Share

6. Apartemen

Author: IamBlueRed
last update Last Updated: 2025-07-31 01:26:42

"Kalo ada apa-apa langsung telfon gue."

"Jangan matiin data sama GPS."

"Tendang burungnya kalo dia macem-macem."

Lia menelan saliva susah payah. Petuah yang Haikal berikan padanya terngiang-ngiang di otak. Ia jadi sedikit merinding karena cerita Haikal beberapa waktu yang lalu tentang Damian. Meskipun baru rumor, tetap saja ia harus waspada.

Mendung menggantung di langit. Lia berdiri di depan taman Fakultas Ilmu Budaya, menunggu Damian menjemputnya. Waktu menunjukkan hampir pukul satu siang. Seperti yang lelaki itu katakan terakhir kali, Damian berniat mengajaknya pergi entah ke mana.

Beberapa menit menunggu, Damian akhirnya datang dengan mobilnya. Lelaki itu menurunkan kaca jendela mobil, menyuruhnya masuk lewat tatapan. Tidak ada banyak orang sehingga lelaki itu akan menatap tajam seperti biasa. Meskipun agak ngeri, ia akhirnya menuruti, menenangkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

Jika benar setiap orang yang dipacari lelaki itu hamil, mungkin saja karena pacarnya tidak melawan alias ikut terbawa nafsu. Lia sih tidak mungkin. Lagi pula mereka hanya berpura-pura pacaran. Jadi, Lia, jangan berpikiran terlalu jauh. Haikal khawatir padanya karena yang sahabatnya itu tahu Damian sungguhan suka padanya.

"Kita mau ke mana?" tanya Lia setelah Damian menjalankan mobilnya.

"Liat aja nanti."

Lia berdecak di tempat. Apa susahnya menyebutkan nama tempat yang akan mereka datangi? Kerjaannya membuat orang penasaran saja.

"Malem Minggu besok ada makan malam. Arin yang ngajak dan nyuruh bawa pacar baru gue," kata Damian kemudian.

Lia mengernyitkan dahi. "Siapa Arin?"

"Mantan. Orang yang bikin gue kepaksa jadiin lo pacar bohongan."

Ah, benar kan dugaannya? Motif Damian tidak jauh-jauh dari mantan.

"Lo gamon ceritanya? Pengen bikin dia cemburu? Atau pengen balas dendam? Kenapa bisa putus sebelumnya?" tanya Lia, menghunjami Damian dengan banyak pertanyaan. Ia harus tahu hal itu karena berkaitan dengan pekerjaannya sekarang.

Pertanyaan terakhir yang Lia lontarkan sukses membuatnya berpikir sesuatu. Apakah mantan Damian itu orang yang sama yang ketahuan oleh pihak polisi sedang mengaborsi kandungan? Apa karena masalah itu Damian dan mantan pacarnya itu bisa putus?

"Entah."

Sial. Pertanyaannya yang bejibun banyaknya hanya dijawab sesingkat itu?

Beberapa menit menaiki mobil, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Damian memakirkan mobilnya ke basement sebuah gedung, membuat Lia menyadari lelaki itu mengajaknya pergi ke mana.

"Ini bukannya—"

"Apartemen gue," sela Damian sebelum Lia selesai berbicara.

"Mau ngapain ke apartemen lo?" tanya Lia kemudian. Pikirannya yang sulit berpikiran positif mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Harus nanya? Orang-orang kan biasa main ke apartemen pacarnya."

"Tapi kan kita pacaran bohongan."

Damian berdecak. "Lo bego, ya? Ya justru itu lo harus sering-sering ke apartemen gue biar nggak dikira bohongan pacaran."

Lia ikut berdecak ketika Damian mengatainya bego. Benar juga sih yang diucapkan. Tapi tetap saja ia malas. Memang harus ya orang pacaran pergi ke apartemen pacarnya? Tidak kan juga tidak masalah.

Mereka akhirnya naik lift untuk pergi ke lantai tempat di mana apartemen Damian berada. Setelah keluar mereka berada di koridor yang tampak sangat mewah. Tentu saja apartemen yang lelaki itu huni berada di kawasan elit.

Sampai sebuah pintu, lelaki itu menekan password, lalu membuka pintu apartemennya. Damian masuk. Lia mengikuti di belakangnya.

