Share

Adat Masyarakat (4)

Angel bermalam di penginapan dekat rumah Bu kades, sedangkan diriku di rumah Bah Halim yang terletak kurang lebih harus melewati 18 rumah. Kebetulan dia tinggal seorang diri. Selama berada di dalam bangunan minimalis lengkap dengan cat biru langit yang di beberapa bagiannya terkelupas ini, pikiran merenung.

Menatap badan orang tua itu

yang tampak tulangnya dari belakang, rasanya ingin merangkul, lalu memberikan apa yang ia minta. Hidup dalam kesendirian, tidaklah menyenangkan. Sama seperti Papa yang mengalami hal serupa. Beruntunglah dia masih bisa ditemani oleh anak buahnya.

"Ini minumnya, maaf cuma ada air teh, saya jarang sediain sirup kalau nggak lagi bulan puasa atau lebaran," ujarnya seraya meletakan nampan serta teko berisi air teh juga gelas kaca kecil di meja kayu yang bagian kakinya sedikit rapuh.

"Nggak papa atuh, Bah. Seadanya saja," balasku yang kemudian menuangkan air teh tersebut dan meneguknya.

Lalu, pria dengan kulitnya yang telah keriput termakan usia itu duduk berhadapan denganku. Dia menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. Senyum dipamerkannya kala mata kami saling bertatapan. Setelah itu, aku memulai perbincangan bertanya mengenai kehidupan sehari-harinya.

Sampai suara teriakan seorang perempuan membuat tawa kami terhenti dan seketika berubah menjadi tegang. Bah Halim beranjak dari duduknya, lalu membuka pintu disusul olehku.

"Akh, sa-kit!"

Suara itu tak lain dari rumah yang hanya berjarak lima meter dari tempat ini. Segera, aku dan Kakek itu mendatangi rumah tersebut. Sampai di sana, rupanya pintu rumah terbuka, menampakkan tiga orang sedang memeriksa keadaan wanita yang duduk di lantai sambil mengusap-usap perut besarnya. Tidak salah lagi, wanita itu akan melahirkan.

"Udah saya telepon suaminya, ambulans juga lagi jalan ke sini." Setelah seorang wanita paruh baya berucap demikian, kami sedikit merasa lega. Namun, kembali tegang saat ibu itu berteriak lebih keras, lalu tiga wanita yang membantu menenangkannya menyuruhku dan Bah Halim keluar dengan menutup pintu.

Ditutupnya pintu perlahan, harap-harap cemas Si Ibu dan bayinya baik-baik saja. Aku bertanya pada pria berwajah keriput itu, seberapa lama mobil dinas kesehatan itu menempuh perjalanan menuju Kampung Lembayang ini? Beliau pun menjawab bila dari kantor desa menuju kampung ini memerlukan waktu kurang lebih sepuluh menit karena jaraknya tidak terlalu jauh.

Beberapa kali erangan dari wanita tadi terdengar, tak lama kemudian suara tangisan bayi memenuhi seisi rumah tersebut. Tetangga lain pun mulai banyak yang berdatangan hingga selang beberapa menit, ambulans yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan cekatan, mereka menggotong tubuh wanita itu masuk ke mobil. Satu orang lagi, menggendong bayi yang sekujur tubuhnya masih terdapat bercak darah belum dibersihkan sama sekali.

"Alhamdulillah, semoga mereka diberi keselamatan dan kebahagiaan," tutur Bah Halim seraya menghampiri sendal lusuhnya dan menatap perginya kendaraan roda empat itu.

"Aamiin."

****

"Lagi bikin apa, Bah?" tanyaku ketika melihat Kakek itu tengah mengaduk-aduk adonan di mangkok berukuran agak besar.

"Ini, mau bikin bakwan kalau Bahasa Sundanya bala-bala," jawabnya, lantas meletakan wajan di atas tungku api yang membakar banyaknya kayu. Sekilas, nama 'bala-bala' itu sedikit asing dalam ingatan. Dulu pernah mendengar juga menyebut nama tersebut, tapi tidak ingat kapan, dalam hal apa, dan di mana itu terjadi?

