Share

Bab 5. Meeting dengan Penjilat

Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.

“Kamu tunggu di sini!” titahnya.

“Tapi, Pak —”

“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.

Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.

“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.

Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.

“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.

Lelaki itu berdehem dengan maksud agar Binar menoleh, tetapi wanita itu tidak paham dengan isyarat tersebut. “Sekretaris Binar!” panggilnya.

“Iya, Pak?”

“Apa kamu nggak punya sopan santun?”

“Punya, makanya saya nggak lihat.”

“Lihat sini!”

“Tapi, Pak —”

Presdir Tama langsung memutar tubuh Binar hingga membuat wanita itu terperanjat kaget, “Bagaimana menurut kamu? Apa ada yang kurang?”

Binar terpanah melihatnya, ia benar-benar terpesona dengan penampilan atasannya tersebut. Bahkan matanya saja sampai tidak berkedip.

“Hello?” tegur Presdir Tama setelah beberapa saat.

“I—iya, Pak. Gimana, Pak?”

“Bagaimana dengan penampilan saya?”

“Ba—bagus, Pak Presdir. Hanya saja …”

“Hanya saja?” beo Presdir Tama.

“Maaf, Pak. Dasinya miring,” ucap Binar pelan.

Presdir Tama mencoba untuk membetulkan kembali dasinya, akan tetapi bukannya semakin betul ini malah semakin miring. Binar cekikikan melihatnya.

“Ada apa?” tanya Presdir Tama.

“Boleh saya bantu, Pak?”

Tanpa menunggu jawaban Binar mendekatkan dirinya dan langsung membetulkan dasi tersebut. Nafas mereka saling sahut-sahutan, kegugupan mulai melanda namun Binar berhasil menyelesaikan pekerjaannya.

“Selesai,” kata Binar.

“Baiklah, ayo!”

“Saya ikut, Pak?”

“Jabatan kamu apa?”

“Asisten Pak Presdir!”

“Terus?”

Binar mengambil tas dan segala keperluan Presdir Tama, “Ayo, Pak Presdir!”

Mereka pun keluar dari ruangan. Sang Presdir berjalan didepannya sedangkan Binar berada dibelakang. Binar masih belum bisa menyamakan langkah kaki atasannya karena Presdir Tama berjalan dengan sangat cepat.

Kini keduanya berada di depan lift, begitu pintunya terbuka, kaki Binar gemetaran. Merasa takut diomelin dengan Presdir Tama, Binar langsung masuk ke dalam saat mendapatkan tatapan tajam.

Pintu pun tertutup, Binar berdiri menghadap ke dinding sambil berpegangan. Presdir Tama yang melihat pun langsung mengerutkan alisnya, “Apa kamu punya trauma, sekretaris Binar?”

Binar menganggukkan kepalanya, “Ya, semasa kecil, Pak Presdir. Maaf!”

Presdir Tama mengambil tangan Binar yang berada di dinding, “Pegang saya saja!”

“Tapi, Pak, bagaimana kalau ada yang melihat? Saya khawatir mereka berpikir negatif tentang saya.”

“Tenang saja, ini lift khusus saya. Tidak akan ada yang berani masuk apalagi melihatnya.”

Binar memegang erat lengan Presdir Tama, ia benar-benar ketakutan saat ini. Entah mengapa Binar merasa nyaman saat memegang lengan atasannya tersebut.

Tanpa terasa mereka sudah sampai lantai paling bawah, Binar sampai lupa melepaskan tangannya padahal pintu lift sudah terbuka. “Ekhm, sekretaris Binar!”

Binar tersentak kaget, “Ma—maaf, Pak.” Binar melepaskan tangannya dan mempersilakan atasannya keluar lebih dulu.

Keduanya jalan beriringan, banyak sekali yang menunduk tanda hormatnya pada Presdir Tama. Tak sedikit yang tersenyum pada Binar. Di depan pintu masuk ternyata sudah ada mobil yang menunggu kedatangan tuannya, pintu belakang mobil mewah tersebut terbuka, Pak supir berdiri di samping sambil menundukkan kepala saat Presdir Tama masuk.

“Kenapa masih diam di situ?” tanyanya pada Binar yang malah berdiri di tempat.

“Saya nanti nyusul naik motor, Pak Presdir!”

