Setelah Nadja dan pengikutnya menemukan dua anggota mereka tewas, kelompok pembunuh bayaran tersebut segera melakukan pengejaran.
“Brengsek!” teriak Nadja dengan geram.
Ternyata tidak semudah itu melumpuhkan Nina. Gadis itu benar-benar tangguh dan masih selicin belut. Nadja selalu membenci Nina karena dia tidak pernah mengungguli kemampuannya.
“Cari sampai dapat!” pekik Nadja terlihat kalap.
Mereka menelusuri tetes darah yang berceceran di sepanjang jalan. Sangat mudah untuk mengikuti arah lari Nina, begitu anggapan mereka. Namun begitu tiba di depan sebuah gereja yang gelap dan tertutup, jejak darah tersebut hilang. Raib dan Nina seperti tidak pernah melalui jalan tersebut.
“Dia pasti naik menumpang salah satu mobil yang lewat,” analisa seorang anggota. Nadja dengan tidak sabar segera memerintahkan untuk menyusul.
“Kali ini aku mau dia mati!” teriak Nadja geram. Murkanya sudah mencapai puncak.
***
Kelopak mata Nina bergerak dan perlahan terbuka. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya penat seperti kehilangan tenaga. Nina membuka mata namun pandangannya kabur. Saat dia mencoba mengangkat kepalanya, dunia terasa berputar dan Nina kembali kehilangan kesadaran.
Rasa nyeri di perutnya membuat Nina kembali terbangun. Kali ini Nina merasa jauh lebih baik. Hanya perih di perutnya yang tidak tertahankan. Rasa lapar mulai menyerang sistem tubuhnya. Dia melihat sekeliling dan menyadari berada di sebuah hotel!
“Le Mercure,” gumam Nina membaca sebuah logo yang tercantum pada kertas catatan di atas meja kecil, samping tempat tidur.
Kamar yang kini dia tempati terlihat sangat mewah dengan minibar lengkap dan luas. Siapa yang menyelamatkan dirinya?
Terakhir dia mengingat berada di sebuah gereja dan hampir menembakkan peluru pada kepalanya.
'Apakah aku sudah mati?' Batin Nina.
Perempuan itu bangun dan meraba pahanya, luka itu telah hilang. Nina sontak berlari ke depan cermin besar seukuran tubuhnya dan membuka semua pakaian.
Tidak ada satu pun luka yang tertinggal. Hanya tattoo yang menghiasi tubuh juga lengannya. Nina memang mengukir kedua lengannya dengan tattoo, dari pundak hingga pergelangan tangan. Tujuan Nina untuk menutupi beberapa luka yang ia dapatkan saat menerima hukuman dulu.
Nina juga memeriksa kuku yang tadinya tercabut dan ajaib semua kembali seperti semula! Gadis itu berpikir jika dia sudah gila dan berhalusinasi. Tapi baju yang ia kenakan masih meninggalkan bercak darah yang mulai mengering.
Nina berusaha mencerna dan memikirkan penjelasan yang masuk logika atas seluruh kejadian ini. Bagaimana mungkin dia bisa sembuh dengan cepat sebanyak dua kali?
Minimal dirinya harus menjalani berjam-jam di atas meja operasi untuk menjahit semua lukanya. Gadis itu memutuskan tidak memakai bajunya lagi. Semua tampak compang camping dan bau amis.
Nina membuka lemari dan menemukan beberapa baju, yang anehnya, lagi pas dengan ukuran tubuhnya. Sambil menyimpan tanya, Nina memakai pakaian sembari mencari petunjuk, seperti catatan, yang bisa menjelaskan siapa penolong misteriusnya.
Tidak ada selembar catatan pun yang dia temukan. Matanya tertuju pada laptop dan juga ponsel yang tergeletak di atas meja depan televisi.
Dengan ragu dia membuka laptop dan secara otomatis laptop tersebut menyala. Sebuah video terpampang di layar dan Nina menekan tombol play.
“Nina Averin, selamat hidup kembali dan menjadi manusia bebas. Mungkin engkau akan memiliki banyak pertanyaan. Tapi bersabarlah. Akan ada waktu untuk menjelaskan. Nah, karena kondisinya saat ini sangat darurat. Aku hanya akan mempersingkat perkenalan kita.
