Terlihat santai, Saga turun dari mobil, menghampiri Lian dan yang lain di pinggir trotoar itu. Wajah jengah Lian sudah tidak bisa disembunyikan lagi saat suaminya itu tepat berdiri di depannya.Lian jelas tahu, Saga dapat info darimana sehingga ada di sini. Sudah pasti dari Andri atau bisa jadi Rama."Aku sudah telepon bengkel, mungkin sebentar lagi mobil dereknya sampai.""Makasih, Yo. Sudan bantu Lian." Saga menepuk ramah pundak Rio."Tidak masalah. Sahabat Ine, sahabatku juga." balas Rio.Saga mengangguk. Lelaki itu lantas mendekat ke arah Lian yang pura-pura sibuk dengan ponselnya. Padahal hanya scroll marketplace melihat-lihat produk. Sampai akhirnya, Lian terpaksa mengalihkan fokusnya pada ponsel saat sesuatu melingkar di pinggangnya dan sebuah hembusan napas terasa di sekitar telinganya, berbisik."Kamu pasti panik sekali tadi, kenapa gak telpon aku, malah telpon Rama?" katanya."Kamu bukannya sibuk?" ujar Lian tidak bersahabat.Saga menghembuskan napas kasar tepat di samping w
Dulu keluarga Lian memelihara kucing. Tidak sampai belasan, tapi lumayan banyak. Ia dan Anggi biasanya akan membagi tugas untuk memberi makan kucing-kucing mereka. Orangtuanya yang bagian menyayang-nyayang saja di depan televisi. Namun, seiring waktu, Lian sibuk kuliah dan mencari kerja. Kedua orang tuanya sudah tidak punya banyak energi untuk para anabul itu. Anggi pun juga sempat merantau. Daripada para anabul itu tidak terurus, akhirnya Lian merelakan kucing-kucingnya diadopsi oleh orang lain.Setelah menikah pun, ia dan Saga tidak sempat memikirkan kucing. Jangankan kucing, ikan yang baru di beli satu hari saja sudah mati karena tidak mereka beri makan, saking sibuknya.Sudah lama sekali ia tidak berjibaku dengan kucing, hewan yang paling manis dan manja. Kini, kerinduannya untuk punya kucing, terobati oleh hadirnya Kulu. Ya, Lian dan Saga sepakat menamainya Kulu, persis seperti nama nasi goreng yang sering lewat depan rumah mereka.Entah sejak kapan,
Lelah berkejar-kejaran, mereka duduk bersantai di sun lounger sambil menikmati kelapa muda dan pemandangan matahari terbenam yang menakjubkan."Aku tahu kamu lebih suka pantai daripada gunung. Tapi, bagaimana jika suatu hari kita merencanakan ke gunung sekali-kali?"Lian membenahi topinya dan menoleh. "Daripada ke gunung, lebih baik ke mall."Sudah Saga duga. Bukannya merasa tersinggung karena Lian menolak ajakannya, Saga justru terbahak. Lian memang tidak pernah suka sesuatu yang ribet. Prinsipnya jika ada yang mudah kenapa harus mencari yang susah? Ia suka alam, tapi tidak dengan lelahnya harus menyusuri perbukitan atau hiking dan sebagainya."Kamu lihat itu kan Mas?" tunjuk Lian ke ujung barat. "Sunset yang tidak perlu dikejar dan banyak effort saja, sudah terpampang nyata di hadapan kita. Kenapa kita harus memilih cara yang lebih sulit untuk sekedar melihatnya? Begini saja sudah gratis dari Tuhan dan patut disyukuri, kamu malah mau menantang d
Lian merasakan tangan Saga perlahan terlepas dari perutnya. Ia tidak bisa berpikir apapun karena masih sangat nengantuk sekali. Matanya bahkan tidak bisa dibuka hanya untuk melihat Saga mau kemana. Ia berusaha nenarik tangan itu lagi untuk tetap memeluknya. "Sayang sebentar, aku ada telpon." bisik Saga di telinga Lian.Lian mengerang serak untuk protes tanpa membuka mata, masih kekeuh mempertahankan tangan kekar itu. Ia butuh kehangatan di pagi buta ini."Sebentar saja, tidak lama. Oke?" Saga mencium pelipis Lian dan segera menarik tangannya.Sebagai gantinya, Saga menarik selimut lebih tinggi untuk menutupi tubuh polos itu. Ya, semalam setelah dari beach club, mereka melakukannya. Ini yang dinamakan liburan sungguhan. Karena keduanya, sangat menikmati momen sejak kemarin. Terutama Lian. Setelah ia buang jauh-jauh ekspektasinya terhadap Saga, sejujurnya pikirannya lebih ringan. Ia tidak memiliki pikiran mendesak soal misinya. Semalam, mereka bahkan melakukan olahraga malam itu denga
