Guncangan kereta dan peluit panjang terdengar sangat memekakkan telinga Nina. Dengan kaget dia terbangun dan memandang ke sekeliling. Pria tua bernama Ben sudah tidak ada bersamanya.
Nina menebarkan pandangan ke sekeliling dan tidak ada tanda-tanda keberadaan Ben. Nina mengencangkan tali sepatu boot-nya. Begitu dia bangkit, matanya menangkap amplop coklat yang tergeletak di samping. Nina mengambil dan membukanya.
‘Sedikit bekal untukmu. Semoga berhasil semua tujuanmu, jika terdesak, mampirlah ke rumahku.’
Sejumlah uang terdapat di dalam amplop. Nina terkesiap. Bertambah keheranannya ketika dia meraba pundak dan perutnya yang telah sembuh total!
Nina merasakan bulu kuduknya berdiri. Siapakah pria tersebut? Caranya berbicara untuk mampir di rumahnya seakan-akan Nina mengetahui alamat dan tahu. Pria yang aneh. Kereta berhenti dan Nina menyimpan semuanya untuk segera bergegas keluar dari gerbong tersebut.
***
Sebuah tendangan menghantam tubuh Katya dan wanita itu terjengkang. Luka di perutnya terasa berdenyut sakit.
“Kau! Bertindak terlalu lamban dan Nina bisa kabur di depan matamu!” pekik pria berkepala botak dan wajah bengis tersebut. Kumis tebal yang melintang di wajah menambah penampilan kejinya.
“Aku ingin kalian menemukan perempuan sialan tersebut segera dan membawanya ke hadapanku, dalam keadaan hidup!” teriak pria bernama Dimitri itu dengan murka.
Serentak mereka menjawab dengan ya dan meninggalkan tempat tersebut. Dimitri mengeraskan rahangnya dan terlihat berada di titik kemarahan tertinggi.
Nina, gadis yang sedari kecil selalu membangkang berakhir menjadi pembunuh bayaran terbaiknya. Dimitri tahu dengan baik bahwa Nina adalah bekas anggotanya yang tidak bisa dengan mudah dia kalahkan dan tangkap. Satu-satunya cara adalah meringkus dengan pasukan yang banyak. Nina akan kalah jumlah dan tanpa perlengkapan senjata, Nina akan bisa mereka sergap.
***
Keputusan pertama yang Nina lakukan adalah mengunjungi toko pakaian untuk membeli baju baru. Sepatu yang yang dia kenakan juga sudah basah kuyup dan kakinya terasa mengembang karena terbungkus lama dalam kondisi lembab.
Setelah mendapatkan baju juga sepatu, ia membersihkan diri di toilet umum. Nina keluar dengan penampilan lebih rapi juga bersih.
Tujuan keduanya adalah mengunjungi restoran. Uang dari Ben masih cukup untuknya bertahan selama beberapa hari. Hotel jelas bukan tempat teraman untuk Nina beristirahat. Setelah selesai menyantap makanannya, Nina bergegas menjauhi keramaian.
Langkahnya cepat dan terkesan buru-buru. Nina berhasil mendapatkan peta yang dia beli dari toko buku.
Setelah tiba di pertokoan kosong yang terlihat mulai hancur karena ditinggalkan, Nina masuk ke dalam salah satu bangunan tersebut. Matanya menelusuri peta dan dia harus mengunjungi benua terjauh untuk menghilangkan jejak.
Nina merogoh kantong dan tiga keping koin emas yang dia selalu bawa untuk keperluan mendadak masih ada di situ. Mungkin dengan menjual ketiganya, Nina bisa mendapatkan uang untuk mengurus passport dan tiket.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dia mulai mengantuk. Walaupun lukanya sudah sembuh, tapi tidak teratur makan selama beberapa hari melemahkan tubuhnya.
Nina mencari ruang di dalam gedung tak terpakai tersebut dan melihat ada sofa bobrok yang masih bisa dia tiduri. Tak lama kemudian, dia terlelap.
***
Nina tersentak dan memasang kupingnya baik-baik. Instingnya yang sudah terlatih sejak usia dini mengatakan ada bahaya yang mendekati.
Dari desiran halus yang hampir tidak terdengar suaranya, Nina menghitung ada sekitar sepuluh orang lebih yang kini mengepung gedung. Hari mulai gelap, dan kompleks pertokoan yang dia huni saat ini sangat jauh dari keramaian.
Pelurunya tinggal empat butir, mustahil dia bisa mengalahkan mereka, yang Nina tahu dengan pasti, memiliki persenjataan lengkap.
Otaknya berpikir keras. Bagaimana cara menghadapi mereka?
Belum sempat dia selesai dan menemukan ide, muncul tujuh orang dengan baju hitam dan wajah tertutup. Mereka mengacungkan senjata pada. Nina mengangkat kedua tangan ke atas.
“Ikutlah dan kau akan hidup dalam keadaan utuh!” seru sebuah suara wanita.