Panggil aku, Alter Fidelis. Aku adalah seseorang yang memiliki visi menyelamatkan manusia dari ancaman yang tidak pantas mereka terima. Bertolak belakang dari tugasmu sebelumnya, kali ini aku akan menawarkan dirimu untuk bekerja sebagai agen penyelamat. Akan ada gaji yang cukup fantastis dan engkau bebas menentukan siapa yang akan kau selamatkan terlebih dahulu.
Penawaran ini adalah pilihan bebas, bukan kewajiban. Walau aku senang jika kau memutuskan untuk menerima pekerjaan yang mulia ini. Kirimkan pesan melalui ponsel yang ada di samping laptop. Hanya ada satu nomor, dan itu adalah nomor yang langsung terhubung denganku. Sekarang nikmati waktumu dengan sebaiknya, makan, minum whisky atau wine, terserah. Semua sudah kubayar, kamu bisa mendapatkan apapun yang engkau mau. Baik sekian perkenalan kita, aku tunggu kabarmu.”
Video itu lebih hanya berupa audio dengan visual merpati putih yang sedang terbang di tepi pantai.
Nina mengulangi kembali video itu hingga beberapa kali. Isinya tetap sama. Nina juga menguasai teknologi dengan baik. Dia mencoba mencari tahu kapan video tersebut dibuat dan dari properties file, baru sekitar satu jam yang lalu. User atau author yang membuat video unknown.
Raungan bergemuruh dari perutnya membuat Nina menunda untuk segera mengirim pesan. Nina menekan telepon dan memesan makanan ke room service.
Sambil menimbang apa yang akan dia putuskan, Nina berdiri di balkoni mewah hotel dan memandang kerlip lampu yang bertebaran di bawahnya. Nina berada di kelas president suite yang terletak di lantai dua puluh.
Pikirannya penuh dengan spekulasi liar, namun Nina mencium kebebasan yang terkesan melegakan. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Nina menangis tersedu!
Inikah hidupnya yang baru? Apakah masih ada kesempatan untuknya meraih kehidupan normal dan mulai menelusuri asal usulnya?
Ponsel tersebut bergetar dan Nina berlari. Dengan cepat dia membuka pesan.
‘Nina, jika tidak menginginkan pekerjaan ini, maka ada beberapa bekal untukmu memulai hidup baru. Cek laci sebelah kiri’
Nina menarik laci tersebut dan tumpukan uang dollar memenuhi separuh dari laci tersebut. Nina semakin terkesima. Akhirnya dia berpikir, tidak ada pilihan lain saat ini selain menerima dan memikirkan rencana berikutnya. Entah apa motivasi sesungguhnya dibalik semua bantuan yang terasa berlebihan ini, wanita itu ingin mengetahuinya dengan jelas. Nina mengetik balasan.
‘Jika aku mengatakan ya?’
Jawaban dari Fidelis langsung masuk.
‘Buka laci sebelah kanan’
Nina membuka dan mendapati passport beserta identitas diri lengkap. Namanya tidak berubah. Rupanya penyelamatnya ini cukup berpengaruh hingga berani mengambil seorang Nina Averin yang merupakan buron sindikat terbesar Serbia, tanpa penyamaran!
Sebuah email kini masuk.
‘Selamatkan Abigail Castain. Lokasi di Roger Pass, Montana, US. Alamat: Westwood Road 56x No.2’
Sebuah foto anak gadis berusia sekitar belasan tahun, berambut pirang dan matanya biru. Gadis yang sangat cantik.
‘Kenapa?’ tanya Nina mengirimkan pesan lewat ponselnya.
‘Target pembunuhan sebuah kultus biarawan. Kini saatnya menyelamatkan nyawa dan bukan menjadi malaikat maut lagi’ balas Fidelis. Nina sekilas mengingat percakapannya dengan Katya. Dia menolak untuk menjadi monster yang selama ini ia jalani, mungkin ini awal yang baik.
‘I’m in’ Nina mengirim balasan segera.
Tidak ada lagi balasan dari Fidelis lagi. Bel kamarnya berdentang dan Nina segera membukanya setelah mengintip dari lubang pintu.
Room service berdiri di luar untuk mengantar makanannya. Setelah memberi tips Nina menutup kembali pintu dan menyantap makanan hangat yang kini terasa jauh lebih nikmat dari sebelumnya.
Mungkin ini awal hidup baru yang bisa dia jadikan penebusan atas masa lalunya.
