"Kalo ada apa-apa langsung telfon gue."
"Jangan matiin data sama GPS."
"Tendang burungnya kalo dia macem-macem."
Lia menelan saliva susah payah. Petuah yang Haikal berikan padanya terngiang-ngiang di otak. Ia jadi sedikit merinding karena cerita Haikal beberapa waktu yang lalu tentang Damian. Meskipun baru rumor, tetap saja ia harus waspada.
Mendung menggantung di langit. Lia berdiri di depan taman Fakultas Ilmu Budaya, menunggu Damian menjemputnya. Waktu menunjukkan hampir pukul satu siang. Seperti yang lelaki itu katakan terakhir kali, Damian berniat mengajaknya pergi entah ke mana.
Beberapa menit menunggu, Damian akhirnya datang dengan mobilnya. Lelaki itu menurunkan kaca jendela mobil, menyuruhnya masuk lewat tatapan. Tidak ada banyak orang sehingga lelaki itu akan menatap tajam seperti biasa. Meskipun agak ngeri, ia akhirnya menuruti, menenangkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Jika benar setiap orang yang dipacari lelaki itu hamil, mungkin saja karena pacarnya tidak melawan alias ikut terbawa nafsu. Lia sih tidak mungkin. Lagi pula mereka hanya berpura-pura pacaran. Jadi, Lia, jangan berpikiran terlalu jauh. Haikal khawatir padanya karena yang sahabatnya itu tahu Damian sungguhan suka padanya.
"Kita mau ke mana?" tanya Lia setelah Damian menjalankan mobilnya.
"Liat aja nanti."
Lia berdecak di tempat. Apa susahnya menyebutkan nama tempat yang akan mereka datangi? Kerjaannya membuat orang penasaran saja.
"Malem Minggu besok ada makan malam. Arin yang ngajak dan nyuruh bawa pacar baru gue," kata Damian kemudian.
Lia mengernyitkan dahi. "Siapa Arin?"
"Mantan. Orang yang bikin gue kepaksa jadiin lo pacar bohongan."
Ah, benar kan dugaannya? Motif Damian tidak jauh-jauh dari mantan.
"Lo gamon ceritanya? Pengen bikin dia cemburu? Atau pengen balas dendam? Kenapa bisa putus sebelumnya?" tanya Lia, menghunjami Damian dengan banyak pertanyaan. Ia harus tahu hal itu karena berkaitan dengan pekerjaannya sekarang.
Pertanyaan terakhir yang Lia lontarkan sukses membuatnya berpikir sesuatu. Apakah mantan Damian itu orang yang sama yang ketahuan oleh pihak polisi sedang mengaborsi kandungan? Apa karena masalah itu Damian dan mantan pacarnya itu bisa putus?
"Entah."
Sial. Pertanyaannya yang bejibun banyaknya hanya dijawab sesingkat itu?
Beberapa menit menaiki mobil, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Damian memakirkan mobilnya ke basement sebuah gedung, membuat Lia menyadari lelaki itu mengajaknya pergi ke mana.
"Ini bukannya—"
"Apartemen gue," sela Damian sebelum Lia selesai berbicara.
"Mau ngapain ke apartemen lo?" tanya Lia kemudian. Pikirannya yang sulit berpikiran positif mulai membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Harus nanya? Orang-orang kan biasa main ke apartemen pacarnya."
"Tapi kan kita pacaran bohongan."
Damian berdecak. "Lo bego, ya? Ya justru itu lo harus sering-sering ke apartemen gue biar nggak dikira bohongan pacaran."
Lia ikut berdecak ketika Damian mengatainya bego. Benar juga sih yang diucapkan. Tapi tetap saja ia malas. Memang harus ya orang pacaran pergi ke apartemen pacarnya? Tidak kan juga tidak masalah.
Mereka akhirnya naik lift untuk pergi ke lantai tempat di mana apartemen Damian berada. Setelah keluar mereka berada di koridor yang tampak sangat mewah. Tentu saja apartemen yang lelaki itu huni berada di kawasan elit.
Sampai sebuah pintu, lelaki itu menekan password, lalu membuka pintu apartemennya. Damian masuk. Lia mengikuti di belakangnya.
Jujur saja. Apartemen Damian rapi, luas juga mewah. Tidak seperti kamar Haikal yang kadang-kadang seperti kapal pecah. Ia mengira apartemen lelaki itu akan berantakan dan Lia disuruh menjadi babu di sana, tapi ternyata tidak. Hanya saja apartemennya remang-remang, sedikit gelap karena tirai jendela yang tertutup.
