Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.
“Kamu tunggu di sini!” titahnya.
“Tapi, Pak —”
“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.
Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.
“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.
Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.
“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.
Lelaki itu berdehem dengan maksud agar Binar menoleh, tetapi wanita itu tidak paham dengan isyarat tersebut. “Sekretaris Binar!” panggilnya.
“Iya, Pak?”
“Apa kamu nggak punya sopan santun?”
“Punya, makanya saya nggak lihat.”
“Lihat sini!”
“Tapi, Pak —”
Presdir Tama langsung memutar tubuh Binar hingga membuat wanita itu terperanjat kaget, “Bagaimana menurut kamu? Apa ada yang kurang?”
Binar terpanah melihatnya, ia benar-benar terpesona dengan penampilan atasannya tersebut. Bahkan matanya saja sampai tidak berkedip.
“Hello?” tegur Presdir Tama setelah beberapa saat.
“I—iya, Pak. Gimana, Pak?”
“Bagaimana dengan penampilan saya?”
“Ba—bagus, Pak Presdir. Hanya saja …”
“Hanya saja?” beo Presdir Tama.
“Maaf, Pak. Dasinya miring,” ucap Binar pelan.
Presdir Tama mencoba untuk membetulkan kembali dasinya, akan tetapi bukannya semakin betul ini malah semakin miring. Binar cekikikan melihatnya.
“Ada apa?” tanya Presdir Tama.
“Boleh saya bantu, Pak?”
Tanpa menunggu jawaban Binar mendekatkan dirinya dan langsung membetulkan dasi tersebut. Nafas mereka saling sahut-sahutan, kegugupan mulai melanda namun Binar berhasil menyelesaikan pekerjaannya.
“Selesai,” kata Binar.
“Baiklah, ayo!”
“Saya ikut, Pak?”
“Jabatan kamu apa?”
“Asisten Pak Presdir!”
“Terus?”
Binar mengambil tas dan segala keperluan Presdir Tama, “Ayo, Pak Presdir!”
Mereka pun keluar dari ruangan. Sang Presdir berjalan didepannya sedangkan Binar berada dibelakang. Binar masih belum bisa menyamakan langkah kaki atasannya karena Presdir Tama berjalan dengan sangat cepat.
Kini keduanya berada di depan lift, begitu pintunya terbuka, kaki Binar gemetaran. Merasa takut diomelin dengan Presdir Tama, Binar langsung masuk ke dalam saat mendapatkan tatapan tajam.
Pintu pun tertutup, Binar berdiri menghadap ke dinding sambil berpegangan. Presdir Tama yang melihat pun langsung mengerutkan alisnya, “Apa kamu punya trauma, sekretaris Binar?”
Binar menganggukkan kepalanya, “Ya, semasa kecil, Pak Presdir. Maaf!”
Presdir Tama mengambil tangan Binar yang berada di dinding, “Pegang saya saja!”
“Tapi, Pak, bagaimana kalau ada yang melihat? Saya khawatir mereka berpikir negatif tentang saya.”
“Tenang saja, ini lift khusus saya. Tidak akan ada yang berani masuk apalagi melihatnya.”
Binar memegang erat lengan Presdir Tama, ia benar-benar ketakutan saat ini. Entah mengapa Binar merasa nyaman saat memegang lengan atasannya tersebut.
Tanpa terasa mereka sudah sampai lantai paling bawah, Binar sampai lupa melepaskan tangannya padahal pintu lift sudah terbuka. “Ekhm, sekretaris Binar!”
Binar tersentak kaget, “Ma—maaf, Pak.” Binar melepaskan tangannya dan mempersilakan atasannya keluar lebih dulu.
Keduanya jalan beriringan, banyak sekali yang menunduk tanda hormatnya pada Presdir Tama. Tak sedikit yang tersenyum pada Binar. Di depan pintu masuk ternyata sudah ada mobil yang menunggu kedatangan tuannya, pintu belakang mobil mewah tersebut terbuka, Pak supir berdiri di samping sambil menundukkan kepala saat Presdir Tama masuk.
“Kenapa masih diam di situ?” tanyanya pada Binar yang malah berdiri di tempat.
“Saya nanti nyusul naik motor, Pak Presdir!”
“Naik!” titahnya.
Binar pun berjalan ke sisi kanan bangku depan, ia memilih duduk di sebelah Pak Supir. Begitu Binar naik, Presdir Tama memanggilnya. “Iya, Pak?”
“Saya tidak suka duduk sendirian!”
