Gio tergelincir dan jatuh di lantai. “Aaauuuuww!” dia mengerang kesakitan.
Kirey menoleh ke belakang. “Ya ampun, Pak Presdir! Kenapa Bapak duduk-duduk di lantai yang basah?” sindir Kirey.
“Apa katamu? Duduk-duduk?” Gio sewot.
Kirey segera membantu Gio berdiri. Cari muka dulu di depan Presdir Gio. Padahal, di dalam hatinya dia sedang tertawa ngakak. Sukurin! Berlagu banget jadi Presdir.
“Kamu tidak tahu, kalau aku tergelincir dan jatuh di lantai yang basah ini, hah? Ini semua gara-gara kamu pastinya,” semprot Gio langsung menuduhnya.
“Oh, Pak Presdir terjatuh. Maafkan saya kalau gitu, Pak!” sesal Kirey. Namun, dia terlihat seperti sedang menahan tawa.
“Kenapa ekspresimu begitu? Kamu senang ya, aku jatuh kayak gini?” Gio curiga.
“Ah, bukan begitu, Pak. Lagian, suruh siapa saya harus mengepel lantai di sini? Bapak, kan?” Kirey melawan. Dia memutarbalikkan perkataannya.
“Kenapa Bapak jadi nyalahin saya?”
“Kamu?!” Gio kelewat kesal. Tangannya sudah mengepal tinju. Namun, dia masih menyabarkan diri. Pantatnya terlalu sakit jika diajak berdebat. “Awas kamu, Kirey!”
“Bapak juga sih. Kenapa Pak Presdir jalan-jalan di koridor yang sedang kupel ini? Sudah tahu lantainya basah dan licin,” Kirey mengingatkan.
“Aku… ingin melihat cara kerjamu dari dekat. Kamu becus bekerja atau tidak,” Gio beralasan. Ckckck. Kirey berdecak. Ada-ada saja Mr. Presdir satu ini.
Ah, sudahlah. Gio segera pergi meninggalkan Kirey. Dia berjalan menahan sakit di bokongnya. Sialan! Pasti semua pegawai melihatnya. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani berkomentar atas insiden memalukan itu. Mereka langsung berbalik, kembali bekerja masing-masing, dan pura-pura menganggap insiden itu seolah tidak pernah terjadi. Jika ada yang berani mengungkitnya… langsung skakmat!
“Kirey, ada apa sih? Kamu kok malah jadi cleaning service tadi?” Sammy menghampiri Kirey di meja kerjanya. Usai sahabatnya itu bersih-bersih di koridor kantor.
“Tahu, ah!” Kirey menekuk mukanya, cemberut. Dia langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya di layar komputer.
“Diih, jutek banget. Ingat, kamu itu cewek! Gimana mau ada cowok yang deketin kamu kalau kamu judes begitu. Nggak ada ramah-ramahnya sama orang,” Sammy berkomentar. Ckckck.
Kirey mengembuskan napas sambil melirik sebal ke arah Sammy yang masih mengoceh nggak jelas.
“Sudah selesai ngomongnya? Kalau kamu masih bawel lagi, kulempar ballpoint ke wajahmu. Mau?” ancam Kirey galak.
Ups! Sorry. Sammy buru-buru meninggalkan macan galak itu. Gawat kalau sampai emosinya meledak-ledak. Bisa terjadi perang dunia ke… keberapa ya? Kesekian kalinya. Apalagi saat ini, Kirey lagi kesal banget karena dikerjain Presdir Gio.
Kirey, seorang wanita karir berusia dua puluh enam tahun. Profesinya adalah sebagai Ilustrator. Dia bekerja di perusahaan periklanan ternama. Yang merajai semua periklanan baik media cetak, elektronik, maupun online. Ya, pria songong nan arogan tadi itulah President Director di perusahaannya. Kira-kira usianya tiga puluhan. Setahu Kirey sih begitu.
Namanya Giovani. Namun, dia beken sekali dipanggil Presdir Gio oleh staf pegawainya di kantor. Pria itu katanya masih lajang. Dia belum tertarik untuk menikah. Hah? Tentu saja. berdasarkan pengamatan Kirey semalam, Presdir Gio hanya tertarik pada wanita-wanita cantik, seksi, anggun dan memesona saja. Alias wanita penghibur. Jika terus-terusan begitu sampai kapan pun Presdir Gio tidak akan pernah mendapatkan cinta sejati. Kirey bisa menjaminnya.
Sedangkan Kirey? Apa yang bisa dilihat dari seorang Kirey yang hanya gadis biasa, tidak begitu cantik dan minim prestasi. Dia bekerja, itu pun tidak berdasarkan hati nuraninya. Tetapi, karena uang. Ya, uang mendominasi seluruh hidupnya. Menguasai dirinya. Apa pun yang berhubungan dengan uang, langsung disamber bak kilatan petir di siang bolong. Sangking butuhnya.