Kota kecil di Amerika ini memang terkenal sebagai kota terdingin kedua di dunia. Roger Pass, Montana. Musim panas hanya terjadi singkat dan sepanjang tahun mengalami musim dingin yang panjang. Abigail berlari dengan sepatu boot merahnya. Rambutnya yang pirang sebahu tampak lepek dan basah oleh udara lembab. Matanya biru dan sangat menawan. Gadis berumur sepuluh tahun tersebut tertawa sambil berlari dari kejaran ibunya yang membawa sayuran dan buah murah yang mereka beli di pasar petani.“Mama, ayo tangkap aku!” seru Abigail dengan ceria. Ibunya tampak masih muda dan terlihat kecantikan Abigail didapatkan dari gen ibunya, Jean.“Keranjang ini terlalu berat, Abe. Mama tidak akan bisa mengejarmu. Langkahmu juga terlalu cepat,” gelak Jean sekaligus membuat besar kepala putrinya.“Sebentar lagi aku besar dan dewasa, Mama. Paman Lexi akan mempekerjakan aku menjadi asistan dapurnya,” balas Abigail dengan bangga. Lexi adalah pemilik restoran kecil yang
Mobil terus meluncur melewati perbatasan meninggalkan Roger Pass jauh di belakang. Nina mulai merasa lega dan kini satu-satunya kendala adalah apa yang selanjutnya mesti dia perbuat terhadap Abigail.“Mama ….”Terdengar Abigail memanggil mamanya dan mulai siuman. Semua terjadi tepat saat mereka tiba di depan sebuah motel yang bisa Nina pilih untuk merapikan Abigail yang masih berlumuran darah. Mobil memasuki halaman dan Nina menoleh ke belakang.“Kamukah yang menyelamatkan aku tadi?” tanya Abigail dengan mata sedikit terpicing. Nina mengangguk namun kemudian menyadari kondisi gelap dan Abigail tidak mungkin melihat anggukan kepalanya.“Ya, aku Nina,” sahutnya dengan suara datar.“Kenapa kamu membawaku? Apakah kamu termasuk orang jahat yang membunuh kakek dan nenek?” tanya Abigail dengan cepat dan bersiap mengacungkan tangannya untuk memukul.“Tidak! Aku dikirim oleh seseorang untuk menyelamatkanmu,” jawab Nina tidak kalah cepat. Dia tidak ingin ad
Sheriff itu masih menunggu jawaban dari Nina. Sesaat wanita itu merasa hampir hilang kesabaran dan ingin menempuh jalan pintas. Akal sehatnya kembali dengan cepat dan akhirnya Nina menutup wajahnya, mulai menangis.“Tenang-tenang … kami tidak bermaksud jahat,” seru Sheriff itu mendadak terlihat bersimpati. Rekannya yang ternyata perempuan yang cukup matang keluar.“Ada apa, Bill?” seru wanita tersebut dari jauh.“Kurasa nyonya ini membutuhkan bantuan kita,” ucap sheriff yang bernama Bill tersebut. Petugas wanita tersebut turut mendekat dan bergabung bersama mereka.“Nyonya, apakah Anda dalam kesulitan?” tanyanya lembut. Nina membuka tangan yang menutup wajahnya.“Aku lari dari suamiku dan kami tidak sempat membawa apa pun kecuali dompet dan sedikit baju. Dia memukuli aku dan juga anakku. Aku mohon jangan tangkap kami,” tangis Nina dengan pilu.“Oh Tuhan, anakmu lebam di
Markus menutup pintu ruang kerjanya di salah satu kantor di Vatikan, Roma. Sebagai kardinal yang baru terpilih, dia harus bekerja lumayan berat. Beberapa urusan yang berhubungan dengan dokumen rahasia dan juga barang bersejarah yang memiliki unsur ajaib, menjadi tanggung jawab Markus. Dengan pelan dia menekan telepon dan nada sambung terdengar.Begitu selesai menelepon, pintunya diketuk dan Markus menjawab lantang untuk masuk. Seorang frater, atau calon pastor masuk. Wajahnya sangat tampan dan menawan. Rambutnya sedikit ikal berwarna cokelat tua dengan mata hijau lumut dan tubuh tinggi tegap. Jubah warna hitam dengan collar putih menambah ketampanan dan membuat wajahnya bersinar. Seorang pemuda berhati bersih juga baik.“Oliver, tahukah kamu jika keponakanku Abigail sedang dalam perjalanan menuju ke Vatikan?” tanya Markus sembari duduk di meja kerjanya. Oliver masih berdiri dan mengangguk.“Ya, Kardinal Castain. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan ke
