共有

At the Edge

last update 最終更新日: 2021-02-18 17:06:45

Entah tertidur atau pingsan, Nina terkapar sekitar dua jam. Begitu terbangun, dia menggigil. Demam mulai menyerangnya. Nina duduk dengan susah payah. Kereta masih bergerak dan dia berada di antara barang muatan yang akan dikirim ke kota tujuan.

Hidung Nina mencium bau whisky. Dengan tubuh demam dan mata sedikit buram, Nina mencari asal sumber bau tersebut dan menemukan kotak kayu penuh dengan botol whiskey. Tangannya dengan susah payah mencongkel kotak dan membuka segel paku. Jarinya terluka dan kukunya terbeset, tapi ia tidak peduli.

Dirinya butuh minuman tersebut untuk mengurangi nyeri dan membersihkan luka bekas peluru yang mungkin kini mulai terinfeksi. Setelah berhasil membongkar, Nina menyambar satu botol dan membuka lukanya yang kini terasa panas. Dia menyiram luka di perut juga pundaknya dengan whisky. Kemudian mencari kain yang cukup bersih dan membalut kembali. Muatan kargo menyimpan beberapa barang yang cukup menguntungkan.

Sembari menenggak whisky, Nina menyantap apel juga peach dengan lahap, cukup menganjal perutnya. Nina kembali berbaring sambil menikmati minuman alkohol. Benaknya mulai memikirkan sebuah rencana.

***

“Hei … Hei ....!” seseorang menepuk pundaknya. Nina terbangun dan tangannya menyambar pistol serta menodongkan pada pria berkulit hitam tersebut.

“Hei, tenang anak muda!” seru pria setengah baya tersebut. Dari dialeknya, Nina tahu jika pria tersebut tidak berasal dari Rusia. Nina masih dalam sikap siaga dan mengacungkan senjata padanya.

“Aku tidak bermaksud mencelakakan dirimu. Bisa kulakukan saat kamu tidur tadi,” ucap pria itu dengan tangan masih di atas kepala namun tersenyum ramah. Nina meneliti pakaiannya yang kumal dan sepatu boot murahan yang mulai terkelupas kulitnya. Nina menurunkan senjata dan menyimpan kembali.

“Aku tidak tahu apa tujuan dan tugasmu, tapi sebagai sesama penumpang gelap, aku hanya menawarkan kamu ini.”

Pria berkulit hitam itu mengangsurkan roti isi keju pada Nina. Dengan ragu Nina menerima disertai tatapan curiga.

“Makanlah, aku masih punya satu roti besar lagi. Oh ya, aku Ben,” cetus pria berkulit hitam yang bernama Ben tersebut. Nina tidak bertanya lagi dan segera menyantap roti dengan rakus. Ben kembali duduk bersandar pada salah satu peti. Tangannya menyeret ransel dan tangannya bertumpu di atasnya.

“Empat jam lagi kita sampai. Badanmu demam, kamu harus ke rumah sakit begitu sampai. Dari bercak darah itu, sepertinya kamu butuh antibiotic untuk lukamu. Minumlah ini sebagai pertolongan pertama.” Ben kemudian mengulurkan tablet antibiotik dan paracetamol untuk mengurangi demam.

“Apakah kamu punya baju lainnya, aku butuh mengganti kemejaku,” sahut Nina bertanya. Ben mengacungkan jarinya sebagai isyarat untuk menunggu dan tangannya mulai membuka tas. Ben mengangsurkan kaos juga kemeja jeans untuk Nina.

Tanpa segan ataupun sungkan Nina berganti baju dengan cepat. Ben membuang baju Nina yang lama keluar jendela.

“Sedikit kebesaran tapi lumayan,” puji Ben.

Nina bungkam dengan wajah datar. Perutnya telah terisi dan obat yang ia minum mulai bekerja. Cukup mengurangi radang yang tadinya menyiksa dan suhu tubuhnya mulai mendingin. Ben berdendang sebuah lagu yang Nina tidak pahami karena hanya berupa gumaman.

