Tante Sofia sedang menyiapkan makan siang di meja makan, sedangkan Paman Radit menemui Arlan yang sedari tadi telah menunggunya.
"Perkenalkan paman, saya Arlan sujibto teman masa kecil Zara." Arlan mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya pada Paman Radit yang memang untuk pertama kalinya ia jumpai.
"Sujibto?" Paman Radit tidak asing dengan nama belakang Arlan.
"Iya, saya anaknya Burhan sujibto dari kampung hilir."
"Ah, iya yang punya toko klontong yang cukup besar dikampung hilir itu, ya!" Paman Radit menyadari ia mengenal Bapaknya Arlan.
"Iya, Paman!"
"Kamu Anak Burhan yang kuliah di luar negeri itu, ya. Kapan sampainya di Indonesia?"
"Iya Paman! Saya sampai baru tadi subuh dan langsung ke desa ini."
Setelah bersalaman, Radit mempesihlakan kembali Arlan duduk.
"Silahkan duduk!"
Mereka pun duduk bersamaan. Sekilas Radit terlihat begitu ramah, dan sangat sopan dalam bertutur kata tidak tampak dari raut wajahnya, ia adalah seorang paman yang tega memasung Zara.
"Begini Paman maksud saya datang kesini tidak lain adalah untuk meminta izin kepada Pamah untuk menikahi, Zara." Arlan membuka pembicaraan langsung pada intinya.
Suasana pun hening sesaat. "Zara, tidak di dalam kondisi yang layak untuk dinikahi," jawab Paman Radit dengan raut wajah sangat tenang, tetapi meisyaratkan gelombang.
"Saya sudah mengetahui kondisi Zara, dan saya akan tetap menikahinya," tegas Arlan.
"Hahaha, apa kamu bercanda?" wajah Paman Radit berubah memerah.
"Saya sangat serius dengan apa yang saya ucapkan."
Radit layak srigala berbulu domba di luar terlihat begitu baik dan tipe seseorang yang sayang pada keluarga, tetapi faktanya Radit adalah orang yang begitu kejam ketika ia ingin mendapatkan apapun yang ia inginkan.
"Kamu lebih baik menikahi wanita lain yang pantas untukmu, Bukan wanita gila seperti keponakanku," nasehat Paman Radit dengan nada suaranya yang lembut, tetapi menohok runcing seakan meintimidasi Arlan secara tidak langsung.
"Kenapa Paman begitu kejam pada Zara, keponakan Paman sendiri?"
"Kejam?"
"Pasungan itu hal terbaik yang saya lakukan untuk Zara, dari pada ia dibakar oleh warga desa," ucap Paman Radit santai tanpa berdosa.
Arlan yang pintar mengatur emosi, dan kemarahannya terdiam sejenak, dan menyedu teh yang tersisa di gelas.
"Monster seperti apa yang ada di depanku ini," gumam Arlan di dalam hati.
"Tidak bisakah paman melakukan pengobatan terhadap Zara bagaimana pun dia keponakan paman. Tidak ada penyakit di dunia ini yang tidak ada obatnya." Arlan merapatkan gigi menahan emosinya.
"Aku sayang pada keponakanku itu, tetapi aku tidak mau membuang-buang uangku untuk sesuatu yang telah rusak." Paman Radit dengan nada suara biasa, tetapi isi kata-katanya menikam mati hati Arlan.
"Sesuatu yang rusak?"
"Bisa-bisanya paman berkata seperti itu tentang Zara." Arlan mengepal tangannya.
di tengah pembicaraan Radit bercerita kenapa ia dan masyarakat desa memasung Zara. Diawal gangguan kejiwaan yang diderita Zara, ia pernah mengamuk dan mengacau di desa, ia melempari rumah warga dengan batu, dan kotoran kerbau. Zara pernah juga hampir melukai Radit dengan golok. Menurut Radit memasung Zara adalah pilhan terbaik.
"Tetap saja semua itu tidak manusiawi Paman!" bentak Arlan
"Zara itu manusia, tetapi diperlukan lebih buruk dari pada binatang. Apa dengan memasung Zara dapat mengobatinya?" Arlan dengan emosi meluap.
"Tidak! Semua itu, memperburuk keadaanya," tambah Arlan mulai menstabilkan nada bicaranya.
"Itu sudah nasibnya, ia sudah terbuang ...," jawab singkat Paman Radit santai.
