Angel bermalam di penginapan dekat rumah Bu kades, sedangkan diriku di rumah Bah Halim yang terletak kurang lebih harus melewati 18 rumah. Kebetulan dia tinggal seorang diri. Selama berada di dalam bangunan minimalis lengkap dengan cat biru langit yang di beberapa bagiannya terkelupas ini, pikiran merenung.
Menatap badan orang tua itu
yang tampak tulangnya dari belakang, rasanya ingin merangkul, lalu memberikan apa yang ia minta. Hidup dalam kesendirian, tidaklah menyenangkan. Sama seperti Papa yang mengalami hal serupa. Beruntunglah dia masih bisa ditemani oleh anak buahnya."Ini minumnya, maaf cuma ada air teh, saya jarang sediain sirup kalau nggak lagi bulan puasa atau lebaran," ujarnya seraya meletakan nampan serta teko berisi air teh juga gelas kaca kecil di meja kayu yang bagian kakinya sedikit rapuh.
"Nggak papa atuh, Bah. Seadanya saja," balasku yang kemudian menuangkan air teh tersebut dan meneguknya.
Lalu, pria dengan kulitnya yang telah keriput termakan usia itu duduk berhadapan denganku. Dia menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. Senyum dipamerkannya kala mata kami saling bertatapan. Setelah itu, aku memulai perbincangan bertanya mengenai kehidupan sehari-harinya.
Sampai suara teriakan seorang perempuan membuat tawa kami terhenti dan seketika berubah menjadi tegang. Bah Halim beranjak dari duduknya, lalu membuka pintu disusul olehku.
"Akh, sa-kit!"
Suara itu tak lain dari rumah yang hanya berjarak lima meter dari tempat ini. Segera, aku dan Kakek itu mendatangi rumah tersebut. Sampai di sana, rupanya pintu rumah terbuka, menampakkan tiga orang sedang memeriksa keadaan wanita yang duduk di lantai sambil mengusap-usap perut besarnya. Tidak salah lagi, wanita itu akan melahirkan.
"Udah saya telepon suaminya, ambulans juga lagi jalan ke sini." Setelah seorang wanita paruh baya berucap demikian, kami sedikit merasa lega. Namun, kembali tegang saat ibu itu berteriak lebih keras, lalu tiga wanita yang membantu menenangkannya menyuruhku dan Bah Halim keluar dengan menutup pintu.
Ditutupnya pintu perlahan, harap-harap cemas Si Ibu dan bayinya baik-baik saja. Aku bertanya pada pria berwajah keriput itu, seberapa lama mobil dinas kesehatan itu menempuh perjalanan menuju Kampung Lembayang ini? Beliau pun menjawab bila dari kantor desa menuju kampung ini memerlukan waktu kurang lebih sepuluh menit karena jaraknya tidak terlalu jauh.
Beberapa kali erangan dari wanita tadi terdengar, tak lama kemudian suara tangisan bayi memenuhi seisi rumah tersebut. Tetangga lain pun mulai banyak yang berdatangan hingga selang beberapa menit, ambulans yang ditunggu-tunggu tiba. Dengan cekatan, mereka menggotong tubuh wanita itu masuk ke mobil. Satu orang lagi, menggendong bayi yang sekujur tubuhnya masih terdapat bercak darah belum dibersihkan sama sekali.
"Alhamdulillah, semoga mereka diberi keselamatan dan kebahagiaan," tutur Bah Halim seraya menghampiri sendal lusuhnya dan menatap perginya kendaraan roda empat itu.
"Aamiin."
****
"Lagi bikin apa, Bah?" tanyaku ketika melihat Kakek itu tengah mengaduk-aduk adonan di mangkok berukuran agak besar."Ini, mau bikin bakwan kalau Bahasa Sundanya bala-bala," jawabnya, lantas meletakan wajan di atas tungku api yang membakar banyaknya kayu. Sekilas, nama 'bala-bala' itu sedikit asing dalam ingatan. Dulu pernah mendengar juga menyebut nama tersebut, tapi tidak ingat kapan, dalam hal apa, dan di mana itu terjadi?
