Share

7. Perjanjian Tertulis

Penulis: IamBlueRed
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-01 03:09:15

Volume kencang sebuah lagu yang disetel membuat Lia terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, bangkit duduk. Ia masih ada di tempat yang sama. Kamar tamu apartemen Damian.

Sial. Tidur di sofa yang meskipun sangat empuk membuat badannya pegal karena tertekuk.

Omong-omong, jam berapa ini? Bisa-bisanya ia ketiduran di rumah orang. Sepertinya sofa Damian punya kelebihan membantu orang untuk tidur. Padahal niatnya tadi Lia tidak ingin tidur sama sekali.

"Udah bangun lo?" Suara Damian terdengar, disusul loud speaker yang dimatikan. Damian menyetel salah satu lagu Linkin Park. Baru sadar jika mereka punya selera lagu yang mirip.

Lia menoleh, mengernyitkan dahi ketika melihat Damian sedang membawa kemoceng. Apa lelaki itu baru saja bersih-bersih rumah?

"Jam berapa ini?"

"Empat."

Lia terbelalak. "Serius jam empat?"

Damian berdeham, lalu berkata, "Kebo."

Lia berekspresi kesal. Dia kan lelah sehabis kuliah. Jadinya tidurnya juga lama. Lebih-lebih sofa Damian sangat nyaman untuk ditiduri. Sofa orang kaya memang beda.

Lia memegangi perutnya yang tiba-tiba berkeruyuk. "Laper banget. Gue belum makan siang."

"Terus?"

Jawaban Damian sukses membuat Lia ingin memberi bogem mentah pada lelaki itu.

"Salah sendiri kenapa nggak ngomong? Pesen online anter ke sini kan bisa," kata Damian lagi.

"Gue kan ketiduran. Mana bisa pesen, Ogeb," kesal Lia.

"Nih, makan." Damian tiba-tiba saja sudah menyodorkan kotak pizza padanya.

Lia tersenyum menatap makanan di depannya. Damian ini memang kurang akhlak. Harusnya kan ia disuguhi makanan sejak tadi. Bah, jangan berharap tinggi-tinggi. Ia bahkan ditinggal tidur siang alih-alih diperlakukan sebagai tamu.

"Gue ... haus."

"Minum di sana."

"Gue tamu, harusnya diambilin," ujar Lia tidak terima.

"Lo bakal ke sini terus, jadi bukan tamu."

Apa katanya? Akan ke apartemennya terus? Lia sih malas. Dia saja gabut tidak ada kerjaan di tempat ini. Lebih baik di kontrakannya, kipasan sembari mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Atau jika tidak ya tidur dengan nyaman tanpa pegal-pegal.

"Gue ogah ke sini lagi."

"Harus. Setiap hari setidaknya lo harus ngehabisin dua jam di sini," ujar Damian.

Lia melototkan mata tak percaya. "Lo gila, ya? Ngapain gue harus ngehabisin seperduabelas waktu hidup gue dalam sehari di sini?"

Damian tersenyum miring. "Lo pacar gue kalo lupa."

"Tambahan, cuma bohongan."

"Lo gue bayar. Jadi ikutin apa yang gue suruh."

Sial. Akhirnya kalimat seperti itu keluar juga dari mulut lelaki di depannya. Benar kan. Lia seharusnya memang membuat perjanjian tertulis agar tidak diperlakukan semena-mena oleh Damian. Tidak ada perjanjian saja semena-mena, apalagi ada perjanjian.

"Gue udah terima 300 juta dari lo. Sebelum gue pakai itu buat bayar kuliah, gue mau kita sepakatin perjanjian tertulis lebih dulu," ujar Lia, mengeluarkan kertas yang telah ia siapkan sejak semalam.

Damian mengernyitkan dahi, mengambil kertas dari tangannya.

Isi perjanjian tidak banyak. Simpel saja.

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Pihak 1 : Akasia Liliana

Pihak 2 : Damian Naradipta

Dalam hal ini menyepakati perjanjian menjadi kekasih kontak dengan imbalan pembayaran uang kuliah sampai lulus, yang diberikan pihak 2 ke pihak 1 dengan beberapa kesepakatan sebagai berikut :

1. Tidak boleh memaksa.

2. Tidak boleh menganggu privasi masing-masing.

3. Pihak 1 tidak boleh menganggu kegiatan pihak 2, begitu juga sebaliknya.

4. Perjanjian hanya berjalan selama sebulan, lalu selesai.

5. Hubungan ini bersifat simbiosis mutualisme sehingga saling menguntungkan. Jika ada yang merasa dirugikan, perjanjian perlu ditinjau ulang.

