Dalam hati, Dara bersorak bahagia karena akhirnya Adam setuju dengan kesepakatan yang sudah ia buat. Dara yakin dengan cara ini akan mempersingkat masa pernikahan mereka.
Kenapa demikian? Karena Dara yakin dia tidak akan pernah mencintai Adam. Pria yang menurutnya terlihat kolot. Sungguh itu bukanlah pria tipe nya.“Tapi, aku punya satu syarat.”Ucapan Adam yang tiba-tiba itu seketika menjatuhkan angannya. Syarat? Syarat apa? Dara seketika takut, saat syarat diajukan Adam memberatkan dirinya.“Kenapa harus pakai syarat segala? Aku tidak setuju!” tolak keras Dara.“Saya saja sudah setuju dengan kesepakatan yang kamu buat. Apa saya tidak boleh mengajukan syarat?” tanya Adam dan sungguh kata-kata Adam bagaikan sebuah pedang yang menghunus jantungnya dan sangat tepat sekali .Sedikit gelagapan akhirnya Dara pun mau tidak mau harus setuju dengan keinginan Adam, yang mau mengajukan syarat.“Baiklah, memangnya apa syarat yang kamu mau? Ingat ya jangan sampai syaratnya sulit dan banyak kalau seperti itu aku akan menolak keras!”“Syaratnya hanya satu, Kok. Kamu bersedia tinggal berdua bersama saya di rumah milik saya.”“Hanya itu?” tanya Dara memastikan.“Iya hanya itu. Syarat dari saya tidak sulit bukan?”Dara diam ia melipat kedua tangannya di atas perut. Dia tengah berpikir syarat dari Adam yang menurutnya tidaklah terlalu berat. Jadi, tidak masalah jika seandainya dia setuju toh hanya tinggal di rumah milik Adam.“Oke aku setuju. Karena semua sudah deal Sekarang aku mau tidur.” Dara beranjak lalu mengambil bantal dan menyerahkan pada Adam.“Kamu tidur di sofa, ya, karena ranjang itu milikku seorang.”Adam menerima bantal itu dengan pasrah, dia sama sekali tidak marah. Dia justru menyikapi Dara dengan sebuah senyuman. Adam selalu percaya dengan takdir, jika dirinya sampai menikah karena ini atas kehendak Allah swt. Adam pun yakin Dara pasti akan berubah, asalkan diri mau bersabar untuk tetap mendidiknya.Begitu juga pesan mamanya Dara—Mala-ia menitipkan Dara padanya. Maka dari itu, ia akan berusaha semampunya untuk menjadikan Dara jauh lebih baik. Minimal ia mampu menghargai orang lain.‘Dara saya akan pastikan sebelum 30 hari itu berakhir kamu sudah mencintaiku dan mau menerima aku sebagai suamimu. Saya percaya akan kekuatan doa, karena saya akan selalu menyebutmu dalam setiap doa dan sujud saya.”***Dara menggeliat, Ia merenggangkan otot-ototnya yang entah kenapa terasa pegal. Seketika pikirannya teringat akan kejadian kemarin siang dan tadi malam. Ia harap itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Tentunya hanya mimpi buruk.Rasanya ia belum siap lahir batin untuk menjadi seorang istri dari pria dewasa yang bernama Adam itu.Di tengah pemikiran Dara, yang berharap segala yang terjadi kemarin hanyalah sebuah mimpi. Suara Mala justru mengagetkan dirinya. Hingga ia yang masih berada di bawah selimut terpaksa bangun dan menyenderkan tubuhnya ke sandaran ranjang.“Kamu gak malu bangun siang, Dara?” Tanya Mala seraya mengambil koper besar di atas lemari. Kegiatan Mala tidak luput dari perhatian Dara.“Malu? Malu kenapa? Biasanya juga Dara bangun pukul segini.” Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi.Mala menghentikan aktivitas berkemas lalu menatap Dara. “Jangan disamakan dulu sama sekarang, Dara. Dulu kamu melajang sekarang kamu sudah jadi seorang istri...”“Apa Bu, istri?” Sela Dara ia seperti terkejut.“Iya, kamu kan sekarang jadi seorang istri. Kamu lupa?” Terka Mala, lalu kembali mengemas baju-baju milik Dara.Dara menepuk keningnya. Jadi yang ia alami itu sungguhan bukan mimpi belaka. Hal sebesar ini saja ia bisa lupa .