Share

DEAL!

Malam hari sekitar pukul 10.00 malam usai resepsi pernikahan Dara dan Adam....

Tadi siang sudah diadakan acara akad pernikahan antara Dara dan Adam. Hanya pernikahan sederhana, karena Dara ingin pernikahan mereka disembunyikan.

Dara belum siap jika orang tahu dirinya sudah menikah namun, lebih tepatnya ia malu karena harus memiliki suami berpenampilan kolot dengan selisih umur mereka 12 tahun. Dia yakin dirinya akan jadi bahan ghibah teman-temannya.

Sekarang Dara dan Adam tengah di dalam kamar pengantin. Saling diam tanpa sepatah kata pun terucap. Dara duduk di sofa seraya memalingkan wajahnya menghindari tatapan Adam. Sementara Adam, ia berada di atas ranjang seraya menatap ke arah Dara.

“Kita salat isya dulu, ya,” Adam tiba-tiba berbicara seperti itu setelah keheningan tercipta.

Bukannya menjawab, Dara malah beranjak dan menghalau Adam agar tidak duduk di atas ranjang.

“Minggir!” ucap Dara ketus.

Adam tidak mengindahkan seruan Dara. Ia tetap duduk di atas ranjang dengan sorot mata penuh kelembutan.

“Kamu budek ya! Aku bilang minggir, minggir!” sewot Dara saat Adam enggan beranjak, yang ada Adam semakin lekat menetap Dara.

“Kita salat dulu,” ucap lagi Adam tanpa memedulikan titah Dara untuk beranjak dari ranjangnya.

“kalau mau salat, ya salat saja sana! Jangan ngajak-ngajak!” Omel Dara pada Adam.

“kamu istri saya, sudah sepatutnya saya mengajak kamu untuk salat. Karena sekarang kamu tanggung jawab saya," tutur Adam begitu lembutnya, tidak ada nada marah meskipun Dara begitu kasar padanya.

Dara yang memang posisinya berdiri, ia sedikit membungkuk. Lalu mengangkat jari telunjuknya dan mengacung-ngacungkan ke wajah Adam. Disertai dengan nada suara meninggi.

“Ingat, ya, sampai kapanpun aku tidak akan menerima pernikahan ini. Karena aku benci kamu. Harusnya pernikahan ini tidak terjadi. Harusnya sejak awal kamu tolak perjodohan ini. Dan harusnya saat ini aku sudah berangkat ke Inggris. Kamu tahu? Gara-gara kamu mimpiku tidak bisa aku wujudkan. Padahal itu adalah keinginan terbesarku dari dulu” Napas Dara sampai terengah-engah tatkala berbicara pada Adam.

“Saya tidak melarang, asalkan keinginanmu itu tidak melarang syari’at agama. Tapi, saya selalu suamimu tentu tidak akan memberikan kamu ijin untuk mengekspose auratmu.”

“Hanya berfoto dan berpose di catwalk itu menurutku wajar-wajar saja. Kalian saja yang lebay, gak ibu, gak Ayah dan sekarang kamu. Semuanya menyebalkan!”

“Mungkin bagi kamu biasa saja. Tapi bagi saya tidak. Tanggung jawab Saya besar dihadapan Allah.”

“Berisik! Ngaku sajalah kamu sebenarnya seorang pedofil ia kan? Pria yang menyukai wanita yang usianya terpaut jauh dibawahmu! Kamu sengaja membujuk orang tuaku untuk melarang ku pergi ke Inggris. Padahal kamu punya niat buruk.” Tuduh Dara tanpa ada bukti.

“Astagfirullah, jaga perkataanmu, Dara. Saya menikahi kamu karena Allah. Saya ingin menyempurnakan separuh agama saya....”

“Lalu kenapa harus sama aku? Masih banyak wanita yang baik, gak seperti aku yang memang jauh dari kata baik. Setidaknya kamu gak usah repot-repot buat aku berubah, percuma! Atau gak cari yang usianya sepadan denganmu.”

“Saya memilihmu karena Allah, Allah sudah menggerakan hati saya untuk menerima kamu.”

“Omong kosong! Aku yakin kalau kamu itu memang seorang pedofil. Kalau bukan, kau pasti tidak akan menerima perjodohan ini.”

‘Kamu percaya pada takdir bukan? Dan inilah takdir kita. Saya akan selalu bersabar sama kamu. Sampai kamu benar-benar menerima saya jadi suamimu.”

“No way, aku pastikan sampai kapanpun tidak akan menerima pernikahan ini, apa lagi menerima kamu.”

Adam hanya bisa menghela napas. Namun ia tidak akan putus asa. Kedua orang tua Dara sudah menitipkan dia padanya. Maka dia benar-benar harus menjaga titipan ini.

Adam baru saja selesai salat isya. Ia menatap ke arah ranjang yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh istri kecilnya. Ia tetap tersenyum meski diperlukan seperti ini.

