Share

Bangkit

Enjoy Reading.

***

GELAP.

Tempat ini sangat gelap. Aku sudah membuka mataku selebar mungkin, tetapi tetap tidak mampu menemukan setitik cahaya pun di tempat ini. Apa aku buta? Aku berusaha menggerakkan jari tanganku yang terasa kaku. Aku meraba wajah dan menyentuh kedua mataku. Aku tidak buta, aku yakin itu. Aku bernapas dengan pelan dan mempertajam pendengaranku. Tidak salah lagi, itu suara hujan.

Aku ada di mana? Apa aku masih di tempat penculikan? Jantungku langsung berdetak lima kali lebih cepat saat berusaha mengingat apa yang baru saja aku alami. Aku takut bukan karena kegelapan ini, aku takut dengan rasa sakit, aku tidak mau di siksa lagi.

Tapi siapa? Kenapa aku tidak ingat siapa yang menyiksaku? Aku juga tidak ingat di siksa seperti apa, yang pasti aku masih ingat aku menjerit kesakitan dan para penjahat itu malah tertawa senang. Seolah penderitaanku adalah hiburan bagi mereka.

Iya mereka. Walau samar tapi aku yakin mereka lebih dari dua. Aku berusaha mengingat semuanya. Rasa pisau yang menyayat tubuhku, warna merah darah yang menyelimuti tubuhku. Dan aku ingat ada racun yang dimasukkan ke dalam mulutku. Aku ingat semuanya, tapi kenapa aku tidak mengingat siapa mereka?

Aku memejamkan mataku berusaha menenangkan diri dan menghapus bayangan mengerikan yang baru aku alami. Aku membuka mataku lagi, dan sekarang aku sadar bahwa aku harus segara pergi dari tempat ini, agar bisa memberi tahu Daniel bahwa aku selamat dan baik-baik saja.

Aku memeriksa seluruh tubuhku aneh tidak ada rasa perih dan tidak ada bekas luka sedikit pun. Tubuhku lumayan kaku dan sudah tidak terikat sama sekali, aku bahkan memakai baju rapi khas pakaian ke pesta.

Aku berusaha duduk. Tapi saat baru setengah duduk aku merasakan kepalaku membentur sesuatu yang keras. Aku meraba setiap permukaan yang menjadi tempatku berbaring. Samping, atas, bawah semua aku periksa. Lalu aku menyadari, aku berada di tempat yang paling di takuti oleh seluruh umat manusia.

PETI MATI.

Jadi aku dikubur hidup- hidup? Bagus, apa sekarang keluargku mengira aku sudah mati? Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi, aku akan keluar dari sini dan menemui mereka.

Tanganku meraba-raba lagi, kali ini bermaksud mencari celah agar bisa keluar dari tempat ini, semua tertutup rapat, tapi aku mulai bisa merasakan air merembes masuk dari bawah dan atas peti mati ini. Aku harus cepat keluar atau aku akan tenggelam, kalau hujan tidak segera berhenti. Awalnya aku ingin langsung menggali ke atas, tapi aku yakin dengan tubuh sekecil ini, tanah akan langsung ambruk menimpaku. Jadi, jalan paling aman adalah menggali dari arah samping.

Aku meraba kalung pemberian Uncle Pete yang berbentuk pisau kecil dari leherku. Syukurlah masih ada. Awalnya aku sangsi bisa mencongkel kayu bagian samping peti mati ini, tapi aku ingat Daniel pernah mengatakan bahwa aku tidak boleh gampang menyerah dan harus percaya pada kemampuan diri sendiri.

Dengan keyakinan itulah aku membalikkan tubuh ke posisi tengkurap dan mulai mencongkel agar peti mati itu terbuka.

Aku terus berusaha sampai keringat membasahi tubuhku, dan akhirnya apa yang aku lakukan tidak sia-sia. Aku berhasil membuka jalan untuk diriku sendiri. Aku mulai menggali cepat pada awalnya, tapi berubah pelan dan hati-hati, khawatir tanah bagian atas yang aku gali akan menimpaku. Aku tidak tahu berapa lama sudah menggali karena tanganku sudah mati rasa.

Aku tidak memperdulikan tubuhku yang sudah basah kuyup campuran antara tanah, air dan keringat.

Entah kenapa aku tidak merasa dingin, aku juga tidak merasa lemas, justru aku bisa merasakan tubuhku semakin segar setiap air menyentuh pori-pori tubuhku. Aku seperti mendapat suplemen penyemangat. Aku juga tidak perduli bagaimana bisa aku tidak kehabisan oksigen dan masih terus bisa bernapas lancar. Anehnya aku juga tidak merasa haus atau pun lapar, yang aku tahu hanyalah aku ingin keluar secepatnya dari tempat ini.