Ternyata, Bah Halim jago memasak. Usai beberapa bakwan itu matang, aku mencicipi rasanya yang gurih juga renyah menggoda mulut untuk tak berhenti menjajah makanan sederhana ini. Terlebih lagi, aku sempat menggigil karena dinginnya air pedesaan yang sumber mata airnya langsung dari pegunungan. Hangatnya bakwan itu bagai menusuk lidah sampai kerongkongan.
Dari pintu dapur rumah ini, pemandangan gunung berkabut terlihat amat menyegarkan mata. Kedua kalinya, aku dapat menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang jarang ditemui orang-orang kota sepertiku. Saat di Kanada beberapa tahun silam, Mama pernah mengajakku berlibur ke sebuah pedesaan di Vancouver. Namun, sekarang belum pernah lagi beliau mengajak berlibur ke desa-desa seperti itu.
Sedang asyik-asyiknya menatap keindahan alam di pedesaan ini, tiba-tiba pemandangan baru datang. Alis panjang sebelah dan ketebalan lipstik di bibir seorang wanita yang menjadi objek pemandangan baru ini terbilang cukup mencolok.
"Kok, ke sini? Nanti, kan saya ke sana juga," kataku keheranan menatap perempuan berpakaian blazer abu-abu itu.
"Ini udah pukul enam lewat tiga puluh menit. Katanya, mau berangkat jam segini?" Aku mendelik, melirik jam tangan dan ternyata memang benar. Janganlah sampai terjebak macet seperti kemarin lagi.
"Jangan buru-buru, ini masih pagi. Emangnya, habis ini mau ke mana lagi?" Bah Halim bertanya seraya menyajikan bakwan yang dibuatnya ke atas piring keramik berukuran besar. Kujawab bila akan melanjutkan perjalanan menuju Desa Hegarmulya.
Mendengar hal itu, dia malah tertawa renyah, menampakkan bagian gigi yang ludes termakan usia. Sementara Angel masih diam berdiri di atas tanah tercampur sedikit genangan air. Tanganku ditepuk-tepukkan ke atas bilik kandang ayam yang sejak tadi kududuki mengisyaratkan agar dia tidak terus berdiri.
"Dari desa ini ke Hegarmulya cuma satu jam, nggak lama. Mendingan main-main dulu di sini, sebentar lagi bakal ada acara makan-makan di rumah tetangga. Kalian ikut."
"Acara apa, Bah? Apa yang kemarin lahiran itu?"
"Iya, betul. Setiap ada salah satu anggota keluarga yang melahirkan, warga serempak untuk mengadakan acara doa bersama dibarengi makan-makan. Sebagai tanda syukur juga kebahagiaan atas kelahiran generasi baru." Bah Halim menjelaskan. Kami berdua hanya mengangguk paham, lalu menunggu beliau yang pamit untuk bersiap-siap.
****
Banyak pasang mata melirik ke arah kami berdua yang berjalan di belakang Bah Halim ke dalam rumah wanita yang kemarin melahirkan itu."Suami istri kali ya? Yang satu ganteng, satu lagi cantik. Masya Allah." Kudengar bisik-bisik ibu-ibu yang sedari kedatangan kami terus memerhatikan.
Sayangnya, kami bukan pasangan, kami orang asing yang baru saling mengenal. Ah, ingin sekali kuungkapkan hal itu pada orang yang mengiranya.
"Ayo, silahkan duduk sebentar lagi Ustad datang, kita mulai acaranya," tutur salah satu wanitabergamis ungu mempersilahkan dengan Bahasa Sundanya.
Di tengah-tengah berjejernya para warga yang ikut merayakan, terdapat banyak sajian yang menggugah. Dari mulai jajanan keripik, makanan khas, kue, dan yang paling menonjol adalah tumpeng! Dulu, aku sangat suka bahkan ketagihan dengan makanan berekstrak kunyit itu. Kelezatannya tiada siapa yang menandingi, ditambah lagi kalau dimakan bersama ayam serundeng atau ayam kecap.
Tak berapa lama, Ustaz pun datang, acara dimulai dengan doa pembukaan terlebih dulu. Lalu, dilanjut dengan doa-doa lain.
