Share

2'20
2'20
Penulis: Kamelzy

01 - Chaos for The Winners

“Apa Jakarta memang sesejuk ini?” tanya Anjani Erikalia, atau mereka biasa memanggilnya menggunakan nama penanya –Jane,  “Yang kutahu tempat ini sangat panas, jauh lebih panas dibandingkan Samarinda.”

Mara Sintanira, gadis yang kini tinggal di Jogja itu terkekeh kecil mendengar pertanyaan Jane, “Ya, dulu juga sangat panas. Tapi cuaca di Jawa akhir-akhir ini memang sejuk, tak begitu panas, dan selalu hujan setiap malam.”

“Ah … iya, tadi malam juga hujan.”

Jane kembali menatap pemandangan di luar jendela. Hari ini mereka akan pergi ke aula hotel untuk menghadiri penutupan acara sekaligus pengumuman pemenang. Dia sudah ada di Jakarta sejak dua hari yang lalu, perlombaan menulis nasional sangat jarang membawa para pesertanya untuk turun ke lapangan seperti ini namun periode kali ini memang dibuat lebih meriah dibandingkan sebelumnya.

Nira –teman barunya, baru sampai ke Jakarta tadi malam. Mereka sama-sama penulis yang mengikuti perlombaan ini, Nira terkenal dengan tulisan-tulisan fiksi remaja, sedangkan peserta yang lain seperti Wonu, Cuna, dan Hanbin lebih terfokus pada kisah-kisah mitos-sejarah, misteri, horror, dan thriller.

Mereka baru-baru saja kenal dan tak begitu dekat, Jane juga tak pernah yakin dia bisa dekat dengan semua orang yang akan dia temui nanti. Mengingat bahwa dia memang tak begitu pandai dalam berinteraksi dan wajahnya yang tergolong ke dalam sekumpulan wajah jahat jika tak tersenyum. Walaupun Jane tahu akan hal itu, dia tetap saja tak bisa tersenyum hanya demi bisa mendapatkan teman.

“Apa yang akan kau lakukan setelah perlombaan ini?”

Jane terdiam mendengar hal itu, “Entahlah …” Gadis itu menghela napas pelan, namun kesunyian yang Nira berikan seakan memaksanya untuk kembali melanjutkan kalimatnya, “Aku tak ingin pulang.”

“Mau ikut bersamaku? Aku tinggal di kosan, di Jogja.”

Gadis itu menoleh menatap Nira, “Kau tinggal sendiri? Tidak bersama keluargamu?”

“Aku tak suka keluargaku,” balas Nira lalu terkekeh kecil. Terlalu sering menceritakan hal seperti itu pada orang-orang di sekitarnya membuatnya terbiasa dan tak merasa bahwa kalimat tersebut terlalu sensitif untuk dibahas.

Jane tersenyum tipis mendengar balasan Nira, “Aku juga tak suka keluargaku, ah … mereka bukan keluarga, ayah ibuku sudah mati jadi mereka hanya sebatas pengasuh-ku saja.”

Tok, tok! “Apa kalian belum siap?!” teriak seseorang dari luar ruangan itu bersamaan suara ketukan pintu yang berbunyi berkali-kali.

“Itu pasti Hanbin,” gumam Jane beranjak untuk pergi mendekat ke pintu keluar ruangan. “Ayo pergi,” ajaknya dibalas anggukkan oleh Nira.

Hardian Binagara, atau dia biasa memperkenalkan dirinya sebagai Hanbin. Pemuda itu menatap bosan Jane dan Nira yang baru saja keluar dari ruangannya, “Ayo, Wonu dan Cuna sudah meninggalkan kita.”

“Dua manusia aneh itu memang tak suka menunggu,” balas Jane asal dan langsung pergi meninggalkan Hanbin.

Nira terkekeh kecil mendengar Hanbin yang mengumpat pelan karena Jane ikut memperlakukannya dengan dingin, seperti Cuna dan Wonu. “Mengapa mereka berlagak angkuh sih? Memang mereka sudah jelas menjadi pemenang gitu?” kesalnya.

