Tahun ajarkan baru. Semester Baru. Kenaikan kelas.
Di Kelas 11 IPA 2, aku masih sekelas dengan Ralina dan Tian, tapi tidak dengan Ad. Ad masuk Kelas 11 IPA 1. Kelasnya tepat berada di sebelah kelasku.Ad sering menemuiku saat jam pelajaran sekolah usai, atau kami makan bersama di kantin dengan Ralina dan Tian juga.Bersama-sama bukan lagi rutinitas tapi kebutuhan. Bertemu Ad. Bertemu teman-temanku. Waktu terbagi dan dibagi. Bersama mereka bukan hanya melalui hari tapi membentuk kisah yang kelak dapat diceritakan kembali.Perhatian timbul tidak terumbar. Terkadang tersembunyi dan baru diketahui setelah lama.Di ruangan kelas, Ralina membantu bereskan makalah biologi sebelum dibawa ke ruang guru. Belum selesai membereskan, ku lihat Ralina meringis sakit."Kenapa Lin?"Telunjuknya tergores kertas. Ke luar darah dari luka goresan."Bentar. Gue ada perekat luka." Aku lantas kembali ke meja, meMinggu. Olahraga pagi.Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Aku memeluk diri sendiri di tengah udara yang masih dingin. Langkah kaki semakin berat. Tidak kuat lagi melanjutkan lari."Ad. Pelan-pelan dong. Kaki gue sakit nih," keluhku coba mengejarnya ketika jogging.Ad berlari mundur ke arahku."Baru satu putaran Ay. Ayo! Masa udah lihat tampang gue pagi ini masih lesu. Gue aja semangat banget," Ad pamer."Ga ada hubungannya. Berhenti-henti! Istirahat dulu," Gerutuku mencari apa saja buat duduk dan meluruskan kaki. Aku duduk di sebuah batu besar.Ad masih melanjutkan olahraga paginya di hadapanku. Kakinya tetap berlari tapi di tempat."Berhenti dulu deh! Pusing gue lihatnya," kataku sambil menarik tangannya untuk ikut duduk."Bilang aja..mau duduk berduaan. Boleh kok," Ad tersenyum lebar."Ihhh apaan sih. Yaudah sana-sana!" Tingkahnya malah buat aku grogi.Ad mala
Sudah lama tidak merasakan pagi sesejuk ini. Tidak bosan menghirup udara dalam. Pergilah toxic! Kedua daun jendela terbuka lebar. Sejak pagi sudah mulai beraktivitas. Teh yang dibuat mulai dingin. Sisa pisang goreng tinggal dua potong saja di piring. Dari luar saut-sautan suara burung berkicau. Dalam benakku, seperti ikut berbincang. Bicara tentang awal hari.Di ruang tamu bertumpuk kotak-kotak kerdus. Ada yang sudah direkatkan dengan solatip, ada yang masih terbuka, atau kosong.Aku menumpuk piring-piring yang sudah dilapisi koran oleh Ralina. Nabilah tidak jauh dariku melipat baju-baju, memisahkan yang tidak terpakai dan masih. Buku-buku bertumpuk belum masuk kotak. Pajangan dan foto-foto juga. Di dapur, panci, penggorengan, dan perkakas lainnya menunggu packing.Kemarin sore, aku dan Ralina sampai di rumah Nabilah. Kami mau bantu packing barang-barang untuk pindahan. Di rumah hanya ada Nabilah dan Ibunya. Kakak ipar dan keponakan Nabilah siang akan d
Februari, Tahun 2009.Pagi sekali.Mungkin baru lima belas menit aku tertidur, lalu ibu membangunkan. Mata yang mengantuk, rambut yang masih berantakan lengkap dengan t-shirt belel dan celana training panjang, aku ke luar kamar dengan langkah yang gontai. Aku coba menatap jelas apa yang ada di hadapan. Hanya ada kabut dan cahaya fajar yang belum penuh. Berdiri sejenak. Menutup mata lalu melihat kembali. Tidak ada apa-apa. Kenapa ibu bangunin suruh ke luar sepagi ini? padahal ini hari libur.Cuacanya masih dingin. Aku ingin kembali ke dalam selimut jika bukan karena melihat sepeda yang ku kenal milik siapa terparkir di pekarangan samping rumah. Warnanya hitam. Aku melihat lagi ke sekeliling tapi tidak nampak pemiliknya.Ada sepucuk surat direkatkan di depan sepeda. Aku buka kertas putih polos itu dan membaca isi yang tertulis.Hi sahabat!Segala kebaikan aku doakan untukmu.Terimakasih sudah hadir di masa lalu dan sekarang.Hi ca
Desember. Akhir Tahun 2009.Setengah tahun terakhir di masa SMA. Bintang-bintang nampak jauh sekali. Di angkasa raya. Begitu banyak. Indah. Begitu sulit juga diraih.Malam belum larut. Api unggun di depan kami sudah dinyalakan. Bau jagung bakar. Di area perkemahan terbuka, beberapa tenda didirikan. Namun, tenda yang kami bawa hanya dua.Petikan gitar terdengar. Satu persatu lagu dimainkan. Raut antusias mengikuti bait lagu. Bahu mengikuti irama ke kiri dan kanan. Seakan jagung bakar ditangan berubah jadi mic. Kami melepas kekhawatiran untuk ujian yang semakin dekat dan penat setelah mengikuti beberapa kali try out.Aku duduk berjajar dengan Ralina dan Nabilah ikut bersenandung. Ad bernyanyi di sebelah Tian yang bermain gitar. Banyak muda mudi lainnya di sekitar. Kemungkinan yang paling banyak adalah mahasiswa dan pemuda karang taruna. Masing-masing kelompok hanyut dalam suasana.Malam yang cerah. Gemintang di langit. Masa muda