“Dara harap itu semua hanyalah mimpi buruk. Eh tahunya ini nyata. Jika Dara sekarang jadi istri pria kolot itu.” Gerutu kesal Dara dan mendapatkan teguran dari Mala.“Hus! Kamu jangan asal bicara Dara.” Tukas Mala. Lalu ia memilih menghampirinya Dara yang masih setia menyenderkan punggungnya pada senderan ranjang.Mala duduk di samping Dara. “Jadi istri yang baik, ya, nurut sama perkataan suamimu. Jangan pernah membangkang seperti yang sering kamu lakukan ke ibu dan ayah. Dara harus tahu, ibu dan ayah sangat menyayangi Dara. Karena Sayang makannya ibu menjodohkan kamu dengan Adam.. Entah kenapa ibu begitu yakin, jika di tangan Adam kamu bisa jadi lebih baik.”“Bu, ini masih pagi. Tolong ibu bisa kan tidak membuat Dara marah? Dengar, ya, Bu. Dara sampai kapan pun tidak akan menerima pernikahan ini, karena Dara gak rela. Gara-gara pernikahan ini, mimpi Dara harus kandas. Atau memang ibu sama ayah senang karena Dara gak jadi ke Inggris? Iya kan , Bu?”“Itu yang terbaik, Dara.”Dara mendengus. “Sudah Dara duga,” ujar Dara seraya memalingkan wajahnya.Keheningan lalu tercipta. Mala menundukkan kepalanya dan tanpa terduga air matanya luruh. Dara tahu hal tersebut, tapi ia tak mau ambil peduli. Dia tengah kecewa pada ibunya.“Maafin ibu, Dara. Bukan maksud ibu atau pun Ayah untuk mematahkan mimpimu. Tapi ... Bisakah yang lain? Ibu gak Rido jika kamu sampai harus mempertontonkan auratmu. Berlenggak-lenggok tak jelas. Mungkin orang lain akan bangga tapi kami tidak, Nak.”Dara masih diam , perkataan ibunya tak berbeda jauh dengan yang diucapkan Adam. Padahal menurut Dara ini hanyalah sebuah profesi. Lagian jika nanti dirinya jadi model pun, niatnya hanya untuk kerja cari uang buat untuk maksiat.“Dara mau kan Maafin ibu sama ayah?” Kembali Mala mengutarakan permintaan maafnya.Dara bungkam, ia juga kesal sendiri ayahnya yang katanya tengah perjalanan dinas ke Turki tak kunjung pulang. Bahkan saat dirinya menikah pun, Paman dari ayahnya lah yang jadi wali.Ini membuat Dara semakin marah.“Sudahlah, Bu. Jangan kaya gini. Ibu sama ayah gak pernah salah. Justru Dara yang salah karena tidak bisa jadi anak baik seperti Rani.”Dara lalu menyingkap selimutnya dan hendak ke kamar mandi. Saat hendak ke kamar mandi tak sengaja ia melihat koper besar yang tadi di ambil ibunya berisi pakaiannya.Dia hampir lupa. Jika dirinya akan pindah ke rumah Adam.“Ibu sebaiknya keluar. Biar Dara yang melanjutkan berkemas.Setelah berkata seperti itu, Dara pun masuk kamar mandi.Sementara, Mala masih terpaku dengan keadaan menangis. Ia merasa menjadi orang tua yang gagal. Tidak bisa mendidik anak gadisnya dengan benar.“Maafin, ibu Dara. Semua ibu lakukan atas pesan dari ayahmu. Maafin ibu juga karena belum bisa berkata jujur,” gumam Mala lalu berusaha untuk menguatkan dirinya.Lalu Dara yang saat ini ada di dalam kamar mandi, hanya bisa menatap sebuah brosur salah satu sekolah modeling yang ada di Inggris.“Ini hanya tinggal harapan semata.”Kini Dara sudah berada di rumah Adam. Sebuah rumah sederhana yang jauh dari kata mewah. Rumah yang besarnya hanya sebesar kamar miliknya di rumah mewahnya.Hanya ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tengah. Dara terlihat jelas merasa tidak suka dengan apa yang ia lihat sekarang..“Ini rumahmu?” tanya Dara Dengan nada tak percaya.“Menurtmu?” tanya balik Adam.Dara lalu menoleh ke pada Adam yang saat ini tengah memasukkan koper miliknya dan milik adam ke kamar.“Ini bukan rumah.” Jawab Dara dengan ketusnya.Adam tidak merespons. Ia memilih diam.Karena tidak mendapatkan jawaban dari Adam membuat Dara berinisiatif untuk melihat kamar barunya. Ia bisa bayangkan betapa jauh dari kata layak di sebut kamar.Benar saja, Dara langsung dibuat melongo melihat isi kamarnya. Sebuah kamar berukuran 4x4 meter. Dengan satu tempat tidur dan satu lemari plastik. Lalu di sisi dekat pintu ada cermin yang menempel di dinding.“Kau sedang tidak bercanda bukan? Serius aku harus tinggal d
