Nama aslinya adalah Sasmitha Maharani. Tapi ia selalu mengenalkan dirinya sebagai Smith. Bukan Sas, Mitha, atau Rani.
Entah mengapa ia sengaja tidak memilih nama panggilan yang lebih menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang perempuan.
Bukan hanya nama panggilan, tingkah lakunya juga tidak mencerminkan bahwa dirinya memang perempuan.
Jika dulu dirinya masih terpaksa tampak sebagai perempuan karena diwajibkan untuk mengenakan rok di sekolah, kini ia bebas membuang segala rok yang terpaksa ia miliki.
Lebih dari itu, mulai detik ini, Smith juga bebas menentukan pakaian seperti apa yang akan ia kenakan di kampus.
Praak!
“Apa matamu sudah rabun? Turun dan minta maaf pada nenek ini sekarang juga! Kalau tidak, aku akan meneriakimu sebagai sopir cabul!” bentak Smith usai memukul sebuah angkot hijau yang ia tumpangi.
Suara Smith yang sangat lantang dan meledak-ledak, dengan cepat menarik perhatian orang-orang. Jadi, secara otomatis ancamannya itu telah terdengar oleh banyak orang di sekitarnya.
Maka, kini para tukang ojek yang sedang berbincang di sebuah warung, juga orang-orang yang sedang berjalan melewati angkot hijau itu, menatap tajam ke arah sang sopir.
“Nenek, maafkan saya. Lain kali saya akan lebih berhati-hati,” ujar sang sopir yang masih muda, yang memilih turun untuk meminta maaf, ketimbang terus menerima tatapan orang-orang yang sepertinya sudah bernafsu untuk menghajarnya.
Sang sopir pun bisa bernapas lega ketika si nenek mengangguk memberi maaf. Dan satu per satu tatapan orang-orang mulai beralih darinya.
“Bagus, bagus. Sekarang, kembalikan uang nenek ini.”
“Apa? Janga ....”
“Stop! Tutup mulutmu! Jika tadi nenek ini sampai jatuh karena kau menginjak gas sebelum nenek benar-benar turun, kau bisa masuk penjara dengan pasal kelalaian. Jadi, kembalikan uangnya sebagai kompensasi dan kau akan selamat dari tuntutan,” ujar Smith sambil menyodorkan tangannya.
Sang sopir yang telah sangat kesal, terpaksa merogoh uang dari sakunya dan menuruti ucapan Smith.
Siapakah sebenarnya nenek yang dibela Smith sampai segitunya? Apakah itu nenek kandungnya, nenek angkat, atau nenek pungut?
Tidak! Nenek itu bukan siapa-siapa Smith. Bahkan mereka baru bertemu di angkot itu.
Tapi mengapa Smith menjadi begitu sewot saat sopir angkot hampir membuat sang nenek celaka?
Ya, begitulah Smith. Seorang gadis yang saking galaknya sampai-sampai mendapat julukan Singa Jantan dari teman-teman satu kelasnya. Julukan yang tidak pernah berubah sejak sekolah dasar hingga di jenjang universitas.
Smith cenderung diam dan tidak banyak bicara. Tapi, sekali saja ia merasa terusik, entah oleh tingkah orang yang menggaggunya atau melakukan hal yang salah di depan matanya, gadis itu akan sangat sulit untuk berhenti berbicara.
Itu sebabnya, Smith lebih sering terlihat sendiri saja. Menghabiskan waktuya di antara buku-buku di perpustakaan, atau tidur di dalam kelas saat perkuliahan telah berakhir.
Jika ia tidak ditemukan di dua tempat itu, sudah pasti Smith tengah duduk di beranda lantai dua kampusnya, duduk persis di pinggir atap. Hanya diam mengamati orang-orang yang tertangkap oleh matanya.
Selain karena sengaja menghindari segala percekcokan yang sangat mungkin akan terjadi dengan orang di sekitarnya, Smith tidak memiliki seseorang yang bisa disebut sahabat. Dari sekian banyak teman satu kelasnya, semua jaga jarak untuk tidak terlibat masalah dengan gadis itu.
Pasalnya, saat masa pengenalan lingkungan kampus dulu, Smith menjadi sangat tenar karena berani meludah pada kakak senior yang paling ditakuti oleh para mahasiswa baru.