Nina mengenal suara tersebut. Nadja, gadis yang juga turut besar bersamanya. Dia tahu bahwa Nadja adalah wanita yang tidak mengenal belas kasih. Dari caranya bicara, dia menduga Dimitri menginginkan dia hidup supaya bisa menyiksa sepuasnya. Sebuah cara sadis untuk membalas sang pengkhianat.
“Aku tidak berbuat salah,” kelit Nina dengan suara dalam.
“Kau telah berkhianat!” tangkis Nadja.
“Jika bukan karena perintah, aku sudah mengulitimu hidup-hidup,” desis perempuan tersebut dengan senyum bengis.
“Aku menginginkan kebebasan. Setiap manusia berhak hidup bebas, Nadja!” tukas Nina sambil berpikir mencari celah untuk kabur.
“Seseorang yang telah ditakdirkan mati kemudian terselamatkan, tidak mungkin memiliki hak untuk hidup kembali!” bentak Nadja dengan wajah keras.
“Nadja, kita semua masih hidup dan masih bernapas!” balas Nina dengan geram.
“Jika kau dibiarkan terlahir dan terbuang dari rahim ibumu, maka kau sudah mati. Dimitri memungut dan memberi kesempatan hidup untuk kita semua. Mengabdi dan memenuhi perintahnya adalah kewajiban!” teriak Nadja kembali.
Nina baru sadar bahwa pencucian otak yang telah mereka terima selama belasan tahun sangat berpengaruh dan sudah mandarah daging pada masing-masing anggota kelompok, kecuali dirinya.
“Kau tahu, Nina. Aku mengubah keputusanku! Kurasa memberimu sedikit pelajaran akan membantu mengingatkan kodrat awal yang harus kamu terima.” Selesai mengucapkan kalimat tersebut, Nadja menembakkan peluru pada kedua paha Nina. Seketika Nina jatuh tersungkur.
“Ikat dia!” perintah Nadja. Mereka mengikat Nina yang tidak mengerang sedikit pun saat rasa panas dan sakit mulai terasa menembus daging pahanya.
Dalam kondisi berdiri, Nina diikat dengan kedua tangan terentang. Sungguh menyakitkan menapak lantai dalam kondisi terluka. Tapi jika dia memilih terjatuh, tali yang mengikat lehernya akan membuat dia tercekik dan tergantung. Nina tidak punya pilihan selain berdiri dengan kaki gemetar menahan nyeri.
Nadja mengeluarkan cambuk bergerigi besi tajam yang menjadi senjata andalannya. Dia menyabetkan tali tersebut ke tubuh Nina. Gerigi itu merobek baju serta menyeret daging dan meninggalkan luka robek yang menggenaskan.
Hampir satu jam, Nina mengalami siksaan. Sesekali salah seorang dari mereka memeriksa dan memastikan jika Nina masih hidup.
“Kita harus segera membawanya kembali ke markas, sebelum kehabisan darah,” bisik pria yang baru memeriksa kondisi Nina. Nadja menyimpan kembali cambuk besi dan dengan wajah dingin menyetujui.
“Katakan pada Dimitri, dia berusaha melarikan diri, jadi terpaksa kita beri pelajaran,” serunya tanpa simpati. Nadja meninggalkan tempat tersebut dengan para anteknya. Dua orang anggota tinggal dan mulai melepas tali yang mengikat Nina. Kondisi wanita itu sangat mengerikan. Kondisi punggungnya penuh dengan luka menganga, robek karena cambukan. Kakinya penuh dengan sayatan silet. Sementara seluruh kuku tangannya tercabut. Wajahnya saja yang masih utuh.
“Ooough ….” Lenguhan terdengar dari mulutnya.
Nina merasakan sakit yang tidak terperi. Pandangannya mulai kabur, namun dia harus tetap sadar. Keinginannya untuk bebas begitu kuat. Seandainya dia harus binasa, dia memilih mati sebagai manusia bebas.
Dengan tenaga yang tersisa, begitu tali terlepas, dan dua orang tersebut memapah tubuhnya, Nina mencabut dua pistol dari pinggang kedua manusia tersebut dan menembak kepala mereka. Dua orang tersebut mati seketika. Pistol dengan peredam suara tersebut tidak menimbulkan kecurigaan anggota lainnya yang berada di luar, masih menunggu.
Nina berlari sekuat tenaga menuju pintu belakang. Mungkin keinginannya untuk bebas begitu tinggi, Nina seperti mendapat energi baru untuk berlari dengan cepat. Lima menit berlalu dan mereka belum menyadari jika Nina telah kabur.
Nina tidak lagi mengerti kemana dia harus berlari. Matanya menengadah dan melihat lampu terang berbentuk salib dari kejauhan. Dia terus melangkah memacu kakinya. Darah mengucur dengan deras dari semua lukanya.
Halaman gereja tampak sepi. Nina masuk dan saat mendorong pintu, tidak terkunci. Gadis itu segera menutup kembali pintu dan memasang palang.