Entah berapa lama aku menggali aku tidak tahu, mungkin hanya beberapa menit, mungkin juga beberapa jam atau bahkan beberapa hari aku tidak perduli. Aku bahkan sempat tertidur dan saat bangun mulai menggali lagi.

Hingga akhirnya setitik cahaya menembus ke dalam dan membuatku menutup mata karena silau.

Setelah mataku terbiasa dengan cahaya itu, aku dengan semangat menggali lagi agar bisa mengluarkan tubuh kecilku dari lubang ini.

Aku tertawa pelan saat berhasil menarik tubuhku dari dalam tanah. Aku melihat ke sekeliling dan mendapati aku berada di tengah hutan yang sama sekali tidak aku kenali.

Aku tahu ini mungkin dini hari, tapi hujan dan sambaran kilat memberiku cahaya penerangan. Dan tatapanku terpaku pada batu nisan yang terukir namaku.

Sialan!!!

Aku masih hidup tahu, gerutuku dalam hati.

Aku berusaha mencabut paksa nisan dengan bentuk salib tersebut dan langsung melemparnya masuk ke dalam bekas lubang galianku tadi.

Aku berdiri di bawah guyuran hujan dan menarik napas panjang.

"AKU HIDUPPPPPPPP!" teriakku semangat dan tertawa sambil meloncat bahagia.

Aku harus segera pulang dan menyombongkan keberhasilanku pada Daniel karena sudah selamat dari penculikku. Aku yakin setelah ini Daniel dan Uncle Pete tidak akan lagi mengejek kelemahanku. Karena sekarang aku lebih kuat dan hebat dari mereka.

Tapi sebelum itu aku harus keluar dari hutan ini. Jadi ke mana aku harus melangkah?

***

Jika beberapa hari yang lalu aku percaya akan segera keluar dari hutan dan menemui saudaraku Daniel, maka sekarang aku sangsi bisa terbebas dari hutan ini. Karena aku sangat yakin bahwa saat ini aku sedang tersesat.

Aku bahkan mulai meragukan kewarasanku sendiri, karena sekarang aku bisa melihat aura. Itu bagus, buat orang lain, tapi bagiku saat ini hal itu sangat mengganggu. Kenapa?

Karena saat kamu sendirian di dalam hutan dan ada aura lain yang berseliweran di dekatmu, percayalah itu bukan hal menyenangkan untuk dijadikan hiburan.

Aku bukan penakut. Tapi, aku juga tidak ada niat memiliki teman seorang makhluk astral. Jadi aku berusaha keras mengabaikan mereka, apa lagi saat malam tiba, mereka seolah-olah berlomba-lomba keluar dari habitat masing- masing.

Aku duduk di atas batu besar di pinggiran sungai. Heran, sudah 5 hari aku di hutan ini. Tapi, aku tidak merasa lapar, haus atau pun mengantuk. walau begitu, aku tetap berusaha memakan apa pun yang bisa dimakan. Walau sebenarnya aku bisa memakan apa saja karena tubuhku anti racun, tapi aku tetap memakan makanan yang menurutku wajar dan menarik.

Ini sudah sore, dan aku memutuskan mandi, karena tubuhku terasa seperti di tempeli kotoran dan sangat lengket. Aku tidak melepas bajuku karena bajuku sama kotornya denganku, sedang untuk mencucinya, aku tidak tahu caranya.

Setelah berendam cukup lama aku berniat melanjutkan perjalananku menaklukkan hutan ini. lalu kesadaran menghantamku. Kenapa aku harus repot kembali ke hutan, jika aku bisa mengikuti arus sungai ini, aku yakin akan menemukan manusia atau penduduk di sepanjang sungai ini, aku hanya perlu bersabar dan mengikutinya.

Kakiku sudah lelah, bajuku compang- camping layaknya gelandangan. tapi mataku langsung berbinar saat melihat cahaya di kejauhan, rumah penduduk dan suara ombak. Ternyata aku berada di tepi pantai.

Aku kembali berjalan dengan semangat, tidak memperdulikan hujan yang mulai mengguyur, hingga hampir satu jam kemudian, aku sudah berada di sebuah pemukiman

Aku basah kuyup, tapi aku tidak berani mengetuk pintu rumah mereka, karena saat ini sudah hampir fajar. Akhirnya aku berjalan ke arah sebuah rumah yang terlihat

memiliki halaman yang sederhana tapi bersih, aku duduk di bangku kayu yang lumayan panjang sehingga aku bisa merebahkan tubuhku yang lelah. Tidak terasa beberapa menit kemudian aku sudah tertidur.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status