Share

SATU SYARAT

Dalam hati, Dara bersorak bahagia karena akhirnya Adam setuju dengan kesepakatan yang sudah ia buat. Dara yakin dengan cara ini akan mempersingkat masa pernikahan mereka.

Kenapa demikian? Karena Dara yakin dia tidak akan pernah mencintai Adam. Pria yang menurutnya terlihat kolot. Sungguh itu bukanlah pria tipe nya.

“Tapi, aku punya satu syarat.”

Ucapan Adam yang tiba-tiba itu seketika menjatuhkan angannya. Syarat? Syarat apa? Dara seketika takut, saat syarat diajukan Adam memberatkan dirinya.

“Kenapa harus pakai syarat segala? Aku tidak setuju!” tolak keras Dara.

“Saya saja sudah setuju dengan kesepakatan yang kamu buat. Apa saya tidak boleh mengajukan syarat?” tanya Adam dan sungguh kata-kata Adam bagaikan sebuah pedang yang menghunus jantungnya dan sangat tepat sekali .

Sedikit gelagapan akhirnya Dara pun mau tidak mau harus setuju dengan keinginan Adam, yang mau mengajukan syarat.

“Baiklah, memangnya apa syarat yang kamu mau? Ingat ya jangan sampai syaratnya sulit dan banyak kalau seperti itu aku akan menolak keras!”

“Syaratnya hanya satu, Kok. Kamu bersedia tinggal berdua bersama saya di rumah milik saya.”

“Hanya itu?” tanya Dara memastikan.

“Iya hanya itu. Syarat dari saya tidak sulit bukan?”

Dara diam ia melipat kedua tangannya di atas perut. Dia tengah berpikir syarat dari Adam yang menurutnya tidaklah terlalu berat. Jadi, tidak masalah jika seandainya dia setuju toh hanya tinggal di rumah milik Adam.

“Oke aku setuju. Karena semua sudah deal Sekarang aku mau tidur.” Dara beranjak lalu mengambil bantal dan menyerahkan pada Adam.

“Kamu tidur di sofa, ya, karena ranjang itu milikku seorang.”

Adam menerima bantal itu dengan pasrah, dia sama sekali tidak marah. Dia justru menyikapi Dara dengan sebuah senyuman.

Adam selalu percaya dengan takdir, jika dirinya sampai menikah karena ini atas kehendak Allah swt. Adam pun yakin Dara pasti akan berubah, asalkan diri mau bersabar untuk tetap mendidiknya.

Begitu juga pesan mamanya Dara—Mala-ia menitipkan Dara padanya. Maka dari itu, ia akan berusaha semampunya untuk menjadikan Dara jauh lebih baik. Minimal ia mampu menghargai orang lain.

‘Dara saya akan pastikan sebelum 30 hari itu berakhir kamu sudah mencintaiku dan mau menerima aku sebagai suamimu. Saya percaya akan kekuatan doa, karena saya akan selalu menyebutmu dalam setiap doa dan sujud saya.”

***

Dara menggeliat, Ia merenggangkan otot-ototnya yang entah kenapa terasa pegal. Seketika pikirannya teringat akan kejadian kemarin siang dan tadi malam. Ia harap itu hanyalah sebuah mimpi belaka. Tentunya hanya mimpi buruk.

Rasanya ia belum siap lahir batin untuk menjadi seorang istri dari pria dewasa yang bernama Adam itu.

Di tengah pemikiran Dara, yang berharap segala yang terjadi kemarin hanyalah sebuah mimpi. Suara Mala justru mengagetkan dirinya. Hingga ia yang masih berada di bawah selimut terpaksa bangun dan menyenderkan tubuhnya ke sandaran ranjang.

“Kamu gak malu bangun siang, Dara?” Tanya Mala seraya mengambil koper besar di atas lemari. Kegiatan Mala tidak luput dari perhatian Dara.

“Malu? Malu kenapa? Biasanya juga Dara bangun pukul segini.” Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi.

Mala menghentikan aktivitas berkemas lalu menatap Dara. “Jangan disamakan dulu sama sekarang, Dara. Dulu kamu melajang sekarang kamu sudah jadi seorang istri...”

“Apa Bu, istri?” Sela Dara ia seperti terkejut.

