Share

5. Cerita Buatan

Author: IamBlueRed
last update Last Updated: 2025-07-31 01:11:37

Lia memang tidak bercerita pada Haikal bahwa ia dan Damian berpura-pura pacaran. Hanya saja, dia kan bisa bercerita kebohongan versi lain. Meskipun sebenarnya sedikit tidak jauh berbeda dari kata pura-pura pacaran.

"Jadi kemaren, Damian tiba-tiba lewat jembatan pas gue ada di sana," kata Lia, mengawali ceritanya setelah sampai kelas. Kelas belum terlalu ramai. Mungkin sebentar lagi. Keadaannya pasti akan berubah ketika dosen masuk dan mata kuliah dimulai.

Omong-omong, ia dan sahabatnya itu memang satu jurusan. Satu kelompok karena sebuah tugas kuliah dan akhirnya menjadi dekat. Haikal itu lucu, mirip pelawak tapi bukan pelawak. Moodbooster Lia jika ia sedang sendu karena masalah hidup. Singkirkan dulu sebuah fakta tentang hobinya yang suka julid dan ghibah.

"Terus?"

Hanya saja, jika responnya cuek dan dingin seperti sekarang, itu berarti Haikal sedang kesal. Siapa pula yang tidak kesal karena masalah kemarin? Lebih-lebih paginya Lia tiba-tiba jadi seseorang yang berbeda.

"Dia mau anter gue gitu. Terus katanya mau ngajak pergi," bohong Lia. Ia berkata santai karena sudah percaya diri dengan jalan cerita yang ia pikiran keras di sepanjang perjalanan tadi. Oke, Lia. Tunjukkan aktingmu.

"Dan lo mau?"

Lia mengangguk. "Sorry, Kal. Sumpah demi apa gue lupa kalo lo mau jemput. Maafin gue, ya. Gue jajain boba deh setelah ini."

Haikal menyipitkan mata. "Punya duit lo? Kemarin aja pengen bundir gegara nggak bisa bayar kuliah."

Lia mengerucutkan bibir kesal. "Gue bercanda. Mana mungkin gue bunuh diri gegara masalah gitu doang. Gue udah berjuang buat hidup dari kecil sampai sekarang umur 20 tahun masa tiba-tiba bunuh diri. Rugi banget makanan yang udah gue telen, minum yang udah gue teguk."

Haikal berdecak, tampak malas mendengar. "Terus sekarang? Kenapa bisa lo pakai baju baru, tas baru, sepatu baru, hape baru, punya duit buat neraktir gue. Dari Damian juga?"

Lia mengangguk lagi.

"Anjir. Serius lo?!" Haikal bangkit berdiri, menggebrak meja di depannya tidak santai.

"Santai, Mas, santai. Gitu banget responnya." Lia ngeri sendiri. Lebih-lebih ketika teman di jelasnya ikut menatap mereka tidak santai, membuat mereka jadi pusat atensi.

"Terus kok bisa? Nggak mati 50 juta semua barang lo ini mah. Mana mungkin ada orang sedekah ke lo tiba-tiba gitu."

"Seratus juta sebenernya."

"Hah gila, ya? Lo beneran open BO?"

Lia berdecak, ingin sekali menonjok lelaki di depannya sekarang. "Bukan gitu. Dengerin dulu kenapa sih, Kal. Mikir nggak-nggak terus dari tadi. Gue kalo difitnah terus juga bisa kesel, ya. Enak aja open BO. Emang gue semurah itu?"

Haikal menghela napas. "Sorry, Li. Gue ga maksud gitu. Lo sendiri kenapa bilang aneh-aneh kemarin."

Lia menahan tawa ketika sahabatnya memberi tampang bersalah. Tolong dong. Lia kan hanya bercanda. Tidak mungkin ia marah sungguhan pada Haikal.

"Nah dengerin. Setelah gue sama Damian jalan, tiba-tiba dia ngungkapin perasaan gitu. Dia bilang suka gue. Terus bilang mau nggak jadi pacar gue," jelas Lia, kembali membohongi sahabatnya.

"Bentar-bentar... Lo sejak kapan kenal Damian terus deket? Kenapa bisa-bisanya langsung nembak gitu?" tanya Haikal tiba-tiba.

Lia terdiam. Ia lupa memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu. Pasalnya Haikal itu hampir tahu setiap kegiatannya. Dan tidak ada sedikitpun kosakata Damian Naradipta di hidupnya sebelum sekarang. Iya, ya. Kenapa Damian tiba-tiba menembaknya jika sebelumnya saja jarang bertemu? Lia perlu menambal plot hole ini.

"Oh ituuu... Gue sama Damian dulu temen sekelas pas SMA, jadi ya sebenernya gue udah kenal sejak lama. Nah terus gue nggak sengaja ketemu dia di kampus sepekan yang lalu. Waktu itu ketemu di perpustakaan terus ngobrol lama. Akhirnya gue sama dia tukeran nomer. Setelah itu kita sering chatting."