Guncangan terasa dan Abigail mendengar Nina memintanya bangun untuk bergegas pergi. Abigail mengusap mata dan dengan lambat meraih ransel pinknya untuk mengikuti Nina yang sudah keluar.“Kita menjauh dari pusat kota!” seru Nina dan masuk ke dalam mobil van tua. Nina membeli mobil itu dengan harga murah dan kini mereka akan memulai perjalanan untuk terus menghindar hingga kejelasan langkah berikutnya.Nina membaca peta dengan cepat dan menemukan tujuannya yang segera dia tandai. Abigail duduk di depan dan memasang sabuk pengaman dalam diam. Nina melirik sekilas. Wajah Abigail terlihat pucat dan tidak bercahaya. Ada sedikit rasa iba dalam hati Nina, namun segera ia tepis. Mengikuti perasaan bukanlah hal yang ia dalami selama ini. Mobil meluncur meninggalkan motel dan menuju Philadelpia.Pagi mulai berganti siang dan setelah mengisi bensin juga bersantap, Nina melanjutkan perjalanan.Dalam hati dia mengumpat karena Alter Fidelis tidak memberi kabar
Nina dan Abigail masih terperanjat atas kekuatan yang muncul dalam diri Nina. Tiga orang itu menembaki keduanya dengan cepat. Namun Nina keburu bangkit dan lari sembari menarik Abigail dengan kecepatan fantastis menghindar. Rasa sakit masih terasa, namun kini dia kuat menahannya. Nina yang masih merasakan bingung juga syok segera menguasai diri. Dia meminta Abigail lari bersembunyi sementara dirinya melompat salto dengan kilat serta menyambar pistol miliknya yang tergeletak di lantai. Tangan Nina menembakkan peluru pada tiga orang penyerangnya. Tidak peduli mereka mati atau tidak, Nina berteriak pada Abigail untuk segera masuk ke dalam Van.Keduanya segera masuk dan Nina melarikan kendaraannya dalam kecepatan tinggi. Tidak ada yang muncul saat mereka diserang. Mungkin manusia yang ada di tempat tersebut juga sudah mati. Nina baru merasakan ngilu juga nyeri.“Ambilkan aku whisky dan kain!” pinta Nina. Abigail dengan cepat memberikan kedua barang tersebut. Ti
Hotel yang Fidelis siapkan untuk mereka sangat mewah dan mahal. Nina kini tidak lagi mengendurkan kewaspadaannya. Begitu masuk kamar, Nina memeriksa semua kondisi kamar dan setiap sudut. Ketika merasa aman, dia baru meminta Abigail untuk masuk ke dalam.“Aku menyimpan ini di pesawat tadi,” ucap Abigail dengan pelan. Nina mengambil surat kabar berbahasa Inggris tersebut dan membaca berita tentang kematian dia Roger Pass.“Bukan hanya keluargaku yang meninggal, tapi beberapa keluarga yang memiliki nama Abigail,” lanjut gadis kecil itu dengan lirih.Nina termangu. Abigail memandang tajam Nina.“Lupakan semua. Kini kau memiliki hidup yang baru,” cetus Nina tanpa simpati. Abigail menatap Nina dengan kejengkelan memuncak. Ada rasa curiga yang menggunung dalam hatinya. Mungkinkah wanita aneh ini juga ingin mencelakakan dirinya? Berbagai pertanyaan berputar di kepala gadis kecil tersebut. Rasa ingin memberontak mulai bangkit dan dia tidak
Mata Nina terbuka dan dia sudah berada di sebuah kamar bercat putih bersih. Matanya memandang langit-langit kamar dan kipas yang berputar.Kepalanya terasa berat dan ketika dia hendak bangun, tubuhnya melemah. Rasa sakit diperut terasa menghentak dan menguras energinya. Seorang suster masuk dan menyapanya dengan ramah. Nina tersenyum kaku.“Tidurlah kembali, aku harus menambah antibiotik pada infusmu,” pinta biarawati tersebut. Nina mengalah dan berbaring.“Lukamu cukup parah, infeksi itu hampir melukai usus besarmu. Untunglah dokter berhasil mengoperasimu tadi malam,” papar wanita bertudung putih tersebut dengan suara ramah.“Terima kasih,” ucap Nina. Dia tidak pernah menerima kebaikan dalam hidupnya. Mengucapkan terima kasih sangatlah asing baginya.“Panggil aku suster Lizbeth, aku yang akan merawatmu hingga sembuh,” celotehnya kembali. Nina menaksir wanita itu usianya baru empat puluh tahun, tapi k