Fahri bertanya ada keperluan apa Lian di sini dan ia menjawab sedang liburan. Lian sengaja skip soal kehadiran Saga dan mengapa ia jadi berada di sini sendirian. Itu masalah privasi. Bisa saja Fahri akan menertawakannya karena ditinggal suami dadakan. Mau memutus basa-basi dengan basa-basi, Lian balik bertanya. Namun, saat mendengar jawaban Fahri, ia justru menelan salivanya kasar saat mendengar alasan lelaki itu berada di sini."Jadi kamu selain pemimpin perusahaan media, kamu mencari sampingan dengan bangun real estate di sekitar sini?""Iya.""Tapi orang mungkin tidak akan percaya real estate hanya jadi sampingan. Kamu terlalu nyeleneh."Fahri tertawa. "Sungguh, Anda. Memang ada investor dari beberapa teman juga, tapi ini hanya sampingan semata. Kita tidak menargetkan profit dalam waktu dekat. Ya investasi jangka panjang saja. Progresnya juga slow.""Oke, tapi ... Kok bisa?" Lian masih tidak percaya bahwa Fahri melakukan ini tanpa meng
Lian hampir mengira Fahri sebenarnya mengikutinya dengan sengaja, mencari kesempatan yang ada, entah untuk tujuan apa. Di waktu yang seolah tepat pula, lelaki itu ada di depan guest housenya, menawarkan tumpangan. Namun, agaknya pikiran negatif itu terpatahkan saat Fahri harus join diskusi via audio di perjalanan. Lian tidak banyak mengerti Fahri membicarakan topik apa, tapi yang ia dengar, itu soal perusahaan medianya yang sedang berkoordinasi untuk acara anniversary malam ini.Sementara itu, Lian sibuk mengetik kata-kata mutiara alias nasehat pedas pada Rama karena masalah mobilnya dan pengerjaannya lama sekali. Sampai-sampai sudah menjelang sore, tidak kunjung datang."Anda, maaf ya aku jadi mengabaikan kamu." ujar Fahri di sela panggilan urgent itu.Lian hanya menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O dan mengangguk sekali. Diberi tumpangan saja ia sudah bersyukur dan tidak harus menunggu Rama dengan bosan. Guest house itu suda
Lian meronta saat tubuhnya di dorong dengan kasar ke badan mobil. Kedua bahunya di cengkeram dan tangannya tidak mampu mendorong tubuh Fahri meski ia melakukannya dengan sekuat tenaganya. Napasnya kian tidak beraturan dan yang ada hanya perasaan kecewa dan marah. Fahri terlanjur mencium bibirnya dan Lian semakin menggerakkan segala anggota tubuhnya untuk melepaskan diri. Ia tidak akan memberikan kesempatan sekecil apapun pada Fahri dan ia bersumpah, tidak akan lagi mau mengenal lelaki ini."Bangsat!!"Satu umpatan itu terdengar dan menekakkan telinga. Dari belakang, tubuh Fahri di tarik kasar oleh Saga yang entah sejak kapan sudah datang. Saga memberi bogem keras di wajah Fahri, berkali-kali sampai tersungkur dan bergantian memberikan bogem dalam waktu singkat. Lian panik. Tangannya dingin dan tubuhnya bergetar hebat dan tidak sanggup ia kontrol. Kakinya bahkan sulit digerakkan dan ia hanya terus menangis histeris.Meski sulit, lakukan sesuatu, Lian! Batinnya.Dengan kekuatan yang ters
Saga tidak pulang malam ini. Entah lelaki itu pergi kemana. Ruang kerjanya kosong, nihil jejaknya di dalam rumah dan mobilnya tidak ada.Dalam kurun waktu lima tahun, atau selama pernikahan mereka, mungkin ini adalah saat terkacau keduanya. Ya, Lian mengaku salah, tapi ia juga tidak membayangkan reaksi Saga akan separah itu. Lian sakit hati dengan kata-kata Saga. Dan juga perlakuannya semalam sangat kasar pada Lian. Lalu apa bedanya Saga dengan Fahri? Entahlah. Permasalahan ini membuat Lian pusing. Sementara Hana pagi ini sudah memberondongnya dengan telepon untuk mengingatkan jadwal kerjanya. Hari ini ia sudah harus bekerja kembali. Profesionalitas di atas segalanya dan mau tidak mau, Lian harus pelan-pelan mengembalikan moodnya. Mengesampingkan sejenak persoalannya dengan Saga. Meski tidak dipungkiri, kadang di saat-saat tertentu akan memenuhi otak Lian lagi tanpa cela.Lian menghentikan langkahnya di ambang pintu keluar. Membalik tubuhnya dan menatap Kulu yang berhenti tatkala ia