Jujur saja. Apartemen Damian rapi, luas juga mewah. Tidak seperti kamar Haikal yang kadang-kadang seperti kapal pecah. Ia mengira apartemen lelaki itu akan berantakan dan Lia disuruh menjadi babu di sana, tapi ternyata tidak. Hanya saja apartemennya remang-remang, sedikit gelap karena tirai jendela yang tertutup.

"Gelap. Kenapa lo nggak buka tirainya?" Lia yang penasaran bertanya.

"Nggak suka."

"Kenapa?"

"Gue males kena cahaya matahari."

"Lo vampire?"

Damian yang baru saja melepas sepatu menoleh ke arahnya, tersenyum miring. "Lo udah gue gigit dari tadi kalo gue vampire."

Sial. Perkataan lelaki itu sukses membuat Lia merinding seketika.

"Duduk di mana aja terserah. Senyaman lo."

Lia hanya berdeham. Ia masih sibuk mengamati apartemen Damian yang tampak luas dan mewah. Ada televisi besar di ruang tengah. Balkon yang cukup luas dengan jendela kaca besar yang tertutup tirai. Jika dibuka pasti lebih terang. Tidak banyak barang sih. Jadinya tampak lebih luas.

Lia duduk di sofa ruang tengah. Sofanya terasa berbeda dari sofa yang pernah Lia duduki. Rasanya lebih empuk. Pasti ini sofa khusus orang kaya.

Penasaran apa yang Damian lakukan, Lia menoleh ke belakang. Ia langsung memekik tertahan ketika melihat lelaki itu yang sedang berganti pakaian di kamarnya. Meskipun hanya melihat punggungnya, tetap saja membuat Lia terkejut. Bisa tidak sih lelaki itu tidak membuka baju sembarangan? Dia kan tidak sendiri di apartemen ini.

Sejujurnya, ini pertama kali bagi Lia berdua saja dengan seorang laki-laki di apartemen a.k.a tempat tinggal. Dengan Haikal saja tidak pernah. Jika Lia pergi ke rumah lelaki itu, ia pasti hanya duduk di ruang tamu, mengobrol di sana bersama Haikal, kadang dengan orang tuanya juga. Masuk ke kamar sahabatnya hanya untuk mengambil sesuatu. Ataupun jika berdua di kamar pasti sedang membantu Haikal membersihkan kamarnya yang mirip-mirip seperti kandang sapi—dan selalu ada orang tuanya di rumah.

Wajar saja jika Lia tidak nyaman sekarang. Lebih-lebih ini Damian yang baru saja bertemu dengannya kemarin meskipun kenalnya sudah lama. Lebih-lebih lagi ketika ia mengingat rumor yang Haikal ceritakan tadi pagi. Bulu kuduknya seketika merinding.

"Kalau haus ambil minum sendiri di kulkas." Damian datang, sudah berganti atasan menjadi kaos putih.

Lia lagi-lagi hanya berdeham. Damian itu tidak tahu sopan santun, ya? Lia kan tamu. Harusnya diambilkan minum alih-alih suruh mengambil sendiri.

Lelaki itu kemudian membuka tirai jendela, membuat ruang tamu tempat Lia duduk jadi terang karena cahaya matahari.

Damian duduk di sebelahnya, lalu berkata, "Keluarin hape lo. Ayo selfie terus kirim ke I* story. Jangan lupa tag gue."

"Harus, ya?" Lia bertanya memastikan. Pasalnya ia bukan orang yang suka mengunggah sesuatu ke i*******m. Apalagi fotonya sendiri.

"Bisa nggak sih lo langsung lakuin dan nggak usah nanya-nanya lagi?"

Lia berdecak. "Gue kan cuma nanya, Bege," katanya lalu mengeluarkan handphone barunya dari backpack.

"Gimana fotonya?"

Damian duduk mendekat, membuat Lia menelan saliva ketika lengannya bersentuhan dengan lengan lelaki itu. Lia mengarahkan kamera depannya, tersenyum sebaik mungkin. Damian yang jarang tersenyum dengan benar itu akhirnya mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya. Hanya sedikit sih, tapi lebih tampak seperti menyeringai alih-alih tersenyum.

"Caption?"

"Terserah lo."

"Akun I*?"

"At damian titik en."

"Oke."

Setelah mengedit foto agar lebih bagus, Lia akhirnya mengetik caption yang ada di otaknya.

with annoying person @damian.n

Ah kurang bagus.

disuruh setan buat selfie terus ngetag dia @damian.n

Kurang greget.