Akhirnya Binar pun berpindah posisi. Banyak sekali aturan yang harus dilakukan Binar sebagai asisten, entah dirinya akan tahan atau tidak. Lelaki itu seperti bayi yang sudah besar. Hanya saja ia bisa berbicara dan memerintah. Rasanya ingin sekali Binar memberikannya susu di dalam dodotnya kemudia ia berikan pada Presdir Tama agar tidak mengoceh lagi.
Diperjalanan tidak ada yang berbicara, semuanya hening. Namun tiba-tiba lelaki itu memberikan sebuah kertas, “Ini catatan alergi saya!”
Binar membacanya dengan teliti. Banyak sekali, pikir Binar. Tiba-tiba Presdir Tama memberikannya beberapa kertas lagi. “Kalau ini makanan kesukaan saya! Yang ini warna yang saya suka, dan yang terakhir ini adalah hal yang saya suka dan tidak suka! Dipahami, jangan sampai lupa!”
Kertas tersebut sangatlah banyak, Binar pun membacanya agar tidak melakukan kesalahan lagi. Tak lama kemudian Binar menyimpannya ke dalam tas.
Tak lama setelah itu mereka sampai di sebuah restoran dan langsung menuju ruangan VIP yang sudah dipesannya. Di sana sudah ada beberapa orang Presdir dengan asistennya.
Saat rapat dimulai, Binar tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan dia bisa menyeimbangkannya seperti memberi masukan dan tanggapan. Padahal dia belum membaca tema rapat kali ini. Semuanya berdecak kagum dengan Binar.
Banyak orang yang memberikan tepuk tangan pada Binar. Tiba-tiba seseorang memberikan kartu namanya, “Simpanlah, siapa tahu butuh tempat untuk berlompat.”
Binar masih bingung, ia ingin sekali bertanya langsung pada Presdir Tama namun lelaki itu melarangnya. ‘Aneh sekali, maksudnya apa, ya?’ batin Binar.
Seorang pelayan masuk ke dalam dan membawakan makanan yang sudah di pesan. Seorang laki-laki yang memberikan kartu nama tadi ternyata adalah seorang Presdir juga. Ia terus mengajak Binar berbicara, wanita itupun menjawabnya dengan profesional.
“Kamu tahu, tidak, sekretaris saya itu adalah mantan sekretarisnya Presdir Tama. Saya tidak perlu capek-capek mencari sekretaris karena Presdir Tama selalu membuangnya. Bodoh sekali, bukan?”
Binar tersenyum tipis, “Maaf, Tuan. Menurut saya lebih baik membuang dari pada mengutip, karena mengutip sesuatu yang sudah dibuang berarti sama saja mengambil bekas orang lain.
“Saya tidak mengutip, mereka sendiri yang datang! Lagian sekertaris hebat kok dibuang.”
“Maaf, Tuan. Tapi saya tidak berhak ikut campur soal itu.”
“Kamu juga, kalau kamu dibuang nantinya, jangan lupa untuk cari saya! Saya akan memberikan gaji dua kali lipat. Saya yakin kamu orang hebat, melihat kamu tampil seperti tadi membuat saya menjadi takjub. Jangan lupa untuk menghubungi saya nanti, ya?”
Binar hanya tersenyum, “Mohon maaf, Tuan. Saya tidak akan bergabung dengan penjilat.” Binar sengaja mengatakan itu karena melihat lelaki itu cukup akrab dengan Presdir Tama, namun ternyata ia suka menjelek-jelekkan Presdir Tama di belakang lelaki tersebut.
Sekitar pukul tiga sore, mereka kembali ke kantornya. Seperti biasa jalanan di sore hari sangatlah macet. “Sekretaris Binar!” panggil Presdir Tama.
Begitu Binar menoleh, lelaki itu ternyata tidak menatapnya sama sekali saat mengajaknya bicara. “Saya lihat kamu cukup akrab dengan Presdir Wong! Apa kamu mengenalnya?”