Adam lalu berjalan menuju sofa. Kini sofa itulah yang akan jadi tempat tidur untuk Adam. Ia tidak mengeluh ia justru memaklumi belum ada cinta di hati Dara untuk dirinya.

Baru saja Adam mau merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba suara istrinya terdengar, hingga membuat Adam urung untuk merebahkan tubuhnya.

“Adam,” panggil Dara pada Adam.

“Abang, panggil saya Abang.” Ralat Adam membenarkan panggilan untuk dirinya.

“Nama kamu memang Adam, kan? Kenapa harus dipanggil Abang segala, aneh!”

“Karena saya suamimu. Panggilan Abang itu sebagai bentuk rasa hormat pada suami.” Terang Adam dan tentunya Dara tidak peduli.

“Sudahlah, hal begituan aja diributin. Ada yang lebih penting daripada itu.” Ujarnya seraya mengubah posisinya jadi duduk bersebelahan dengan Adam.

Adam diam, ia ingin tahu hal apa yang ingin dikatakan oleh Dara. Sampai-sampai bilang ini penting.

“Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?” ujar Dara dengan mimik yang begitu serius.

Adam mengerutkan keningnya, ia mencerna dengan baik arti dari kata kesepakatan. Kesepakatan apa yang Dara maksud? Jika masalah pernikahan tentunya ia akan menolak.

“Kesepakatan atau perjanjian sama saja. Dan saya tidak akan melakukan kesepakatan apa pun dengan kamu. Apalagi menyangkut pernikahan kita.” Belum juga tahu apa kesempatan yang Dara tawarkan Adam sudah menolak lebih awal.

“Ayolah! Kamu tahu sendiri kalau aku tidak menerima pernikahan ini. Aku tidak ingin hidup selamanya dengan orang yang tidak aku cintai. Ngerti dong, peka!”

“Lalu apa yang kamu inginkan, katakanlah! Selagi saya mampu dan bisa membuat kamu menerima pernikahan ini.”

Dara seketika berubah serius, ia lalu duduk jadi menghadap Ashraf.

“Beri aku waktu 30 hari untuk mencintaimu. Jika dalam waktu itu aku mencintaimu maka aku siap jadi istrimu seutuhnya dan melakukan apa pun yang kamu mau. Namun, jika dalam jangka waktu itu aku tak kunjung mencintaimu, maka kamu harus menceraikan aku.”

“Istriku, pernikahan itu bukan untuk main-main. Bukankah saya sudah pernah bilang jika saya sangat menghargai sebuah hubungan. Apalagi pernikahan.” Adam tentu saja menolak. Karena ini sama saja mereka mempermainkan kesucian pernikahan.

Dara mengepalkan tangannya kesal, karena Adam menolak mentah-mentah permintaan dirinya. Kini Dara kembali harus berpikir, bagaimana caranya agar ia terlepas dari pernikahan yang tidak ia inginkan.

“Dengarkan aku Adam....”

“Abang, Dara. Panggil saya Abang.” Sela Adam membenarkan perkataan Dara.

“Whatever! Dengarkan aku dengan baik, ya. Kita kan tidak saling mencintai, baru kenal, bahkan kita baru bertemu dua kali. Dan sialnya pertemuan kedua ini status kita malah sudah berubah. Dalam kamus percintaan ku, aku membayangkan menikah dengan pria yang aku cintai. Nah, dengan kesepakatan ini kamu memberikan aku waktu untuk lebih mengenal kamu. Jadi, harusnya kamu sepakat dong.”

Adam tahu alasan dibalik Dara membuat kesepakatan ini. Semata-mata karena ia ingin berpisah dengan dirinya, dan melanjutkan keinginannya ke Inggris. Namun, Adam yakin meskipun tanpa melakukan kesepakatan ini , ia mampu membuat istrinya ini menerima pernikahan mereka.

Namun, setelah Adam pikir. Ini justru sangat menguntungkan dirinya. Dengan setuju maka dia pun akan meminta persyaratan. Dan tentunya persyaratan itu hal-hal yang baik yang justru secara tidak langsung ingin mengubah kebiasaan buruk sang istri.

“Woi, kenapa diam? Gimana, setuju gak?”

“Baik saya setuju. Namun yang harus kamu ingat, apa yang Abang lakukan bukan berarti membenarkan tindakan ini. Karena apa yang kita lakukan adalah suatu kesalahan. Tapi, Abang hanya ingin membuktikan kepadamu akan kekuatan takdir dan doa. Selama 30 hari itu Abang tidak akan pernah berhenti untuk berdoa yang baik-baik untuk Abang dan kamu.”

Dara memeragakan orang yang hendak muntah, ia merasa mual dengan kata-kata dari Adam.

“Silakan saja, lakukan apa pun yang kamu mau. Aku tidak peduli. Jadi, kesepakatan ini deal?” Tanya Dara memastikan.

“Iya, deal!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status