Pagi-pagi buta Rara sudah melakukan olahraga lari. Aldebaran memang sangat menyebalkan. Dia menyuruh Rara datang menemuinya jam lima pagi. Jalanan masih tampak sepi, hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Rara bahkan tidak boleh terlambat walau satu detik pun. Pria arogan itu menunggu di taman.
Napas Rara tersengal ketika baru saja sampai. Dia memegang dadanya yang naik turun. Aldebaran memakai earphone dengan kedua mata terpejam. Tangan Rara menggapai ujung bangku, masih mengatur napasnya, serasa jantungnya hampir copot. Rara duduk sebentar dan meluruskan kakinya.
“Aku tidak menyuruhmu duduk,” ucap Aldebaran masih dengan mata terpejam.
“Istirahat sebentar, Pak. Aku berlari sejauh 700 meter untuk sampai ke sini,” keluh Rara.
“Aku tidak mendengar apa pun! Bawakan aku air. Ada di mobil. Cepat ambil!” perintah Aldebaran. Masih dengan mata terpejam. Entah lagu apa yang ia dengar.
Rara mendengus. Dia segera mengambil langkah cepat menuju mobil. Dia meraih minuman milik Aldebaran dan menutup pintu mobil dengan kesal.
“Ingin rasanya kumenangis. Apa daya hati tak kuasa.” Rara berusaha menghibur diri.
Baru saja beberapa langkah, Rara ditahan oleh pergerakan asing yang mendadak muncul dari belakang. Refleks Rara berbalik dan mengunci pergerakan orang itu dengan jurus bela diri. Hampir saja kepalan tangan Rara mendarat di pipi mulus kekasihnya—Ivan.
“Ivan!”
Ivan tersenyum. “Masih gesit juga, aku tidak perlu khawatir berlebihan padamu. Kau bisa menjaga diri!”
“Jangan remehkan aku! Tampangku saja bukan seperti perempuan pada umumnya.” Rara melebarkan senyum. Gaya jalannya saja tidak elegan. Untung cantik.
Ivan merangkul Rara. “Aku tadi membaca pesanmu. Bosmu menyuruh datang ke sini. Aku ingin lihat, pria sialan siapa yang berani-beraninya membuat kekasihku harus bekerja keras.”
Rara tersipu. Sedetik kemudian dia tersentak, melirik ke jam tangannya. Dua menit sudah berlalu, Rara menarik tangan Ivan dengan cepat.
Benar saja, Aldebaran sudah tidak ada di bangku. Rara menyapu pandangan, netra nya tidak menangkap postur tegap berotot dengan tubuh semampai. Sial, Rara pasti mendapatkan imbasnya. Dia merogoh saku celana, mengusap layar ponsel barunya. Itu pemberian Aldebaran yang diberikan padanya kemarin. Alasannya, ponsel jadul Rara tidak bisa menerima pesan chat atau menulis jadwal aktivitas Aldebaran. Mau tidak mau, Rara harus menerima. Apalagi model terbaru dari logo buah yang digigit itu, begitu sangat diinginkannya. Walau untuk pekerjaan, setidaknya Rara bisa merasakan bagaimana rasanya memakai ponsel mahal. Kapan pun Aldebaran menginginkannya, Rara akan dengan senang hati memberikan kembali.
Pria arogan itu tidak menelepon. Rara kembali memasukkan ponsel ke dalam saku.
“Kau menerima ponselnya tetapi menolak pemberian dariku. Apa karena pemberianku tidak semahal yang dia berikan?!” Ivan bersedakap dada, menatap wajah Rara dengan memicingkan mata.
“Bukan seperti itu, ini aku gunakan hanya untuk pekerjaan. Kalau dia meminta kembali, aku juga akan mengembalikannya. Lagi pula, jangan menghamburkan uangmu untuk sesuatu yang bukan kebutuhan mendesak. Kau kan harus menabung untuk masa depan kita.” Rara melingkari lengannya seraya tersenyum manis.
Ivan mencuit hidung Rara. “Apa dia pergi?” tanya Ivan ikut melihat ke sekeliling.
“Kelihatannya dia memang sudah pergi.”
Rara mendesah pelan. Menatap botol minuman kemasan yang masih tersegel.
“Siapa pria yang memperkerjakan mu? Kau tetap tidak mau memberitahukan padaku?”
“Tidak, kecuali kau melihatnya sendiri. Wajahnya juga tidak asing.