“Aku tidak tahu apa yang sedang kamu lalui, tapi jika kamu membutuhkan tempat untuk berlabuh sementara, singgahlah di rumahku. Aku akan senang menyambutmu,” kata Ben dengan senyum hangat. Nina tidak menjawab. Dirinya mulai mengantuk. Sejenak dia kembali terlelap.

***

Nina terbangun oleh guncangan lembut Ben. Pria itu mengatakan saatnya berganti kereta menuju Austria.

“Kita tiba di Kroasia. Beruntung kita penumpang gelap, tidak melewati imigrasi,” canda Ben dengan tawa renyah.

Nina mengikuti langkah kaki Ben yang dengan sabar mengimbangi dirinya yang masih tertatih. Luka sobek di perutnya terasa sangat sakit dan Nina harus berjalan setengah membungkuk.

Siang itu keduanya mengendap dan berhasil berpindah gerbang. Ben mencari tempat persembunyian yang sangat ideal. Mereka berada di tumpukan jerami yang ternyata mengangkut buah dan juga makanan import.

Nina masih belum mengerti, bagaimana Ben bisa menghindari semua pemeriksaan dan tidak kepergok petugas. Pria tua tersebut seperti memahami situasi dengan baik.

Nina melenguh pelan ketika merebahkan tubuhnya kembali di tumpukan jerami. Perutnya terasa ditarik dan dia berusaha untuk tidak menjerit ataupun merengek, Nina berbaring dengan posisi miring.

“Telentanglah, aku akan lihat lukamu,” pinta Ben.

Nina pasrah dan mengikuti permintaannya. Ben menyingkap baju Nina dan tepat di atas pusar, luka sobekan menganga. Goresan yang cukup dalam itu mulai tampak merah seperti meradang.

“Minum ini, aku akan menjahit lukamu,” ucap Ben yang ternyata menyimpan botol whisky dari kereta sebelumnya. Nina menyambar dan minum dengan cepat. Dari dalam tas, Ben mengeluarkan peralatan jahit baju.

“Tidak mewah dan sesuai protokol kesehatan, tapi cukup mencegah lukamu sobek lebih lebar dan infeksi.”

Tangan Ben menjahit luka Nina sepanjang lima senti tersebut. Nina bisa menahan semua derita dan tajamnya jarum yang menusuk kulit. Penyiksaan hukuman dulu jauh lebih mengerikan, termasuk dia pernah dicabut semua kuku tangan kanannya saat gagal menguasai cara merakit bom dan hampir mencelakakan seluruh kelompoknya.

“Hidupmu sangat berat dan kejam,” cetus Ben saat melihat bekas luka lain yang menghiasi lengan Nina. Gadis itu memang menutupi dengan tattoo. Tapi mata Ben cukup jeli melihat itu.

“Terkadang tempaan berat diberikan oleh Tuhan untuk mempersiapkan kita menerima tanggung jawab yang lebih besar,” celoteh Ben. Nina memejamkan mata. Ben terus berkata-kata dan tidak peduli walau Nina tidak pernah menimpali.

Jauh di dalam hati, Nina menyangkal tentang konsep Tuhan yang Ben utarakan. Dia tidak pernah menerima pelajaran agama dan baginya Tuhan itu tidak ada.

Manusia menghadirkan Tuhan sebagai sosok yang bisa mereka jadikan penguat dalam menghadapi cobaan dan menganggap sebagai kontrol untuk terus berbuat baik. Kesuksesan yang mereka dapatkan dari kerja keras, mereka asumsikan sebagai berkat dari Tuhan.

'Beruntung sekali sosok Tuhan ini!' batin Nina sinis.

Setelah selesai menjahit lukanya, Ben menatap Nina dengan lekat.

“Seharusnya kamu mencoba mengenali sosok Tuhan yang aku ceritakan tadi. Dia adalah Sang Maha Tahu yang paling mengerti jati dirimu yang sesungguhnya. Dia menyediakan rumah di mana pun aku membutuhkan.”

Nina cukup terkejut. Retinanya membesar sesaat. Ben terkekeh. Bagaimana dia tahu yang Nina pikirkan?