"Pak Presdir mah kocak!" seru Binar sambil cekikikan. Cukup aneh memang bagi Presdir Tama karena dirinya tidak merasa sedang membuat lelucon saat ini. "Saya serius!" tegas lelaki itu dengan wajah dinginnya.Binar menelan saliva dengan susah payah, wajah atasannya tersebut sangatlah datar. Tida datar aja seram, apalagi tanpa ekspresi seperti itu, pikirnya."Saya tidak mengenal beliau, Pak Presdir. Kalau Pak Presdir tidak mengenalkan saya padanya, mungkin kami tidak kenal. Kalau Pak Presdir tidak mengajak saya pergi, mungkin kami tidak akan bertemu. Kalau Pak Presdir —""Kamu pikir ini lucu?" potong lelaki itu dengan cepat. "Katakan secara singkat!" lanjutnya."Maaf, Pak." Binar menundukkan kepalanya sambil mengutuk dirinya sendiri yang sudah lancang. 'Binar … Binar … sudah tahu atasan kamu itu kayak beruang kutub masuk freezer, bisa-bisanya kamu ngajak bercanda!' batin Binar mengumpat dirinya sendiri. Presdir Tama tidak menimpali lagi, akan tetapi dirinya menatap sang asisten dengan
"Hidup itu serba salah, ya? Lagi kerja, pengennya jadi pengangguran. Nanti giliran nganggur, pengennya kerja di gedongan!" Binar menggerutu sendiri karena ia dirinya hanya tidur satu jam saja setelah membereskan semua barangnya ke dalam apartemen yang kini menjadi miliknya. Meskipun hanya untuk satu tahun, namun tak dapat dipungkiri jika Binar sudah jatuh hati dengan tempat ini. Perpisahannya dengan orangtua memang serba dadakan. Namun tanpa sepengetahuan Binar, sebelum wanita itu sampai di rumah, Presdir Tama sudah menyuruh seseorang untuk mengatakan tujuannya pada orangtua Binar agar mereka tidak terkejut nantinya saat sang putri pulang untuk membawa barang-barangnya. "Ponselku di mana?" Binar mencari ponselnya yang ia taruh di sembarang arah. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan ponsel tersebut di bawah kolong kursi santainya. Binar pun mengambil ponselnya dan menekan nomor sang atasan tercinta. [Halo, selamat pagi, Pak Presdir!] Binar berniat untuk membangunkan sang a
"Ibu, Binar ngantuk sekali. Tolonglah, biarkan Binar tidur, satu jam saja!" Wanita itu terus mengigau, mengira yang memanggilnya adalah sang ibu tercinta. Tidak tahu saja dirinya jika atasan yang dingin itu sedang melipat tangannya sambil menatap dirinya. Dengan sengaja Presdir Tama menghempaskan buku tepat dihadapan Binar. Wanita itu pun terperanjat kaget, "Eh, ayam, copot, ayam …" Binar pun menjadi latah. Karena kesal melihat seseorang yang mengganggu tidurnya, ia menggebrak meja kerjanya. "Maunya apa, s— eh, Pak Presdir. Selamat pagi, Pak. Pak Presdir butuh sesuatu?" Amarahnya pun terhenti saat melihat yang mengganggunya adalah atasannya sendiri. "Enak, tidurnya?""Siap, tidak, Pak.""Lalu?""Siap, salah, Pak." Binar malah seperti sedang latihan militer saat ini saking gugupnya. "Apa jadwal kita pagi ini?""Jadwal?" beo Binar, dirinya masih belum sepenuhnya sadar saat ini. Sebagian dari dirinya masih menginginkan untuk tidur, sebagian lagi sudah menyadari waktunya bekerja.Pres
Tiga bulan sudah berlalu, Binar pun sudah terbiasa dengan rutinitasnya. Selama tiga bulan ini dia tidak melakukan kesalahan sama sekali bahkan sang atasan sudah hidup bergantungan dengannya.Sekitar pukul empat subuh, Binar sudah rapi dengan pakaiannya. Di depan cermin, ia sedang merias dirinya. "Ternyata aku cantiknya kebangetan, ya? Pantas saja namaku Queen!"Begitulah Binar, sering sekali ia memuji dirinya sendiri. Itu dilakukannya semata-mata hanya untuk menyenangkan dirinya. Setelah berdandan dengan cantik, Binar menoleh ke arah jam di dinding. Tak disangka ternyata sudah memasuki pukul lima pagi. Cukup lama ia berdandan dan memuji dirinya itu. Binar mengambil ponselnya untuk menghubungi Presdir Tama. Binar memencet nomor atasannya tersebut di layar ponselnya. Tak lama kemudian panggilan pun terhubung pada yang bersangkutan. [Selamat pagi, Pak Presdir. Awali pagi dengan senyuman.][Hm, jangan lupa sarapan!] seru Pak Presdir dari balik layar dengan suara beratnya. Setelah itu ia
