Tania dan Tamara sampai melongo terkejut dan saling berpandangan satu sama lain, mereka tidak menyangka Steven akan sepeduli itu pada Jeni, sementara Jeni langsung menggeleng cepat.
Steven justru meraih tangan Jeni dan memegangnya dengan lembut sambil berkata lirih, “aku tidak keberatan, tolong jangan menolakku.”
Jeni memandang Steven dengan tatapan yang sangat dalam, ia justru membayangkan Steven adalah Louis.
Melihat Jeni dan Steven seperti ingin berbicara empat mata, Tania dan Tamara pun tiba-tiba pamit dan beralasan ada suatu hal mendadak yang mengharuskan sepasang sepupu kompak itu harus segera pulang ke rumah.
Ibu Tania dan Tamara seorang kembar identik, sementara ibunya Tania sudah meninggal dua tahun yang lalu dan ayahnya bekerja di luar negeri, sehingga Tania dipaksa keluarga Tamara untuk tinggal bersama mereka.
“Kenapa kalian buru-buru?” tanya Jeni merasa tidak enak hati.
“Aku ingat kalau Mama hari ini tiba di Indonesia dan aku harus segera menjemputnya,” kilah Tamara.
Tania membenarkan dengan anggukannya, sementara Steven mengernyitkan dahi seolah tahu bahwa mereka hanya beralasan saja.
“Hati-hati di jalan, and thanks for all. Aku menyayangi kalian,” seru Jeni sambil membalas pelukan mereka.
Mereka berdua pun mengangguk, lalu melenggang keluar dari ruang perawatan Jeni, namun Tamara sempat berbisik ke telinga Steven.
“Jaga dia baik-baik Stev, kami menyetujuinya.”
Steven hanya tersenyum, sebelum mereka menyuruh pun dia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan selalu menjaga Jeni sebaik mungkin.
Sekeluarnya Tania dan Tamara, Jeni kembali membahas penawaran Steven yang dinilainya terlalu berlebihan.
“Tolong jangan membuatku berhutang budi terlalu banyak padamu Stev, aku tidak tahu cara membalasnya, aku bahkan tidak punya apa-apa.”
“Apa kamu ingin membalas semua kebaikanku?”
Jeni mengangguk cepat, kondisinya sudah lebih baik setelah mendapat infus dan suntikan dari suster tadi.
“Terima tawaranku karena aku tidak suka penolakan,” ujar Steven sungguh-sungguh.
“Tapi...”
“Gladista Jenitra, aku akan menjaga kamu dan bayimu,” potong Steven cepat dengan tatapan mata elangnya yang begitu dalam seakan hendak menyihir Jeni agar tidak menolaknya lagi.
Jeni justru mengernyitkan dahinya karena heran.
“Darimana kamu tahu namaku?”
“Aku tahu semuanya tentangmu, termasuk kekasihmu.”
Jeni menaikkan salah satu alisnya.
“Dia... sepupuku.”
Jeni berubah sangat terkejut.
“Apa kamu dikirim dia untukku?” tanya Jeni geram.
Steven menyanggahnya dengan menggeleng cepat.
“Tidak, aku baru tahu saat ternyata malam itu Louis mencarimu, dia menyuruhku ketika kita sudah bersama di cafe ‘Hood’, aku juga kaget sama sepertimu, tapi aku tidak datang untuk menebus kesalahannya, aku... memiliki perasaan yang tak biasa saat pertama kali bertemu denganmu malam itu di lift apartemen, Jeni.”
Jeni justru ingin menangis, dugaannya benar bahwa Steven memiliki perasaan lain padanya.
“Steven, tapi aku...”
Jeni tak bisa lagi menahan air matanya yang sedari tadi sudah mengantri penuh di pelupuk matanya, ia begitu emosional. Jeni belum bisa jika Steven meminta membalas perasaannya saat ini juga.
Steven menghapus air mata Jeni dengan begitu lembut.
“Tenang saja, aku tidak memintamu untuk membalas perasaanku Jeni, aku hanya ingin selalu ada di dekatmu, menjaga kamu dan calon bayimu, bolehkah?”
