Share

7. I Can Understand

“Perempuan mana yang justru menikmati—” Aku mengerang dalam hati. Tidak ingin terlalu memperlihatkan emosiku. Suasana hati Louton tampaknya sedang baik hari ini. Jangan sampai aku menyia-nyiakannya. 

Terlebih dahulu aku menarik napas sebelum melanjutkan kalimat. “Oke. Aku suka kau yang berperilaku baik dan mungkin bisa dikatakan aku menikmatinya, tapi kalau kau sudah ….” Aku menangkap kilau biru mata Louton menyala. Detik itu juga aku menelan ludah. “Tapi kalau kemarahanmu sudah mulai tidak terkontrol, aku tidak bisa, Mr. Vague. Aku tidak bisa menikmati itu. Lagi pula, apa yang harus kunikmati kalau kau justru membuatku sakit?”

“Aku tidak bermaksud membuatmu sakit.” Refleks alisku terangkat sebagai isyarat rasa bingung atas kalimat balasannya. “Aku hanya ingin memberikanmu pelajaran.”

Wajahku berpaling seraya tertawa tak percaya. Melipat kedua tangan dan menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur.

“Sungguh aku tidak mengerti jalan pikir dan selera ‘pelajaran’ orang kaya,” gerutuku memutar mata dan menggelengkan kepala. Setelah itu pikiranku kosong sejenak di kala mataku bergerak dari jendela yang terbuka kemudian turun ke selimut yang terbentang di pangkuanku. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanyaku dengan berani dan cepat.

Dada Louton membusung. Berusaha menyerap seluruh udara yang ada ke dalam paru-parunya. Aku memang tidak melihat ada perubahan drastis di wajahnya usai aku bertanya dengan begitu berani. Ia masih terlihat tenang. Dikeluarkannya kedua tangan dari saku celana abu-abunya yang mengilap. Melangkah maju dimana kedua tangannya itu dibuat bertumpu pada area tempat tidur yang kosong. Semakin terlihat kekar ketika menahan bobot tubuhnya. Badannya membungkuk. Seakan dengan sengaja membiarkanku mengintip apa yang ada di balik kemejanya. 

Louton lagi-lagi melekatkan tatapannya padaku dari depan sana. Warna biru matanya semakin silau bercampur dengan cahaya dari luar yang menembus masuk melalui jendela yang terbuka. 

Dan sialnya, aku enggan untuk berpaling.

“Apa yang terjadi padaku sangat rumit,” jelasnya yang sebenarnya tidak cukup jelas bagiku. “Kau tidak akan mengerti.” 

“Aku bisa mengerti,” cetusku cepat. Punggungku sampai tertarik dari sandaran tempat tidur. “Aku … di Berkeley aku mengambil Psikologi,” lanjutku sedikit menurunkan pandangan, tapi seakan tidak bisa berlama-lama berpaling dari Louton, aku memandangnya lagi.

Salah satu sudut matanya berkedut. Bibirnya menekan. 

“Oleh karena itu kau bisa dengan yakin berkata bahwa ada yang salah di diriku?” tanya Louton kembali menegapkan tubuhnya.

“Benar,” jawabku mengiakan. “Dan kalaupun aku tidak mengambil jurusan itu, aku rasa aku akan tetap tahu.”

Waktu terbuang begitu saja hanya dengan saling menatap. Diam-diam berharap tidak ada yang salah dengan perkataanku, sebab ekspresi Louton kali ini sangat tidak terbaca. Apakah ia telah berubah marah atau ia masih bersikap baik. Hingga akhirnya keheningan ini ditutup oleh suara ketukan pintu. 

“Sarapan telah siap, Mr. Vague,” ujar seorang wanita dari balik pintu. 

Setelah kemunculan seorang pria bernama Vince, lantas ada seorang wanita juga yang tinggal di dalam rumah ini? Dan tidak ada sama sekali di antara mereka yang mempermasalahkan penculikanku? Selama beberapa hari ini mereka pasti melihat berita tentangku, kan?

“Silakan masuk, Mags,” perintah Louton.

Pintu terbuka. Menampakkan sosok seorang wanita menggunakan rok midi dan blazer hitam—mungkin berumur sekitar lima puluh tahunan—tengah membawa sebuah baki lipat besar yang di atasnya terdapat beberapa piring dan segelas susu putih. Mags—kurang lebih itulah nama yang disebut oleh Louton—berjalan masuk sambil tersenyum ramah. Membungkuk sopan ketika melewati Louton, lalu meletakkan baki lipat itu di atas pangkuanku.

“Silakan, Miss Johnson,” ujarnya mempersilakanku mencicipi makanan dan minuman yang ia berikan. 

