“Grande Apartemen?” Tanya Jeni heran sambil melirik ke arah Steven dengan murung.
Steven tak peduli, ia segera turun dari mobilnya, berbeda dengan Jeni yang masih duduk diam di mobil, ia enggan turun. Jeni berpikir negatif tentang Steven.Steven mengernyitkan dahi saat beberapa menit menunggu Jeni yang masih anteng di dalam mobilnya hingga ia mengetuk jendela mobilnya sendiri agar Jeni segera turun, tapi pikiran Jeni sudah mengembara kemana-mana, berpikir negatif, ia trauma dengan kejadian beberapa bulan lalu saat Louis tiba-tiba mengajaknya ke apartemen, hingga membuahkan janin sekarang. “Kenapa kamu tidak turun?” tanya Steven sedikit kesal karena ia harus kembali ke mobil dan menengok Jeni. Jeni menggeleng, wajahnya merah dan murung, ia ingin sekali menangis. Steven menghela nafas, melalui sorot mata Jeni yang seperti orang ketakutan, Steven segera tahu isi pikiran Jeni. “Kamu tahu? Aku sangat berbeda dengan Louis, ayo keluarlah, aku tidak akan menyakitimu Jeni,” ujarnya lembut dan menenangkan. Jeni menatap Steven lekat-lekat, mencari kepalsuan, namun nyatanya sama sekali tidak menemukan, Jeni justru menemukan sebuah ketulusan, maka ia mengangguk. Akhirnya, Jeni keluar dan mengikuti Steven masuk ke apartemen super mewah tersebut, Jeni terkesima, apalagi saat Steven menggandeng tangannya dan ia bilang bahwa itu private lift. Dan benar, private lift itu langsung menuju ke sebuah kamar yang tak begitu luas, namun sangat elegan, warnanya didominasi monokrom, penataannya juga sangat rapi dengan fasilitas yang sangat lengkap. Meski begitu Jeni masih belum mengerti apa sebenarnya maksud Steven mengajaknya ke tempat ini. “Apa kamu suka?” “Maksudnya?” “Aku ingin memberikan apartemen ini untukmu, kamu bisa pindah ke sini kalau kamu mau, sebagai hadiah ulang tahunmu hari ini.” Pupil Jeni membesar, ia sangat terkejut, lalu dengan cepat menggeleng. “Tidak Stev, ini terlalu berlebihan. Aku tidak pantas menerimanya.” Ekpresi Steven berubah murung, padahal ia akan sangat senang jika Jeni menerimanya, Steven tidak pernah menggunakan apartemen ini, ia hanya akan menyambangi kalau ia benar-benar ingin, apartemen itu hanyalah salah satu dari investasinya. “Terimalah Jen, aku akan sangat senang jika kamu mau menerimanya.” Lagi-lagi Jeni menggeleng, ia ingat kalau Steven adalah sepupu Louis, kalau ia menerimanya dan semakin dekat dengan Steven, Jeni takut kesempatan untuk mengambil hati Louis akan semakin sulit, ia tidak ingin itu terjadi. “Kenapa?”“Aku merasa tidak pantas tinggal di tempat seperti ini Stev, aku minta maaf.” Balas Jeni dan ia ingin buru-buru keluar dari kamar apartemen itu, Jeni takut Steven akan marah dan akan berbuat yang tidak-tidak padanya. “Hey, kamu mau kemana?” teriak Steven sambil mencegah lengan Jeni. “Aku ingin pulang,” jawab Jeni ingin menangis. Steven segera melepas cengkraman tangannya karena tidak ingin membuat Jeni ketakutan padanya. “Baiklah kalau kamu tidak mau menerimanya, ayo kita pulang.” Jeni dengan cepat mengangguk, dan buru-buru kembali masuk ke pintu lift. Steven dengan gontai mengikuti Jeni dari belakang. Meski begitu, Steven tidak kehabisan ide, ia akan mengajak Jeni ke tempat lain dan kali ini ia yakin Jeni tidak akan menolaknya. Begitu ia dan Jeni sudah berada di mobil, Steven segera melajukan mobil sportnya itu ke kos 'Xanada', kos yang tak jauh dari Grande apartement, dan ia tahu kos itu memiliki fasilitas super lengkap. “Tolong, kali