Jeni begitu terharu, ia seperti mendapat kiriman dari Tuhan berupa malaikat tampan tak bersayap. Jeni mengangguk. Steven memeluk Jeni begitu erat, ia sangat bahagia.
“Maafkan aku, aku terlalu bahagia,” ujar Steven yang sambil buru-buru melepas pelukannya.
Jeni hanya mengangguk dengan wajah sedikit memerah karena malu.
***
Entah siapa yang menyebarkannya, sepertinya ada seorang oknum yang memang sengaja ingin menciptakan keributan yang berbeda di keluarga Saloka, yang biasanya mereka viral karena prestasi bisnis industri hiburannya yang selalu membuat gigit jari para pengusaha lainnya, dan mereka tahu kini Steven, si pangeran berkuda baja itu sekarang yang memegang beberapa perusahaan besar lainnya milik keluarga Saloka di bawah pengawasan Aditya Saloka, adik dari mendiang Pramudita Saloka atau ayah Steven.
Secara tiba-tiba video Steven yang menggendong Jeni tengah pingsan kala di Panorama Resto n Cafe tadi langsung tersebar begitu cepat di berbagai sosial media, hingga sampai ke mata Louis.
Tentu saja ia sangat terkejut, dan secara bersamaan perasaan cemburu segera menguasai dirinya begitu kuat, Louis sampai mengerang marah dan berjanji akan memukul Steven jika ia bertemu sepupunya itu.
Louis melihat bukan hanya perasaan iba saja yang ia tangkap di mata Steven, namun ia curiga Steven telah diam-diam mencintai perempuan yang sedang mengandung anaknya tersebut, Louis tidak terima, meskipun beberapa hari ini sejak mengetahui Jeni hamil, Louis sedikit menjauhi Jeni dan justru semakin lengket dengan Renata, sebenarnya Louis ingin menenangkan dirinya sendiri karena bahwasanya ia benar-benar belum siap menerima kenyataan bahwa Jeni telah hamil buah hatinya.
“Argh!” Louis berseru marah.
Tangannya mengepal begitu kuat lalu dipukulkannya dengan keras ke tembok kamar apartemennya, nafasnya terengah-engah dengan wajah merah menyala karena murka.
Pada saat yang sama, bel apartemennya berbunyi nyaring, tak lama setelahnya muncul perempuan cantik yang langsung memeluk manja Louis dari belakang, dia Renata.
“Tolong jangan seperti ini Renata, moodku sungguh buruk,” seru Louis sambil merenggangkan tubuhnya dari pelukan Renata.
“Why?” tanya Renata dengan wajah yang berubah murung.
Louis diam, ia sedang tidak ingin bicara dengan siapapun. Video itu benar-benar merubah mood Louis menjadi sangat buruk.
“Apa karena video viral itu lalu kamu cemburu dengan Steven? Come on Louis, kamu sudah berjanji padaku untuk tidak terlalu memikirkan cewek pembohong itu,” ujar Renata bersungut-sungut.
“Renata, cukup! Lebih baik kamu pergi dari sini,” teriak Louis.
“Kamu mengusirku?”
“Ya, pergilah!” tegasnya lagi.
Wajah Renata berubah merah, ia benar-benar geram dengan Louis. Tanpa kata lagi ia langsung pergi sambil membanting pintu apartemen Louis dengan sangat kasar, Louis tak peduli.
Dalam pikiranya hanya ada Jeni dan Jeni, sedetik kemudian ia merasa sangat menyesal telah membiarkan Jeni sendirian dalam beberapa hari ini dengan keadaan menyedihkan seperti itu, Louis baru sadar ia salah.
***
Jeni baru saja muntah lagi, kondisinya kembali lemah. Dokter Riska menyarankan Jeni untuk rawat inap beberapa hari di rumah sakit, awalnya Jeni keberatan namun Steven meyakinkannya dan ia menurut.
“Tidurlah! Dia juga butuh istirahat,” ujar Steven sambil melirik ke arah perut Jeni.
Jeni menurut dan mengangguk.
“Aku keluar sebentar, tapi aku sudah memanggil suster untuk menemanimu,” imbuhnya.
“Thanks.”