Napas Dara terengah-engah. Kelakuan Adam membuat dirinya semakin membencinya. Bagi Dara tidak ada yang patut dibanggakan dari pria yang bernama Adam. Tidak ada satu pun.Di tengah kekesalannya itu, tiba-tiba Handphone Dara berdering. Tertera nama seseorang yang sudah satu tahun ini mengisi hati dan hidupnya dia adalah Morgan sang kekasih.Tanpa banyak ba-bi-bu lagi, Dara langsung menggeser ikon hijau di layar handphonenya. Dengan nada suara manjanya Dara mulai menyapa sang kekasih."Hallo, Beb," sapa Dara pada Morgan. Sapaannya dibalas Morgan dengan nada suara merajuk."Hallo juga, Beb. Kangen. Kenapa dua hari ini sulit sekali aku hubungi? Selalu saja panggilan dialihkan." Keluh Morgan dari balik telepon.Dara menghela napas, ia mengaku salah. Gara-gara perjodohan sialan itu membuat Dara melupakan sang kekasih."Maafkan aku, beb. Aku lupa ngabarin. Dua hari ini aku disibukkan sama pernikahan saudaraku. Aku jadi panitianya, padahal aku udah nolak. Tapi terus saja dipaksa," adu Dara den
Dara mengirim pesan pada Morgan, ia memberi kabar jika dirinya akan terlambat datang. Cuaca terik ditambah tidak ada taksi yang lewat membuat Dara semakin kesal dan marah tidak jelas.Sialnya lagi, aplikasi WE-CAR- nya tidak bisa ia gunakan karena mengalami maintenance. Dara tidak hentinya mengibas- ngibaskan lengannya untuk mengurangi rasa gerah dan panas."Tuhan! Cobaan apa lagi ini? Argh!!" Dara berteriak Frustrasi.Sekarang Dara harus bisa terbiasa tidak menggunakan fasilitas mewah. Mobil, kartu kredit ataupun kartu debit kini ia tidak memilikinya lagi.Dia benar-benar harus bisa terbiasa, ia pikir mungkin kedepannya akan ada sesuatu yang lebih dari ini. Sial!Mata Dara lalu tertuju ke ujung jalan, di mana terdapat pangkalan ojek. Sempat terlintas untuk menggunakan jasa ojeg tapi tiba-tiba Dara menggeleng cepat. Ia malah menekuk wajahnya dengan mata terus memandangi lengannya dan memegangi wajahnya."Kalau aku naik ojeg, bisa-bisa kulit ku jadi hitam. Tapi ... Diam terus di sini p
Adam menunggu kedatangan Dara dengan cemas. Sudah selarut ini tapi sang istri kecilnya tidak kunjung terlihat batang hidungnya. Berulang kali Adam menghubungi nomor Dara. Tapi hasilnya diluar jangkauan. Adam semakin gelisah, kalau pun ingin mencari Dara, ia harus cari ke mana? Dirinya tidak tahu Dara pergi ke mana.. "Dara,,,, kamu ke mana, kenapa belum pulang?" Gumam Adam. Karena tidak sabar jika ia harus berdiam diri di rumah menunggu kepulangan Dara. Adam memutuskan untuk mencari Dara meskipun ia tidak tahu cari ke mana. Adam mengambil kunci motornya lalu bergegas pergi untuk mencari Dara. Tujuan utamanya ada klub malam. Tiba-tiba saja ia teringat perkataan ibunya Dara jika Dara sering keluar malam dan biasanya ia pergi ke klub. Pikir Adam tidak masalah jika harus mencari Dara ke tempat itu. Tempat yang tidak pernah sekalipun ia injak , melihatnya saja ia tidak pernah. Satu persatu klub yang ada dikunjungi Adam. Ia masuk seraya terus mencari sosok sang istri. Jika tidak ada mak