ini jangan menolakku, ini hadiah,” tegas Steven.Jeni masih diam, ia dengan pasrah turun dari mobil Steven dan mengikuti langkah Steven masuk ke kos superluas nan asri itu. “Apa itu artinya kamu akan menyuruhku tinggal di sini Stev?” Steven mengangguk, lalu mengajak Jeni untuk bertemu si empunya kos. Daripada tinggal di apartemen, Jeni memang lebih suka tinggal di kos baru ini, lebih asri dan pemiliknya juga sangat ramah. Hal itu membuat Jeni tak menolak dan langsung memilih kamar yang ia inginkan.Namun saat tahu harga perbulannya yang hampir 2 juta, Jeni mendadak lemas karena ia tahu tidak akan sanggup membayar. “Saya bayar 6 bulan ke depan, berapa nomor rekeningnya Tante? Saya transfer sekarang,” ujar Steven. Jeni hanya bisa pasrah, ia tahu penolakannya akan membuat Steven kecewa maka ia menurut saja, lagipula ia hanya perlu pindah ke tempat ini tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun. “Hanya dia yang akan tinggal disini Tante, apakah setelah ini sudah bisa ditempati?” “Tentu saja bisa, lagipula tempatnya sudah bersih dan siap untuk ditempati, kami selalu membersihkannya setiap hari.”“Baik, terimakasih Tante.” “Sama-sama,” balasnya ramah. Setelah percakapan dengan pemilik kos berakhir, Steven dan Jeni kembali ke mobil, karena Jeni ingin menempatinya langsung, maka Steven langsung menuju kos lama Jeni dan membantunya mengangkuti barang-barang. “Apa kamu suka dengan hadiahku?” “Tentu saja, terimakasih Stev.” Steven hanya mengangguk, lalu membantu membawa barang-barang Jeni ke mobil. “Apa mobil ini muat? Kalau tidak, aku akan pulang dan mengganti mobil yang lebih luas.”“Tidak, percayalah! Aku tidak punya apapun di sini.” Mereka berdua pun terkekeh dan kembali ke mobil untuk menuju ke kos baru Jeni. Dalam perjalanan, mereka tak saling mengobrol, hanya lagu 'Someone you loved' yang begitu merdu menemani perjalanan mereka. Jeni segera tahu kenapa Steven selalu memutar lagu itu saat bersamanya, mungkin itu cara dia memberitahunya bahwa ia begitu peduli dan sangat mencintainya.Tapi apa yang bisa dilakukan Jeni? Dalam hatinya masih ada Louis yang belum bisa tergantikan oleh siapapun.Bicara Louis, membuat Jeni ingat kalau Louis telah berjanji akan menemuinya hari ini, Jeni menghela nafas lalu mengembangkan senyum bahagia di wajahnya. Steven yang memperhatikannya hanya diam dan tak ingin berkomentar apapun. Ia tahu kalau Jeni seperti itu pasti sedang memikirkan Louis. “Jen, aku pulang dulu. Om Adit tiba-tiba menelfon dan memintaku untuk menemaninya meeting, jangan sungkan untuk menghubungi kalau ada sesuatu,” pamitnya.Jeni mengangguk sembari melempar senyum manis pada Steven, ia tak berhenti mengucap terimakasih. Steven dengan mood yang tiba-tiba memburuk, hanya tersenyum kecil lalu segera melajukan mobilnya untuk menghilang dari pandangan Jeni. Jeni menghela nafas melihat Steven seperti itu, ia jadi merasa bersalah. Namun ia tidak menyalahkan dirinya sepenuhnya, dari awal Jeni hanya meminta Steven menjadi temannya. Persis saat ia baru saja masuk ke kamar barunya dan mengunci pintu, handphone Jeni berdering pelan, satu pesan dari Renata.Saatia membuka pesan itu, dadanya tiba-tiba sesak, badannya gemetar dan hatinya seketika diserbu belati tajam yang siap untuk mengoyaknya dengan ganas.
Sebuah pesan yang menampilkan foto Louis dan Renata dalam sebuah acara yang begitu meriah, Louis bahkan tersenyum bahagia sambil memeluk pinggang Renata.