Tidak ada yang tahu duduk perkaranya secara jelas. Kabar yang beredar hanya memojokkan Smith saja. Dan kabar itu semakin fiktif lantaran banyaknya tambahan-tambahan pendapat.
Tapi Smith tidak berkecil hati atau pusing memikirkan hal itu. Smith tidak peduli dengan penilaian orang lain padanya. Yang terpenting baginya adalah ia tidak menganggu atau menyusahkan orang lain.
“Apa aku boleh meminjam penamu?” tanya seorang lelaki yang wajahnya belum pernah terlihat oleh mata Smith.
“Aku lupa tidak membawa pena. Jadi, jika kau tidak keberatan, aku ingin meminjam pena milikmu itu sebentar untuk mengisi formulir ini,” kata lelaki itu lagi sambil menunjuk pena biru yang ada di tangan kanan Smith.
Smith yang melihat lelaki itu dengan wajah dingin tanpa senyum, lalu berdiri dan menyodorkan penanya, tanpa berbicara satu patah kata pun.
“Terima ....”
Belum sampai lelaki itu menuntaskan ucapan terima kasihnya, Smith telah pergi masih tanpa mengatakan apa-apa. Tentu saja membuat lelaki yang bernama Janu Malik itu keheranan.
***
Kelas Apresiasi Prosa Fiksi hampir dimulai. Para mahasiswa telah banyak yang duduk di bangku dalam kelas. Tanpa terkecuali Janu, yang terlihat sibuk menjabat tangan orang-orang yang akan menjadi teman satu kelasnya.
Janu memang baru masuk setelah perkuliahan berjalan hampir dua minggu. Karena suatu urusan yang mendesak, membuat keberangkatan Janu ke Bandung jadi tertunda. Itu sebabnya, di kelas tersebut, Janu belum mengenal satu orang pun.
Termasuk seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kelas bersamaan dengan masuknya dosen, yang sebenarnya telah ia kenal wajahnya, tapi tidak ia ketahui namanya.
“Namanya Smith,” kata seorang pemuda yang duduk di samping Janu karena mendapati Janu sedikit melongo terpaku melihat gadis itu.
“Siapa?” tanya Janu untuk meyakinkan bahwa nama yang ia dengar tidak salah.
“Smith. Nama lengkapnya Sasmitha Maharani. Tapi dia lebih suka dipanggil Smith. Cantik memang. Tapi aku sarankan, jangan dekati dia atau kau akan terlibat dalam masalah,” ujar pemuda itu lagi membuat Janu menoleh, lagi-lagi karena heran.
“Dia sangat aneh. Aku pernah melihatnya membentak-bentak seorang sopir angkot tanpa sebab yang jelas. Hiii, sangat menakutkan. Dia juga seperti orang bisu di kelas. Diam terus. Tidak pernah berbicara pada kami. Kalau diajak bicara, dia hanya diam dan melihat saja tanpa mengatakan apa-apa. Kadang hanya mengangguk atau menggeleng. Paling banter menjawab ‘Ya’, ‘Tidak’, ‘Mungkin’. Tingkahnya persis dengan singa jantan. Apalagi tatapan matanya, bisa membuat jantungmu copot.”
Pemuda itu terus mengoceh tanpa diminta. Dan Janu terus menatap Smith yang duduk di pojok kanan, bangku paling akhir. Rasa ingin tahunya pada Smith justru semakin besar setelah mendengar cerita tidak biasa tentang gadis itu.
“Apa semua orang memanggilnya Smith?” tanya Janu yang merasa nama panggilan itu kurang sesuai untuk seorang gadis. Ia sendiri jika diminta untuk memilih, akan memanggil gadis itu dengan sebutan Sas. Terdengar lebih manis.
“Jika kau memanggilnya dengan sebutan selain Smith, sampai pita suaramu putus pun dia tidak akan menyahut. Orang dipanggil Smith saja, dia hanya akan menatap tanpa menyahut. Pokoknya mengerikan!"
Janu tersenyum. Entah mengapa ia merasa Smith tidak seperti apa yang dikatakan teman di sampingnya.
