Tiga minggu kemudian, Dante sudah menjalani hari-hari seperti sebelumnya, ia harus pergi ke kantor untuk melakukan tugasnya.
Irin pun berniat untuk pergi, namun sebelum itu, ia menghubungi Dante dan meminta izin padanya.
Sebelum Dante membalas chat Irin, Irin sudah di jemput oleh Alex.
Alex adalah orang kepercayaan ayah Irin, Alex pun adalah sahabat kecil Irin.
Hanya saja, Alex adalah anak dari keluarga biasa saja.
"Aku nggak peduli kamu nggak balas, aku harus pergi." Gumam Irin sambil menatap ponselnya.
Irin pun berjalan keluar, dan mendapati Alex sudah berdiri dan bersandar di mobilnya.
"Alex,"
"Hai, Nona manis… silahkan masuk," ucap Alex yang kini mulai membukakan pintu mobil untuk Irin.
"Terimakasih, pengawal…"
"Ck, pangeran gitu kek, masa dunia akting sama dunia nyata sama aja, aku jadi pengawal,"
Irin pun terbahak mendengar jawaban kesal Alex.
"Udah ih, buruan… nanti Rexa marahin aku lagi,"
Alex pun terkekeh,
"Iya, iya… ayo," Alex mulai menyalakan mesin mobil dan mulai melajukannya.
Di sisi lain, Rexa sudah ngedumel karena Irin belum juga datang.
"Dasar kampret, lama banget dia kesininya."
Tak lama kemudian pintu terbuka lebar dan menampilkan wajah cerah Irin.
Irin tengah tersenyum lebar pada Rexa. Membuat Rexa memutar bola mata jengah.
"Ih, jangan marah dong. Makin jelek nanti,"
"Astaga, ganteng gini di bilang jelek? Nggak salah lo?"
Irin pun terkekeh, ia duduk di kursi hadapan Rexa berada.
"Kesini sama Alex, kan?"
Irin mengangguk, ia pun menerima sodoran tiga lembar kertas dari Rexa.
"Ini hasilnya ya?"
"Iya, gimana menurut kamu? Perkembangan waktu itu bagus, dan yah..aku berharap kedepannya semakin membaik,"
Irin tersenyum tipis,
"Xa, jadwal kita kemana hari ini?"
"Kita harus ke tempat yang bisa buat kamu seneng, kita ke mall… shopping, makan, nonton terus main game, Atau __ "
"Ah, aku tau…" Irin tersenyum miring.
"Kita ke pergi ke cafe bakso pelakor yuk?"
"Hah? Bakso pedas yang lagi booming itu?"
Irin pun mengangguk semangat,
"Ayo, Xa.."
"Nggak, nggak. Aku menolak tegas,"
"Ih, katanya mau buat aku seneng? Masa kamu howakin aku sih?"
Rexa pun terkekeh, apaan howak?
"Ya udah, iya, tapi jangan yang pelakor belinya."
"Yah, Rexa nggak seru. Aku pulang aja deh,"
"Eh?"
"Males," ucap Irin yang pura-pura ngambek.
"Ya udah, ayo… gue takut di depak bokap lo,"
Irin pun terkekeh, dia menarik lengan Rexa dan menggamitnya mesra.
Siapapun yang melihat mereka pasti akan iri, karena Irin yang benar-benar seperti wanita idaman, cantik, penampilan sopan dan juga ramah.
Dan Rexa, dia adalah laki-laki yang baik dan tampan.
Namun, jauh lebih tampan Dante menurut Irin.
Mereka pun masuk ke dalam mobil, Rexa melajukan mobilnya ke tempat yang Irin inginkan.
Sedangkan di tempat lain, Dante sudah di datangi oleh Darius.
Darius ingin memberi peringatan pada putra keduanya agar ia bisa bersikap baik pada Irin.
"Bersikap baiklah pada istrimu, Dante. Jangan mengecewakan ayah dan ibu." Ucap Darius menatap serius pada Dante.
Dante yang sedari tadi sibuk dengan berkasnya, kini ia pun terhenti.
Menatap sang ayah dengan raut tak terima.
"Aku membencinya, jadi jangan paksa aku untuk bersikap baik padanya,"
"Hoh, baiklah. Kalau begitu jelaskan, jelaskan apa yang membuatmu benci pada Irin?"
Dante tampak gugup dengan pertanyaan penuh selidik dari sang ayah.
"I-itu, itu bukan urusan ayah. Ayah tau sendiri, jika Irin adalah mantan pacar Dante."
"Ah, ayah pikir kau membuat kesalahan besar padanya." Sindir Darius yang membuat Dante benar-benar tampak gugup.
"Bukan aku, tapi dia. Dia yang buat kesalahan besar,"
Darius mengangguk kecil,
"Baiklah. Tapi, setidaknya hargai usahanya. Kalau kau memang tidak menyukainya, maka biarkan dia bebas, Dante."
"Bebas? Apa maksudnya?"
