Bagaimana saya bisa membiarkan jiwa yang kotor seperti Anda mati tanpa menyelesaikan tugas, Kesatria?""Jadi?""Buka mata Anda. Lalu selesaikan tugasnya!"Tiba-tiba saja mata Luke langsung terbuka lebar. Napasnya tersengal cukup lama. Ia bisa melihat sosok Ciel yang sedang merapikan rambut. Dressnya sudah berganti dengan celana p
"Oh ya, kereta akan tiba di stasiun pukul 7 malam. Berarti tersisa 7 menit sebelum Nona tertabrak di kereta."7 menit?Gadis itu pasrah."Caroline!"Caroline dengan cepat membuka matanya dan menoleh ke arah suara tersebut. Ia sedikit berharap kalau sosok yang memanggilnya adalah Joan. Tapi ... tentu saja bukan. Apalagi setelah melihat foto yang dikirim oleh penjahat tersebut."Hahaha. Pasti kau berharap si culun itu datang 'kan?"Caroline membuang mukanya dengan perasaan kecewa. Ia tidak tahu sudah berapa menit berlalu. Namun ia masih belum mendengar tanda-tanda adanya kereta yang mendekat."Bos, bagaimana kalau kita makan dulu?" tanya salah satu pria yang sedari tadi mengawasi Caroline.Pria yang dipanggil bos itu menoleh, lalu ia menyodorkan 4 lembar uang kertas 50 lei. Kedua rekannya itu tersenyum senang dan langsung berlari entah ke mana. Kini tersisa Caroline dan bos penjahat."Siapa nama Anda?" tanya Caroline.Pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Untuk apa kau tahu namaku?""Jik
"Caroline!!! Buka matamu!!!"Mata Caroline yang semula terpejam langsung terbuka lebar mendengar suara yang begitu familiar. Ia tidak menyangka akan melihat sosok Joan, walau dengan kondisi yang sangat berantakan.Dia ... benar-benar masih hidup, batin Caroline.Sementara itu Luke terus berusaha memacu langkahnya. Ia bisa melihat kepala kereta dari kejauhan. Ia berlari semakin cepat. Tidak peduli nyeri di sekujur kakinya akibat melompat dari jarak yang cukup tinggi.Begitu tiba di samping Caroline, Luke menoleh ke segala arah. Ia mencoba untuk menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk memutus tali.Hingga ia teringat dengan pisau lipat pemberian Ciel. Secepat mungkin ia mengambilnya dari saku celananya. Luke tersenyum saat tali yang mengikat Caroline terlepas. Namun tanpa disadari, kereta sudah berada sangat dekat dengan mereka. Secepat mungkin Luke mendorong gadis itu dan membiarkan tubuhnya tertabrak kereta.Caroline terdiam cukup lama. Pandangannya kosong ke arah kereta yang mela
Christoper Brandon? Sepertinya aku pernah dengar nama itu, batin Luke.Ciel mendeham pelan saat melihat Luke termenung cukup lama. Gadis itu berdiri, lalu mengambil figura yang ada di atas meja televisi. Kemudian ia menyodorkan benda itu pada Luke."Mereka keluargaku. Mungkin kau pernah melihatnya," ujar Ciel.Luke langsung mengambil figura itu, lalu ia mengamati setiap wajah yang ada di sana. Dahinya berkerut, rasanya mereka sangat familiar di mata Luke. Namun ia tidak ingat kapan dan di mana melihat mereka."Sejak kapan mereka ditangkap?" tanya Luke.Ciel terdiam cukup lama. Ia mencoba mengingat kejadian saat Christoper Brandon memaksa masuk ke rumah dan menangkap keluarganya. Hanya dengan membawa surat hutang, pria itu berhasil membuat Ciel tidak berdaya."Terpatnya lima tahun lalu. Selain keluargaku, dia juga mengambil rumah dan perusahaan ayahku."Sebelah alis Luke langsung naik, ia nampak bingung. "Perusahaan? Bagaimana bisa dia mengambilnya?""Ini semua salahku. Aku dijebak," k