Realita saja. Hidup tanpa uang lebih menyeramkan ketimbang ketemu sama zombie, vampir, setan, kuntilanak, dan mantan. Bagi Kirey begitu. Dia lebih tertarik pada uang dibandingkan pria tampan. Jika di dunia ini hanya ada dua pilihan antara pria tampan dan uang, maka Kirey akan memilih uang saja.
Matre? Tidak. Zaman sekarang tanpa uang hidup terasa mati rasa. Betul? Apalagi bagi Kirey yang menanggung biaya hidup keluarganya. Bapaknya terlilit utang yang sangat banyak. Bahkan mencapai ratusan juta rupiah.
Uang sebanyak itu memangnya buat apa? Untuk menutupi utang dengan berutang lagi. Pusing, kan? Sama. Apalagi Bapaknya Kirey yang menjalaninya. Setiap hari rasanya hampir dicekik setan kredit. Bagaimana tidak? Sudah ada ratusan orang debt collector yang menagih utang ke rumahnya.
Teng! Sudah waktunya pulang. Kirey bilang, dia mau jalan kaki saja.
“Apa? Kamu mau jalan kaki lagi pulang ke rumah?” Sammy menghampirinya ketika jam pulang kantor.
Kirey mengangguk pelan. “Iya. Habisnya, mau gimana lagi? Belum gajian. Terus bayaran kemarin menjemput Presdir Gio juga belum kamu bayar, bukan?” keluh Kirey.
“Kasihan sekali,” Sammy mengiba. Dia tidak bisa membantunya. Sayang sekali.
“Sabar, ya! Ini semua ujian dari Tuhan.”
“Sialan!” Kirey mendengus kesal. Sammy malah menyindirnya.
Ya, mau bagaimana lagi. Kirey pulang meninggalkan gedung perkantorannya dengan berjalan kaki sore ini. Santai saja. Ikuti ke mana pun kakinya melangkah.
Sesampainya di rumah, dia melihat Bapaknya sedang didatangi orang-orang Bank lagi. Ya ampun! Masalah tidak akan pernah selesai jika terus-terusan kayak gini, pikir Kirey.
Kirey sering mengeluh pada Tuhan. Kenapa hidupnya terasa begitu berat? Rasanya dia ingin melompat dari lantai gedung yang paling tinggi. Gedung pencakar langit sekalian. Kemudian, dia akan menjatuhkan dirinya sendiri sampai ajal menjemputnya.
Tidak! Itu Tindakan bodoh yang tidak bertanggung jawab. Kirey tidak seperti itu. Yang putus asa dan depresi menghadapi dunianya yang kejam. Selemah dan sesedih dia saat ini, dia tidak akan tega menyakiti dirinya sendiri dengan cara bunuh diri. Itu hanya ada dalam kamus orang-orang lemah.
Kirey memilih untuk melarikan diri sejenak. Dia pergi lagi. Berlari sekuat tenaga. Sekencang-kencangnya. Beruntung, larinya semakin cepat akhir-akhir ini. Biasalah, dia selalu beranggapan suatu hari bisa lari dari kenyataan.
“Teruslah berlari, Kirey! Meski belum bisa menghadapi kenyataan. Larilah, tenangkan dirimu,” Kirey bicara kepada dirinya sendiri.
Tiba di persimpangan jalan. Ketika dia hendak menerobos lampu merah yang segera berganti hijau, Kirey terkejut. Aish! Tidak keburu. Kini dia terjebak di tengah jalan. Saat kendaraan roda empat membunyikan klakson di hadapan Kirey yang sedang kebingungan.
“Woy! Cari mati kamu! Minggir, sana!”
“Menghalangi jalan saja. Kalau mau bunuh diri, cari tempat lain saja!”
“Hey, Nona! Jangan berdiam diri di situ! Cepat menyingkir dari situ!”
Para pengendara roda empat marah sekali kepada Kirey. Wanita itu segera meminta maaf. Dia harus bergegas. Mempercepat jalannya. Ketika dia hendak menyebrangi jalan. Tiba-tiba saja…
TIIIIDDDD!