----0o---
Bersambung, lagi 😚😚😚💚 silahkan beri komentar atau tanggapan mengenai cerita ini ya, saya hatap tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca sekalian 💖
"Awas!" Kendaraan berhenti seketika kala perempuan yang sedang memegangi makanan ringan itu berteriak. Jajanan keripik singkongnya tumpah mengotori bawah jok mobil. Aku pun tersentak kaget, kukira kendaraan ini menabrak seseorang atau hewan. Namun, ternyata orang lain yang melakukannya. Dari arah berlawanan kurang lebih tiga meter dari sini, tampak seorang anak lelaki terserempet mobil bak. Aku dan Angel bergegas keluar dari mobil, menghampiri bocah malang yang mencoba bangun dari posisi tersungkurnya tadi. Dilihatnya betis juga telapak tangan berdarah itu, cepat-cepat kuambil kotak P3K yang tersimpan di bagasi mobil, sementara perempuan yang sempat panik itu berusaha menenangkan dan memastikan bahwa anak lelaki tersebut baik-baik saja. Sangat disayangkan, penyerempet bermobil bak itu melarikan diri dengan melajukan kendarannya semakin ugal-ugalan tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya
"Selalu ingat dan kenanglah hal sederhana yang telah membuat kita bahagia." ****Setelah hampir seharian penuh menghabiskan waktu dengan berjuang serta bersenang-senang, Zaki diantar pulang olehku juga Angel. Untuk menuju rumahnya, kami harus melewati jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Terpaksa mobil dititipkan kepada orang, lantas berjalan menyusuri sepinya keadaan rumah warga desa ini, sampai akhirnya sampai di sebuah rumah bilik. Sedikit berbeda dari rumah bilik lain, di halaman depan bangunan ini tampak kumuh dan berserakan sampah. Tubuh tinggi sepertiku diharuskan menunduk tatkala memasuki ruangan dalam rumah. Minim pencahayaan dari dalam rumah milik Zaki ini. "Kamu tinggal sama siapa?" Angel bertanya setelah duduk di lantai beralaskan tikar bangkar. "Sama Emak, Bapak, dan adik.Mereka masih di kebun cengkeh, sebentar lagi pulang," jelasnya. Aku mengangguk paham, lalu mengajak berbica
****"Dia datang, dia datang!" Angel berujar heboh seraya memukul-mukul bahuku. Kami tengah bersembunyi di bagian kanan bangunan bilik ini. Senyum mengembang, menampilkan deretan gigi rapi saat mengintip langkah anak berbadan pendek itu semakin mendekat. Aku membalikkan badan, menarik lengan perempuan dengan tinggi hanya sebahuku ini ke belakang supaya tidak ketahuan. Terdengar, Zaki mengucap salam sewaktu masuk rumah. Tak terbayang bagaimana eskpresinya kala sepasang mata itu menangkap benda-benda baru terpajang rapi di ruangan tempat dirinya selalu mengerjakan tugas sekolah. Satu lembar kertas bertuliskan suruhan untuk mendatangiku di pinggir rumahnya pun tertempel jelas di sana. Tak lama setelah itu, dia tiba-tiba menghampiri dan langsung mengarahkan kedua tangan kecilnya ke atas guna merangkul pinggangku. Dilepasnya perlahan rangkulan itu, lalu tubuhku disetarakan dengan tinggi anak itu. Sorot legam netranya tergenangi air yang hendak menya
Sekitar pukul sembilan pagi, aku dan Angel ikut bersama beberapa petani pergi ke sebuah desa di kecamatan dan kabupaten yang berbeda. Kami harus naik turun bukit curam untuk sampai ke jembatan penghubung kedua desa tersebut. Berkali-kali sempat terjatuh karena aku sangat tak terbiasa dengan kondisi jalanan seperti ini. Beruntung, Angel sigap membantu seolah jalanan seperti ini adalah rintangan sebesar upil. "Orang kota mainnya gak menantang, ya?" tanya Angel di sela-sela suara ngosngosanku. Aku menghentikan langkah dan membuat tubuh lebih tegak. "Kata siapa? Banyak, kok, yang lebih menantang. Contohnya main skateboard dari atas bukit bersalju, itu menantang." "Wah, kamu pernah coba, Jen?" "Nggak, aku jadi penonton aja." Dia terbahak-bahak usai mendengar perkataan barusan. Akhirnya, sampailah kami menghadapi tantangan baru. Ya, jembatan gantung bambu yang terbentang sepanjang enam meter ini harus dilewati guna sampai ke