“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Alis Ivan bertaut. Dia merasa penasaran.
“Tidak sebagai teman, tapi kau pasti mengenalnya jika sudah bertemu nanti.” Senyum Rara tersimpul, menampakkan lesung pipi yang terlihat samar di bagian sebelah kanan. Jika diperhatikan, wajah Rara seperti keturunan campuran dari Arab-Pakistan. Padahal kedua orang tuanya tidak berdarah campuran.
Ponsel Ivan tiba-tiba berdering. Ivan melihat nama penelepon, dia kembali memasukkan ke dalam saku.
“Siapa?” tanya Rara.
“Bukan siapa-siapa. Hanya nomor tidak dikenal,” dalih Ivan.
“Kita pergi saja, aku antar kau pulang.”
“Tidak perlu, aku harus ke apartemennya. Hari ini jadwal pria itu sangat banyak, aku tidak ingin dia memotong gajiku lagi.”
“Apa tidak masalah kau pergi sendiri? Aku buru-buru tidak bisa mengantarmu.”
“Kau tidak perlu khawatir. Cepat pergi, pekerjaan sudah menunggumu.” Rara menepuk pelan bahu Ivan.
“Baiklah. Hati-hati, ya, Sayang. Selamat bekerja!” Ivan mengusap pipi Rara lalu beranjak pergi.
Rara melambaikan tangan. Dia menarik napas sejenak.
“Apa sudah selesai berkencan?” Suara bariton seseorang membuat Rara terperanjat. Dia yang hendak beranjak, berbalik ke belakang dengan cepat.
Pria arogan itu berdiri dengan tatapan tidak menyenangkan. Rahangnya yang tegas, dan raut wajah menampakkan garis-garis sinis.
“Pak Al! Sejak kapan Anda balik lagi ke taman? Aku pikir Anda sudah pergi.”
Tidak ada jawaban, tatapan dinginnya membuat Rara memilih menunduk. “Aku tidak berkencan, Pak!” kata Rara kemudian.
“Bukankah aku menyuruhmu untuk membawakan air? Kenapa malah berkencan di saat kau sedang kerja? Apa kau mau dipecat, hah?!” sentaknya.
Rara mengangkat wajahnya—menggeleng cepat. “Jangan, Pak. Aku tidak ingin dipecat.”
“Tadi aku kembali, tapi lihat Pak Al sudah tidak ada, jadi aku pikir Pak Al sudah pergi.”
“Dasar bodoh! Mana bisa aku pergi jika mobilku masih ada di sana!” Dia menunjuk dengan dagu.
Rara menggaruk pangkal telinganya, merasa kikuk sendiri. Dia merutuki otaknya yang lambat. Benar juga, kenapa Rara tidak berpikir sampai di situ. Ah, menyebalkan!
“Maaf, Pak,” ucapnya pelan.
“Percuma saja aku memberikanmu ponsel mahal tapi kau tidak tahu cara menggunakannya. Bukankah kau bisa meneleponku!” katanya dengan angkuh.
Rara tidak berani mengangkat wajah. Setidaknya itu hal yang bisa dia lakukan. Apalagi Aldebaran menuduhnya berkencan saat sedang bekerja.
“Aku memberimu satu kesempatan terakhir. Jika tidak bisa bekerja dengan baik, silakan pergi tanpa aku harus memecatmu lebih dulu!”
Aldebaran berjalan acuh menuju mobilnya.
Rara menghela napas pasrah. Dia mengikuti langkah Aldebaran. Pandangannya menunduk. Tiba-tiba, kepalanya membentur punggung Aldebaran. Rara tersentak, segera dia melangkah mundur. Baru saja ditegur, dia sudah membuat kesalahan lagi.
“Maaf, tadi aku—“ Rara menggantung ucapannya. Dia mendadak terdiam melihat Aldebaran menatap dingin pada seseorang yang berdiri di hadapannya.
Pandangan Rara mengarah pada satu tangan Aldebaran yang mengepal di balik celana. Dia menatap diam. Menyadari suasana tidak kondusif, Rara memilih menjauh. Mungkin itu urusan pribadi Aldebaran. Belum sampai satu langkah, tangan kekar Aldebaran lebih dulu menyambar tangan Rara dan menariknya pergi dengan cepat.
Rara merasa bingung dengan tingkah Aldebaran yang mendadak berubah. Namun, orang itu tidak membiarkan Aldebaran beranjak, tangannya menggapai satu tangan Aldebaran yang lain.