***
TIIIIDDDD!“Wanita gila! Ngapain kamu di situ?” Seseorang memunculkan kepalanya ketika kaca mobilnya dibuka.Samar-samar Kirey melihatnya. Karena tersorot lampu mobil. Sepertinya itu suara seorang pria dikenalnya. Ketika dia membuka matanya lebar-lebar, dia membelalak kaget.Astaga! Itu Presdir Gio. Kenapa bisa bertemu di saat-saat seperti ini sih? gumam Kirey. Ya ampun! Ngapain juga tuh Presdir Gio turun dari mobil lalu mendekati Kirey? Pasti bakalan dimarahi lagi pegawainya itu.“Kamu lagi. Kamu lagi. Kenapa kamu selalu berkeliaran di sekitarku, hah?” semprot Gio.Yeh? Mana Kirey tahu. Tiba-tiba saja mereka bertemu. Ini hanya kebetulan saja, kok. Kirey sama sekali tidak merencanakannya.“Kamu sengaja mau menggangguku terus, ya?” tuduh Gio. Dih, kegeeran banget dia.“Siapa yang mau mengganggu Anda, Pak Presdir? Saya hanya kebetulan lewat sini. Bapak bisa lihat sendiri, kan, kalau saya sedang
“Apa ini semuanya adalah uang?” Kirey hampir tidak memercayainya.Mata Kirey membulat. Lalu, dia mengedip-ngedipkan matanya. Seolah, apa yang dia lihat saat ini tidaklah nyata. Pasti hanya mimpi dan dia berhalusinasi. Mana mungkin, di hadapannya kini ada tumpukan uang ratusan juta rupiah tertata rapi di dalam sebuah koper.“Ya. Itu semua uangku,” Gio meyakinkan Kirey.“Lalu, kenapa Anda memperlihatkannya kepada saya?” Kirey tidak habis pikir. Apa Presdir Gio yang kaya raya, keturunan konglomerat itu sengaja ingin pamer di depan Kirey?Kirey menelan ludah. Jujur saja, dia tergiur melihat uang sebanyak itu. Tidak. Itu bukan miliknya. Kirey mengelus dada. Menarik napasnya panjang. Kemudian, dia menutup kembali koper milik Gio. Dia merasa tidak mungkin memilikinya. Ikhlaskan saja.“Kamu bisa menggunakan uang itu,” kata Gio. Alam bawah sadar Kirey tersentak. Seakan-akan Kirey dipaksa bangun dari mimpi inda
Kirey membelalak saat saldo di rekeningnya bertambah. Sulit dipercaya. Namun, kenyataannya memang begitu. Ada sejumlah uang, nilainya mencapai jutaan rupiah terkirim ke dalam rekeningnya. Hampir setara dengan satu bulan full gajinya.“Apa aku sedang tidak berimajinasi?” Kirey berusaha menyadarkan dirinya. Dia mencubit pipinya.Auw! Terasa sakit. Itu artinya Kirey tidak sedang bermimpi. Ini… kenyataan yang harus ia terima. Benar begitu? Aneh tapi nyata. Sukuri saja! Kirey merasa seperti sedang mendapat durian runtuh. Rejeki nomplok namanya.Besok, Kirey akan mempergunakan uang itu dengan sebaik mungkin. Potong rambut ke salon, membeli riasan wajah, memborong sepatu high heels, tas, dan beberapa pakaian setelan untuk bekerja. Itu sudah sesuai dengan amanat yang diberitahukan Gio kepada Kirey melalui pesan singkatnya.Kirey membuka notebooknya. Dia mencatat semua kebutuhannya besok. Jangan sampai ada yang terlewat. Biar uangnya nggak mubaz
Waduh, kedengaran ya sama Presdir Gio? Tadi, Kirey tidak sengaja menggumamkannya. Dan menyebut Presdir Gio pelit. Kirey tidak menyangka Gio mendengarnya. Tajam sekali indera pendengarannya jika ada yang mengumpat tentang dirinya. Mungkin itu salah satu kelebihan yang dimiliki Presdir Gio.“Beri waktu kepada saya beberapa menit lagi, Pak Presdir. Saya akan merinci pengeluarannya terlebih dahulu,” kata Kirey meminta toleransi waktu pada Gio.“Berapa menit kamu mengerjakannya? Lima menit atau tujuh menit, cukup?” Gio memberi pilihan. Aish! Sebentar sekali waktunya.“Lima belas menit, Pak!” tawar Kirey. Mereka saling berdebat saat menegosiasikannya.“Tidak. Itu kelamaan! Sepuluh menit saja!” tegas Gio.“Sepuluh menit?” ulang Kirey bingung. Dia masih mempertimbangkannya.“Oke, tujuh menit. Deal?”“Ah, tidak! Sepuluh menit saja!” sanggah Kirey. Dia menyanggu