Binar tercengang saat mendengarkan ucapan dari ibunya Tama. Nyonya Diana sengaja mengatakan itu karena sang putra tidak pernah mengenalkan satu wanita pun padanya, kecuali para sekretaris yang menemaninya. Ia hanya ingin melihat reaksi dari sang putra. Namun ternyata reaksinya tetap sama, hanya datar tanpa berekspresi saat menanggapinya. "Berhentilah melakukan hal konyol, Mom." Presdir Tama mengatakan itu sambil duduk. "Jadi yang ini bukan juga? Astaga, padahal Mommy sudah berharap banyak," sahut Nyonya Diana dengan lesu. Tuan besar Angkasa menahan tawanya, istri dan putranya memang sering sekali bertengkar jika sudah menyangkut tentang wanita. Wajar saja, karena sampai detik ini belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan menantu. Keduanya sudah tua, mereka ingin menyaksikan pernikahan putra mereka satu-satunya. "Sebaiknya kita makan dulu," titah Tuan Angkasa.Para pelayan pun datang menghidangkan beberapa macam makanan. Binar terkejut karena banyak sekali makanan di meja terse
Melihat atasannya sangat antusias, Binar pun tak kalah semangatnya. "Tak banyak, hanya setengah kodi saja!" "Sepuluh orang maksud kamu?" Binar menganggukkan kepalanya, "Sepertinya Tuan Angkasa benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Pak Presdir." "Itu jumlah yang banyak …" "Benarkah? Lihat, Pak Presdir. Gadis ini cantik sekali. Apa ini anaknya Presdir Chloe? Sepertinya dia sangat cocok dengan Pak Presdir." Begitulah Binar, tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak saat berbicara dengan lawan jenisnya. Saat menyadari kesalahannya, Binar menutup mulutnya. "Sorry! Saya bercanda, Pak Presdir." "Dari mana kamu kenal dengan Presdir Chloe?" "Saya tidak mengenalnya," jawab Binar langsung. "Lalu?" "Lalu?" Beo Binar sambil memutar matanya. "Lalu apa? Ah, ya, lalu saya tahu nama Presdir Chloe dari tuan besar. Bukannya tuan besar tadi cerita tentang Presdir Chloe, ya?" sambungnya. Presdir Tama tak bergeming, berbicara dengan Binar memang harus memiliki kesab
"Haaa … kena, kalian!" serunya lagi sambil menggebrak meja dengan pelan.Suasana yang tadinya tegang pun menjadi cair kembali saat pria itu malah merapikan rambutnya. Dia adalah Rayyan, atasannya Andin yang terkenal suka merayu wanita."Hayo … ketahuan 'kan, kalian! Ternyata suka ceritain orang tampan." Rayyan kembali melanjutkan ucapannya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Pak!" Lirih Binar dan Andin, meskipun Rayyan terlihat baik-baik saja, mereka merasa tidak enak karena sudah lancang membicarakan atasannya tersebut. "Berhubung saya sedang bahagia, saya maafkan. Tahu, nggak? Beberapa jam lalu saya akhirnya dapat nomor teman sekolah saya dulu yang ngejar-ngejar saya.""Kenapa Bapak yang senang? 'kan dia yang ngejar Bapak?" Andin langsung menyambar ucapan atasannya tadi."Karena sekarang dia semakin waw, tak di sangka kecantikannya semakin runcing.""Pisau kali, Pak," protes Andin. "Hei, saya atasan kamu!" oceh Rayyan. Binar tersenyum geli mendengar perdebatan mereka, namun senyumn
Rayyan terbahak-bahak mendengarnya. Sahabatnya memang tak pernah berubah sejak ditinggal sang kekasih dulu. Entah bagaimana caranya agar trauma tersebut berakhir dan Presdir Tama percaya dengan yang namanya cinta. "Bro! Itu terserah kamu. Kamu yang jalanin, kamu juga yang ngerasain. Tapi saran aku, kamu nikmatin aja rencana dari daddy. Kalau kamu nggak suka, bisa kasih aku!" seru Rayyan sambil terkekeh geli. "Pacar kamu sudah satu lusin, Ray. Dan kamu masih mau tambah? Kayaknya kita harus manggil dr. Richard.""Ngapain?""Buat meriksa otak kamu.""Pak Presdir yang terhormat, dr. Richard itu spesialis jantung!""Aku ini Presdir Tama, aku tidak terima penolakan."Rayyan menarik tangan Presdir Tama membuat pria itu beserta Binar terkejut. "Ikut aku!" titahnya, lalu Rayyan pun melirik Binar. "Kamu juga, ikut saya!""Mau ke mana, Pak?" tanya Binar."Kita cari pakaian yang cocok untuk atasan kita ini. Kita harus berikan yang terbaik untuk beliau!" seru Rayyan. Binar mengikuti langkah Ray