“Naik!” titahnya.

Binar pun berjalan ke sisi kanan bangku depan, ia memilih duduk di sebelah Pak Supir. Begitu Binar naik, Presdir Tama memanggilnya. “Iya, Pak?”

“Saya tidak suka duduk sendirian!”

Akhirnya Binar pun berpindah posisi. Banyak sekali aturan yang harus dilakukan Binar sebagai asisten, entah dirinya akan tahan atau tidak. Lelaki itu seperti bayi yang sudah besar. Hanya saja ia bisa berbicara dan memerintah. Rasanya ingin sekali Binar memberikannya susu di dalam dodotnya kemudia ia berikan pada Presdir Tama agar tidak mengoceh lagi.

Diperjalanan tidak ada yang berbicara, semuanya hening. Namun tiba-tiba lelaki itu memberikan sebuah kertas, “Ini catatan alergi saya!”

Binar membacanya dengan teliti. Banyak sekali, pikir Binar. Tiba-tiba Presdir Tama memberikannya beberapa kertas lagi. “Kalau ini makanan kesukaan saya! Yang ini warna yang saya suka, dan yang terakhir ini adalah hal yang saya suka dan tidak suka! Dipahami, jangan sampai lupa!”

Kertas tersebut sangatlah banyak, Binar pun membacanya agar tidak melakukan kesalahan lagi. Tak lama kemudian Binar menyimpannya ke dalam tas.

Tak lama setelah itu mereka sampai di sebuah restoran dan langsung menuju ruangan VIP yang sudah dipesannya. Di sana sudah ada beberapa orang Presdir dengan asistennya.

Saat rapat dimulai, Binar tidak melakukan kesalahan apapun. Bahkan dia bisa menyeimbangkannya seperti memberi masukan dan tanggapan. Padahal dia belum membaca tema rapat kali ini. Semuanya berdecak kagum dengan Binar.

Banyak orang yang memberikan tepuk tangan pada Binar. Tiba-tiba seseorang memberikan kartu namanya, “Simpanlah, siapa tahu butuh tempat untuk berlompat.”

Binar masih bingung, ia ingin sekali bertanya langsung pada Presdir Tama namun lelaki itu melarangnya. ‘Aneh sekali, maksudnya apa, ya?’ batin Binar.

Seorang pelayan masuk ke dalam dan membawakan makanan yang sudah di pesan. Seorang laki-laki yang memberikan kartu nama tadi ternyata adalah seorang Presdir juga. Ia terus mengajak Binar berbicara, wanita itupun menjawabnya dengan profesional.

“Kamu tahu, tidak, sekretaris saya itu adalah mantan sekretarisnya Presdir Tama. Saya tidak perlu capek-capek mencari sekretaris karena Presdir Tama selalu membuangnya. Bodoh sekali, bukan?”

Binar tersenyum tipis, “Maaf, Tuan. Menurut saya lebih baik membuang dari pada mengutip, karena mengutip sesuatu yang sudah dibuang berarti sama saja mengambil bekas orang lain.

“Saya tidak mengutip, mereka sendiri yang datang! Lagian sekertaris hebat kok dibuang.”

“Maaf, Tuan. Tapi saya tidak berhak ikut campur soal itu.”

“Kamu juga, kalau kamu dibuang nantinya, jangan lupa untuk cari saya! Saya akan memberikan gaji dua kali lipat. Saya yakin kamu orang hebat, melihat kamu tampil seperti tadi membuat saya menjadi takjub. Jangan lupa untuk menghubungi saya nanti, ya?”

Binar hanya tersenyum, “Mohon maaf, Tuan. Saya tidak akan bergabung dengan penjilat.” Binar sengaja mengatakan itu karena melihat lelaki itu cukup akrab dengan Presdir Tama, namun ternyata ia suka menjelek-jelekkan Presdir Tama di belakang lelaki tersebut.

Sekitar pukul tiga sore, mereka kembali ke kantornya. Seperti biasa jalanan di sore hari sangatlah macet. “Sekretaris Binar!” panggil Presdir Tama.

Begitu Binar menoleh, lelaki itu ternyata tidak menatapnya sama sekali saat mengajaknya bicara. “Saya lihat kamu cukup akrab dengan Presdir Wong! Apa kamu mengenalnya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status