"Terbuang ...." Arlan tertawa kecil.
"Dia bukan barang yang bisa dibuang. Biar saya yang akan merawatnya, jadi serahkan kunci pasungannya, dan biarkan saya menikahinya!" tegas Arlan.
"Apa ini yang kau dapatkan sekolah jauh-jauh ke eropa, keong lebih pintar darimu." Paman Radit dengan nada suara rendah, dan tetap menikam lawan bicaranya.
"Iya, setidaknya saya punya hati nurani!"
"Bukan berarti jika kau punya hati nurani, kau harus menikahi wanita gangguan jiwa!" Paman Radit mengusap dagu dengan tangan.
"Berikan saja kunci pasungannya pada saya, dan pembicaraan kita selesai sampai di sini!" pinta Arlan.
"Saya tidak bisa memberikanya padamu," tolak Paman Radit.
"Kenapa? Bukankah kau tadi berkata kau telah membuang, Zara!"
"Saya hanya tidak ingin ...."
"Saya akan membayar berapa pun yang Paman minta jika Paman memberikan kunci pasungan itu." Arlan memberikan tawaran menarik untuk Paman Radit.
"Apakah saya terlihat kekurangan uang," tolak halus Radit.
"Jadi apa yang paman inginkan?"
"Saya ingin dia tetap di sana, dan kamu pulang ke rumahmu." Radit tersenyum lagi dengan senyum srigala berbulu domba.
"Kenapa paman bisa begitu kejam pada Zara!" nada suara Arlan naik.
"Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi pada Zara sebelum dia menjadi gila, jadi jangan buang waktumu untuknya. Dia sudah rusak ...."
"Saya ini orang yang baik! Saya tidak ingin masa depanmu hancur karena Zara," tambah Paman Radit.
Nasehat Radit yang terdengar begitu baik memiliki makna yang lain. Ia adalah tipe orang yang diam tak hanya menghanyutkan tapi menenggelamkan.
"Orang seperti apa Pamannya Zara ini ...," gumam Arlan kesal.
"Pulanglah, jangan buang waktumu untuk keponakanku yang malang itu!"
"Iya, wanita malang, dan gila itulah yang melahirkan Zayn." Arlan melirik Paman Radit, mengeluarkan kartu As-nya.
"Jaga bicaramu!" bentak Paman Radit, seketika wajahnya yang sangat tenang berubah muram.
"Jangan pernah melibatkan Zayn dengan Zara!" Paman Radit terlihat sedikit panik.
"Zayn adalah Anak saya tidak ada hubunganya dengan wanita ganguan mental itu," tambah Paman Radit.
"Saya tidak akan mengusik Keluarga Paman yang sangat bahagia ini. Asalkan Paman memberikan kunci pasungan Zara dan melepaskan tanggung jawab paman sebagai wali Zara kepada saya," tegas Arlan dengan kerutan di kening.
"Apakah kamu mengacam saya?" mata sinis Radit menatap Arlan.
"Maaf saya tidak berbakat soal ancam-mengancam. Lagi pula tidak ada ruginya bagi paman memberikan kunci pasungan itu, bukankah Paman telah membuang Zara," tegas Arlan.
Radit masuk kekamar sebentar mengambil kunci pasungan Zara, dan melemparnya ke meja.
"Itu kuncinya! Bawa wanita itu, jauh-jauh dari anak dan keluarga saya." Paman Radit melempar kunci dengan tangan kiri sembari tangan kanan di dalam saku.
Arlan meringis melihat sikap Radit, tetapi ia tidak peduli dengan hal itu, dipikirannya sekarang hanya bagaimana melepaskan pasungan Zara. Arlan langsung mengambil kunci yang dilempar Radit dan bergegas pergi.
"Saya harap sebagai satu-satunya keluarga Zara. Paman menghadiri pernikahan kami." Arlan yang berjalan menuju pintu keluar memunggungi Radit, sedikit menolehkan kepalanya kebelakang.
Radit mendengar ucapan Arlan tersenyum geli sembari bersandar di sofa.
"Arlan udah mau pergi aja, tidak makan siang dulu di sini," tawar Tante Sofia yang keluar dari dapur menghampiri Arlan.