"Gelap. Kenapa lo nggak buka tirainya?" Lia yang penasaran bertanya.
"Nggak suka."
"Kenapa?"
"Gue males kena cahaya matahari."
"Lo vampire?"
Damian yang baru saja melepas sepatu menoleh ke arahnya, tersenyum miring. "Lo udah gue gigit dari tadi kalo gue vampire."
Sial. Perkataan lelaki itu sukses membuat Lia merinding seketika.
"Duduk di mana aja terserah. Senyaman lo."
Lia hanya berdeham. Ia masih sibuk mengamati apartemen Damian yang tampak luas dan mewah. Ada televisi besar di ruang tengah. Balkon yang cukup luas dengan jendela kaca besar yang tertutup tirai. Jika dibuka pasti lebih terang. Tidak banyak barang sih. Jadinya tampak lebih luas.
Lia duduk di sofa ruang tengah. Sofanya terasa berbeda dari sofa yang pernah Lia duduki. Rasanya lebih empuk. Pasti ini sofa khusus orang kaya.
Penasaran apa yang Damian lakukan, Lia menoleh ke belakang. Ia langsung memekik tertahan ketika melihat lelaki itu yang sedang berganti pakaian di kamarnya. Meskipun hanya melihat punggungnya, tetap saja membuat Lia terkejut. Bisa tidak sih lelaki itu tidak membuka baju sembarangan? Dia kan tidak sendiri di apartemen ini.
Sejujurnya, ini pertama kali bagi Lia berdua saja dengan seorang laki-laki di apartemen a.k.a tempat tinggal. Dengan Haikal saja tidak pernah. Jika Lia pergi ke rumah lelaki itu, ia pasti hanya duduk di ruang tamu, mengobrol di sana bersama Haikal, kadang dengan orang tuanya juga. Masuk ke kamar sahabatnya hanya untuk mengambil sesuatu. Ataupun jika berdua di kamar pasti sedang membantu Haikal membersihkan kamarnya yang mirip-mirip seperti kandang sapi—dan selalu ada orang tuanya di rumah.
Wajar saja jika Lia tidak nyaman sekarang. Lebih-lebih ini Damian yang baru saja bertemu dengannya kemarin meskipun kenalnya sudah lama. Lebih-lebih lagi ketika ia mengingat rumor yang Haikal ceritakan tadi pagi. Bulu kuduknya seketika merinding.
"Kalau haus ambil minum sendiri di kulkas." Damian datang, sudah berganti atasan menjadi kaos putih.
Lia lagi-lagi hanya berdeham. Damian itu tidak tahu sopan santun, ya? Lia kan tamu. Harusnya diambilkan minum alih-alih suruh mengambil sendiri.
Lelaki itu kemudian membuka tirai jendela, membuat ruang tamu tempat Lia duduk jadi terang karena cahaya matahari.
Damian duduk di sebelahnya, lalu berkata, "Keluarin hape lo. Ayo selfie terus kirim ke I* story. Jangan lupa tag gue."
"Harus, ya?" Lia bertanya memastikan. Pasalnya ia bukan orang yang suka mengunggah sesuatu ke i*******m. Apalagi fotonya sendiri.
"Bisa nggak sih lo langsung lakuin dan nggak usah nanya-nanya lagi?"
Lia berdecak. "Gue kan cuma nanya, Bege," katanya lalu mengeluarkan handphone barunya dari backpack.
"Gimana fotonya?"
Damian duduk mendekat, membuat Lia menelan saliva ketika lengannya bersentuhan dengan lengan lelaki itu. Lia mengarahkan kamera depannya, tersenyum sebaik mungkin. Damian yang jarang tersenyum dengan benar itu akhirnya mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya. Hanya sedikit sih, tapi lebih tampak seperti menyeringai alih-alih tersenyum.
"Caption?"
"Terserah lo."
"Akun I*?"
"At damian titik en."
"Oke."
Setelah mengedit foto agar lebih bagus, Lia akhirnya mengetik caption yang ada di otaknya.
with annoying person @damian.n
Ah kurang bagus.
disuruh setan buat selfie terus ngetag dia @damian.n
Kurang greget.
INI ORANG SATU NYEBELIN BANGET PENGEN GUE TENDANG TAPI NGGAK BISA @damian.n
Yang ini sepertinya cocok.
Seolah tahu apa yang Lia ketik, Damian tiba-tiba menyeletuk, "Nggak usah aneh-aneh. Yang simpel aja."
Lia greget sendiri setelah mendengarnya. Dasar ribet.