“Bodoh, aku memang bodoh,” sesal Jeni dengan tangisan yang menjadi-jadi.Seketika itu Jeni membanting handphonenya ke sembarang arah sembari berteriak menangis penuh frustasi.Sementara di tempat lain, Renata tampak menyeringai senang setelah mengirim pesan itu kepada Jeni, ia tahu kalau hari ini adalah ulang tahun Jeni, maka ia sengaja untuk mengacaukan semuanya dengan datang pagi-pagi sekali ke apartemen Louis dan mengajaknya ke acara butik mamanya.Bukan hal yang kebetulan, sebenarnya acara penyerahan butik kepada Renata harusnya diaadakan beberapa hari ke depan, namun Renata merengek kepada orang tuanya untuk memajukan acara penting itu. Karena Renata anak tunggal, dengan mudah mamanya pun menyetujui.Berbeda dengan Renata yang terlihat bahagia, Louis tampak gelisah, berkali-kali ia mengecek jam tangan Richard Mille hitam yang melingkar di tangan kirinya, sudah menunjukkan pukul 02.00 pm tapi Renata justru mengajaknya keluar untuk makan siang.“Renata, aku harus pulang,” ujar Louis memberanikan diri.&ld
“Kamu hamil kan?” Cecar Tania dan Tamara saat Jeni keluar dari toilet.Mereka memandang Jeni dengan sorotan tajam dan penuh intimidasi, berharap Jeni akan mengaku setelah itu, tapi Jeni justru membalas dengan tatapan yang tak kalah mengerikan.“Jika aku hamil, apakah aku akan membiarkan Louis pergi begitu saja dariku? Aku bahkan baru saja putus dengannya.”Tania dan Tamara tidak bisa membantah, mereka yang mengaku sangat mengenal karakter Jeni yang buta cinta, segera membenarkan sanggahan sahabatnya, maka dalam sekejap mereka langsung merasa bersalah dan meminta maaf.“Maafkan kami Jeni, istirahatlah, kami tidak akan mengganggumu hari ini, aku akan pergi sendiri mengantar Tania ke bandara.”Jeni mengangguk, dalam hati Jeni merasa sangat lega karena mereka berdua langsung percaya begitu saja.Jeni lalu mengantar mereka berdua sampai ke gerbang kos, setelah mobil Tamara sudah tak terlihat lagi, Jeni kembali
Steven baru saja keluar dari ruang kerja Aditya Saloka untuk mengambil kunci mobilnya, ternyata ia tidak sengaja berpapasan dengan Louis yang baru saja keluar dari kamarnya.“Kebetulan, aku tidak perlu mencarimu ke apartemen.”
“Benar begitu Louis?” tanya Aditya Saloka dengan tatapan tajam seperti pisau. Laki-laki berusia separuh abad itu tidak pernah menaruh kepercayaan kepada putranya sendiri, ia justru lebih menyukai karakter Steven yang penurut dan pekerja keras seperti dirinya di masa muda, namun Louis justru oposisi dari mereka berdua, lebih menyukai dunia luar yang bebas. Louis hanya mengangguk lemah sambil merintih kesakitan. “Awas saja kalau kamu terbukti bersalah dan menyinggung seseorang, Papi tidak akan segan untuk menghukummu lagi,” tegas Aditya. “Pi, aku yakin Louis kali ini adalah korban, percayalah!” Aditya Saloka hanya mengangkat alisnya lalu keluar dari kamar Louis bersama aura dingin dan ketegasannya. Barulah Louis seakan bisa merasakan kembali udara bebas, terbukti ia langsung menghela nafas lega. Ia lalu mencari ponselnya dan menjawab pesan dari Renata. 'Aku tidak menemui Jeni, percayalah. Pergilah ke rumahku besok kalau kamu tida