"Iya Tante maaf, Zara sudah lama menunggu. Saya harus melepaskan pasungan Zara dulu. Lain kali Tante mampirlah kerumah kami setelah saya dan Zara menikah. Saya akan memberikan alamat rumah saya di Yogyakarta kepada Pak sholeh, jangan lupa bawa Zayn juga," ucap Arlan, membuat Tante Sofia sangat terkejut hingga gelas yang ia pegang jatuh pecah berderai.
"Apa?" Tante Sofia menutup mulut dengan tangan yang gemetar, sejari matanya melirik Arlan, dan suaminya.
"Papa apa maksud Arlan barusan?" Tante Sofia menghampiri Paman Radit yang ada di sofa.
"Bukankah mereka sangat cocok mempelai wanitanya gangguan jiwa dan mempelai lelakinya tidak waras." Paman Radit tertawa geli.
***
Terimakasih udah mampir mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan cerita ini hanya fiktif dan imajinasi penulisš¤
love you see ya...š„°š„°š„°
ig @writer_in_box
@gadis pecinta mendung
kumpulan puisi writer in box in chanel youtube writer in box.
Setelah sekian lama terkungkung kejamnya dunia Zara Adhira bisa merasakan hembusan angin di kulit lusuhnya. Setelah Arlan medapatkan kunci pasungan dari Paman Radit, ia Iangsung menemui Zara."Nak Arlan, berhasil mendapatkan kuncinya?" tanya Pak Sholeh yang sedang mendaping Zara."Alhamdulilah pak, meskipun harus bersetegang sedikit dengan Orang itu," jawab Arlan kesal mengingat Paman Radit."Radit bukanlah orang biasa, Nak!" gumam Pak Sholeh mengingat bagaimana Radit dulu mengacam keluarga Pak Soleh ketika ia mencoba melindungi Zara, ditambah lagi Pak Sholeh mengetahui tentang kebenaran Zayn. Hidup keluarga Pak Sholeh selalu dihantui oleh lelaki picik itu."Saya bisa merasakan itu, Pak!" jawab Arlan."Berhati-hatilah dengannya!" tambah Pak Sholeh Lagi."Iya, Pak. Saya akan menjauhkan Zara dari srigala berbulu domba itu." Arlan Geram mengingat nama Paman Radit.
"Apa ada tontonan yang sangat bagus di sini!" Senyum sinis Arlan melihat warga masih berkerumun di halaman Rumah Pak Sholeh."Iya, ini tontonan yang sangat bagus. Kisah cinta wanita gila yang malang," cemooh dari wanita separuh baya."Bisanya anda sebagai sesama wanita menghina Zara seperti itu," ucap Arlan."Itu bukan sebuah hinaan, tetapi pujian. Dia sungguh luar biasa membuatmu seperti ini Anak muda!" gumam wanita separuh baya, membuat Arlan geram."Hal yang terjadi pada Zara bisa terjadi pada siapa pun, jadi jangan menjadikanya sebagai objek kalian. Anda sendiri perempuan dan apa anda tidak memiliki anak perempuan di rumah. Apakah anda akan selalu bisa mengawasi Anak perempuan anda. Janganlah tertawa di atas duka Zara, belum tentu duka akan selalu untuk Zara. Dia juga berhak bahagia," jawab Arlan panjang lebar."Apa maksudmu, kurang ajar!" sungut wanita separuh baya meninggalkan Arlan.
Arlan bersiap-siap untuk pernikahan yang telah ditunggu sedari lama, dengan gugupnya ia memasang dasi kupu-kupu dan baju setelan yang membuatnya terlihat semakin tampan, sembari kedua bola mata Arlan melirik Zara yang terlihat begitu cantik mengenakan gaun putih dengan ornamen abu-abu."Kamu cantik!" Arlan mendekati Zara yang menatap mata Arlan dengan tatapan kosong."Insyallah aku bakalan jadi suami yang baik untukmu, Zara!" Arlan berlutut memegang tangan Zara yang duduk di sebuah kursi.Tanpa expresi Zara menarik tanganya dari Arlan."Setelah aku menggengam tangan ini, aku tidak akan pernah melepaskannya hingga hayat memisahkan!" Arlan meraih tangan Zara kembali.Zara yang tadinya membuang muka menoleh ke arah Arlan dan menatap Arlan dalam-dalam, tangan yang tadi ia lepaskan sekarng ia genggam erat-erat."Terimakasih!" Arlan tersenyum.Akad nikah Arlan dan Z
Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu."Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara."Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya."Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan ke
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
ā¤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiriā¤AZEDā¤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je