Share

5. There's Something Wrong With You

Aku sadar kalau tubuhku berayun. Samar-samar aku melihat cahaya terang, kemudian perlahan meredup. Kelopak mataku mengerut ketika menghadapi transisi yang begitu mencolok. Meski begitu, aku masih terlampau lemas untuk menggerakkan tubuhku sendiri. 

"Aku minta kau bermalam di sini. Perempuan yang satu ini sungguh liar. Jangan biarkan dia kabur lagi. Aku tidak tahu harus kuapakan ia jika kembali kabur."

"Baik, Mr. Vague. Apa ada yang perlu saya lakukan lagi untuk Anda?" 

Pertanyaan itu tertangkap oleh telingaku sesaat setelah tubuhku diletakkan. Berdasarkan hasil dari indra perabaku, aku merasakan permukaan yang lembut, empuk, dan dingin. Sepertinya aku telah kembali ke dalam ruang penyekapan. Kembali berbaring di atas tempat tidur usai mengalami kejadian yang amat buruk. 

Aku menggulirkan kepalaku. Melalui penglihatan yang sedikit kabur, aku melihat pria berjas hitam tadi berdiri tak jauh dariku dan Louton berdiri tak jauh dari pintu. Tangannya bersilang di dada. Setelahnya, aku memejamkan mataku lagi. Belum terlalu kuat untuk membuka mata dalam waktu lama. Terlebih hampir seluruh bagian wajahku teramat kaku dan ngilu. 

“Tidak. Terima kasih. Kau bisa pergi, Vince.”

Kali ini suara Louton yang khas bergaung di rongga telingaku.

“Baik, Mr. Vague.”

Pria berjas itu pergi. Menyisakan Louton seorang diri bersamaku. Bersamaku yang teramat sangat tidak berdaya. 

Aku mencoba mengembalikan fokus mataku. Meskipun tubuhku masih sakit untuk digerakkan, setidaknya penglihatanku kembali normal. Namun …, sungguh. Tamparannya tadi sungguh luar biasa. Sekalinya telapak tangannya mendarat di pipiku, sensasi panas langsung menjalar hingga membuatku tak sadarkan diri. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Apakah Louton terus melanjutkan serangan kemarahannya padaku atau tidak, tapi yang pasti—yang kurasakan sekarang—sekujur tubuhku remuk. 

Terlepas dari itu, siapa pria berjas hitam tadi? Aku mendengar Louton memanggil dengan nama Vince. Padahal pria itu terlihat lebih tua darinya. Apa ia bekerja dengan Louton? Ia hanya berdiam diri ketika Louton memperlakukanku sebegitu buruk. Bahkan ia pun tahu tentang ruangan ini dan malah bersikap biasa saja. Seakan mengurung seorang wanita di sebuah ruangan tersembunyi di dalam basement adalah suatu hal yang wajar. 

Benar-benar aneh. Semakin bertambahnya hari yang kuhabiskan di sini, semakin bertambah pula hal yang tidak kumengerti.

Usai penglihatanku sudah kembali jelas, perlahan aku menggerakkan kaki juga tanganku.

"Mmhh," rintihku ketika mencoba menggeliat.

Awalnya terasa sakit, tapi sewaktu tahu Louton mulai melangkah mendekat, dalam sekejap rasa sakit itu lenyap. Tubuhku tersentak, lalu dengan cepat bergerak menjauhinya. Meringkuk di pojok tempat tidur yang menempel pada tembok. Seluruh tubuhku refleks bergetar. Menunjukkan rasa takut yang tampaknya sudah tidak bisa ditoleransi lagi. 

"Jangan mendekatiku lagi," kataku setegas mungkin, tapi tidak cukup membuat Louton mengurungkan niatnya untuk terus mendekat. "Berhenti kubilang!" bentakku pada akhirnya.

Barulah Louton menutup langkahnya. Ekspresi wajahnya jelas masih sama dengan yang ia tunjukkan sesaat sebelum ia menamparku. 

"Setelah dengan beraninya kau menyerangku, sekarang kau berani membentak dan memerintahku?" tanyanya tak senang.

"Kalau kau memang ingin membunuhku, kenapa tidak langsung kau bunuh saja?" tanyaku tak mampu lagi menahan desakan yang muncul di rongga mata. 

"Oh jika aku ingin aku pasti sudah melakukannya, Rose, tapi sayangnya bukan itu yang aku ingin."

"Persetan dengan keinginanmu, aku ingin segera pergi dari tempat ini!" pekikku dan tangisku pun pecah. "Aku tidak bisa begini terus, Mr. Vague. Dan kau pun tidak bisa memperlakukanku seenaknya seperti ini."