“Dia tidak ada sewaktu aku diperkosa ketika berusia sepuluh tahun. Dia tidak pernah menolong saat aku disiksa dengan kejam hingga hampir mati. Dia juga tidak pernah muncul pada waktu aku dipaksa membunuh para bayi yang dinilai jenius hanya demi kepentingan sepele manusia yang lain. Maaf, Ben. Bagiku Tuhan itu abstrak,” tukas Nina sinis dan geram. Ben menghela napas panjang.

“Dia selalu melihatmu, tapi jika semua itu tidak kamu alami, kau tidak pernah akan mampu menjadi manusia pilihanNya,” sangkal Ben dengan sedih.

“Maksudmu?” tanya Nina tidak mengerti. Ben menyimpan kembali peralatan jahitnya.

“Lupakan. Hanya ucapan orang tua bodoh. Tidurlah.” Ben menyentuh dahi Nina dan gadis itu seketika terjatuh dalam tidur lelap. Ben menatap Nina dan matanya berkaca-kaca.

“Maaf, tapi Dia juga turut menangis bersamamu …,” bisiknya dan mengecup kening Nina dengan lembut. Bulir bening menetes di pipi tuanya. Luka di perut dan pundaknya berangsur pulih dengan ajaib dan cepat. Kereta terus melaju menuju Austria. Perjalanan panjang akan mereka tempuh. Semoga menjadi titik kebebasan Nina Averin seutuhnya! Benarkah?  

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Young Heroes Were Born

    Menjalani kehidupan kampus dan menjadi manusia terdidik membuat kualitas diri Abigail terbentuk dengan sangat baik.Satu tahun berlalu, remaja yang telah beralih menjadi wanita dewasa muda itu tampak berkembang menjadi pribadi yang memiliki mental kuat, kokoh dan juga tidak cengeng.Delapan belas tahun sudah usianya sekarang. Abigail terlihat secantik kakaknya, Nina.Kulitnya yang halus seperti warna peach di musim semi dengan rambut kemerahan dan mata biru, membuatnya kadang menjadi pusat perhatian.Pada tahun kedua, Abigail mendapat pendampingan dari senior dan tanpa diduga, Conradlah yang terpilih menjadi pendampingnya.Claire yang tergila-gila pada Conrad dengan tulus dan tidak kehilangan antusiasnya mendukung penuh Abigail untuk mendekati.“Kau sinting, Claire!” omel Abigail dengan gelengan kepala tidak berhenti.Rambutnya yang panjang telah ia potong sebahu dan Abigail makin terlihat menawan, tegap dan

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   The Bliss

    Luke melempar bola basket tersebut dan dengan tepat masuk ke dalam keranjang. Tepuk tangan penonton memenuhi di lapangan outdoor kampus. Luke sudah menjadi idola baru sejak awal semester. Baru dua lalu, Luke dinobatkan sebagai pria paling seksi dan itu ditolak mentah-mentah oleh Abigail dan Claire.“Kau pernah menciumku, Abe! Akui saja!” cetus Luke dengan mimik kesal.“Ya! Sebagai latihan dan untuk memenangkan taruhan dengan Claire!” kedua teman wanitanya tos dan terkekeh.Luke mengomel dan jengkel karena dua sahabatnya adalah manusia yang tidak mengakui ketampanannya.“Oh, lihatlah dia! Conrad Siltra! Sangat dewasa, menarik dan cerdas. Kualitas unggul dari seorang pria!” puji Claire dengan ekspresi terpesona tingkat tinggi.Luke dan Abigail menunjukkan mimik tidak setuju.“Angkuh, sombong dan kaku! Itu yang tepat!” bantah Abigail.Kali ini Luke sepakat.“Kalian tidak tahu p

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Whatever Happen, Just Move Forward