Haikal mengernyitkan dahi tampak tak percaya, tapi kemudian berkata, "Terus?"

"Nah yang kemarin itu gue iyain aja. Gue mau jadi pacar dia," lanjut Lia kemudian.

Haikal menatap tak percaya. "Lo terima? Dengan semudah itu? Padahal baru kontakan seminggu?"

Lia berdecak. "Damian itu tajir, Kal. Lo nggak liat mobilnya tadi? Jadi otak gue mikir, mungkin ini kesempatan gue buat... buat..." ia kesusahan memikirkan kata yang tepat untuk kalimat selanjutnya.

"Morotin dia?"

"Nah iya. Semacem itu." Lia menjentikkan darinya ke udara, berkata dengan PD-nya. Sudahlah, peduli amat dengan rasa malunya sekarang. Tidak masalah dibilang matre. Sumpah demi membayar kuliahnya, Lia tidak masalah.

Haikal langsung geleng-geleng kepala. "Anjir. Temen gue kenapa sih? Lo jadinya pacaran cuman buat ambil duit dia? Lo sebenernya nggak suka Damian?"

Lia mengangguk.

"Sumpah, Li. Lo sejak kapan jadi sematre ini?"

"Sejak gue stress mikir gimana dapet cara duit. Lagian nih ya, Kal. Cewek nggak matre itu nggak bakal hidup. Secara emang harusnya cowok yang melimpahkan segara materi ke wanita tercintanya."

"Itu kalo suami istri. Lo kan masih pacaran."

"Nggak jauh beda tapi. Yang penting pasangan."

"Terus, barang-barang ini lo yang minta?"

Lia menggeleng. "Kalau kemarin murni dia yang pengen beliin gue. Gila nggak sih, Kal? Kayaknya dia kesenengan deh cintanya gue terima."

Lia hampir tertawa mengucapkan kalimatnya itu. Kesenangan dari hongkong? Muka Damian yang tidak ada ramah-ramahnya sejak kemarin. Rasanya seperti minta ditampol.

"Kita mampir ke mall terus dia milihin gue baju banyak banget. Beliin tas, sepatu, sama barang lain. Bilangnya sih pengen pacarnya nggak keliatan buluk, biar bahagia," lanjutnya.

"Itu penghinaan, Bego. Lo nggak sadar?"

Lia menggeleng. "Bodo amat kalau dah dapet barang-barang bagus mah. Dibilang buluk juga gue nggak masalah. Yang penting gue ditraktir beli baju, tas, sama sepatu mahal."

Sumpah, sesungguhnya ini memalukan. Demi apa ia tidak mengerti mulutnya sesantai itu saat mengatakannya. Urat malunya sudah putus sepertinya.

"Paginya gue dijemput, terus dikasih handphone katanya suruh ganti."

"Karena hape lo jadul?"

Lia mengangguk mantap. "Katanya hape gue harus hape keluaran baru. Secara gue pacar Damian Naradipta orang terkaya nomor satu di kampus ini, kaga tahu sih beneran nomor satu apa kaga."

Haikal memijit pelipis pening. Lia tidak tahu. Tapi sepertinya sahabatnya itu sedang memikirkan banyak hal. Mungkin juga mencerna ceritanya yang memusingkan dan tidak bisa dipercaya. Ah, Lia saja tidak menyangka bisa membuat plot cerita sekeren itu.

"Bentar, Li. Cerita lo nggak masuk akal banget, sumpah. Gue temenan sama lo hampir dua tahun dan lo nggak pernah segila ini. Mentok-mentoknya gila cuma ngegembel di pinggir jalan biar dapet bantuan sembako."

"ANJROT GAUSAH DIINGETIN, BAMBANG."

Itu kejadian setahun yang lalu. Lia benar-benar tidak punya uang untuk menghidupi dirinya sendiri karena semua uangnya telah ia pakai untuk biaya kuliah. Ia juga tidak enak jika harus meminta pada Haikal.

Tiba-tiba, di suatu sore hari, Lia melihat sepasang artis terkenal membagi-bagi banyak sembako di pinggir jalan pada pemulung, pengamen, dan orang-orang semacam itu. Entah dapat ide dari mana, Lia akhirnya ikut mengantri. Rambutnya ia buat berantakan. Untung muka dan bajunya memang sudah buluk, jadi ya mudah saja. Sembari membawa kecreng-kecreng di tangan, sepasang artis itu percaya saja dan memberi sembakonya pada Lia.

Pagi harinya Lia bercerita hal itu pada Haikal. Sahabatnya itu langsung menertawainya tanpa henti, membuat Lia menyesal telah menceritakan hal itu pada Haikal.

"Lah ngamok? Malu lo? Lah yang sekarang malu lo ke mana?" ujar sahabatnya itu.

"Yang ini kan gue udah next level, cara dapet duitnya udah high class. Jadi ya ngapain malu?"