Dengan tertatih, dia melewati jajaran rapi bangku yang tersusun di kanan juga kiri. Belum sempat mencapai altar, Nina merasakan tidak sanggup lagi melangkah. Napasnya mulai payah, ini saatnya dia menyerah. Mati sebagai manusia bebas. Nina menarik pelatuk pistol yang terarah ke kepalanya, namun tenaganya sudah habis. Seketika semua gelap dan kesadarannya hilang.
Setelah Nadja dan pengikutnya menemukan dua anggota mereka tewas, kelompok pembunuh bayaran tersebut segera melakukan pengejaran.“Brengsek!” teriak Nadja dengan geram. Ternyata tidak semudah itu melumpuhkan Nina. Gadis itu benar-benar tangguh dan masih selicin belut. Nadja selalu membenci Nina karena dia tidak pernah mengungguli kemampuannya.“Cari sampai dapat!” pekik Nadja terlihat kalap.Mereka menelusuri tetes darah yang berceceran di sepanjang jalan. Sangat mudah untuk mengikuti arah lari Nina, begitu anggapan mereka. Namun begitu tiba di depan sebuah gereja yang gelap dan tertutup, jejak darah tersebut hilang. Raib dan Nina seperti tidak pernah melalui jalan tersebut.“Dia pasti naik menumpang salah satu mobil yang lewat,” analisa seorang anggota. Nadja dengan tidak sabar segera memerintahkan untuk menyusul.“Kali ini aku mau dia mati!” teriak Nadja geram. Murkanya sudah mencapai puncak.***Kelopak mata Nina bergerak dan perla
Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.“Keranjang ini terlalu berat, Abe. Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.“Sebentar lagi aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang
Mobil terus meluncur melewati perbatasan meninggalkan Roger Pass jauh di belakang. Nina mulai merasa lega dan kini satu-satunya kendala adalah apa yang selanjutnya mesti dia perbuat terhadap Abigail.“Mama ….”Terdengar Abigail memanggil mamanya dan mulai siuman. Semua terjadi tepat saat mereka tiba di depan sebuah motel yang bisa Nina pilih untuk merapikan Abigail yang masih berlumuran darah. Mobil memasuki halaman dan Nina menoleh ke belakang.“Kamukah yang menyelamatkan aku tadi?” tanya Abigail dengan mata sedikit terpicing. Nina mengangguk namun kemudian menyadari kondisi gelap dan Abigail tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.“Ya, aku Nina,” sahutnya dengan suara datar.“Kenapa kamu membawaku? Apakah kamu termasuk orang jahat yang membunuh kakek dan nenek?” tanya Abigail dengan cepat dan bersiap mengacungkan tangannya untuk memukul.“Tidak! Aku dikirim oleh seseorang untuk menyelamatkanmu,” jawab Nina tidak kalah cepat. Dia tidak ingin ad
Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.“Kurasa nyonya ini membutuhkan bantuan kita,” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apa pun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.“Oh Tuhan, anakmu lebam di
Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan ke
Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar
Nina dan Abigail masih terperanjat atas kekuatan yang muncul dalam diri Nina. Tiga orang itu menembaki keduanya dengan cepat. Namun Nina keburu bangkit dan lari sembari menarik Abigail dengan kecepatan fantastis menghindar. Rasa sakit masih terasa, namun kini dia kuat menahannya. Nina yang masih merasakan bingung juga syok segera menguasai diri. Dia meminta Abigail lari bersembunyi sementara dirinya melompat salto dengan kilat serta menyambar pistol miliknya yang tergeletak di lantai. Tangan Nina menembakkan peluru pada tiga orang penyerangnya. Tidak peduli mereka mati atau tidak, Nina berteriak pada Abigail untuk segera masuk ke dalam Van.Keduanya segera masuk dan Nina melarikan kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Tidak ada yang muncul saat mereka diserang. Mungkin manusia yang ada di tempat tersebut juga sudah mati. Nina baru merasakan ngilu juga nyeri.“Ambilkan aku whisky dan kain!” pinta Nina. Abigail dengan cepat memberikan kedua barang tersebut. Ti
Hotel yang Fidelis siapkan untuk mereka sangat mewah dan mahal. Nina kini tidak lagi mengendurkan kewaspadaannya. Begitu masuk kamar, Nina memeriksa semua kondisi kamar dan setiap sudut. Ketika merasa aman, dia baru meminta Abigail untuk masuk ke dalam.“Aku menyimpan ini di pesawat tadi,” ucap Abigail dengan pelan. Nina mengambil surat kabar berbahasa Inggris tersebut dan membaca berita tentang kematian dia Roger Pass.“Bukan hanya keluargaku yang meninggal, tapi beberapa keluarga yang memiliki nama Abigail,” lanjut gadis kecil itu dengan lirih.Nina termangu. Abigail memandang tajam Nina.“Lupakan semua. Kini kau memiliki hidup yang baru,” cetus Nina tanpa simpati. Abigail menatap Nina dengan kejengkelan memuncak. Ada rasa curiga yang menggunung dalam hatinya. Mungkinkah wanita aneh ini juga ingin mencelakakan dirinya? Berbagai pertanyaan berputar di kepala gadis kecil tersebut. Rasa ingin memberontak mulai bangkit dan dia tidak