4. Tidak boleh saling menyentuh.

Damian yang duduk di sofa dekat Lia terkekeh membaca kertas di tangannya. Lelaki itu kemudian tersenyum miring, menatap Lia dari bawah ke atas. "Siapa yang mau nyentuh cewek kayak lo?"

Lia naik darah mendengar ucapan Damian yng terdengar mengejek. "Emang gue kenapa? Gue cantik."

"In your dream."

Lia berdecih. "Gue sumpahin lo suka sama gue beneran!"

Damian tersenyum miring, tiba-tiba berdiri lalu bergerak mendekat. Lelaki itu mengunci tubuhnya dengan kedua tangan yang menumpu sofa, mengukungnya, membuat Lia memepetkan diri ke sofa di belakangnya. Sial. Damian ini kenapa?

"Nggak ada istilah gue suka sama lo. Lo yang harusnya suka gue. Garis bawahin," katanya. Matanya menatap tajam ke Lia yang mendadak menciut di tempat. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti, membuat Lia harus menelan saliva susah payah karena hembusan hangat yang terasa menggelitik mengenai wajahnya.

Damian akhirnya bergerak mundur, membuat Lia mengambil napas banyak-banyak.

Damian itu mengerikan sekali. Bisa-bisanya bergerak sedekat itu tanpa aba-aba. Ah dasar laki-laki gila.

"Ganti setahun. Lo pikir duit yang gue keluarin sejak kemarin cukup buat bayar jasa lo jadi pacar bohongan gue selama sebulan?" ujar lelaki itu kemudian.

"Tapi enggak setahun juga. Itu kelamaan, Bego." Lia berseru tidak terima. Setahun jadi pacar Damian? Ia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya nanti. Pasti mentalnya sangat tertekan.

"Tiga bulan deh?" tawar Lia lagi.

"Nggak. Sepuluh bulan."

"Lama itu. Please, lo nggak kasihan sama orang miskin kayak gue? Lagian lo butuh pacar bohongan emang selama itu?"

Damian terdiam, tampak berpikir ulang. "Setengah tahun kalau gitu. Dua bulan buat ganti barang-barang yang gue kasih. Empat bulan lagi buat bayar uang kuliah yang udah gue bayarin," katanya kemudian.

"Gimana kalau empat—"

"Nope. Itu penawaran terakhir. Kalau lo nggak setuju, yaudah. Perjanjian batal. Balikin barang yang gue kasih sama uang yang udah gue transfer."

Semudah itu Damian berbicara? Kemarin lelaki itu memaksanya jadi pacar palsu, dan sekarang lelaki itu melepaskannya dengan mudah. Ah dasar gila. Damian tahu sekali titik kelemahannya adalah uang kuliah. Mana jatuh temponya sebentar lagi. Dan ia belum mencari tahu informasi lowongan kerja sama sekali.

"Tapi kan lo yang kasih barang-barang itu. Padahal gue nggak butuh," ujar Lia, masih bersikeras menolak tawaran Damian. Enam bulan itu lama. Sama seperti satu semester saat Lia kuliah.

"Itu udah sepaket. Lo harus terima barang itu kalau mau jadi pacar bohongan gue."

Lia menyugar rambut pening. Dia sudah sampai ujung, tidak bisa menawar lagi. Terlebih ini Damian yang susah sekali diajak tawar-menawar.

"Yaudah, oke! Enam bulan!" serunya kesal. Lia mengambil pena dalam backpack-nya, mengganti perjanjian yang ada. Kata sebulan ia coret menjadi enam bulan.

"Lo mau ganti apa lagi? Sebelum ditandatangani dan disahkan?" tanya Lia kemudian.

Damian terkekeh. "Alay banget lo. Ngapain juga sampai bikin perjanjian tertulis."

Lia tersenyum sinis. "Gue nggak bego, ya. Gue tahu lo orangnya semena-mena. Jadi suatu saat kalo lo udah ngelewatin batas, gue bisa lapor ke polisi."

