Share

Kumpul

Nabilah dan Ralina.

Mobil yang kami sewa online berhenti di salah satu pusat belanja peralatan rumah tangga. Enam bulan yang lalu, Nabilah menikah dengan laki-laki pilihannya. Tapi setelah menikah, keduanya masih harus terpisah karena urusan pekerjaan. Selain itu, Nabilah juga belum bisa ikut suaminya karena ibunya masih harus menjalani pemeriksaan rutin.

Setelah membeli beberapa peralatan dapur, kami menyewa mobil online lagi. Sampai di salah satu cafe bertema warung kopi. Menu yang ditawarkan aneka camilan lokal dengan teh atau kopi tubruk. Terdapat area outdoor yang cukup luas dan sangat nyaman. Sebelum masuk, aku dan Nabilah menjalani protokol kesehatan. Cek Suhu dan mencuci tangan. Jarak antar meja cukup jauh. Jumlah pengunjung sangat dibatasi. Seminggu lalu cafe ini buka kembali. Waktu operational yang diijinkan hingga jam enam sore.

Di sana, Ralina sudah menunggu.

"Banyak banget belanjaannya. Kayak mau pindahan."

"Emang mau pindahan," sahut Nabilah.

"Serius??" Aku kaget begitu juga Ralina.

"Pindah ke mana?" Tanya Ralina.

Nabilah menatapku lalu Ralina, "Bukan gue yang mau pindahan, tapi mamah. Alhamdulillah rumahnya udah ada yang minat. Pembelinya juga udah transfer DP (down payment). Minggu depan katanya mau pelunasan. Kayaknya pembelinya juga mau renovasi rumah mamah secepatnya.

"Terus udah dapet rumah yang baru?" Tanyaku.

Nabilah mengiyakan. "Baru seminggu yang lalu deal. Mamah pindah ke Purwakarta deket rumah kakak. Sekalian biar gampang main sama cucu."

"Alhamdulillah..."

"Iya. Alhamdulillah banget," sahut Nabilah.

"Eh tapi kalau rumah dijual lo tinggal di mana?" Tanya Ralina.

"Ngekost dulu di Jakarta. Insya Allah sampai akhir tahun ini. Abis itu gue ikut suami."

"Ehhm pindah jadi warga Singapore nih." Kataku.

"Bulan depan juga gue pindah. Mau ngekost di deket kantor," kata Ralina.

Aku dan Nabilah seakan sepakat tidak bertanya panjang tentang keputusan Ralina.

Seperti aku, Ralina juga masih tinggal dengan orang tua di Bogor. Tidak hanya dengan orang tua, tapi juga bersama adik perempuan dan iparnya. Hampir sama denganku, adik perempuanku juga tahun ini akan menikah.

Aku lihat Ralina, tiga tahun lalu dia pernah sangat dikecewakan lelaki yang dia percaya. Lelaki yang kala itu diterimanya datang dalam kehidupannya dan merencanakan masa depan berdua. Namun tidak seperti harapan Ralina ketika masih bersama, satu pihak memutuskan pergi tanpa adanya penjelasan. Tanpa pernah menemui Ralina. Orang yang pernah percaya perkataannya.

Aku lihat Ralina, bagaimana kejadian itu melukainya. Bahkan, tak lama dia melihat lelaki itu sudah bersama yang lain. Kini Ralina sudah lebih kuat dan meninggalkan luka yang menghalanginya. Namun bekas dari rasa penolakan dan tersingkir mungkih masih ada.

Tidak boleh ada yang memaksa Ralina untuk lekas menerima. Itu haknya untuk menjalani proses. Sama halnya tidak boleh memaksanya untuk bisa berbaur kembali dengan lelaki itu yang awalnya dikenal sebagai teman. Jika Ralina memutuskan lebih baik untuk tidak bertemu lagi. Tidak ada keharusan untuk tetap menjalin silaturahmi dengan mantan pacar. Menjalani hidup masing-masing tanpa mengusik juga bentuk silaturahmi untuk saling menghargai. Seperti Ralina menutup buku berisi kisahnya dengan caranya sendiri.

Terkadang bukan sulit merelakan seseorang, tapi timbulnya penolakan, perasaan tersingkir, atau ditinggalkan lebih sulit untuk berdamai dengan dampaknya. Tiap-tiap orang melewati dengan caranya. Seperti berbeda untuk yang pergi, yang ditinggalkan mungkin lebih lama menyimpan kecewa, sedih, khawatir, atau trauma. Perasaan yang mungkin saja membawa ingatan lalu ketika bertemu kembali.

Setelah melewati proses itu, Ralina perlu waktu untuk bisa membangun lagi hubungan dengan orang lain. Lalu, adiknya menikah lebih dulu dan kembali tinggal di rumah bersama orang tua. Ralina memilih ke luar rumah orang tuanya, mungkin itu keputusan yang baik baginya.

Aku atau Ralina memang belum menikah. Kami punya kekhawatiran sebagai kakak. Ikhlas kami untuk adik. Perkara jodoh ada Yang Maha Mengaturnya. Di tahap ini, akupun merasa lebih ringan melepas kegelisahanku padaNya. Ralina ikhlas dengan pernikahan adiknya. Jika ada perbedaan pendapat dalam suatu keluarga yang tinggal bersama. Bukan fokus pada siapa yang benar dan salah, tapi bagaimana keadaan bisa lebih baik. Karena terkadang, ada perbedaan yang akan tetap berbeda walau sudah banyak didiskusikan.

Aku memang belum menikah. Satu hal yang menambah pembelajaran. Pernikahan juga menjadi pernikahan antara keluarga. Seorang anak bisa mendapat orang tua baru, maupun sebaliknya. Kakak mendapat adik baru ataupun sebaliknya.

Termasuk jika timbul permasalahan atau konsekuensi dari tanggung jawab pernikahan, bisa juga menjadi permasalahan atau konsekuensi yang turut ditanggung keluarga. Pernikahan sepertinya bukan hanya keinginan untuk melaksanakanmya. Ada kehidupan setelahnya yang lebih penting. Kesiapan bukan hanya terukur dari kepemilikan materi, tapi tanggung jawab menafkahi dan menjalankan kewajiban.

"Oh iya. Nikahan ade gue akhir bulan ini. Kalau kalian bisa.."

"Iya. Insya Allah kita dateng Ay," sahut Ralina. Begitu juga Nabilah.

Kumpul lagi. Obrolan berlanjut lintas topik. Kue sudah habis. Teh dan kopi tinggal sisa sedikit. Kami masih di sana untuk bersantai sejenak.

"Tunggu bentar. Gue angkat telepon dulu yah," kata Nabilah tiba-tiba.

Nabilah menjauhi meja tempat kami duduk beberapa meter. Dia tampak bingung sambil mengobrol dengan seseorang di telepon.

"Siapa?" Ralina juga menangkap ekspresi yang sama.

"Suaminya mungkin," sahutku.

"Bukan kayaknya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status