Suasana di kantin sangat ramai. Meja-meja telah penuh. Dari sekian banyak gerai yang menyediakan makanan yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang terlihat sepi.Hal itu sangat berbeda dengan suasana perpustakaan yang tampak lengang. Tidak banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di sana, hanya segelintir saja. Itupun tidak kesemuanya benar-benar berniat untuk membaca buku atau mencari referensi tertentu.Ada saja mahasiswa yang duduk lesehan di pojokan sekadar untuk menghabiskan waktu kosong dengan tidur di dalam perpustakaan. Suasana yang tenang dengan suhu ruangan yang dingin, sungguh lokasi yang pas untuk terlelap.Tidak sedikit pula yang hanya berkumpul dan menggosip, sambil melahap kudapan yang dibawa secara sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat dari pantauan penjaga perpustakaan.Pasalnya, sepinya perpustakaan sudah menjadi budaya yang sangat lumrah terjadi. Selain karena penjaga perpustakaan
“Bangs*t! Berhenti menelponku!”Smith mematikan telepon dengan wajah geram. Ia menyisir ke belakang rambutnya yang panjang dan selalu terurai dengan jari-jari kanannya. Memunculkan terbentuknya sebuah belahan rambut tepat di tengah-tengah kepalanya.Smith bahkan juga menghentakkan kaki untuk melampiaskan kejengkelannya yang telah sampai di ubun-ubun.“Orang ini benar-benar bisa membuatku gila. Apa dia tidak bosan mendengar umpatanku setiap saat? Haaah, menyebalkan sekali!” ujar Smith dengan napas yang masih tersengal menahan amarah.Gadis itu berjalan melewati pos satpam fakultas masih dengan menggerutu. Membuat Janu yang tadi melewatinya dan kini tengah berdiri di tempat parkir, tak jauh dari pos satpam, menjadi bertanya-tanya, kepada siapa Smith berbicara dengan begitu kasar?“Nona Smith!” teriak seorang lelaki yang berusia sekitar 42 tahun dengan baju berwarna putih lengkap dengan topi, peluit, d
Hening sempat menyekat kelas sebelum akhirnya menjadi begitu bergemuruh. Apa yang diucapkan Smith tidak pernah terduga sebelumnya. Hal itu secara otomatis memperluas pemahaman teman-temannya tentang apa yang diterangkan Pak Jack.“Bagus Smith. Sepertinya kau telah memperhatikan Janu jauh sebelum Bapak memintanya. Hehehe.”Suara tawa Pak Jack lekas diikuti oleh gelak tawa teman-teman Smith satu kelas. Tapi suara tawa itu segera terhenti saat Smith mengangkat wajahnya dan memandang temannya satu per satu dengan tatapan khas singa jantan.Tapi hal berbeda terlihat di wajah Janu. Pemuda itu masih terpaku tak jelas, entah memandang apa, dengan kedua alis yang hampir menyatu.“Janu, sekarang giliranmu,” suara Pak Jack mengejutkan Janu.Pemuda itu menarik napas panjang. Lalu membuangnya secara perlahan sambil memejamkan mata, seolah tidak hanya melepaskan sisa ud
Ketika Smith turun dari ojek yang mengantarnya pulang, ada sebuah mobil mewah yang juga berhenti di depan gerbang rumahnya.Smith sangat mengenal mobil itu. Maka, ia yang baru saja merogoh saku bajunya untuk membayar jasa tukang ojek, dengan terburu-buru kembali mengambil helm yang diletakkan di atas kaca spion. Smith memakai helm itu lagi sembari duduk di belakang tukang ojek yang masih berada di atas motor bebek."Berhenti atau saya laporkan Anda ke polisi!" teriak seorang lelaki paruh baya yang baru keluar dari dalam mobil. Membuat tukang ojek yang telah menyalakan mesin motornya menjadi gugup dan menelan ludahnya.Lelaki itu tampak gagah dengan setelan jas bermerk berwarna hitam. Ia juga mengenakan sepatu hitam yang tersemir sempurna tanpa terlihat sedikitpun debu."Siapa Nona sebenarnya? Apa Nona ini pencuri, kriminal, pesakitan, atau apa?" tanya tukang ojek berbisik-bisik sambil sedikit menoleh ke belakang. Ke