Steven tersenyum lalu keluar dari ruangan Jeni, Jeni kemudian memejamkan mata karena ia akui tenaganya seperti habis karena terus-terusan muntah, dan baru saja ia ingin memejamkan matanya untuk istirahat, handphonenya berdering. Jeni langsung terbelalak kaget saat tahu siapa yang menelfonnya.
“Louis? Apa aku tidak salah lihat?” gumamnya dalam hati.
Jeni sampai mengucek kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ia memang tidak salah melihat.Batinnya mulai berkecamuk, ia sebenarnya sangat merindukan Louis, tapi sisi lain hati Jeni sudah remuk tak bersisa lagi.Jeni menarik nafas dalam-dalam, lalu melempar handphonenya sesuka hati. Apa yang ingin dibicarakannya dengan Louis? Sudah tidak ada, yang ada justru ia akan bertengkar lagi dengan Louis.Jeni terlalu malas untuk berdebat kesekian kalinya dengan ayah biologis janin yang dikandungnya saat ini. Maka Jeni memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya, ia sangat lelah. Terlebih ia baru saja muntah-muntah yang membuat hampir seluruh tenaganya habis terkuras. Mungkin lain waktu saja ia akan menghubungi Louis, pikirnya.Baru saja ia akan memejamkan matanya, deringan handphone bernada khusus kembali mengusiknya. Lagi-lagi itu Louis, Jeni baru saja memeriksanya karena handphonenya terlempar tak begitu jauh darinya. Jeni la
Louis tertegun sesaat, mana mungkin ia akan segera memberi tanda pada hubungannya dengan Renata, semantara ia masih belum memikirkan jalan keluar hubungannya dengan Jeni.“Kenapa kamu diam Louis, apa kamu tidak ingin segera bertunangan dan menikah denganku?”Lagi-lagi Louis hanya menampilkan seulas senyuman manis di wajah bulenya yang sangat tampan.“Aku akan memikirkannya, lagipula aku juga harus membicarakan hal ini terlebih dulu pada orangtuaku,” kilahnya.“Baik, aku akan menunggunya.” Ujar Renata senang sambil mengalungkan tangannya pada leher jenjang Louis.“Apa kamu tidak ingin memasak sesuatu untukku? Aku sangat lapar.”Renata terkekeh pelan, lalu menggandeng lengan Louis dan mengajaknya ke dapur. Louis hanya menurut, padahal itu hanya alasannya saja agar Renata tidak terus-terusan membuatnya terpojok.Meskipun begitu, Louis memang sangat menyukai masakan Renata, apapun yang dimasak oleh tangannya selalu lezat dan sangat diterima oleh
Diam-diam Jeni jadi semakin mengagumi Steven yang cerdas, mandiri juga romantis. Tapi entah kenapa ia sulit mengganti Louis dengan laki-laki menyerupai malaikat seperti dia. Bodoh, Jeni terus mengumpat dirinya sendiri.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?”Jeni menggeleng, tentu saja ia tidak akan mengaku bahwa ia mulai mengagumi Steven.“Mata kamu sembab, apa kamu menangis lagi?” Selidik Steven.Jeni mengangguk pelan.“Tapi, aku menangis karena aku lelah muntah terus,” kilahnya.“Sabar ya, jangan mengeluh. Kasihan dia.”Jeni berkaca-kaca saat Steven menyebut kata 'dia' dengan nada yang begitu lembut. Terlihat sekali bahwa Steven orang yang sangat penyayang. Jeni lalu mengangguk dan mengusap air matanya.“Kenapa menangis lagi?”“Andai aku bisa, aku ingin sekali mencintaimu Stev, tapi...”Jeni semakin terisak, ia tahu andai ia mencintai Steven