Akhirnya Lia mengetik caption sesuai yang Damian bilang.
with bf @damian.n
Simpel kan?
Setelah mengirim foto itu ke I* story, Lia menghela napas. Entahlah. Pasti setelah ini I*-nya ramai. Terlebih saat ia tahu ternyata Damian me-repost foto itu di akun i*******m-nya. Merepotkan sekali ternyata menjadi pacar pura-pura. Lia kira Damian itu tipe orang yang tidak suka mengumbar hubungan. Atau karena ini hubungan palsu makanya lelaki itu mengumbar sepuas hati?
Damian tiba-tiba berdiri, melangkah pergi ke kamarnya.
"Lo mau ke mana?" tanya Lia.
"Tidur siang."
"Terus gue? Nggak dianter pulang dulu?"
"Nanti sore gue anter. Sekarang gue ngantuk. Lo di sini dulu aja anggep kayak rumah sendiri."
Apa katanya? Maksudnya Lia disuruh gabut di tempat tidak nyaman seperti ini sedangkan Damian enak-enak tidur siang?
"Mana bisa gitu? Gue mau pulang," kata Lia kemudian.
"Nanti."
Lia berdecak, lalu berkata, "Yaudah gue pulang sendiri. Pesen taksi online."
"Nggak. Nanti sore gue anter. Awas lo pergi nggak bilang-bilang," kata Damian, lanjut berjalan pergi ke kamarnya, seolah tidak mau tahu perihal kegabutannya di apartemen lelaki itu.
Dasar Damian sialan.
To be continued.
Mau Gili Trawangan atau Gunung Kidul, wisata alam Indonesia itu benar-benar menakjubkan. Pasir pantai Gunung Kidul cukup bersih. Airnya juga. Lebih-lebih banyak pemandangan karang kecil di sana. Sejauh ini ia dan Damian sudah pergi ke tiga pantai berbeda. Di pantai terakhir, mereka berdua bermain air. Saking asiknya, Lia sampai lupa jika waktu melebihi batas yang telah ditetapkan. Pantai di Gunung Kidul terlalu indah untuk dinikmati sampai ia lupa untuk pulang sebelum matahari mulai tenggelam.Setelah membersihkan diri dan ganti baju, mereka berjalan kembali ke parkiran. Waktu menunjukkan pukul lima sore di jam tangan Rolex milik Lia. Itu jam tangan Rolex asli. Damian yang membelikannya saat Lia keceplosan bercerita bahwa jam tangannya rusak saat ia mencuci piring karena lupa melepasnya kala itu. Alhasil, beberapa waktu yang lalu Damian membelikan jam tangan bermerk. Tidak terlalu mahal bagi Damian yang kaya raya itu. “Udah sore banget. Gak usah ke Bukit Bintang, ya?” Lia menyebu
Paginya, Lia dan Damian benar-benar pergi berwisata. Aji dan Leo sebenarnya ingin ikut, tapi tidak bisa karena Hari Senin. Padahal Lia ingin ditemani kedua adiknya alih-alih hanya berduaan dengan Damian."Kamu nggak bawa jaket?" Lia bertanya pada Damian yang berdiri di dekat motor. Waktu menunjukkan pukul lima pagi dan lelaki itu sudah datang menjemputnya.Damian menggeleng."Dingin lho, Mas," ujar ibunya. "Pakai jaketnya Aji aja. Sana, Lia. Ambil jaket Aji. Tanya sama adikmu di mana tempatnya."Lia mengangguk, menuruti perkataan ibu. Ia masuk kamar, membangunkan Aji yang kembali tidur setelah tadi bangun salat subuh. Leo yang tidur di ranjang tingkat di atas Aji ikut terbangun—pemuda itu sungguhan menginap malam ini karena motornya akan dibawa Damian.Tadi malam mereka berdua begadang membahas sesuatu. Alhasil, kembali tidur di pagi hari. Nanti biasanya bangun jam setengah enam untuk siap-siap sekolah. Biasanya jika tidak ada motor, Leo menelpon bawahan papanya agar menjemput dengan