INI ORANG SATU NYEBELIN BANGET PENGEN GUE TENDANG TAPI NGGAK BISA @damian.n

Yang ini sepertinya cocok.

Seolah tahu apa yang Lia ketik, Damian tiba-tiba menyeletuk, "Nggak usah aneh-aneh. Yang simpel aja."

Lia greget sendiri setelah mendengarnya. Dasar ribet.

Akhirnya Lia mengetik caption sesuai yang Damian bilang.

with bf @damian.n

Simpel kan?

Setelah mengirim foto itu ke I* story, Lia menghela napas. Entahlah. Pasti setelah ini I*-nya ramai. Terlebih saat ia tahu ternyata Damian me-repost foto itu di akun i*******m-nya. Merepotkan sekali ternyata menjadi pacar pura-pura. Lia kira Damian itu tipe orang yang tidak suka mengumbar hubungan. Atau karena ini hubungan palsu makanya lelaki itu mengumbar sepuas hati?

Damian tiba-tiba berdiri, melangkah pergi ke kamarnya.

"Lo mau ke mana?" tanya Lia.

"Tidur siang."

"Terus gue? Nggak dianter pulang dulu?"

"Nanti sore gue anter. Sekarang gue ngantuk. Lo di sini dulu aja anggep kayak rumah sendiri."

Apa katanya? Maksudnya Lia disuruh gabut di tempat tidak nyaman seperti ini sedangkan Damian enak-enak tidur siang?

"Mana bisa gitu? Gue mau pulang," kata Lia kemudian.

"Nanti."

Lia berdecak, lalu berkata, "Yaudah gue pulang sendiri. Pesen taksi online."

"Nggak. Nanti sore gue anter. Awas lo pergi nggak bilang-bilang," kata Damian, lanjut berjalan pergi ke kamarnya, seolah tidak mau tahu perihal kegabutannya di apartemen lelaki itu.

Dasar Damian sialan.

To be continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   94. Berita Besar

    Foodcourt kampus dipenuhi suara langkah dan obrolan mahasiswa. Di deretan penjual, antrian pembeli mengular. Aroma mie goreng, soto, bakso, nasi goreng bercampur di udara. Di salah satu meja tengah, Haikal dan Lia bergabung bersama Mario dan Rendi yang sudah lebih dulu duduk. Suasana begitu ramai, tapi meja mereka terasa seperti ruang sendiri di tengah kebisingan.Haikal menaruh pesanan di depan Lia sebelum duduk. Sendok dan garpu beradu pelan, diselingi tawa Mario yang bercerita tentang dosennya yang typo di grup kelas. Lia hanya menimpali seperlunya, sementara Haikal ikut menceritakan persiapan pernikahan kakak laki-lakinya yang super sibuk meskipun lelaki itu bukan yang menikah.“Abang lo umur berapa, Kal?” tanya Mario kemudian. “Dua puluh delapan.”“Emang udah waktunya itu mah. Calonnya orang mana?”“Tetangga sebelah doang. Nikah sama bestienya sendiri,” jelas Haikal kemudian. Sejurus kemudian suara dehaman terdengar dari Rendi yang duduk di sebelahnya. Lia menatap temannya itu p

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   93. Iba

    Pintu depan berderit pelan, diikuti langkah kaki berat yang begitu Lia kenal. Suara knop pintu diputar terdengar sebelum akhirnya Damian muncul di gawangan pintu. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan tergulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya langsung berubah begitu melihat seisi ruangan. “Happy birthday!” seru semua orang di rumah Oma hampir bersamaan. Balon berjatuhan dari atas, confetti menari di udara. Damian tertegun, sempat mengerjap dua kali sebelum bibirnya membentuk senyum lebar yang jarang Lia lihat. Detik berikutnya, ruangan pecah serentak. “Happy birthday to you….” Suara Mama yang memulai, diikuti Oma, Julian, dan Lia yang ikut menyambung. “Happy birthday to you…. Happy birthday, Damian Naradipta….” Julian sengaja nyanyi dengan nada terlalu tinggi, membuat semuanya tertawa di tengah lagu. Lia pun ikut, suaranya pelan tapi jernih, “Happy birthday to you!” Damian berdiri di ambang pintu, masih belum bergerak, matanya beralih dari

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   92. Kenyataan (2)