“Mereka memang seperti itu Hanbin, tak perlu tersinggung.”

Hanbin menghela napas mendengar hal itu, dia lalu tersenyum tipis sambil merangkul Nira agar mereka bisa pergi bersama ke aula hotel. Satu-satunya gadis yang bisa dia ajak bersenang-senang hanyalah Nira, gadis itu begitu ramah dan Hanbin sangatlah suka dengan karakter orang yang seperti itu.

“Untung ada kau yang selalu bersikap manis di sini!” ujarnya bersemangat, “Aku tak tahu apa jadinya acara ini tanpa kau Nira, auranya pasti akan sangat mencekam jika hanya diisi oleh mereka bertiga.”

Nira terbahak mendengar hal itu sambil memukul pelan dada Hanbin. Dia tahu, Nusa Cania Nitasa atau yang mereka kenal sebagai Cuna itu memang pendiam, namun dibandingkan Jane, Cuna jauh lebih sopan dan terlihat tenang, sedangkan Nusabudi Wahyu atau si penulis horror dengan nama pena Wonu, dia lebih mirip dengan Jane, sama-sama cuek dan jarang sekali berbicara, kedua manusia dingin itu bahkan tak memberitahu nama langkap mereka saat berkenalan. Namun meskipun begitu, Nira tahu bahwa mereka semua bukanlah orang yang jahat.

“Apa yang akan kau lakukan jika kau memenangkan hadiahnya?” tanya Hanbin ketika mereka sudah duduk di bangku khusus peserta, menyaksikan acara yang kini sedang dimulai.

“Aku ingin ke Bromo, berlibur.” Nira membalas dengan asal, “kau sendiri?”

“Aku ingin beli ipad untuk adikku, agar dia bisa fokus belajar menggambar.”

Nira terkekeh kecil mendengar hal itu, “Kau sangat menyayangi adikmu ya?”

“Hanya dia yang kumiliki, Nira.” Hanbin tersenyum tipis sambil menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal, “Aku akan lakukan apapun agar bisa menyenangkannya.”

“Such a good brother,” gumam Jane tanpa sadar.

“Semoga kau menang, Hanbin.” Wonu ikut berkomentar.

Hanbin menatap kesal kedua orang itu, “Kalian mengejekku huh?!”

“Aku memuji,” balas Jane menoleh menatap pemuda itu.

“Same.” Wonu membalas tanpa menoleh menatap Hanbin, Nira yang sejak tadi memerhatikan interaksi kecil itu lantas tertawa pelan melihat ekspresi kesal Hanbin.

“Kepada peserta yang sudah sampai ke posisi 5 besar, dipersilahkan naik ke atas panggung~”

Mereka terdiam mendengar pengumam itu. Cuna dengan santai memimpin langkah untuk naik ke atas panggung, diikuti oleh Hanbin, Nira, Jane, dan Wonu. Mereka berlima kini bisa melihat orang-orang penting yang datang ke acara ini, sudah pasti akan banyak penerbit yang ingin merekrut mereka.

Selagi MC sibuk membacakan ucapan selamat serta pidato singkat dari pemilik acara, mata Cuna menangkap keributan yang terjadi di luar ruangan lewat pintu keluar aula hotel yang tak tertutup dengan rapat. Mata gadis itu menatap sekelilingnya, beberapa orang yang fokus pada ponselnya, sedangkan pelayan mulai tak bisa berdiri dengan tenang. Cuna menggedipkan matanya berkali-kali ketika sadar bahwa gelas yang ada di salah satu meja mulai memperlihatkan geraknya, air disana sedikit demi sedikit bergoyang, lalu mulai bergeser bersamaan teriakan panik dari salah satu tamu undangan yang menyuarakan ketakutannya.

“GEMPA! INI GEMPA!”