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Lia menatap berbagai paperbag belanjaan yang barusan ia taruh, menghela napas panjang. Ibu, Bapak, Aji dan Leo tak jauh darinya ikut membulatkan mata. “Sebanyak itu?” tanya Bapak. Aji ikut bersuara, “Itu Mas Damian semua yang belikan?”Lia mengangguk lemas. Rasanya semakin banyak beban yang ia tanggung di pundak. Ia masih punya uang saku sisa kemarin, tetapi lelaki itu memaksa membayar seluruh belanjaannya bahkan membeli hal-hal di luar apa yang ia rencanakan seperti sepatu, tas, dan perlengkapan sekolah Aji. Sial. Orang kaya itu selalu semena-mena. Bahkan urusan yang tampak baik seperti ini pun mereka tetap melakukannya dengan pemaksaan. Hal yang sulit kah membiarkan Lia membelikan barang kebutuhan keluarganya tanpa campur tangan lelaki itu? “Nggak papa kalau dibelikan satu atau dua barang, tapi ini banyak banget, Mba. Nggak enak juga,” ujar Ibu kemudian. “Aku udah nolak, Bu. Aku ada uang sendiri buat beli, tapi dia maksa bayarin. Mana beli
Tidak seru jika pergi ke Jogja tanpa pergi ke Malioboro.Alhasil, malamnya Lia dan Damian pergi ke Malioboro menggunakan motor Leo. Niatnya ingin menggunakan motor pitung milik bapak, tapi Damian yang orang kaya tidak terbiasa menggunakan motor jadul itu. Lebih-lebih saat Aji mencoba menghidupkan motornya si pitung itu ngambek tidak mau hidup.Leo yang masih ada di rumah akhirnya menawarkan motor matic-nya pada Damian. Leo memang belum 17, tapi pemuda itu sudah menggunakan motor bahkan mobil sejak usia 14. Tentu saja ada di jalanan desa, bukan jalan besar. Teman Aji yang satu itu tidak henti-hentinya menggoda Lia sejak tadi. Kalau pemuda itu adik Lia sungguhan pasti sudah ia marahi sejak tadi. Pasalnya Aji saja tidak pernah membuat kesal seperti Leo sekarang."Mba Lia, selamat seneng-seneng, ya, sama Mas Pacar. Jangan lupa oleh-olehnya."Lia melotot tajam mendengarnya."Pegangan, Yang. Nanti takut jatuh." Tidak jauh berbeda, Damian yang mengendarai motor di depannya juga berkata sama
Hal yang Lia rindukan ketika berada di Jakarta adalah ketika mendapati meja makan sudah penuh dengan berbagai hidangan untuk sarapan saat waktu menunjukkan pukul setengah tujuh.Lia baru selesai jalan-jalan pagi memutari desa bersama Aji, lalu pulang ke rumah dan melihat Ibu sedang menyiapkan makanan. Bapak sendiri sedang membereskan gudang rumah, melakukan pekerjaan apa pun yang bisa dikerjakan di akhir pekan. Damian sudah ada di hotel. Tadi malam lelaki itu naik taksi online untuk pergi ke sana.Udara pedesaan begitu segar sekali meskipun waktu sudah mendekati pukul tujuh. Tidak seperti di Jakarta sana yang sudah panas dan berpolusi. Di sepanjang perjalanan Lia bertemu beberapa teman SD-nya. Ada yang sedang berangkat bekerja, berangkat kuliah, bahkan mengurus anak. Padahal umur mereka masih 20 tahun seperti Lia. Takdir manusia memang beda-beda.Sampai rumah, Ibu menyuruh sarapan mereka berdua. Aji bilang nanti. Adiknya itu malah mengambil selang, menyiram tumbuhan dan halaman di de
"Ibu istirahat aja. Sini aku yang buatin minuman," kata Lia setelah menyusul ibunya yang pergi ke dapur."Kamu bukannya yang istirahat aja? Tadi berangkat jam berapa dari Jakarta?" tanya ibunya."Jam delapan pagi."“Kok cepet? Naik apa?”“Pesawat.”“Pantes. Yaudah sana duduk aja. Capek pasti," ujar ibunya lagi. Wanita di samping Lia itu menata beberapa gelas di meja dapur. Lalu merebus air untuk menyeduh teh.Damian sendiri ada di teras depan, sedang mengobrol dengan Bapak dan Aji. Lia tidak tahu mereka berbicara apa, tapi tadi akhirnya lelaki itu tetap mengenalkan diri sebagai pacar Lia. Katanya sudah terlanjur salah bicara. Lia tahu sekali itu hanya alasan saja. Kan tinggal dikoreksi saja bisa?Ibu Bapak tidak marah. Hanya terkejut saja karena Lia juga tidak pernah cerita jika punya pacar. Alhasil, sekarang Damian ditanya-tanyai oleh Bapak. Tadi sih ditanya-tanyai tentang hubungan mereka, lalu beralih topik menjadi jurusan kuliah dan kampus. Aji sendiri hanya menyimak obrolan di san