Share

Pertama Kali

Jatuh cinta dan patah hati.

Bukan Ad. Remaja yang pertama kali buatku gugup, bahkan bicaraku terbata-bata saat dengannya. Tidak mampu menatap matanya terlalu lama saat bicara. Seniorku. Satu tahun di atasku.

Awalnya aku tidak mengerti, apa yg aku rasakan kala itu. Ketertarikan sudah datang sejak awal melihatnya di sekolah. Lalu, mengenal pribadinya yang sangat ramah membuatku tambah tertarik.

Saat sama-sama menjadi panitia masa orientasi siswa, aku dan senior itu mulai memiliki sedikit progress. Istilah yang masih ada hingga kini adalah PDKT (pendekatan). Aku sangat berharap padanya. Mungkin setelah memendam selama setahun, cinta pertamaku bisa menjadi pacar pertamaku. Walau banyak yang bilang, di masa itu yang ada hanyalah cinta monyet. Perasaan suka yang muncul, namun gampang hilang dan terlupa. Nyatanya, aku juga masih mengingat kisah ini. Kisah tentang cinta dan patah hati pertamaku.

Di lorong kelas sebelum mengikuti latihan baris berbaris, senior itu menghampiri aku. Itu pertama kali dia memegang tanganku. Membuatku gugup, tapi juga sedih. Kata yang diucapkannya adalah, "maaf".

Aku langsung tau. Ah! perasaanku tertolak.

Dia bilang, ada teman yang memberitahunya kalau aku suka padanya. Dia ingin konfirmasi sekaligus minta maaf. Bukan aku. Perempuan yang disukainya. Ada seorang adik kelas tujuh yang ternyata belum lama menjadi pacarnya.

Jelas aku kaget. Sangat kaget. Darimana dia tau. Aku hanya berdiri dan mendengar penjelasannya. Yang aku katakan setelah itu, "Tidak apa-apa. Itu nggak benar. Aku nggak suka."

Tanpa pikir panjang, aku menyangkal perasaanku.

"Tidak apa-apa," ku ulangi lagi.

Akhirnya dia pergi dengan melepas senyum seperti biasanya.

Apa yang harus aku lakukan. Detak jantungku belum normal. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tidak mau pergi latihan berbaris. Entah ke mana, aku ingin meluapkan sedih ini.

Di tengah lapangan, sudah beberapa putaran dan latihan baris berbaris masih berlangsung. Aku tidak fokus. Berkali-kali mengucapkan perintah yang salah untuk tim baris berbaris putri. Beberapa teman mulai menatap heran. Mungkin ada juga yang dongkol. Aku lekas minta istirahat sebentar.

"Ay!"

Sambil memberikan air mineral, Ad duduk di sampingku.

"Tadi pembina bilang, latihannya udah cukup hari ini. Lagian, kayaknya bentar lagi hujan. Udah mendung banget."

Aku hanya mengangguk.

"Pulang bareng gue aja. Biar lebih cepet naik sepeda," ajaknya.

Aku menggeleng. "Gue ada latihan dance di rumah Nabilah."

"Ok. Ya udah. Gue duluan." Ad melangkah pergi. Sejenak aku berpikir lagi tentang ajakannya.

"Ad tunggu! Gue bilang Nabilah dulu nggak jadi ikut latihan."

Ad setuju dengan ekspresi matanya. "Gue tunggu di gerbang."

Benar. Sambil berjalan ke arah gerbang, aku baru sadar. Langit mendung sekali. Bagaimana ini? Suasana hatiku juga tidak baik.

Di gerbang sekolah, Ad bersandar ke salah satu tiang. Sepeda berwarna hitam miliknya disandarkan tidak jauh. Dari kejauhan, aku tau itu Ad dari warna topi dan sepedanya. Dia pakai topi warna army. Bagian depannya sengaja direndahkan. Sering aku melihatnya memakai topi dengan cara seperti itu. Terkadang aku tegur, karena mungkin saja membuatnya tersandung atau menabrak sesuatu.

Melihatku semakin dekat, dia segera menaiki sepeda. Satu kakinya menginjak pedal. Aku duduk di jok belakang. Ad melepas topinya, membalikkan depan topi mengarah ke belakang. Sepedanya mulai dikayuh dan melaju di antara angin yang datang sebelum hujan.

"Gue kebut!" Katanya.

Angin berhembus makin kencang, laju sepeda malah jadi melambat. Rintik hujan turun dari kecil hingga deras. Ad berbelok ke arah warung es kelapa terdekat. Kami belum sampai ke arah jalan raya. Dari tempat berhenti, sebetulnya tidak jauh lagi sampai ke depan kompleks. Tapi, jalanan licin akibat tanah disekitarnya terbawa air hujan.

"Lo bawa payung?" tanya Ad.

Karena berganti ransel, payung milikku ada di tas satunya.

"Nggak!"

"Mau naik angkot?" Ad menoleh ke kiri jalan.

"Nggak!"

Lalu aku dengar Ad meminta ijin ke pemilik warung untuk ikut berteduh. Pemiliknya mempersilahkan, bahkan menawari bangku plastik untuk duduk. "Duduk Ay!" kata Ad.

"Nggak!" Aku malah melangkah menjauhi warung. Sebetulnya karena melihat kucing kecil berjalan perlahan kehujanan. Mungkin usianya masih dua atau tiga bulan. Sendirian tanpa induk atau saudaranya.

"Ay! Ay.., mau kemana?"

Seragamku basah. Tapi sudah terlanjur. Aku memegang kucing itu dan segera menggendongnya. Saat berbalik, Ad hanya berjarak beberapa langkah. Dia menghampiriku sambil membawa payung yang rusak sebagian. Mungkin pinjam dari pemilik warung.

"Masih aja main ujanan!" 

"Ini kasian," aku perlihatkan kucing kecil yang mulai menggeliat di dekapan. Seperti tidak nyaman. Suaranya nyaring mencari induknya.

Kami berjalan balik ke arah warung. "Udah basah. Percuma pakai payung," kataku.

"Kasian kucingnya," sahut Ad.

"Oh."

Hujan cukup lama reda. Akhirnya sambil menunggu, kucing kecil yang kebasahan lebih tenang di dalam kerdus bekas. Sambil memperhatikan, aku merasa sesuatu di kepalaku. Ad memakaikan topinya ke padaku. Seperti biasa, depan topi direndahkan persis seperti yang dikenakan Ad saat menunggu di gerbang.

Memang sudah sejak tadi, aku berhasil meluapkan kecewa karena patah hati dari seniorku. Aku akhirnya tau untuk pertama kali, seperti ini rasanya. Aku pikir, tidak akan menangis. Ternyata kesan dan harapan yang ku pendam besar, sehingga kecewa yang aku rasakan juga sama.

Ad ada di sana. Di moment itu. Tidak bertanya dan memintaku menjelaskan sebab. Tidak di hari itu. Ad hanya menemaniku dengan caranya.

Dia ada bersamaku, berdiri di sampingku sambil minum es kepala di tengah hujan deras. Sepertinya tidak enak hati pada pemilik warung, kami berteduh cukup lama.

Di malam hari aku menerima SMS masuk. Di kontak nama tertulis Adudidu.

Adudidu : Gue dapet yang baru. Mau?

Aku : Mau....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status