Jeni terpaksa mengatakan itu, padahal ia hanya ingin tahu reaksi Louis. Kalaupun Louis justru memang mendukungnya, ia pun tidak akan tega membunuhnya, tentu saja Steven pasti akan membencinya.“Apa yang terjadi denganmu Jeni, bukankah kamu masih sangat mencintaiku?”“Tidak penting, apa kamu menginginkannya?” cecar Jeni.Louis masih terdiam.“Ya, aku menginginkannya. Tolong jangan membunuhnya,” tegas Louis.Entah kenapa Jeni seperti mendapat kiriman hawa segar dari balik handphonenya, ia tersenyum haru. Jeni tidak menyangka Louis menginginkannya.“Lalu kenapa kamu tidak datang menemuiku Louis? aku... aku sangat merindukanmu.”Kalimat itu akhirnya meluncur juga dari mulut Jeni, seharian ini ia begitu tersiksa menahan rasa rindunya kepada Louis.“Aku pasti akan datang menemuimu.”“Kapan?”“Besok, di hari ulang tahunmu. Aku tidak pernah melu
“Grande Apartemen?” Tanya Jeni heran sambil melirik ke arah Steven dengan murung.Steven tak peduli, ia segera turun dari mobilnya, berbeda dengan Jeni yang masih duduk diam di mobil, ia enggan turun. Jeni berpikir negatif tentang Steven.Steven mengernyitkan dahi saat beberapa menit menunggu Jeni yang masih anteng di dalam mobilnya hingga ia mengetuk jendela mobilnya sendiri agar Jeni segera turun, tapi pikiran Jeni sudah mengembara kemana-mana, berpikir negatif, ia trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu saat Louis tiba-tiba mengajaknya ke apartemen, hingga membuahkan janin sekarang.“Kenapa kamu tidak turun?” tanya Steven sedikit kesal karena ia harus kembali ke mobil dan menengok Jeni.Jeni menggeleng, wajahnya merah dan murung, ia ingin sekali menangis.Steven menghela nafas, melalui sorot mata Jeni yang seperti orang ketakutan, Steven segera tahu isi pikiran Jeni.“Kamu tahu? Aku sanga
Seketika itu Jeni membanting handphonenya ke sembarang arah sembari berteriak menangis penuh frustasi.Sementara di tempat lain, Renata tampak menyeringai senang setelah mengirim pesan itu kepada Jeni, ia tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jeni, maka ia sengaja untuk mengacaukan semuanya dengan datang pagi-pagi sekali ke apartemen Louis dan mengajaknya ke acara butik mamanya.Bukan hal yang kebetulan, sebenarnya acara penyerahan butik kepada Renata harusnya diaadakan beberapa hari ke depan, namun Renata merengek kepada orang tuanya untuk memajukan acara penting itu. Karena Renata anak tunggal, dengan mudah mamanya pun menyetujui.Berbeda dengan Renata yang terlihat bahagia, Louis tampak gelisah, berkali-kali ia mengecek jam tangan Richard Mille hitam yang melingkar di tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 02.00 pm tapi Renata justru mengajaknya keluar untuk makan siang.“Renata, aku harus pulang,” ujar Louis memberanikan diri.&ld
“Kamu hamil kan?” Cecar Tania dan Tamara saat Jeni keluar dari toilet.Mereka memandang Jeni dengan sorotan tajam dan penuh intimidasi, berharap Jeni akan mengaku setelah itu, tapi Jeni justru membalas dengan tatapan yang tak kalah mengerikan.“Jika aku hamil, apakah aku akan membiarkan Louis pergi begitu saja dariku? Aku bahkan baru saja putus dengannya.”Tania dan Tamara tidak bisa membantah, mereka yang mengaku sangat mengenal karakter Jeni yang buta cinta, segera membenarkan sanggahan sahabatnya, maka dalam sekejap mereka langsung merasa bersalah dan meminta maaf.“Maafkan kami Jeni, istirahatlah, kami tidak akan mengganggumu hari ini, aku akan pergi sendiri mengantar Tania ke bandara.”Jeni mengangguk, dalam hati Jeni merasa sangat lega karena mereka berdua langsung percaya begitu saja.Jeni lalu mengantar mereka berdua sampai ke gerbang kos, setelah mobil Tamara sudah tak terlihat lagi, Jeni kembali
Steven baru saja keluar dari ruang kerja Aditya Saloka untuk mengambil kunci mobilnya, ternyata ia tidak sengaja berpapasan dengan Louis yang baru saja keluar dari kamarnya.“Kebetulan, aku tidak perlu mencarimu ke apartemen.”