Market, Tahun 2010.Kali ke tiga aku mengikuti Ujian Nasional sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, tidak sama sekali mengurangi tekanan dan beban yang dirasakan, justru bertambah. Penentuan dari lamanya kami bersekolah setiap hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan tahun demi tahun dengan beberapa hari ujian menggunakan standarisasi nilai secara nasional.Hari terakhir ujian. Sesaat bawa angin sejuk. Sesaat bawa kelegaan. Namun sesaat saja, karena masih ada penantian hasil kelulusan. Ke luar ruang ujian, begitu saja haru tertuang dalam pelukan dan rangkulan teman. Satu langkah besar telah dilakukan di masa itu.Teringat malam, pagi, dan setiap waktu yang kami curahkan untuk persiapan perang dengan kertas-ketas ujian, hingga peperangan itu usai kami lalui. Setelahnya, kami akan melakukan persiapan baru dan melanjutkan perjuangan.Aku memeluk Ralina, "Ujian udah selesai Lin, kita berdoa yang terbaik yah.""Iya Ay. Lulus. Kita
Aku dalam perjalanan ke pasar ditemani Ad. Ibu minta tolong dibelikan bahan makanan. Kami pergi ke arah Pasar Cisarua."Tadi ibu titip apa?" Maksudku ibunya Ad."Bentar lihat daftarnya. Ohh ini! Cabe, bawang meraih, bawang putih, tempe, sama Ikan kembung.""Kalau gitu kita ke sana dulu. Sekalian aku juga mau beli bumbu dapur," kataku mengarahkan.Semenjak ada Kaisan, aku yang lebih sering ke pasar setiap minggu gantiin ibu. Kadang gantian juga dengan Kanaya, atau kami berdua yang pergi. Karena Kanaya ada pengganti jam les Bahasa Inggris, hari itu aku pergi dengan Ad. Sekalian temani Ad ke tukang sol sepatu yang ada di pasar.Selesai beli semua yang ada di daftar belanjaan, kami ke penjual es cendol menunggu sepatu selesai disol."Ini yang pakai nangka," Ad memberikan segelas besar padaku."Pulang makan lontong sayur yuk," ajaknya."Tapi jangan makan di tempat, bungkus aja. Kita makan di rumah," kataku.
Yogjakarta. Tahun 2010. Langkahku tiba-tiba terhenti tepat di pintu masuk pemakaman umum. Jika bukan seorang menarik tanganku dari sana, entah berapa lama aku terpaku. Bergetar sekujur tubuhku dan semua yang berputar cepat dipikiranku. Maaf aku tak temani kamu di sana. Aku belum bisa. Maaf.. Sehari setelah pengumuman kelulusan 27 April 2010. Kami baru pulang dari sekolah. Semua nampak seperti hari sebelumnya. Namun setelah jam 1 malam, rumah di Blok C itu ramai didatangi tetangga. Pintunya terbuka lebar. Tikar dan karpet dibentangkan. Kursi di ruang tamu di keluarkan ke halaman. Lantunan doa terus dipanjatkan sejak dini hari. Terdengar suara dari masjid memberitahukan kabar duka sebelum waktu subuh. Setelah Ad pulang dari rumah sakit, ditemani Ayahku dan satu orang tetangga lainnya, aku sudah tiba di sana membawa si kembar kembali ke rumahnya. Masuk ke salah satu kamar, Ad menangis di samping mendiang bapaknya. Tertunduk dan menggenggam tangan bapaknya erat. Berkata lirih dalam tan
Kosong. Begitulah tampilan page Microsoft Word di hadapanku. Entah sudah berapa lama aku menatap atap, dinding, dan ke luar jendela. Sejak bangun tidur, aku hanya ke luar ke kamar mandi. Beberapa kali melihat jam. Lebih tepatnya waktu yang terus berputar. Lalu, aku melihat pantulan diri di cermin.Aku buka browser dan mulai kembali mencari pekerjaan tetap. Setiap mengingat saldo rekening semakin membuatku sesak. Aku click tombol apply.Tahun depan akan jadi tahun terakhirku sebelum menginjak usia kepala tiga. Rasanya belum pantas. Namun jika tidak dipantaskan, mungkin aku akan menjadi tidak bertanggung jawab. Jujur saja, rencananya terlihat kabur.Aku melihat note di atas meja. Tanpa sadar, aku tekan berkali-kali tombol diujung bolpoint. Aku coba tulis apa saja yang terlintas di pikiran. Beberapa kata tertulis, salah satunya 'move'. Bukan tubuh, tapi pikiran ini yang membuatku lelah. Aku bersandar lagi ke kursi, kembali melihat ke atap kamar. Suara deti