Share

Curhat

Pagi-pagi sekali Dinda sudah berangkat ke alamat apartemen yang di kirimkan Gea semalam.

"Wahh, gila. Ini kan apartemen orang-orang kaya," gumamnya.

Sesampainya di lobby, Dinda langsung lapor ke tempat security perihal tujuannya. Namun sebelumnya Gea juga sudah memberitahukan perihal kedatangan Dinda kepada security apartemen tersebut.

Setelah mendapatkan akses masuk, Dinda masuk kedalam lift menuju lantai tiga gedung, tempat dimana Gea beserta keluarganya berada.

Ting tong... Ting tong...

"Lama banget sih, Gea bukannya. Ini bener nomor 201 kamarnya, gak salah," gerutu Dinda.

Ceklek...

Kepala Gea menyembul keluar dari balik pintu. "Ayo buruan masuk."

Dinda di buat takjub dengan design apartemen mewah yang Gea tempati saat ini. "Gila loe, Ge. Ini apartemen kan mahal banget, lihat aja dalemnya mewah kaya gini."

"Nenek-nenek peyot juga tau kali, kalo apartemen ini mewah dan mahal. Ini semua punya calon suami gue," tandas Gea.

"Buset! Yang bener loe, Ge. Sekarang loe jelasin ke gue kenapa loe mendadak mau nikah? Jangan-jangan, loe udah depe duluan, ya?" hardik Dinda.

"Mana ada! Gila loe ya."

"Lah, secara loe kan selama ini gak punya pacar, dan gak deket sama cowok juga. Emangnya mau nikah sama siapa?

"Emangnya orang kalo nikah harus punya pacar dulu?"

"Y-ya, iyah. Setidaknya kan harus dekat sama seseorang gitu. Apa jangan-jangan loe di jodohin sama orangtua loe?"

Gea menghela nafas panjang. Begitu sulit menjelaskan bagaimana situasi yang telah terjadi dalam hidupnya.

"Gimana, ya, nyebutnya? Di jodohin bukan, di paksa nikah pun juga bukan."

"Maksudnya, gimana? Gak usah muter-muter, deh!"

"Loe tau kan kalo Ayahku sakit, dan butuh banyak biaya."

"Terus..."

"Jujur, gue gak punya uang sebanyak itu. Mau jual toko, usaha satu-satunya keluargaku pun juga gak bakalan cukup kayaknya. Terus, kalo jual rumah...? gue sama sama keluarga mau tinggal dimana? Mau jual ginjal, tapi gue ragu. Hutang kesana kemari pun juga gak ada yang mau minjemin. Saat aku mulai putus asa, tiba-tiba datang sebuah tawaran."

"Tawaran apa?"

"Menikah sama seseorang."

"Jadi maksudnya elo terima tawaran untuk nikah sama orang yang gak loe kenal gitu?"

Gea pun mengangguk.

"Whatt th* f**k! Gila loe, ya."

"Gue gak ada pilihan, Din."

"Terus loe tetep mau lanjut nikah kalo calonnya udah tua bangka dan punya istri banyak?" tanya Dinda mulai geram dengan sahabatnya itu.

"Kalo tua bangka malahan bagus. Setidaknya kalo udah mati, gue bakalan dapet warisan. Kalaupun jadi istri kedua atau ketiga pun juga gak masalah gue. Tapi ini malah lebih buruk dari itu."

"Lebih buruk gimana maksudnya?"

"Gue bakal nikah sama Geo."

"Geo?" ulang Dinda datar. Rasanya nama itu tidak asing di telinganya. "Tunggu, tunggu... Maksud loe, Geo temen SMA kita? Mantan pacar loe itu? Yang cuma bertahan seminggu itu?"

Gea mengangguk lagi dengan wajah yang semakin kusut.

"WHATTT???"

"Loe juga kaget, kan?"

"Kenapa bisa sama si Geo, sih?"

"Nggak tau juga gue. Mungkin ini yang namanya takdir. Takdir tergila yang harus gue jalani. Kenapa dari ribuan penduduk di jakarta ini, harus Geo yang nikah sama gue."

"Itu namanya jodoh, dod..." ucapan Dinda terhenti ketika bel pintu berbunyi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status