Steven tiba lima menit kemudian, beruntung saat mobilnya hendak memasuki area kos, ia sempat menangkap mobil Renata dari kejauhan. Maka Steven langsung mengurungkan niatnya untuk masuk ke kos itu dan justru mengejar mobil yang ia curigai, Steven yakin semua ini pasti ada sangkut-pautnya dengan Renata, mengingat Renata pernah seperti seorang psikopat saat di London dulu.Dengan kakinya menginjak pedal gas, mobil itu pada dasarnya melayang, Steven tak peduli, yang terpenting baginya adalah keselamatan Jeni dan janinnya. Ia bahkan bersumpah tidak akan mengampuni Renata jika Jeni terluka sedikit saja.Merasa diikuti oleh seseorang, Renata menyuruh pengawalnya untuk mempercepat laju mobilnya, tapi mobil Steven semakin dekat, membuat Renata ketakutan dan menyuruh pengawal lainnya untuk mengeluarkan Jeni dari mobilnya begitu saja.“Apa Bos yakin? Itu sangat berbahaya, bagaimana kalau...”“Diam! Pelankan mobilnya dan buang dia ke jalan secepat m
Di Presidential Residence, Louis yang masih terbatas geraknya karena luka lebam yang masih menunjukkan efek sakit, hanya bisa meraung marah melihat video yang dikirim Renata padanya.“Jadi ini alasan dia memutus hubungan denganku?” ujar Louis dengan senyum dingin dan sorot mencibir di matanya.“Baiklah Jeni, aku turuti kemauanmu, tapi aku tidak akan sudi melihatmu hamil anak Steven. Janin itu tidak seharusnya hidup,” lanjutnya dipenuhi kebencian dan kebengisan.Ya, Louis bersumpah dalam hati akan membuat janin itu lenyap, entah bagaimanapun caranya. Hatinya sudah dirasuki oleh hawa amarah dan dendam, maka selepas ia sehat nanti apapun akan dilakukannya agar Jeni tidak lagi mengandung anak Steven.Memikirkan rencana jahatnya, Louis tersenyum sinis, ia lalu mematikan lampu meja di sampingnya dan menarik selimut untuk bergegas tidur.Di tempat yang berbeda, Grande Apartment, Jeni tidak bisa sedikitpun terlelap, meski ia sudah m
***Di ruang presiden Axel Corp, Steven sedang duduk dengan begitu serius bersama tumpukan dokumen yang harus ia periksa dan tanda tangani, ia selalu serius dalam bekerja, tak heran meski Axel Corp merupakan anak perusahaan Saloka Group, tapi belakangan ini sejak Steven yang memimpin semuanya, prestasi dan pencapaian Axel Corp bahkan melampaui ekspektasi Aditya Saloka, proyek-proyek besar dengan perusahaan dalam dan luar negeri selalu selesai dengan baik dan rapi di tangan Steven.Tepat pada saat Steven akan menandatangani surat kerja sama proyek perhotelan dengan Rena Group, Felix datang dan melaporkan bahwa ia sudah mengetahui latar belakang penculikan Jeni yang semuanya adalah murni rencana Renata dan pemilik kos terlibat membantu proses penculikan itu.Aura Steven berubah gelap saat mendengar semua itu, sudah ia duga bahwa sifat buruk Renata pada beberapa tahun lalu di London akan ia ulangi juga pada Jeni.“Tapi saya sudah memanggil polisi untuk
Lama tak membalas, membuat Steven langsung menelfon Jeni, entah kenapa Jeni jadi mendadak gugup, ia jadi menimbang-nimbang terlebih dulu sebelum menjawab.Pasalnya, semakin hari Steven semakin menunjukkan rasa peduli dan perasaannya padanya, Jeni jadi merasa tidak enak hati padanya, ia belum bisa membalas apapun itu terutama perasaannya.Ponselnya kemudian mati, namun detik berikutnya Steven kembali memanggilnya, Jeni meghela nafas lalu menerimanya.“Lama sekali Jeni, kamu sibuk?”“Emm, aku mengerjakan skripsiku,” kilah Jeni.“Aku hanya ingin tanya, kamu mau makan apa? Aku sedang istirahat makan siang sekarang.”“Tidak Stev, aku tidak ingin apapun, terimakasih, lagipula makanan yang kamu sediakan masih sangat banyak,” tolaknya lagi.“Jeni, aku memang belum lama mengenalmu, tapi aku bisa merasakan kalau kamu sedang mengidam sesuatu.”“Tidak Stev, lanjutkan saja pe