Smith kecil tidak tahu harus berbuat apa. Ia jelas tidak tega melihat ibunya diperlakukan dengan begitu buruk. Tapi, ia juga takut pada ayahnya.Smith belum pernah melihat Hendry demikian menyeramkan. Selama ini, perlakuan kasar Hendry terjadi di belakang Smith. Ketika di hadapan putrinya, Hendry selalu berusaha menahan amarahnya. Ia bersikap manis kepada sang istri.Kalaupun Hendry dan Lisa berselisih di depan putrinya, Hendry tidak sampai main tangan. Selain itu, salah satu di antara mereka biasanya akan mengambil jeda dan meminta Smith untuk lekas masuk ke dalam kamarnya.Dan dari sekian banyak kesalahan yang diperbuat Hendry, hal yang membuat Smith merasa mustahil untuk bisa memaafkan sang ayah adalah karena pengkhianatan yang dilakukan pada keluarga.Saat itu Smith menemani ibunya untuk check up ke dokter. Sang ibu yang mengidap hipertensi sudah merasa tidak
Smith-lah orang pertama yang menemukan Lisa pingsan tidak berdaya.Ketika itu Smith baru saja pulang sekolah. Seperti biasa, ia akan duduk sebentar di ruang tamu, menunggu jus segar buatan pembantunya. Ia merebahkan sejenak tubuhnya ke sofa sambil menutup mata.Smith berusaha untuk menenangkan diri dan menanggalkan segala pikiran yang mengganggunya selama di sekolah. Tentu saja soal ayahnya yang tempo hari terlihat berbahagia bersama perempuan lain di taman kota.Smith tidak mau ibunya sampai curiga pada sikapnya lagi. Ia akan berusaha untuk bersikap ceria dan energik sebagaimana biasanya, melupakan pemandangan buruk yang dipertontonkan sang ayah di tempat umum, yang mencolok kedua matanya dan menyakiti perasaannya."Bi Ipah, bagaimana keadaan Ibu hari ini?" tanya Smith sambil melepas sepatunya."Alhamdulillah Non, sepertinya Nyonya sudah lebih baik lagi. Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Bi
Sudah tiga hari Smith dan ibunya berada di rumah. Tapi Hendry tidak juga datang atau sekadar menelpon.Walau Smith tidak pernah lagi menghubungi ayahnya, tapi ia selalu bersemangat melihat ponselnya jika berdering ada panggilan masuk, ataupun berbunyi ketika sebuah pesan diterima. Dan Smith selalu kecewa karena yang ia harapkan tidak juga memberi atau menanya kabar."Sas, ibu ingin buang air kecil," ujar Lisa lirih. Tapi mengagetkan Smith yang melamun memikirkan ayahnya."Iya, Bu."Smith selalu memasang senyum semanis-manisnya. Ia akan sangat sabar dan telaten merawat sang ibu.Bagi Smith, bersama ibunya adalah kebahagiaan tidak ternilai. Mau seperti apapun lelahnya mengurusi segala keperluan dan kebutuhan sang ibu, Smith tidak pernah mengeluh atau sekadar menunjukkan wajah capai.Tapi Lisa, tentu saja ia merasa kasihan pada putrinya. Smith tidak pernah tidur nyenyak di malam hari k
"Non, apa Non sudah tidur?" suara Bibi Ipah yang disertai bunyi ketukan pintu mengagetkan Smith yang tertidur di lantai. Gadis itu menangis sampai ketiduran.Smith duduk dan mengusap wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya."Sebentar, Bi."Smith berdiri dan menarik napas panjang. Lalu berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan mengembangkan senyum."Ada apa Bi Ipah?" tanya Smith setelah membuka pintu."Nona belum makan malam. Nanti perut Nona bisa sakit," ujar Bibi Ipah sambil meletakkan makanan di meja.Smith melihat jam dinding di kamarnya. Jarum yang paling pendek berada di antara angka 10 dan 11.Smith tersenyum haru. Bibi Ipah tidak pernah berubah, selalu perhatian dan peduli padanya. Smith pun tetap sama, selalu membuat perempuan yang sudah tua itu menjadi sangat berat pekerjaannya karena dirinya."Segera makan ya,