Sejak masuk keluar ruangan rapat, Cherry tak bisa menyembunyikan senyum senang di wajah cantiknya itu. Dengan deretan gigi kelinci dan pipi tembam bulat gadis itu menambah kadar kecantikannya berkali-kali lipat. Ia tampak senang saat ini, bahkan senyum konyolnya masih berlanjut ketika sampai di ruangan tunangan itu. "Bisakah kau berhenti memandangku seperti itu? Kau terlihat bodoh," ucap Jenaro yang merasa risih karena Cherry terus mengekornya sejak tadi. Bahkan gadis itu tak henti-hentinya memandangi dirinya. Jenaro tahu jika dirinya tampan luar biasa, namun bisakah gadis itu tak menatapnya seperti itu. Bahkan ia harus fokus pada pekerjaannya saat ini. Cherry mengerucutkan bibirnya ketika Jenaro kembali mengatainya lagi. Bagaimana pria ini tampannya bagai dewa, tapi mulutnya pedas seperti samyang? Cherry mendengus, ia bukan tipe penyabar. Namun jika itu Jenaro, bisa dibicarakan baik-baik, sih. "Bagaimana menurutmu, Jey?" ujar Cherry sembari mencondongkan tubuhnya yang saat ini t
Cherry Naomi, gadis itu beberapa kali mengeluarkan umpatan ketika lagi-lagi panggilannya tak ada jawaban dari seseorang yang rasanya ingin ia cekik malam ini. Cherry sudah datang sejak 20 menit yang lalu di arena balap, namun ia tak melihat adanya Jemian di sana. Sebenarnya ketika berada di area balap ini Cherry sangat bergantung pada Jemian. Bisa dikatakan jika pria itu adalah teman satu-satunya yang Cherry punya di sini. Cherry adalah tipe orang yang tak suka bergaul dengan banyak orang. Hanya orang-orang yang bisa dipercaya yang bisa dekat dengannya. “Yak! Kau di mana, sialan!” umpat Cherry dengan nada tingginya setelah panggilan kelimanya diangkat oleh seorang pria di seberang sana. “Sweetie, maafkan aku.Aku ingin benar-benar ingin datang. Tapi pria dinginmu itu nyaris membuatku gila malam ini!” pekik Jemian terdengar frustasi di telinga Cherry. Sontak rasa marah Cherry, berganti menjadi heran ketika pria kulkasnya disebut dalam pembicaraan mereka. “Ada apa dengan Jenaro?” “P
Cherry terkejut bukan main melihat dengan jelas, siapa di balik kemudi yang menantangnya itu. Ia masih sangat tak percaya jika seseorang yang sudah beberapa tahun tak ia temui itu kini berdiri dengan senyum kotaknya ke arahnya. "D-Deon?" ujar Cherry sedikit terbata-bata. Pria dengan rahang tegas dan bahu lebar terlihat kokoh itupun tersenyum lebar. "Long time no see, Sweetheart.” Balasnya dengan senyum mengembang yang tak bisa lepas dari wajah rupawannya. Bahkan kini pria itu hanya menggunaka kaos berwarna hitam bermerek ‘Celine’ dan celana pendek berwarna army. Namun dengan pakaian casualnya itu tak mengurangi wajah tampannya sama sekali. Cherry berdecak mendengarnya, ngomong-ngomong ia selalu menyukai panggilan manis yang pria itu sematkan padanya. Pria dengan rambut hitam sedikit acak itu memasang wajah murungnya, melihat respon Cherry yang menatapnya kesal. Oh, bahkan ia sangat rindu dengan gadisnya ini. "Kenapa kau masih saja diam, sayang? Tak rindu pada mantan kekasihmu ini
"Nona muda anda cantik sekali malam ini," puji seorang maid yang kini tengah berdiri di samping Cherry. "Jadi, aku terlihat cantik hanya malam ini saja?" Celetuk Cherry berpura-pura marah, padahal hatinya ingin meledak karena pujian itu. "Bu-bukan begitu, Nona. Tapi malam ini kecantikan anda seakan bertambah berkali-kali lipat," ujar maid yang mengurus Cherry sejak kecil itu. Melihat bagaimana raut ketakutan seperti itu lantas membuat Cherry terkekeh pelan. Dan mendengar pujian yang diberikan membuat Cherry tersipu malu. Sangat jarang sekali sebenarnya ia memakai sebuah dress berwarna pink pastel dengan model potongan bahu pendek seperti ini. Dress yang ia pakai malam ini benar-benar memberikan kesan anggun dan elegan secara bersamaan. Pada dasarnya Cherry kurang menyukai dress seperti ini, ia lebih suka memakai celana jeans panjang dengan motif robek-robek di bagian lutut atau pahanya. Namun malam ini, ia sengaja memakai dress cantik ini demi acara makan malam perdananya bersama