Dari atas panggung itu, mereka dapat melihat dengan jelas orang-orang yang berlari berdesak-desakan untuk keluar dari aula hotel. Atap gedung itu mulai memperlihatkan rapuhnya, angin kencang mulai memaksa masuk, sedangkan jeritan yang saling sahut-menyahut mulai menambah kepanikkan yang ada.

“BAWA NIRA!” gertak Wonu pada Jane menyadarkan lamunan Cuna, gadis itu dengan cepat menatap kepergian Wonu dan langsung menarik Hanbin yang masih shock untuk ikut bersamanya.

Tak ada waktu untuk panik, pikir Cuna mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Ap-apa yang terjadi?!” heboh Hanbin yang baru benar-benar sadar dari keterkejutannya.

Cuna tak menjawab, gadis itu memilih untuk tetap berlari mengikut Wonu. Mereka akhirnya sampai di salah satu tumpukkan meja, ketiganyaa dengan cepat memaksa Jane dan Nira untuk sembunyi di bawah dua meja, lalu menarik meja lain dan menyusun meja-meja itu untuk menutupi segala sisi kosong yang dapat terlihat, membentuknya seperti benteng. Setelah itu barunya mereka bertiga masuk ke dalam meja tersebut dan bersembunyi.

Getaran itu sama sekali tak berhenti. Wonu menatap Cuna yang kini berada di hadapannya bersampingan dengan Hanbin, sedangkan dirinya berada di antara Jane dan Nira. Fokus pemuda itu beralih pada Nira yang sejak tadi tertunduk dengan salah satu tangan yang memeluk kedua lututnya sedangkan tangan lain dia dekatkan pada wajahnya, lalu mengigit jarinya sendiri untuk menahan gugup.

Teriakan tadi pasti menambah kepanikan di dalam diri gadis itu, Wonu juga tak begitu tahu apa yang terjadi di luar meja namun dia yakin ada hal besar yang jatuh dan menghabisi beberapa orang. Wajah pemuda itu otomatis mundur ketika tangan Jane melewati tubuhnya dan mencoba meraih Nira yang ada di sampingnya.

“Apa?” tegur Wonu tak paham.

“Berikan ini padanya,” balas Jane masih dengan tangan yang ada di depan wajahnya, “jangan mengigit jari.”

Wonu memerhatikan tangan Jane yang bergetar kecil sebelum akhirnya mengambil sapu tangan itu dan memberikannya pada Nira. “Gigit ini saja,” ucap pemuda itu memecah fokus Nira. “Ujung jarimu berdarah.”

“O-oh!” cicit Nira tanpa sadar hanya membuat Wonu dan Jane terdiam. “Te-terima kasih.”

Mereka tak membalas, “Hanbin! Bantu aku!” Cuna berteriak sekalipun suara tak begitu terdengar. Meja mereka terus bergerak karena getaran gempa tersebut, “Hanbin!”

“HAH?!” panik Hanbin menatap Cuna.

“Jangan panik!” kesal gadis itu menatap tangan Hanbin yang terus bergetar, “Bantu aku!”

“A-aku juga berusaha agar tak panik!” balas pemuda itu dengan kesal.

Keduanya sibuk mempertahankan kaki meja agar tetap bertahan sekalipun getaran itu sama sekali tak terlihat akan berhenti. “Kau yakin ini akan membuat kita selamat?” tanya Cuna pada pemuda di hadapannya, --Wonu.

Wonu menatapnya tak paham, “Semua kemungkinan di situasi seperti ini hanya bernilai 50:50,” balas pemuda itu terlihat tenang, “Jika tak selamat, ya kita mati.”

“Kau terlihat siap mati, Wonu.” Jane berkomentar dengan sinis tanpa sadar.

“Apa yang mau kau harapkan dari situasi seperti ini? Diselamatkan?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ailunia
aku trkesan sama nama pena para tokoh yg kyk nama2 korea hasil gabungan nama lengkap mereka. sederhana, nggak trkesan maksa.
goodnovel comment avatar
KILLER ACTION
Wonu seperti pasrah 😂 50:50 ditengah darurat gitu, serasa Wonu lagi ajak bercanda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status