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script kemarin kayaknya ada sesuatu,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka telah keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja perasaan. Ngobrol, makan, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya.Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Apakah sikapnya tampak berubah sekali bagi Haikal? Lia tentu saja tidak berniat berubah sikap, tapi sekali melihat Haikal memperlakukannya dengan baik dan begitu peduli padanya saja ia langsung kepikiran. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. “Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa dia, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja deh. Habis balik dari konser The Script kemarin Damian emang bilang cemburu, sewajarnya

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   91. Kenyataan

    Rumah Oma malam itu terasa berbeda. Lampu ruang tamu diredupkan, aroma buttercream dan lilin vanila mengambang di udara. Di meja, mama dan adik Damian, Julian, sedang sibuk menyusun balon angka “21” di dinding. Oma duduk di sofa, memperhatikan sambil sesekali memberi instruksi lembut. “Sedikit miring, Jul. Yang dua-nya miring ke kanan,” kata Oma. Julian menatap skeptis, tapi menurut juga. “Oke, Oma. Tapi nanti kalau jatuh jangan salahin Julian, ya.” Mama terkekeh pelan, lalu menoleh ke Lia yang baru datang lima belas menit lalu. Lia datang membawa tas kecil berisi kado yang dibungkus rapi—bungkus kertas biru tua dengan pita perak yang ia pilih sejak kemarin sore. “Lia, boleh bantu mama taruh foto-fotonya di tali ini?” tanya Mama Damian. “Siap, Tante,” jawab Lia sambil tersenyum. Sejurus kemudian, Lia tertawa kecil melihat foto-foto polaroid yang mama Damian berikan. Ia menjepit polaroid itu di tali yang tersedia. Di tiap jepitan tergantung potret masa kecil Damian—foto-foto deng

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   90. Retak

    “Lo punya masalah apa sih sama gue? Sejak nonton The Script rasanya ada yang beda,” ujar Haikal tiba-tiba di sebelahnya. Dosen mata kuliah mereka keluar dua menit yang lalu dan mereka bersiap-siap untuk makan siang di foodcourt.“Kaga ada. Gue fine aja sama lo. Ngobrol, makan bareng, bahas tugas, ngejulid, ngebacot bareng. Perasaan lo aja kali,” jawab Lia sekenanya. Pertanyaan Haikal membuatnya berpikir banyak. Ternyata sikapnya terasa berubah bagi pemuda itu.Padahal Lia berusaha bersikap biasa saja semenjak tahu perasaan Haikal padanya. Rupanya tidak semudah itu menyimpan rahasia. Atau mungkin memang dirinya saja yang tidak“Gara-gara Damian, ya? Kalau lo ngejauh dari gue gegara lo pilih Damian nggak masalah sih, tapi kalau lo dipaksa, gue nggak bakal tinggal diem.”Lia terkekeh. “Bukan gegara itu, Kal. Beneran perasaan lo aja dah.”“Real kah? Emang lo bakalan mau kalau gue ajak main ke Timezone.”“Why not? Lo ajak ke kutub utara aja gue ngikut.”Haikal cengengesan, lalu berubah eks

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   89. Happy Birthday! (2)

    Lia menarik napas pelan, memegang ponsel di tangannya yang menampilkan kalimat panjang berisi ucapan selamat ulang tahun. Semua orang sudah memberi ucapan: Oma, Mama, dan Julian. Sekarang, giliran Lia.Ia menjadi yang terakhir, penutup, dan tentu saja orang penting. Maka dari itu ia gugup setengah mati.“Maaf, ya. Nggak sempat ditulis, cuma diketik aja.”Damian mengangguk tidak mempermasalahkan.Mama pun begitu. “Its okay, Lia. AIa sempat melirik Damian yang duduk di seberangnya. Lelaki itu tampak santai, menatapnya sambil tersenyum kecil, mungkin tidak menyangka Lia juga akan berbicara. Sejujurnya Lia tidak menyiapkan surat ucapan untuk Damian sama sekali—dibaca di depan banyak orang pula. Ia cuma sempat mengetik “sweet birthday message for boyfriend” di Google dua menit sebelum gilirannya tiba.“Ehm…” Lia berdeham kecil, menatap ponselnya, lalu mulai membaca dengan suara lembut.Dear Damian,I hope you’ll always be surrounded by things that make you happy — no matter how small the

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status