Aku tak henti-hentinya memandang Mags. Bahkan sepiring makanan lezat yang kini ada di pangkuanku tak cukup membuatku berpaling darinya. Maksudku, apa ia juga turut menganggap apa yang menimpaku ini adalah hal yang wajar? Sehingga ia terus saja tersenyum padaku seolah tidak terjadi apa-apa? Seolah tidak ada aktivitas penyekapan di dalam rumah ini? Lantas siapa lagi? Siapa lagi setelah Vince dan Mags yang akan kutemui di rumah Louton?

“Bukankah aku juga meminta kau sediakan pakaian ganti?”

“Oh, sudah saya sediakan di depan. Akan saya bawa ke dalam.” 

Mags berjalan keluar dengan antusias dan kembali ke dalam sambil membawa paper bag

“Ini pakaian ganti untuk Anda, Miss Johnson.” Mags memberikan paper bag tersebut padaku. Aku menerima dengan kikuk. 

“Terima kasih,” kataku.

“Kalau begitu saya permisi, Mr. Vague,” ujar Mags pada Louton dengan gerak tubuh yang sopan. Louton hanya membalas dengan anggukan pelan. 

Pintu tertutup. Mags kembali meninggalkanku berdua dengan Louton. Paper bag kuletakkan di sampingku. Memandang dua buah telur mata sapi, dua buah sosis, dan pancake dengan sirop maple berhiaskan sebuah stroberi. Terlihat menggiurkan, terlebih aku memang benar-benar lapar setelah kemarin tidak makan apa pun. Akan tetapi, entah kenapa semangat makanku justru meredup. Aku berpikir Louton sengaja menyumpal mulutku dengan makanan, jadi aku tidak perlu melontarkan banyak pertanyaan padanya.

Bukannya mulai mengambil pisau dan garpu, aku justru menyembunyikan kedua tanganku di bawah baki. Saling memainkan kuku jari di bawah sana.

“Kenapa kau tidak makan?” tanya Louton dengan dahi mengerut. 

Aku mengulum bibir. “Ada siapa lagi di rumahmu ini?”

Louton mendengkus. Menjejalkan kedua tangan pada saku celananya lagi. Merasa bosan jika harus menghadapiku dari jauh, Louton melangkah ke sisi tempat tidur di sebelah kananku. Dari balik wajah yang menunduk, bola mataku bergulir untuk melihatnya, meski yang terlihat hanya sebatas dada. Tadinya kupikir Louton akan berdiri saja di sana, tapi ia tiba-tiba mengambil posisi duduk di sebelahku—di area ranjang yang masih kosong. Barulah aku bisa melihat wajahnya, walaupun wajahku tidak sepenuhnya terangkat. Tidak ada alasan lagi untuk tidak melihat matanya. 

“Akan kujawab setelah kau makan,” jawab Louton. 

Ia benar-benar suka mengatur. Mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginannya dan anehnya, aku menuruti. Kedua tangan kukeluarkan dari bawah baki dengan terpaksa. Garpu dan pisau kuambil, lalu mulai memotong telur. Memasukkannya ke dalam mulut dan rasanya … sungguh enak. Begitu terang-terangan aku memejamkan mata ketika menikmati bagaimana rasanya. Tidak bisa bohong lagi jika aku sangat lapar. Tidak peduli juga ada Louton yang tengah memandangiku makan dengan begitu lahap.  

Setelah dirasa cukup, aku meneguk susu hingga setengah gelas, lalu berhenti sejenak.

“Siapa Vince dan Mags?” tanyaku lagi. Kali ini memberanikan diri menangkap sorot matanya. “Kenapa mereka bersikap biasa saja, padahal mereka tahu aku sedang diculik olehmu.”

Louton menarik napas dalam. 

“Hanya ada Vince dan Mags di sini. Mereka ada di sini pun jika aku butuh. Vince adalah asisten pribadiku dan Mags adalah asisten rumah tanggaku,” jawabnya tenang. Jadi, seperti ini rasanya berbincang santai dengan Louton? “Lanjutkan makanmu, Rose.”

Layaknya titah yang tak bisa dielak, aku mengambil sendok untuk memotong pancake.

“Mereka terikat semacam perjanjian rahasia denganku, jadi mereka tidak akan membocorkan apa pun,” jelasnya melanjutkan jawaban untuk pertanyaanku dan itu cukup menjelaskan kenapa Vince dan Mags tidak melakukan apa-apa. “Sama seperti kau. Kau juga akan menandatangani sebuah perjanjian.”

Kunyahanku menggantung. Mataku melebar dan tak berkedip selama beberapa detik.

“Perjanjian apa?” tanyaku sambil lanjut mengunyah. Aku tahu itu tidak sopan, tapi aku baru sadar setelah melakukannya.

Samar-samar kulihat Louton tersenyum tipis. Ia mengangkat paha kanannya ke permukaan tempat tidur, lalu mengarahkan posisi duduknya menghadapku. Di situlah aku melihat mata jernihnya berkobar penuh kemenangan. 

“Perjanjian yang tentunya akan menguntungkanmu juga menguntungkanku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status