Ternyata, Bah Halim jago memasak. Usai beberapa bakwan itu matang, aku mencicipi rasanya yang gurih juga renyah menggoda mulut untuk tak berhenti menjajah makanan sederhana ini. Terlebih lagi, aku sempat menggigil karena dinginnya air pedesaan yang sumber mata airnya langsung dari pegunungan. Hangatnya bakwan itu bagai menusuk lidah sampai kerongkongan.

Dari pintu dapur rumah ini, pemandangan gunung berkabut terlihat amat menyegarkan mata. Kedua kalinya, aku dapat menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang jarang ditemui orang-orang kota sepertiku. Saat di Kanada beberapa tahun silam, Mama pernah mengajakku berlibur ke sebuah pedesaan di Vancouver. Namun, sekarang belum pernah lagi beliau mengajak berlibur ke desa-desa seperti itu.

Sedang asyik-asyiknya menatap keindahan alam di pedesaan ini, tiba-tiba pemandangan baru datang. Alis panjang sebelah dan ketebalan lipstik di bibir seorang wanita yang menjadi objek pemandangan baru ini terbilang cukup mencolok.

"Kok, ke sini? Nanti, kan saya ke sana juga," kataku keheranan menatap perempuan berpakaian blazer abu-abu itu.

"Ini udah pukul enam lewat tiga puluh menit. Katanya, mau berangkat jam segini?" Aku mendelik, melirik jam tangan dan ternyata memang benar. Janganlah sampai terjebak macet seperti kemarin lagi.

"Jangan buru-buru, ini masih pagi. Emangnya, habis ini mau ke mana lagi?" Bah Halim bertanya seraya menyajikan bakwan yang dibuatnya ke atas piring keramik berukuran besar. Kujawab bila akan melanjutkan perjalanan menuju Desa Hegarmulya.

Mendengar hal itu, dia malah tertawa renyah, menampakkan bagian gigi yang ludes termakan usia. Sementara Angel masih diam berdiri di atas tanah tercampur sedikit genangan air. Tanganku ditepuk-tepukkan ke atas bilik kandang ayam yang sejak tadi kududuki mengisyaratkan agar dia tidak terus berdiri.

"Dari desa ini ke Hegarmulya cuma satu jam, nggak lama. Mendingan main-main dulu di sini, sebentar lagi bakal ada acara makan-makan di rumah tetangga. Kalian ikut."

"Acara apa, Bah? Apa yang kemarin lahiran itu?"

"Iya, betul. Setiap ada salah satu anggota keluarga yang melahirkan, warga serempak untuk mengadakan acara doa bersama dibarengi makan-makan. Sebagai tanda syukur juga kebahagiaan atas kelahiran generasi baru." Bah Halim menjelaskan. Kami berdua hanya mengangguk paham, lalu menunggu beliau yang pamit untuk bersiap-siap.

****

Banyak pasang mata melirik ke arah kami berdua yang berjalan di belakang Bah Halim ke dalam rumah wanita yang kemarin melahirkan itu.

"Suami istri kali ya? Yang satu ganteng, satu lagi cantik. Masya Allah." Kudengar bisik-bisik ibu-ibu yang sedari kedatangan kami terus memerhatikan.

Sayangnya, kami bukan pasangan, kami orang asing yang baru saling mengenal. Ah, ingin sekali kuungkapkan hal itu pada orang yang mengiranya.

"Ayo, silahkan duduk sebentar lagi Ustad datang, kita mulai acaranya," tutur salah satu wanitabergamis ungu mempersilahkan dengan Bahasa Sundanya.

Di tengah-tengah berjejernya para warga yang ikut merayakan, terdapat banyak sajian yang menggugah. Dari mulai jajanan keripik, makanan khas, kue, dan yang paling menonjol adalah tumpeng! Dulu, aku sangat suka bahkan ketagihan dengan makanan berekstrak kunyit itu. Kelezatannya tiada siapa yang menandingi, ditambah lagi kalau dimakan bersama ayam serundeng atau ayam kecap.

Tak berapa lama, Ustaz pun datang, acara dimulai dengan doa pembukaan terlebih dulu. Lalu, dilanjut dengan doa-doa lain.

----0o---

Bersambung, lagi 😚😚😚💚 silahkan beri komentar atau tanggapan mengenai cerita ini ya, saya hatap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian 💖

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status