"Huh, dia itu istrimu. Jadi pikirkanlah, sebelum kamu menyesal."
"Ck, ya, ya, ya… serah ayah aja, aku sibuk!"
Darius hanya geleng kepala melihat kelakuan putra keduanya.
Dia yang biasanya patuh pada kedua orang tuanya, kini berubah menjadi pembangkang dan kejam pada istrinya sendiri.
Darius pun keluar dari ruang kerja putranya tanpa sepatah katapun.
Dante meletakkan bolpoin di tangannya, ia pun meraih ponsel dan menggeser layar.
Ia membuka pesan chat dan yang ternyata itu dari Irin.
Irin meminta izin padanya untuk pergi.
Dante meletakkan kembali ponselnya saat ia telah membaca pesan chat dari Irin.
"Karena kesalahanmu, aku benar-benar sangat membencimu, Irin." Gumam Dante lirih,
"Yakin, benci?"
Dante menaikkan pandangan saat ia mendengar suara orang lain di sana.
Dante menghela napas kasar, ternyata itu adalah Regio --- adik sepupunya.
"Ya, seratus persen yakin,"
"Lo sanggup liat Irin nikah sama cowok lain?"
Dante hanya terdiam, apa benar ia sanggup jika Irin akan menikah dengan laki-laki lain?
Entahlah, Dante tidak tahu. Karena untuk saat ini, ia benar-benar sangat muak dan membenci Irin.
"Gue nggak peduli dia sama orang lain, yang jelas dia udah buat gue benar-benar kecewa dan benci,"
Regio mengangguk paham,
Lalu ia membuka layar ponselnya, disana Regio membuka pesan chat yang berisi foto Irin dengan dua laki-laki disana.
Regio memperlihatkan foto itu pada Dante. Dante langsung mengepalkan tangannya kuat, di sana, Irin tengah duduk bersama tiga orang pria sekaligus, dan yang membuatnya menatap jengkel tak percaya adalah ada Darren disana, Darren sang kakak iparnya.
"Nggak penting,"
Regio terkekeh mendengar jawaban yang ketus dari Dante.
"Mending lo keluar gih, gue sibuk."
"Hm, gue mau nyusul mereka. Lo mau ikut?"
Dante sedikit terkejut, namun ia berhasil menutupi rasa keterkejutannya.
"Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Dante, Regio hanya mengulum senyum.
Ia tahu, jika Dante masih memiliki rasa pada Irin.
Regio tahu, penyebab hubungan Dante dan Irin kandas saat itu.
Hanya saja, Regio tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, sama seperti Dante, yang seolah tak mengetahui apapun.
"Ini udah takdir, Dan. Lo sama dia udah nikah, jadi nggak usah nutupi lagi rasa suka lo,"
"Rasa suka gue sama dia udah ketutup sama rasa benci, lo nggak tau apa-apa. Jadi mending lo diem,"
"Ah, okay. Gue nggak bakal ikut campur, sebagai sodara lo, gue cuma mau kasih saran. Jangan sampe lo nyesel nantinya,"
"Lo sama aja kaya orang tua, tadi bokap gue dan sekarang lo. Mending gue bawa pulang aja nih tugas kantor, "
Dante benar-benar terlihat mengemasi barang-barang miliknya dan juga berkas-berkas penting yang sedang ia cek.
"Wow, gue pergi. Kantor butuh lo,"
"Hm, hust.. hust.." Dante pun akhirnya bernapas lega, ia pun berjalan menuju pintu saat Regio telah keluar dari ruang kerjanya.
Dante mengunci pintu, ia ingin fokus hanya pada kerjaan saat ini.
