Ibu Arini mencari putrinya. Dia mendapati Farhan dan Arini sedang di kamar berdua sambil berpegangan tangan. Dalam pikirannya menjadi semakin berkecamuk. Apakah putrinya dan Farhan sudah saling menyatakan perasaan.
“Rin, kamu sedang apa sama Farhan?” tanya Ibu Arini sambil bersandar di kusen pintu.
“Rini tadi kelilipan, jadi Farhan bantu tiup,” jawab Arini berbohong. Farhan ikut menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Farhan.
Jelas mereka berdua sedang berbohong, tidak mungkin kelilipan tapi pegangan tangan. Berarti hubungan mereka kini lebih dari sekedar teman, dalam hatinya.
“Ya sud
Mata Arini langsung terbelalak saat bibir Farhan membentur bibirnya. Hangat bagi Farhan, menyakitkan untuk Arini. Lelaki itu terkejut lalu bangkit dari tempat tidur. Dia melihat ada luka di bibir Arini. Benturan yang keras menyebabkan bibirnya terkena gigi. “Ish! Farhaaan!” kesal Arini sambil memegangi bibirnya yang terasa perih. Farhan menyeringai, dia tidak sengaja melukai Arini. Tangannya mengatup memohon ampun. “Rin, aku minta maaf, tidak sengaja,” sesalnya. “Pergi!” Arini mengacungkan kepalan tangannya. Dia ingin Farhan segera pergi dari kamarnya. Farhan tersenyum malu sekaligus merasa bersalah. Ciuman pertamanya tidak terduga. Dilakukan dengan cara yang aneh dan meninggalkan bekas. Farhan memegangi dadanya yang terus berdebar. 'Seharusnya ini dilakukan dengan cara yang lebih manis lagi,' sesalnya dalam hati. * Keesokan harinya,  
Terbang, Arini merasakan tubuhnya seperti melayang di udara. Matanya yang tadi masih terpejam kini terbuka dengan perlahan. Sekilas dia melihat sosok Erik, dia mengedipkan kelopak matany berkali-kali untuk memastikan jika itu tidak mungkin terjadi. Arini kemudian mendapatkan penglihatannya dengan jelas. Lelaki yang dia lihat bukanlah Erik melainkan Farhan. Bola mata Arini lalu berputar, melirik ke kiri, dia tidak sedang berjalan. Ternyata dia sedang digendong oleh Farhan. Arini berpura-pura masih menutup mata. Dia ingin tahu, Farhan akan membawanya ke mana. Terdengar suara pintu berderit. “Farhan, Rini kenapa kamu gendong?” tanya Ayah Arini dengan khawatir. “Dia ketiduran di mobil. Farhan bantu gendong saja.” Farhan meneruskan langkahnya menuju kamar gadis itu. “Ya sudah, Bapak mau ke dalam dulu ya.” Ayah Arini masuk ke kamarnya. &n
“Ya ampun, Neng. Kenapa nyosor gitu sama Abah, Neng? Itu orang ganteng ada di belakang,” kelakar Kakek tua itu sambil menggelengkan kepalanya. Tio lekas menarik Arini. Wajahnya tidak dapat berbohong, dia ingin sekali tertawa saat Kakek tua itu berkata seperti itu. Arini melihat Tio ingin menertawakannya akhirnya menegur lelaki itu. “Ketawa aja sampe puas, iseng bener nolongnya sampai aku hampir berciuman dengan bandot tua,” sindir Arini sambil mencubit perut Tio pelan. “Hahaha, maaf ya.” Tio Terkekeh. “Untung kamu ganteng jadi aku maafin,” jawab Arini sambil mencolek pipi Tio. Dia hanya bermaksud untuk berkelakar saja. “Rin, seminggu atau bahkan satu bulan ke depan kita nggak bisa ketemu,” kata Tio sambil memegang jemari Arini. “Kenapa?” “Aku harus mengedit film tersebut, dan juga mengirimkan na
Kedua orang tua Arini lekas menyambut kehadiran tamunya itu. Mereka bersalaman seperti sudah mengenal satu sama lain. Setelah selesai membuatkan minuman, Arini mulai menyajikannya pada tamu itu. Ternyata di sana sudah ada Farhan yang duduk di samping kedua tamunya. Dengan santai, Arini terus melaju. Dia memberi Farhan kode untuk mengikutinya. Arini mengajak Farhan ke kamarnya. “Rin, kamu kenapa?” Farhan duduk di tempat tidur. “Kamu kenal dengan mereka?” tanya Arini penasaran. “Memangnya kenapa?” Farhan memastikan. “Ah sudahlah,” kesal Arini sambil mendorong Farhan ke luar kamar.