Suasana terasa mencekam saat mata Aldebaran dan wanita itu beradu pandang. Rara berusaha melepaskan tangan, sayangnya cengkeraman Aldebaran membuatnya tidak bisa berkutik.
“Kau masih belum berubah, Al!” ucap wanita itu akhirnya. []
Rara merasa tidak asing dengan suara wanita itu, dia seperti pernah mendengar suaranya. Tatapan Rara kembali mengarah pada Aldebaran yang menyentak tangan wanita itu dengan kasar. “Aku masih sama. Tidak berubah!” jawab Al tegas. Rara mengingatnya. Dia wanita yang pernah menelepon Aldebaran. Raut Rara berubah ketika mengingat perkataan Angga waktu itu. Dia pasti Monika, batin Rara menerka. “Aku merindukanmu, Al. Bisakah kita bicara berdua saja?” tanyanya. Dia menoleh ke arah Rara. Rara menyadari maksud tatapan wanita itu, mencoba untuk melepaskan diri. Tidak berhasil. Aldebaran makin mengencangkan cengkeramannya. Rara bahkan meringis dengan suara tertahan. Rasa perih menjalar di area pergelangan tangan. “Aku sibuk! Tidak punya waktu untuk bicara denganmu!” kata Aldebaran tanpa menatap wanita itu. “Sekali ini saja, biarkan aku
Range Rover hitam milik Aldebaran melaju di atas jalan bebas hambatan. Guratan tegas di wajahnya yang tampan sedang tidak baik-baik saja. Pikiran-pikiran meresahkan mulai tumbuh lebat di kepalanya. Semenjak pertemuan kembali dengan Monika setelah tiga tahun, Aldebaran tidak bisa mengontrol diri. Dia bahkan mengabaikan panggilan masuk dari Firman yang sejak tadi berharap cemas di tempat lain. Aldebaran melewatkan syuting hari ini. Pikirannya kalut, dia butuh tempat untuk menenangkan diri. Setelah membela jalanan lenggang ibukota, mobil mewah Aldebaran memasuki pelataran sebuah tempat yang tentunya masih sepi pengunjung, lalu menepikan mobilnya. Aldebaran segera masuk ke dalam, dia mengedarkan pandangannya, lalu menuju tempat yang biasa ia duduki, di sudut ruangan yang tenang dan nyaman. Seseorang datang dengan nampan berisi sebotol minuman dan gelas kaca. Sudah menjadi hal lumrah jika Aldebaran sudah datang berkunju
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, Rara memarkirkan mobil Aldebaran. Di sana, Firman dan dua orang pria sudah menunggu mereka. Firman dan dua pria itu memapah Aldebaran menuju lift. Rara menghela napas. Tugasnya sudah selesai, dia harus segera pulang. Rara lantas beranjak, dia menapak santai hingga mendekati ke arah gerbang. Mendadak, Rara menahan langkah, tangannya meraba saku celana mencari ponselnya. Tidak ada. Rara menepuk dahi, ponselnya tertinggal di dalam mobil Aldebaran. Rara menghentak kesal, dia harus kembali dan meminta kunci mobil untuk mengambil ponselnya. Rara menarik napas kesal merutuki dirinya yang suka pelupa. Dia melangkah cepat ketika pintu lift itu terbuka, belum juga menutup sempurna, seseorang mengganjal dengan satu tangan. Rara sedikit bergeser, memberi ruang kepada seorang wanita yang seusia dengan Aldebaran. Dia terlihat menawan, rambut cokelat kemerahan dibiarkan tergerai dengan ujung yang men
Seorang pria dengan kisaran umur empat puluhan tengah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Tampak dari interior bangunan itu terlihat sangat mewah. Beberapa mahakarya luar biasa terpajang berjejer di sana. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam. Lelaki muda berpakaian semi formal dengan sebuah amplop berwarna cokelat di tangannya. Dia menunduk hormat dan menaruh di atas meja. Pria itu membuka amplop dengan cepat. Tatapannya memandang serius pada sebuah foto yang diambil secara diam-diam. Foto itu yang diambil saat Rara duduk di halte beberapa hari lalu. Pria itu kembali melihat foto berikutnya. Alisnya menukik melihat sosok laki-laki yang terasa tidak asing bersama Rara. “Bukankah dia putra tunggal Mahesa Wijaya?” “Benar, Pak. Dia Aldebaran.” “Kenapa gadis ini bisa bersamanya?” “Gadis itu bekerja sebagai asisten pribadinya. Sebelumnya, gadis