Haikal masih menatapnya tidak percaya seolah ceritanya hanya mengarang—meskipun memang benar. "Jadi, setelah ini lo bakal buat rencana biar dikasih duit sama Damian terus bayar kuliah lo? Atau lo mau jual lagi semua barang ini buat bayar itu?"

Lia menggeleng. "Gue udah bilang ke Damian butuh bayar uang kuliah sih. Terus tadi pagi Damian minta rekening gue. Katanya nanti ditransfer uangnya."

Haikal terdiam di tempatnya. Mungkin lelah berkali-kali terkejut. "Segampang itu ngerayu dia buat bayarin lo kuliah?"

"Gue bahkan nggak ngerayu. Dia butuh tempat pembuangan uang keknya. Jadi nggak salah kalo gue ngeiyain jadi pacar dia." Lia masih saja bersantai menceritakan kebohongannya.

Haikal menghela napas panjang, memijit pelipis pening. Hei, yang punya beban hidup banyak kan Lia. Kenapa Haikal yang tampak sangat tertekan?

"Sejujurnya gue nggak suka cara lo dapet duit dari dia," katanya kemudian.

"Kenapa? Karena gue mainin perasaannya?"

Haikal menggeleng. "Bukan gitu, Li. Gue justru khawatir banget sama lo. Bodo amat mah sama perasaannya."

"Emang khawatir kenapa?"

"Lah, lo belum denger rumornya?"

Lia mengernyitkan dahi. Memangnya ia tidak tahu apa? Lia baru tahu dirinya memang ketinggalan banyak bahan ghibah di kampus. Haikal yang laki-laki saja tahu semua.

Lia lupa, sahabatnya itu kan memang suka ghibah.

"Emang rumor apa?" tanyanya kemudian.

"Serius lo nggak tahu? Sumpah. Gue pikir lo udah mikir mateng-mateng terus ambil resiko pacaran sama cowok berengsek kayak dia." Haikal tiba-tiba berkata sesuatu yang membuat Lia harus memutar otak. "Mending putusin dia, Li. Balikin semua barang-barang pembelian dia. Masalah uang kuliah, nanti gue bantuin. Sumpah demi apapun gue bakal bantuin sampai titik darah penghabisan."

"Apaan sih, Kal. Lo ngomong apa sih? Yang jelas bisa nggak?"

Haikal berdecak. "Damian itu bajingan. Dia pernah ngehamilin pacarnya. Habis itu ketahuan aborsi sama pihak polisi yang lagi ngegeledah tempat aborsi itu. Pihak polisi akhirnya ngelaporin ke kampus."

Lia terdiam di tempat, shock mendengar penjelasan sahabatnya.

"Cuman ya gitu... Mereka berdua nggak di-DO karena punya duit. Lo tahu kan gimana orang kaya."

Lia masih setengah percaya setengah tidak. Damian sungguhan lelaki semengerikan itu? Ah, kenapa Lia kaget sekali? Bukannya ia sering mendengar berita seperti itu di kampusnya? Tapi masalahnya ini Damian. Orang yang kemarin bersepakat dengannya untuk berpura-pura pacaran. Status mereka sudah sedekat itu; PACAR. Bukan hanya teman sekelas atau teman satu fakultas. Tentu saja Lia kelewat kaget mendengarnya.

"Bahkan yang gue denger nih, setiap cewek yang pacaran sama dia pasti hamil. Lo mau kaya gitu, ha?!" Tiba-tiba Haikal kesal dan berteriak. Suaranya memenuhi gendang telinganya

Lia tidak salah dengar kan?

To be continued.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   127.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   126.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   125.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   124.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   123.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   122.

    Lia tidak mengerti, tapi otaknya hanya terisi segala hal tentang Damian dari sejak kemarin siang sampai siangnya lagi. Otaknya tidak bisa berhenti mengingat perkataan lelaki itu, selalu kepikiran entah karena alasan apa. Lia sepertinya lupa Damian itu bajingan. Dia itu berengsek karena pernah menghamili wanita lalu mengaborsi kandungan. Lalu bagaimana bisa Damian mengatai Lia suka pada lekaki itu? Argh tidak mungkin. Lia tidak suka Damian. Ia tidak punya perasaan pada lelaki itu. Tidak mungkin Lia jatuh cinta pada laki-laki berengsek, menyebalkan, dan semena-mena seperti Damian. Itu mustahil dan tidak bisa dipikir oleh akal sehat. Dari sekian juta lelaki, kenapa harus Damian? Lia lebih baik suka pada Haikal daripada lelaki macam setan itu. Sumpah menyukai Haikal lebih baik daripada menyukai lelaki itu. Tapi menyukai Haikal juga sama tidak mungkinnya. "ARGH KESEL!" Haikal menatap ngeri Lia di sebelahnya. "Li, lo kerasukan?" Kelas sudah sepi, menyisakan mereka berdua yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status