Satu kilogram singkong diberi harga senilai tiga ribu rupiah dari para petani, begitu juga dengan hasil tani lainnya. Namun, jika sedang terjadi paceklik atau hasil tani kurang bagus, maka akan dikurangi sebagian dari harga biasa."Kalau paceklik biasanya dapat penghasilan berapa, Pak?""Lima puluh ribu, kadang nggak sampai segitu."Aku mengangguk paham hingga pengepul tersebut memberi beberapa lembar uang merah dan pecahan dua puluh ribu. Sempat terheran juga ketika sampai di sana banyak yang menjual hasil tani dari tempat yang sama, rupanya mereka berangkat menaiki rakit."Udah selesai, ayo, pulang!" Angel menepuk bahuku, melihat orang-orang mulai merapikan karung yang dibawa.Selang beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke desa asal. Sempat khawatir jika nanti menggendong beban lagi, alhasil hal ini terobati oleh kabar bahwa kami akan pulang menggunakan rakit menyebrangi sungai.Alat transportas
Sepulang dari desa sebelah, kini kami disuguhi minuman dingin oleh warga. Bukan hanya aku dan Angel yang meminumnya, tapi semua orang yang tadi pergi ke pengepul. Suasana ramai juga hangat, banyak hal dibahas tentu tak luput dari lelucon untuk lebih meningkatkan sebuah keharmonisan.Sesekali, kami berdua yang asik menyimak pun turut terkena banyolan mereka. Terlebih, menyinggung soal 'hubungan percintaan', terkadang ini membuatku geli. Urusan pendidikan dan pekerjaan saja masih ruwet dipikirkan, apalagi soal ikatan dengan lawan jenis. Lebih banyak resiko yang harus dihadapi karena aku belajar dari Mama Papa, kalau hubungan serius itu bukan hanya soal keromantisan."Pelan-pelan minumnya, cuma becanda, kok. Ya, kami doain aja supaya kalian cepat halal, biar kalau ke mana-mana berdua, nggak menimbulkan fitnah." Perempuan di hadapanku yang tersedak sebab mendengar sindiran orang-orang di sini. Memang betul begitu, tapi semua itu tergantung masing-masing, sepert
Tak tau kenapa, tapi kurasa Angel agak aneh sekarang ini. Sedari tadi ekspresinya masam, gerak-geriknya lesu, biasanya dia ceria apalagi kalau sudah mendengar lagu dengan berbagai genre. "Ngomong-ngomong, nanti kita bakal ketemu siapa lagi, ya? Aku pengen banget jalan-jalan sama Zaki, keinget terus waktu dia nerima hadiah itu. Kayak nggak pernah sebahagia itu, ibu bapaknya juga kelewat baik, sih," ungkapnya dengan bahasa tubuh yang sama. "Bibi kamu? Mungkin, itu sentilan dari Tuhan buat kita karena kadang, orang yang hidupnya berkecukupan pun selalu merasa kurang. Beda lagi kalau dengan orang yang serba kekurangan, diberi segimana juga tetap ingat Tuhan." Aku diam sejenak mencari kata-kata estetik lain. "Saya pikir, kelebihan dari orang yang serba kekurangan itu, dekat dengan Sang Pencipta." Ingin tertawa juga sebenarnya habis bicara panjang lebar plus sok bijak seperti itu. Namun, memang rata-rata sesuai dengan realita, bukan?
Pria yang kuberikan dua mi instan dan pasta gigi tersebut sangat berterima kasih, mulanya dia menolak diberikan itu. Namun, kupaksa dengan embel-embel kasihan anak-istri di rumah, beliau juga mendoakanku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Tenjolaut yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Tak seperti kemarin-kemarin yang mesti menghabiskan berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. "Eh, uang kamu masih cukup buat berapa hari lagi?" tanya Angel menjeda kegiatan makannya. Kujawab kalau persediaan uang masih cukup untuk tiga minggu ke depan, bahkan mungkin lebih. Dia melotot kaget, keripik kentangnya tumpah sebagian. "Hah?! Emang kamu bawa duit berapa? Terus mau berapa hari keliling kayak gini?" "Dua puluh satu hari, pengeluaran per hari satu juta. Kalau kurang, tinggal bilang Mama atau Papa." Bukan melotot lagi, kini dia tersedak. "Orang kota banyak duitnya, bagi, dong!" ucapnya selepas meminum sebotol air min