Di sebuah kamar hotel dengan fasilitas lengkap dan terlihat mewah itupun tampak seorang pria tengah menatap ponselnya berkali-kali. Menunggu notif berisik yang biasanya selalu ia terima setiap harinya, namun semua itu seakan lenyap sejak ia datang ke Jepang. Duduk menyila di sofa sembari menatap lurus ke arah ponsel yang berada di atas meja itupun, Jenaro tampak menunggu dengan serius. Ia tampak menyandarkan punggungnya pada sofa sembari melipat tangannya, namun kaki kirinya tak bisa berhenti untuk bergetar. Seperti resah dan gelisah serta harap-harap cemas ia menunggu seseorang yang ia harapkan menjauh darinya itu mengirim pesan padanya. Hingga tak beberapa lama kemudian layar ponselnya menyala, sebuah notifikasi pesan masuk tampil di layar. Dengan gerakan cepat, Jenaro pun terduduk tegap, tangannya meraih ponselnya lalu membuka ponselnya. "Sialan!" Maki Jenaro sembari melempar ponselnya ke sofa sebelahnya. Pria itu tampak kecewa dengan notifikasi itu yang ternyata berasal dari ope
Pagi ini terasa cerah sekali bagi pria tampan yang tengah rapi dengan setelan jasnya. Sedari tadi senyumnya tak berhenti mengembang bahkan sesekali ia bersiul senang. Sembari memasuki gedung yang memiliki puluhan lantai itu, Jemian tampak riang sambil memutar-mutar kunci mobilnya. Ya, pria itu terlihat sangat bahagia hari ini. Alasannya simpel, karena sumber ke-frustasiannya tidak datang ke kantor hari ini. Siapa lagi jika bukan pamannya yang menyebalkan itu. Karena Jenaro tengah pergi ke luar kota, jadi Jemian bisa bersantai hari ini.Masih memasang senyum yang secerah mentari itu kini Jemian sudah berada di depan pintu yang bertuliskan 'Presdir Room'. Tidak ada pamannya, yang artinya ia bebas mengusai ruangan ini bukan? Bersantai dengan bermain game seharian adalah motto Jemian hari ini. Membuka pintu ruangan dengan semangat yang menggebu lantas Jemian pun terkejut bukan main. "OUHHH.. SHIT!" Umpat Jemian tanpa sadar, pria manis itupun terkejut sampai memundurkan tubuhnya meliha
Mengikuti permintaan Jenaro nyatanya tak semudah itu bagi Cherry. Berkali-kali gadis manis itu tampak mengerang sana-sini menahan diri untuk tidak menghubungi pria itu terlebih dahulu. Biasanya ia akan mengirim beberapa spam meskipun hanya balasan singkat yang ia terima. Pikirannya sudah kacau, mengingat jika pria yang ia sukai tengah menghabiskan waktu bersama kekasihnya. "Brengsek!" Umpat Cherry berkali-kali.Bisa saja ia menyusul Jenaro ke Jepang saat ini juga, namun ia sudah bersikap sok keren di depan Jemian. Sangat memalukan jika ia melanggar ucapannya sendiri bukan? "Sialan, kenapa aku harus mengatakan hal itu?" Erang Cherry kembali, menyesali sikapnya. Nyatanya rasa rindu itu terlalu berat untuk sekedar ia acuhkan. Cherry Naomi tampak menggigit bibirnya kecil. Lalu tak lama kemudian ia pun berdiri. "Sudah cukup! Aku tidak tahan!" Ujar Cherry sembari menggeram. Lantas ia pun berdiri dari duduknya, berjalan cepat menuju ke arah walk in closetnya lalu mengeluarkan satu koper
Cherry benar-benar membuktikan ucapannya, selama dua minggu ini dirinya tak menampakkan diri dihadapan Jenaro sama sekali. Jangankan menampakkan diri, mengirim satu bait pesan pun tidak. Seharusnya Jenaro merasa senang dengan hal itu bukan? Wanita yang selalu ia anggap sebagai lalat pengganggu itu telah hilang. Namun kenapa rasanya justru berbeda? Sudut hatinya terasa kosong.Perasaan yang yang tak penuh itu pada akhirnya berdampak pada pekerjaannya. Mencoba fokus pada pekerjaan untuk mengabaikan perasaan sialan yang mengganggunya itu, namun Jenaro justru terlihat kacau. Sempat beberapa kali ia membuat kesalahan pada pekerjaan yang sudah ia geluti selama bertahun-tahun itu. Bahkan beberapa karyawannya juga terkena dampak dari perubahan keadaan emosionalnya itu. Sampai Jemian pun tak berani mendekat ataupun sekedar melayangkan candaan pada pamannya itu.Beberapa malam terakhir ini Jenaro justru memilih menginap di kantornya, daripada pulang ke rumah ataupun apartemennya. Memang benar