“Antar ke mana, Pak?” tanya Kirey.“Ke rumahnya,” sahut Gio.Kirey menoleh ke arahnya. Gemas. Iya, tahu. Tetapi, diantarinnya ke mana? Presdir Gio tidak jelas nih memberitahu alamatnya.“Aku mau ke rumahmu saja, Gio sayang,” kata wanita itu. Nada suaranya bernada manja.“Kita lakukan sekali lagi, sayang. Aku belum puas,” katanya lagi. Apa? Kirey jadi salah mengartikan perkataan wanita itu.Kirey menatap curiga ke arah Gio. Apa yang sudah mereka lakukan di hotel? Tuh, kan. Kirey semakin penasaran.“Maaf, aku tidak bisa. Aku sangat sibuk malam ini,” tolak Gio. Dingin sekali sikap Gio pada wanita itu. Membuat Kirey berspekulasi. Jangan-jangan, wanita itu memaksa Gio untuk…“Kirey, cepatlah! Jangan membuang waktuku!” perintah Gio.“Ah, iya. Baiklah.” Kirey menurut.Kirey segera menuju mobil Gio. Tidak lupa, dia juga membukakan pintu untuk Presdir dan wanita tidak jelas itu. Mereka duduk di jok belakang. Kirey segera mengemudikan kend
“Aku…” Kalimat Kirey menggantung.“Kamu tidak menyukaiku?” tembak Gio tiba-tiba.Ngomong apa sih Presdir Gio? Kirey mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti maksud ucapan Gio barusan. Memangnya Gio sedang menyatakan cinta kepada Kirey? Mustahil. Jangan membuat Kirey ge er. Nanti ge er beneran dia.Ah, tidak percaya. Itu yang Kirey rasakan sekarang. Bagaimana mungkin Presdir Gio yang tampan dan mapan itu menyukai Kirey? Jika memang benar, memangnya kenapa? Bukankah itu salah satu keajaiban dunia? Seharusnya sih begitu.“Maaf, aku harus pergi. Sepertinya Anda sedang mabuk. Jadi, aku tidak akan menganggap pembicaraan ini,” Kirey ingin sekali melepaskan diri saat ini.“Aku tidak pernah mabuk. Perlu kamu ketahui, bahwa aku sangat membenci alkohol. Catat itu!” Gio memberitahu.“Apa?” Kirey membelalak. Berarti Gio mengucapkannya dalam keadaan sadar. Sulit sekali memercayainya.
“Kamu bilang apa, Kirey?” Gio merasa tersinggung.“Bukan Pak Presdir maksudku. Tetapi, playboy kampret itu!” tunjuk Kirey. Oh, begitu rupanya. Gio mengerti.Pandangan Kirey masih tertuju pada Sammy. Aish, menyebalkan! “Aku tidak akan membantunya lagi,” tekad Kirey dalam hati.Tahu bakalan seperti ini akhirnya, Kirey ogah banget bantuin Sammy. Meskipun dia menangis berdarah-darah, sampai dia berlutut atau bersujud pun Kirey tidak akan menggubrisnya. Tapi… tapi… Kirey mana tahu jika boneka yang dibelinya itu akan diberikan Sammy untuk Nania. Kenapa sakitnya terasa menyesakkan dada?Ah, sudahlah. Terima nasib saja. Dalam hal percintaannya, anggap saja Kirey tidak beruntung kali ini. Entah sampai kapan. Kirey mengalihkan pandangannya. Ketika dia menengok ke samping, wajah Gio sudah berada di dekatnya. Ups!Keduanya kini saling beradu pandang. Apa yang harus Kirey lakukan sekarang? Kenapa Gio tidak seger
Tok-tok-tok!Kirey mengetuk pintu kamar hotel. Sebelumnya, dia ragu-ragu menemui rentenir itu di kamar hotel. Ngapain coba? Kirey sengaja mau bunuh diri memangnya? Menyerahkan diri kepada rentenir itu untuk membebaskan Bapaknya dari utang yang menjeratnya. Sama saja cari mati.Tidak apalah. Demi menyelamatkan keluarganya, Kirey rela. Asalkan, dia tak lagi melihat Bapaknya menderita. Disiksa bertubi-tubi seperti tadi itu membuat hati Kirey semakin sakit dan hancur.Tidak lama kemudian, pintu terkuak. Kirey masuk ke kamar hotel itu dengan tangan dan kaki gemetaran. Gio memerhatikannya dari kejauhan. Dia masih penasaran. Apa yang akan Kirey lakukan di sana?Kirey masih berdiri memandangi sosok pria bertubuh besar di hadapannya. Tubuhnya tinggi besar dan gendut. Banyak sekali lemak di perutnya yang menggumpal. Mirip sekali gajah bengkak.Tanpa sengaja Kirey memerhatikan tubuh tambun pria itu. Sama sekali tidak menarik, pikirnya. Ya ampun, Kirey sudah s