Damian terkekeh sarkas. "Udah dibilangin nggak ada gunanya lapor polisi. Berkas laporan bakal dibuang kalau gue udah main duit."

DAMIAN SIALAN.

"Lagian ngelewatin batas kayak gimana?" Damian kembali mendekatkan wajah, mengeluarkan smirk andalannya. Aduh. Jantungnya tidak akan baik-baik saja jika begini terus caranya.

Lelaki itu memainkan rambut Lia, lalu memindahnya ke belakang. Lehernya yang terekspos mendadak merinding ketika mata Damian mengarah ke sana.

Jika begini caranya, rumor yang Haikal ceritakan tadi bisa jadi benar. Damian mengerikan. Serius. Lia ingin menyuruh lelaki itu mundur, tetapi takut justru hal itu membuatnya makin menjadi-jadi. Orang semacam Damian itu tidak takut dengan ancaman.

"Lo takut sesuatu tentang gue?" bisiknya kemudian.

DASAR SETAN.

Lia ingin sekali mengumpat dua kata itu.

Sejurus kemudian, air muka Damian berubah, terkekeh. "Santai mukanya. Lo pikir gue mau apain lo?" ia mundur menjauh, tersenyum mengejek menatapnya yang sedang gugup. Aduh, apa-apaan ini? Kenapa Lia terlihat sangat memalukan sekarang?

"Gue nggak tertarik sama lo. Jadi jangan pernah mikir macem-macaem," kata Damian, membuat Lia berkali-kali mengingat kata-kata itu dan memasukkannya ke otak. "Terus tadi, lo tanya kan apa lagi yang mau diubah? Hilangin kesepakatan 'tidak boleh memaksa'. Lo nggak bisa soalnya kalo nggak dipaksa."

Lia melebarkan mata. "MANA BISA GITU?!"

To be continued.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   127.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   126.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   125.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   124.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   123.

    Damian berhenti tepat di depan kontrakan Lia. Mobilnya melambat, lampu sein berkedip sekali sebelum padam. Lia berdiri sambil merapikan tas gantung di bahunya, masih merasa aneh dengan betapa natural semua ini akhir-akhir ini. Dulu, dia harus diseret—secara emosional—untuk sekadar naik mobil Damian demi mendapatkan uang . Sekarang? Damian cuma kirim pesan singkat “Gue udah di depan.” dan kakinya otomatis melangkah keluar.Pintu mobil terbuka, dan Lia masuk, disambut aroma interior mobil yang familiar. Damian hanya melirik sekilas, gumamnya pendek, “Udah siap?”“Udah,” jawab Lia, meski ia sendiri belum yakin ia siap untuk apa.Mobil melaju pelan. Kota di luar jendela bergerak mundur, sementara keheningan di dalam mobil terasa lebih lembut dibanding sebelum-sebelumnya. Mereka sudah beberapa kali bertemu dalam beberapa hari terakhir, dan Lia masih mencari alasan yang masuk akal untuk dirinya sendiri, mengapa ia selalu bilang “boleh” tiap kali Damian mengajak pergi. Padahal dulu, setiap k

  • 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan   122.

    Lia tidak mengerti, tapi otaknya hanya terisi segala hal tentang Damian dari sejak kemarin siang sampai siangnya lagi. Otaknya tidak bisa berhenti mengingat perkataan lelaki itu, selalu kepikiran entah karena alasan apa. Lia sepertinya lupa Damian itu bajingan. Dia itu berengsek karena pernah menghamili wanita lalu mengaborsi kandungan. Lalu bagaimana bisa Damian mengatai Lia suka pada lekaki itu? Argh tidak mungkin. Lia tidak suka Damian. Ia tidak punya perasaan pada lelaki itu. Tidak mungkin Lia jatuh cinta pada laki-laki berengsek, menyebalkan, dan semena-mena seperti Damian. Itu mustahil dan tidak bisa dipikir oleh akal sehat. Dari sekian juta lelaki, kenapa harus Damian? Lia lebih baik suka pada Haikal daripada lelaki macam setan itu. Sumpah menyukai Haikal lebih baik daripada menyukai lelaki itu. Tapi menyukai Haikal juga sama tidak mungkinnya. "ARGH KESEL!" Haikal menatap ngeri Lia di sebelahnya. "Li, lo kerasukan?" Kelas sudah sepi, menyisakan mereka berdua yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status