Dua puluh menit kemudian, mobil Aldebaran memasuki halaman RAM Corp. Aldebaran turun lebih dulu, lalu diikuti Rara. Setelah hampir sebulan, Rara menginjakkan kakinya lagi di perusahaan besar itu. Matanya menjelajah ke setiap sudut. Jika bukan pria arogan itu, Rara ingin bekerja di perusahaan ini walau bukan di posisi karyawan, bagi Rara bisa bekerja seperti orang lain pada umumnya bagi Rara sangat bahagia. Namun, dia tidak menampik, gaji yang ditawarkan Aldebaran jauh lebih besar. Demi menabung untuk mengusahakan biaya operasi Nirmala, Rara tidak punya pilihan lain. “Pak Al, apa yang akan kulakukan di sini? Apa aku harus menunggu di lobi?” tanya Rara yang sejak tadi mengikuti langkah Aldebaran. Beberapa pasang mata memandangnya dengan raut sinis. Ada yang merasa iri melihat Rara berjalan sedekat itu dengan Aldebaran. Selain tampan, popularitas yang juga tak kalah menjulang menjadi idaman para wanita. Aldebaran hany
Rara memperhatikan sekeliling, dia menunjuk salah satu toko yang menjual pakaian wanita. Angga mengikuti langkah Rara dengan senyum yang terus mengembang. Angga kembali menahan langkah, melihat panggilan masuk di ponselnya. “Apa yang kaulakukan?!” sergah salah seorang pegawai perempuan dengan sinis. Dia tak lain adalah tetangga Rara yang memiliki sifat sombong. Amelia namanya. Rara seketika berhenti di tempat. Dia melihat batasnya berdiri dengan pintu, lalu menoleh ke sumber suara. “Amel! Kau bekerja di sini?” Rara mendekat ke arah Amel. Amel mengangkat lima jarinya ke udara. Dia menghentikan langkah Rara sebelum mencapai padanya. “Eh, ada apa, Mel?” “Tidak perlu dekat denganku! Kau harus tahu batas, orang sepertimu tidak bisa belanja pakaian mahal di sini,” cibir Amel menyunggingkan sudut bibir. “Kau masih saja
Aldebaran melakukan syuting untuk episode terakhirnya. Rara masih senantiasa menunggu bersama Firman. Kedua tangannya menopang dagu, mengulas kejadian semalam yang membuatnya pagi-pagi buta harus berada di tempat syuting. Sepuluh jam yang lalu .... Rara terkejut melihat Aldebaran berdiri di hadapannya. “Pak Al! Anda kenapa ada di sini?” Aldebaran menyodorkan ponsel milik Rara yang tertinggal di mobil saat datang ke perusahaan. Rara memeriksa kedua saku celananya. Benar saja, ponselnya tidak ada. Rara tersenyum kikuk lalu mengambil dari tangan Aldebaran. “Maaf, Pak. Aku tidak menyadari kalau ponsel itu tertinggal di mobil.” Aldebaran tidak menjawab, pandangannya mengarah pada paper bag yang dipegang Rara. “Datang ke lokasi syuting jam enam tepat. Aku tidak menerima alasan apa pun!” ucap Aldebaran
Rara tampak gelisah. Dia mondar-mandir sejak terbangun setelah dua hari pasca kecelakaan. Rara berkali-kali memastikan wajah itu di cermin. Dia mendesah pelan, masih tetap sama.Rara tidak habis pikir, bagaimana bisa dia berada dalam tubuh Aldebaran? Rara mengacak rambut Aldebaran dengan frustasi. Suara langkah kaki terdengar dari luar, Dion kembali dengan dokter pribadi Aldebaran. Said namanya.“Ini, Dok. Tolong periksa dia. Sejak sadar tadi, aku rasa ada yang salah dengan isi kepalanya,” ujar Dion.“Aku tidak apa-apa, kepalaku baik-baik saja. Masalahnya saat ini aku bukanlah ....”—Rara memegang dada bidang Aldebaran lalu pandangannya mengarah pada satu-satunya yang sangat menonjol—“tubuhku!”Dion mendesah. “Lihat tingkahnya kan, Dok. Ada yang salah dengan otaknya. Pasti amnesia!”“Aku tidak amnesia Pak Dion. Aku—““Kau memang harus diperiksa, Al. Sejak kapan kau memang