"Sudah kukatakan berperilakulah baik, maka aku akan memperlakukanmu dengan baik," ujarnya terdengar tertekan. Seperti mencoba mengontrol emosi yang masih tersisa di dalam dirinya. 

Aku semakin memeluk diriku sendiri.

"Seperti apa? Kau pikir memberiku makan setangkup sandwich sekali dalam sehari adalah bentuk perlakuan yang baik?" tanyaku memelotot padanya dengan mata penuh bulir air mata. 

"Harusnya kau masih berterima kasih meski hanya dengan sebuah sandwich."

"Oh, iya, aku berterima kasih, karena mungkin saja penculik di luar sana akan jauh lebih membuatku kelaparan. Tapi masalahnya tidak ada yang ingin menculikku, Mr. Vague. Hanya kau. Hanya kau dengan alasan tidak jelasmu itu!"

Wajah Louton semakin memerah. Pastinya bukan karena tersipu atau semacamnya, tapi karena menahan luapan api kemarahan di dalam dirinya.

"Sebaik apa pun sikapku padamu, kau tidak akan pernah membalas dengan sikap yang serupa. Tidak. Tidak jika kau masih terus mengurungku di sini." 

Sengaja kutekankan kalimat terakhirku agar ia sadar bahwa segala bentuk sikap baiknya tidak akan bisa terbayar apabila ia terus mengurung dan menghukumku di sini.

"Kau tidak akan selamanya ada di sini, Rose. Kau akan kubebaskan setelah—"

"Setelah kau merasa cukup menghukumku?" sergahku segera. 

"Kau tahu itu."

"Kau sakit jiwa, Mr. Vague. Mungkin kau harus segera memeriksa kondisi psikologismu sebelum jiwamu yang rusak itu memakan korban lebih banyak!"

Louton masih bergeming. Ada sekian detik jeda terlewati hanya dengan kami berdua yang saling tatap. Kilau mata birunya itu, sayangnya tidak lagi meluluhkanku. 

"Kau harusnya sadar atas apa yang kau katakan," ujar Louton kemudian.

"Aku sadar dan aku yakin kau pun tahu apa yang kukatakan barusan adalah benar," timpalku tak mau kalah. 

"Kau tidak mengenalku, jadi kau tidak bisa seyakin itu atas diriku."

"Aku tidak peduli," balasku dengan wajah menantang. "Ada yang salah dengan dirimu juga hidupmu hingga kau terpaksa menjadi seperti ini dan kurasa kau sendiri menyadari itu."

"Tutup mulutmu, Rose."

"Kenapa? Apa yang membuatmu menjadi seperti ini, Mr. Vague? Apa yang membuatmu melampiaskan kemarahanmu pada perempuan sepertiku?" 

"CUKUP!"

Tangan Louton mengepal kuat. Guratan di area kepalan tangannya tampak begitu jelas seperti membentuk pola aliran sungai yang memanjang hingga ke dalam lengan kaus oblong abu-abu yang dipakainya. Matanya menatapku dengan tatapan pemburu yang telah menetapkanku sebagai satu-satunya mangsa untuk dihabisi.

Aku memandang lemah.

"Aku tidak peduli lagi jika kau marah. Terserah kau akan melakukan apa. Aku tidak peduli," tuturku begitu melihat reaksinya. Kemudian berpaling pada apa pun selain Louton.

"Kalau begitu itu artinya kau juga tidak akan peduli jika aku tidak memberikanmu makanan untuk seharian ini!" balasnya ketus seraya berbalik pergi dengan bersungut-sungut. Bahkan tangannya sampai menghantam pemindai pintu dengan keras. 

Detik itu juga aku menjatuhkan kepalaku di atas kedua lutut yang tertekuk. Wajahku tenggelam dalam rangkulan lenganku sendiri. 

Aku hanya ingin bebas dari tempat ini, apa aku salah? Aku tidak bisa berada di sini terus tanpa berusaha melakukan apa pun di saat ibuku di luar sana begitu khawatir dengan keadaanku. Membayangkannya saja sudah begitu menyedihkan. 

"Ya Tuhan … kenapa hal semacam ini mesti terjadi padaku?" gumamku lirih.

Dan, tidak ada makanan untuk hari ini. Setelah dua hari ia hanya memberikanku sandwich dan satu botol air mineral, hari ini justru tidak ada makanan dan minuman apa pun? Umpatan apa yang kira-kira cocok aku lontarkan padanya?

Astaga. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan di saat kabur saja sudah menjadi hal yang tidak mungkin?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status