    Elba menenteng dua koper milik Abigail ke dalam bagasi mobil dan juga kardus yang berisi semua keperluan yang dibutuhkan selama tinggal di asrama universitas nanti.Hari ini mereka mengantar Abigail ke Montana University untuk mulai kehidupan baru sebagai mahasiswi fakultas kedokteran.Panther duduk di belakang kemudi dan mereka un berangkat.“Tidak seharusnya kalian mengantarku semua!” gerutu Abigail malu.Coque tidak mengacuhkan karena sibuk memeriksa catatan yang ada dalam jurnalnya. Semua yang Abigail butuhkan Coque periksa kembali dengan teliti dan cermat.“Kita harus mampir di supermarket sebentar karena belum ada krim repellent untuk anti nyamuk!” seru Coque menutup jurnalnya dan memasukkan ke dalam saku kemeja.“Buat apa repellent anti nyamuk?” tanya Roth heran.“Di asrama nanti mustahil mereka menjaga kebersihan seperti kita, Roth! Abigail bisa terkena demam berdarah!&rd

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Life After Extinction

    Claire dan Luke tidak lagi bertanya atau meragukan keseluruhan kisah hidup Abigail yang sebenarnya mereka sudah dengar desas desisnya sejak kecil dulu sebagai keturunan dari makhluk kegelapan.Tapi semenjak tragedi Belial menimpa seluruh dunia, keduanya tidak menyangka bahwa sahabat mereka yang selama ini dikenal adalah tokoh utama yang berperan bersama iblisnya dalam musibah tersebut.Sebagai remaja yang ternyata menganut paham terbuka dan modern, Claire dan Luke hanya mendukung Abigail sepenuhnya hingga tidak lagi mengalami trauma terhadap apa yang pernah ia lihat di medan perang.Bukan itu saja, seluruh pengalaman pahit Abigail juga perlu diterima dengan nalar dan logika yang cerdas supaya mental tidak terpukul. Disitulah peran kedua remaja dalam hidup Abigail.Sementara itu, Elba telah memeriksa dengan teliti bersama Roth untuk kekuatan adik dari Nina tersebut secara maksimal.Berbagai macam tes dilakukan untuk mengetahui apakah k

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   I Want My Sister Back!

    Ungkapan paling tepat untuk situasi dunia saat ini adalah mati suri.Hampir sebagian besar perekonomian lumpuh dan kehilangan kemampuan untuk meraih level stabil. Bangkit dari keterpurukan adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan.Semua orang merasa berkepentingan untuk dibantu dan melupakan esensi dari berjuang bersama. Ketakutan yang masih mengukung dan meninggalkan trauma dalam hidup mereka, membuat masing-masing pribadi memilih untuk mempersiapkan diri jika ada kejadian berikutnya.Kecurigaan satu sama lain dan buruk sangka selalu terjadi.Setelah pasca serangan Belial yang sempat mengugah para penyintas untuk saling bahu membahu, tiba-tiba saja bisa berubah. Para manusia saling menarik diri dan jika itu dilihat secara menyeluruh, pemerintah pun seakan bersikap yang sama.Pemimpin negara kehilangan kemampuan mereka untuk mengarahkan rakyat yang semakin memilih cara sendiri untuk bertahan hidup.Hilangnya kepercayaan mereka pada para

  • The Huntress Trilogy #1 Daughters of Lucifer   Summary 2

    Karmuzu mengatakan belum waktunya dan akan tiba saat yang tepat untuk mereka melanjutkan perjalanan ke gunung Sinai. Di sisi lain, Lucifer tidak pernah mampu menemukan di mana Nina Averin berada. Tidak peduli seberapa kuat Raja Iblis itu mencari dengan menyebarkan pasukannya, hasilnya tetap nihil. Rasa heran mulai menguasai diri Lucifer. Siapakah Nina sebenarnya?Abigail tiba pada situasi menjadi remaja yang penuh gejolak dan pemberontakan. Mengancam akan kabur jika tidak dipenuhi permintaannya. Mereka akhirnya mengikuti tuntutan Abigail untuk kembali ke Roger Pass, Montana.Walaupun Nina menentang, Oliver bersikukuh memutuskan untuk memenuhi permintaan Abigail dan kelimanya terbang kembali ke Amerika Serikat.Suatu malam, Oliver bermimpi aneh. Ketika ia menceritakan tentang mimpinya, semua terhenyak. Seseorang yang sangat misterius, mirip dengan sosok malaikat, memberitahu jika Lucifer sesungguhnya memiliki dua putri. Putri sulungnya adalah kunci untuk mengalah

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status