…
Tbc
Dante mencium aroma masakan dari dapur, ia pun mengikuti aroma wangi bumbu, dan ia terdiam saat melihat ibunya dan istrinya sedang masak berdua.Penuh dengan canda tawa, Dante menatap mereka dengan tatapan senang."Andai aja lo nggak buat gue benci, gue bakal sayang banget sama lo," gumam Dante melihat Irin yang sedang tertawa."Dante?" Panggil ibunya membuat Dante tersadar."Ibu?""Sejak kapan kamu di situ?""Ah, baru… ibu kapan datang?""Sejak tengah hari ibu udah di sini,""Oh ya? Ibu sendirian di sini sejak siang?""Kan ada menantu ibu yang cantik ini, masa kamu lupa?" Irin tersipu mendengar pujian dari ibu mertuanya."Bukannya Irin pergi?""Aku pergi cuma sebentar aja kok," jawab Irin membuat Dante sedikit bingung."Ya udah
"Dante, aku nggak bisa tidur…" lirih Irin saat ia sudah di ranjang bersama Dante."Tinggal tidur aja, pejamin mata lo. Nggak usah ganggu gue, gue ngantuk.."Irin menahan tangisnya, ia benar-benar merasa sangat lelah.Ia sudah mencoba untuk tidur, namun tak bisa.Irin menatap jam di ponselnya, dan sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.Irin pun memilih bangkit, ia berjalan keluar dari kamar Dante.Ia merasa gelisah, ia akan sulit tidur jika tak meminum obat tidurnya."A-alya.." lirih Irin, ia pun tersentak saat tangan besar menepuk bahunya.Irin mengatur napasnya agar stabil,"It's okay, Rin.. semua baik-baik aja, hm?" Ucapnya dan perlahan Irin pun merasa rileks."Kak Darren," Darren pun tersenyum."Kenapa belum tidur?""A-
Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur."Kamu kok ketawa sih?""Kamu kaya kucing baru bangun tidur,""Ish," Irin mencebikkan bibirnya."Turun, udah sampe nih,"Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin."Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin gira
Dante mencium aroma masakan gosong dari dapur, ia mulai membuka matanya dan berjalan ke arah dapur."Irin?""D-dante,""Kenapa?""M-maaf, tadi aku niatnya mau bikin sarapan buat kamu, tapi aku lupa,""Lupa?""Lupa kalo aku nggak bisa masak," cicit Irin pelan yang membuat Dante terbahak."Udah, udah. Nanti makan di kantor aja,""Eh, terus aku gimana?""Kamu ya urus sendiri,""Eh?" Irin menatap Dante, memerjapkan matanya pelan.Dante pun terkekeh dan mencubit hidung Irin,"Aw, sakit…""Bercanda,""Ah, kirain kamu sengaja mau bikin aku mati kelaparan,""Ya, kalo bisa.""Huh?"Dante tersenyum miring,"Mendingan kamu siap-siap, ikut aku ke kantor.""Eh, beneran?"
Dante membawa Irin ke sebuah mall."Dante, kenapa kita kesini?""Ya, kamu harus ikut aku nanti malam,""Eh, kemana?""Aku mendapatkan undangan pernikahan dari kolega ku,""Ho, baiklah.""Kamu cari dress sesuai keinginan mu dan setelah itu kita ke salon,""Kenapa ke salon?""Kamu nggak ada make up, selama ini aku cuma liat parfum, dan polesan bibir aja,"Irin tersenyum tipis,"Aku nggak suka make up sekarang,""Kenapa? Ada apa?""Udah deh, nggak usah banyak tanya. Ayo, cepat cari dress buat aku.""Kamu cari yang gimana?""Hm, lengan panjang dan terusan panjang.""Ini?"Irin menoleh dan menatap Dante yang sudah menegang dress terusan panjang berwarna peach, yang di hiasi oleh berlian-berlian kecil dibagika
malam ini, dante tidur dengan gelisah.rasa penasaran terus saja menghantuinyadilihatnya irin yang sudah terlelap tenang. dante mengusap lembut kepala iridante menarik lengannya yang di jadikan bantalan oleh irin, lalu berjalan keluar dan menuju kamar khusus untuk minuman alkohol koleksinydante pun mengambil satu botol minuman yang beralkohol sedangia menenggak langsung hingga tandas setengah boto"sialan, gara-gara dia gue jadi nggak bisa tidur"gue benci berpura-pura, gue benci sama lo, ini demi nyokap gue, demi nyokap gue, arghdante mengusap wajahnya kasadante terpekik saat mendengar suara irin berteriak"hei, berhenti… tolong dengarkan aku, hei"aku mohon, hiks… berhenti, dengarkan penjelasan dariku, hiks… hiks."rexa, kejar dia, alex kejar dia hiks… hiks."berhenti, berhenti,
Sesuai rencana, Irin pun mengenakan long dress berlengan panjang. Sebenarnya Dante memiliki rasa penasaran tinggi, mengapa Irin memakai dress yang selalu tertutup saat ini.Dante pun teringat bekas luka di bahu dan punggung Irin.Kini, mereka telah sampai di rumah kedua orang tua Irin.Mereka berencana untuk pergi bersama."Ayah, bunda udah siap?""Udah dong, sayang… eh, kok kamu pakai dress ini lagi?""Maaf, Bun, Irin nggak mau aku ajak pergi buat cari dress lagi,"Irin pun terkekeh,"Maaf ya, dress ini bagus. Aku suka,"Dan, mereka pun mengerti dengan keinginan Irin.Dante pun membukakan pintu mobil untuk Irin. Ayah dan ibu mertuanya menggunakan mobil lain, yang dikemudikan oleh supir."Dante, kamu nggak capek ya nyetir sendiri?"&nbs
Dante pun sampai di kantornya dan langsung mendapati beberapa berkas menumpuk di mejanya.Berkas dari sang kakak yang ingin menjalin kerjasama dengannya.Dengan seenaknya, sang kakak malah ingin Dante menandatangani surat kerjasama di enam cabang cafe miliknya.Dante pikir, Darren hanya memintanya untuk di satu tempat, nyatanya justru enamlah yang ingin di jalin kerjasamanya."Ini sih pemerasan namanya. Sialan banget," gerutu Dante yang melihat berkas di hadapannya.Lalu