Sudah jam Sembilan malam, Arini masih tidak bisa memejamkan mata. Tio tidak mengiriminya pesan, padahal awalnya dia mengajak Arini untuk bertemu. Penasaran, Arini menghubungi Tio. Dia ingin tahu, mengapa lelaki itu urung menemuinya. “Halo Tio,” “Iya Rin,” “Bisa kita ketemu?” “Kapan?” “Sekarang, aku tunggu di depan gerbang rumah kamu,” “Iya, tunggu sebentar,” Walau hatinya masih terluka, Tio memaksakan diri untuk ke luar dari kamarnya. Rumahnya sangat sepi. Cintami masih belum pulang dari rumah sakit. Tidak lama Tio pun sampai di pintu gerbang. Dia melihat Arini sudah berdiri sambil memeluk tubuhnya sendiri. “Arini, sejak kapan kamu berdiri di sini?” tanya Tio. Dia melepaskan jaketnya lalu menutupi tubuh Arini dengan jaket miliknya. “Tio aku nggak apa-apa, jaketnya kamu pakai saja,” tolak Arini. “Apa k
Semalam suntuk Arini sulit tidur. Di kepalanya terus beredar wajah Tio saat menciumnya. Mengapa lelaki itu mencuri ciuman pertamanya padahal mereka bukan pasangan kekasih. Terlebih lagi, baru tadi sore dia menerima lamaran Farhan. Pagi sekali, Ibu Arini sudah mengoceh saat melihat anaknya masih di dalam kamar. Air satu ember sudah dia siapkan untuk menyiram putri tidur yang lebih mirip dengan kebo. Pada saat dia akan membuka pintu kamarnya, ternyata Arini tidak ada di tempat tidur. Arini memilih jalan-jalan ke tepi sawah. Dia duduk di pematang sawah yang padinya sudah mulai menguning. Dari kejauhan terlihat sosok Farhan yang sudah memakai pakaian dinas. ‘Ya Tuhan, sahabatku ini kelak akan menjadi suamiku. Lalu mengapa hati ini tidak rela? Aku malah menginginkan lelaki lain,’ batin Arini. Lelaki itu menemukan Arini yang tengah duduk santai dengan mata yang merah.
“Farhan!” tegur Ibu Arini yang terkejut melihat calon mantunya akan melakukan sesuatu pada anaknya. Farhan langsung membelalakkan matanya. Keringat dingin terlihat jelas di dahinya. Bibirnya bergetar karena dia dipergoki akan mencium calon istrinya. ‘Arrrggghhh, kenapa aku menjadi khilaf begini,’ rutuknya. “Ma-maaf Bu,” sesal Farhan. Dia menundukkan kepala sambil beranjak dari tempat tidur Arini. Ibu Arini berdiri di lubang pintu sambil berkacak pinggang. Berulang kali dia menggelengkan kepala. Seharusnya Farhan tidak melakukan itu pada anaknya. “Ck ckck, Farhan. Seharusnya kamu tidak boleh seperti itu. Sabar, sebentar lagi kan kalian menikah. Setelah menikah, kamu mau lakukan apa saja dengan Arini bebas,” nasihat Ibu Arini. Farhan menganggukkan kepala. Dia meraih jemai ibu Arini kemudian salam. Dia pamit untuk pergi bekerja. Dalam hati don
“Alah, Umi tahu kamu itu Iblis licik. Umi sudah siapkan Aisyah calon yang baik untuk Farhan. Bukan kamu. Cuma Farhan maksa, Umi yakin dia dipaksa oleh kamu buat menikahinya. Jangan-jangan kamu sudah hamil anak lelaki lain lagi,” fitnah Ibu Farhan tanpa malu. “Astaga! Fitnah itu Bu.” Arini mengurut dadanya. “Umi tahu, kamu pasti merayu anak Umi dengan tubuh kamu itu agar anak Umi luluh,” tambahnya dengan sarkas. “Katanya Ibu kaya, kenapa anaknya mau nikah sama yang kere kayak saya aja Ibu nggak setuju? Takut jadi kere kayak saya?” balas Arini menahan diri.