Dara mulai mengerjap bulu mata lentiknya terlihat bergerak-gerak. Ia hendak membuka matanya namun kembali ia pejamkan kembali saat cahaya matahari dari celah jendela menyilaukan matanya. Perlahan, ia kembali membuka kedua matanya hingga mata indahnya bisa terlihat dengan jelas. Dara mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Tak lama ia memegangi pelipisnya kepalanya mendadak terasa cenat-cenut tidak karuan. "Aww, apa yang terjadi? Kenapa kepalaku rasanya mau pecah?" gumam Dara lalu ia berusaha untuk bangun. Saat ia sudah terduduk, ia berusaha mengingat sesuatu. Meskipun kepalanya terasa begitu sakit tapi Dara berusaha mengingat sesuatu. Lalu tatkala matanya mengarah pada baju yang ia pakai, bayangan malam itu terlintas. Malam di mana ia dan Morgan pergi ke klub lalu ia minum dan .... "Hah, ke-napa aku aku bisa ada di rumah pria kolot itu? Dan apa ini?...." Dara melihat ke arah baju tidur yang ia gunakan. Dara langsung menyilangkan kedua tangannya di atas dada dan menje
Tiba di kampus, pesan yang ia kirim ke nomor Morgan tidak kunjung sirespons. Itu membuat Dara semakin khawatir. Pikiran buruk pun terlintas di kepalanya. Jangan-jangan... Adam melakukan hal yang tidak-tidak. Di tengah rasa ketakutannya itu, tiba-tiba Mery--teman Dara datang dan mengejutkannya. Saking tekejut, handphone yang ada dalam genggamannya saja hampir terjatuh. Beruntung masih bisa Dara selamatkan. "Mery! Kau gila apa? Kau sengaja mau buat aku mati muda? Mati konyol gara-gara dikaget seperti ini?'' sewot Dara dengan kesalnya. Bahkan jantungnya begitu berdegup dengan cepatnya. Mery cengengesan seraya menggaruk kepalanya yang diperkirakan tidak merasa gatal itu. Mery bertingkah seolah-olah tidak memiliki dosa apa pun. "Sorry, Dar. Salah kamu sendiri. Kenapa masih pagi udah melamun.'' ujar Mery ia berkata seraya duduk di bangkunya yang ada di sebelah Dara. "Ada apa sih? Ngelamunin apa gitu?" Tanyanya lagi setelah ia berhasil duduk. "Ini masalah Morgan, Mer," jawab Dara tanpa
Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kelas Dara baru saja selesai. Berhubung ada satu dosen yang tidak masuk hingga Dara bisa pulang lebih cepat.Tentu saja ini membuat Dara senang. Pasalnya kesempatan untuk bertemu dan mengetahui keadaan Morgan bisa secepatnya terealisasikan. Ia masih sangat khawatir'.Dengan buru-buru, Dara secepat kilat memasukkan buku dan notebook -nya ke dalam tas. Mery yang melihatnya hanya bisa mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Temannya itu terlihat begitu terburu-buru."Kamu mau ke mana? Kok buru-buru gitu? Biasanya juga enggak," tanya Mery yang saat ini tengah melakukan kegiatan yang sama seperti Dara. Bedanya, Mery terlihat begitu santai.Bukannya menjawab, Dara malah tersenyum penuh arti. Seolah-olah Dara meminta pada Mery untuk menebaknya.CK!Mery nerdecak seraya sedikit memalingkan wajahnya dan kembali menatap Dara. Mery tahu apa jawabannya."Ketemu Morgan pasti, gak salah lagi. Lihat ekspresi berubah sumringah pasti karena dia," tebak Mery.D
Dara dan Morgan menghabiskan waktu bersama mereka hanya dengan menonton dan bercerita. Lebih tepatnya Dara yang terus mengoceh bercerita sedangkan Morgan jadi pendengar. Morgan merasa bosan, berulang kali ia tertidur namun, berhasil tersadar saat Dara menyadari jika Morgan tidur. Dara memukul paha Morgan. Selama satu tahun berpacaran kegiatan seperti ini yang sukses membuat Morgan begitu enggan. Ia selalu berpikir, pacaran macam apa yang tengah ia lakukan? No kiss dan satu hal yang biasanya selalu ia lakukan dengan para kekasihnya-- berhubungan badan. Tapi, anehnya Morgan malah mempertahankan Dara. Meski di belakangnya sering bersama wanita lain. Bukan sijdi kekasih hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu belaka. "Beb, kamu dengerin aku ngomong, gak, sih? Tidur terus!" Keluh Dara saat ketahuan jika Morgan tertidur lagi. "Aku dengerin, kok, Beb." "Apa coba. Tadi aku ngomong apa?" Tanya Dara. "Eh ...." Bibir Morgan kelu. Ia terjebak dengan perkataan nya sendiri. "Tuh kan. Kamu gak