“Iya, kamu kan sekarang jadi seorang istri. Kamu lupa?” Terka Mala, lalu kembali mengemas baju-baju milik Dara.

Dara menepuk keningnya. Jadi yang ia alami itu sungguhan bukan mimpi belaka. Hal sebesar ini saja ia bisa lupa .

“Dara harap itu semua hanyalah mimpi buruk. Eh tahunya ini nyata. Jika Dara sekarang jadi istri pria kolot itu.” Gerutu kesal Dara dan mendapatkan teguran dari Mala.

“Hus! Kamu jangan asal bicara Dara.” Tukas Mala. Lalu ia memilih menghampirinya Dara yang masih setia menyenderkan punggungnya pada senderan ranjang.

Mala duduk di samping Dara. “Jadi istri yang baik, ya, nurut sama perkataan suamimu. Jangan pernah membangkang seperti yang sering kamu lakukan ke ibu dan ayah. Dara harus tahu, ibu dan ayah sangat menyayangi Dara. Karena Sayang makannya ibu menjodohkan kamu dengan Adam.. Entah kenapa ibu begitu yakin, jika di tangan Adam kamu bisa jadi lebih baik.”

“Bu, ini masih pagi. Tolong ibu bisa kan tidak membuat Dara marah? Dengar, ya, Bu. Dara sampai kapan pun tidak akan menerima pernikahan ini, karena Dara gak rela. Gara-gara pernikahan ini, mimpi Dara harus kandas. Atau memang ibu sama ayah senang karena Dara gak jadi ke Inggris? Iya kan , Bu?”

“Itu yang terbaik, Dara.”

Dara mendengus. “Sudah Dara duga,” ujar Dara seraya memalingkan wajahnya.

Keheningan lalu tercipta. Mala menundukkan kepalanya dan tanpa terduga air matanya luruh. Dara tahu hal tersebut, tapi ia tak mau ambil peduli. Dia tengah kecewa pada ibunya.

“Maafin ibu, Dara. Bukan maksud ibu atau pun Ayah untuk mematahkan mimpimu. Tapi ... Bisakah yang lain? Ibu gak Rido jika kamu sampai harus mempertontonkan auratmu. Berlenggak-lenggok tak jelas. Mungkin orang lain akan bangga tapi kami tidak, Nak.”

Dara masih diam , perkataan ibunya tak berbeda jauh dengan yang diucapkan Adam. Padahal menurut Dara ini hanyalah sebuah profesi. Lagian jika nanti dirinya jadi model pun, niatnya hanya untuk kerja cari uang buat untuk maksiat.

“Dara mau kan Maafin ibu sama ayah?” Kembali Mala mengutarakan permintaan maafnya.

Dara bungkam, ia juga kesal sendiri ayahnya yang katanya tengah perjalanan dinas ke Turki tak kunjung pulang. Bahkan saat dirinya menikah pun, Paman dari ayahnya lah yang jadi wali.

Ini membuat Dara semakin marah.

“Sudahlah, Bu. Jangan kaya gini. Ibu sama ayah gak pernah salah. Justru Dara yang salah karena tidak bisa jadi anak baik seperti Rani.”

Dara lalu menyingkap selimutnya dan hendak ke kamar mandi. Saat hendak ke kamar mandi tak sengaja ia melihat koper besar yang tadi di ambil ibunya berisi pakaiannya.

Dia hampir lupa. Jika dirinya akan pindah ke rumah Adam.

“Ibu sebaiknya keluar. Biar Dara yang melanjutkan berkemas.

Setelah berkata seperti itu, Dara pun masuk kamar mandi.

Sementara, Mala masih terpaku dengan keadaan menangis. Ia merasa menjadi orang tua yang gagal. Tidak bisa mendidik anak gadisnya dengan benar.

“Maafin, ibu Dara. Semua ibu lakukan atas pesan dari ayahmu. Maafin ibu juga karena belum bisa berkata jujur,” gumam Mala lalu berusaha untuk menguatkan dirinya.

Lalu Dara yang saat ini ada di dalam kamar mandi, hanya bisa menatap sebuah brosur salah satu sekolah modeling yang ada di Inggris.

“Ini hanya tinggal harapan semata.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status