Share

Chapter 9

Aku terbangun dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menembus ke dalam kamar melalui jendela, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya pada retina. Aku terdiam menatap langit-langit kamar tanpa nuansa yang terasa hampa. Kosong. Seolah-olah tidak ada nyawa sama sekali yang melingkupinya. Seperti jiwaku yang terombang-ambing dalam fana dan tidak di mana-mana.

Rasa berat di kepalaku kian mengambang, membuat bayangan pertengkaran—atau lebih tepatnya luapan kemarahan yang tidak tersalurkan secara langsung pada target sesungguhnya—itu meledak. Kakiku berusaha menapak, menyokong tubuh ringkih yang anehnya masih kuat untuk dipaksa kabur dan bekerja tanpa henti. Kuperhatikan sekeliling. Ini bukan kamarku. Tidak ada rak buku, air purifier, dan kaca besar yang biasa teronggok di sudut ruangan. Ruangan ini hanya terisi oleh tempat tidur, nakas, lemari, dan sebuah meja rias tepat berada di dekat pintu.

Aku hampir lupa bahwa aku tidak lagi di rumah itu. Aku sudah pergi … ke tempat tersembunyi yang tidak akan ada seorang pun tahu aku di sini selain Kenan dan Ester.

Kuembuskan napas yang kini lebih ringan daripada kemarin, meski rasa kesal dan pikiran negatif masih menyelimuti raga. Aku terdiam sesaat sembari menguap, lalu meraih ponsel di atas nakas yang berada tepat di sebelah ranjang. Tidak ada notifikasi sama sekali kecuali pesan alarm yang tidak dimatikan saat menyala. Alarm? Aku bahkan tidak mendengarnya berbunyi sama sekali.

Merasa tidak ada hal penting pada benda pipih tersebut, aku melemparnya ke atas kasur dan bergegas untuk pergi mandi. Tidak lama setelah memasuki pintu kayu jati bernuansa klasik yang juga berada di dalam kamar tersebut, aku mendengarnya diketuk. Aku yang sudah kepalang melepas semua pakaianku pun hanya berusaha menyahut panggilan dari luar, mengisyaratkan bahwa aku sedang berada di dalam.

"Mbak, sarapan!"

Aku mengembuskan napas. Itu hanya Ester. Kupikir akan ada makhluk lain yang menginvasi tempat ini.

"Tunggu sepuluh menit, Ter."

Tidak ada sahutan lagi setelahnya. Aku pun bergegas membersihkan badan dan beranjak dari sana.

Tidak ada yang spesial pagi ini kecuali telur ceplok buatan Ester yang memang kuakui sangat enak. Pemuda itu sangat jago memasak. Tangannya begitu terampil mengolah bahan2 makanan apa pun menjadi sebuah menu yang menggugah. Meski kadang dia masih sering menemui kegagalan, tetapi di balik itu dia tetap berusaha melakukan yang terbaik saat berada di dapur. Teringat saat dia sering kali memotong buah-buahan dengan bentuk yang lucu hingga menciptakan sebuah masterpiece. Ester memanglah seorang seniman sejati.

Aku menatapnya yang sedang fokus dengan roti keju yang disantapnya. Mata jati itu tidak lepas dari layar ponsel yang berada di genggaman tangan kanannya. Kesibukannya pada benda metalik itu bertambah sejak seminggu yang lalu akibat teror dari beberapa orang yang bekerjasama dengan studio kami. Mereka menuntut akan kesediaan kami untuk tetap berkarya dan membantu mereka menyebarkan karya2nya.

Aku menyangga kepalaku dengan sebelah tangan, sedangkan yang satunya sudah terulur untuk neraih segelas lemonade hangat di hadapanku. Sejenak aku mengawang. Aku tidak munafik untuk menyembunyikan isi kepala yang masih memikirkan ucapan ibuku semalam. Membuat dadaku kembali terasa berat dan sesak.

Agaknya Ester menyadari akan perubahan suasana hatiku yang dalam sekejap langsung anjlok.

"Mbak masih overthinking?"

Alisku menurun, membuatnya agak cekung menandakan bahwa kemurungan sedang menguasaiku. Anggukan ringan pun kutunjukkan.

"Aku juga. Semalam mikir cukup lama dan diskusi sama Mas Kenan."

"Dia tahu?"

Pemuda itu mengangguk, meletakkan ponselnya dan menatapku tajam.

"Aku rasa mbak perlu bicara sama Ibu."

"Ter—"

"Buat kebaikan Mbak. Mbak butuh ketenangan, 'kan? Kalau Mbak enggak selesaikan ini, gimana Mbak mau tenang?"

Tanganku mengepal erat, membuat urat-urat di punggung telapaknya mengetat dan tampak jelas menonjol. Bagaimana mungkin aku pulang? Bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan masalahnya dengan benar kalau mereka saja tidak ingin semuanya selesai? Mereka menuntut kebenaran untuk diri mereka, tetapi bagaimana denganku? Di sini akulah yang menerima semua akibat dari perlakuan mereka. Namun, kenapa seolah-olah semua dosa dilimpahkan padaku?

Terus menerus aku bertanya pada Tuhan tentang semua ini. Kenapa aku? Kenapa semuanya terjadi padaku? Rasa-rasanya semua kehendak Sang Agung begitu tidak adil. Semua tuntutan pun kulimpahkan, kugaungkan dalam dekap protes berlututku di depan altar.

Aku menunduk diam. Ester meraih tanganku dan mengelusnya perlahan, menyalurkan sedikit energi positif dan semangat yang menjalar menembus pori-pori. Namun, keringat keputus asaan seolah-olah menahan semua itu dan melawannya dengan menghadang kehangatan ester. Dadaku sakit.

"Mbak udah keseringan lari sampai-sampai enggak sadar kalau semua masalah itu udah mengakar dan tumbuh. Pas Mbak kembali, udah gede aja dan meledak kayak bom waktu. Itu bikin masa lalu Mbak terpuruk dan masa depan Mbak juga jadi berantakan."

Mataku terasa panas. Ucapan ester tidak salah, tetapi aku tidak bisa begitu saja mengiyakan dan langsung pulang menghadapi sumber kemelekatanku. Kesakitanku bahkan sudah dimulai sebelumnya. Jauh sejak aku pertama kali merasakan kesendirian karena tidak ada yang meraihku ketika aku tenggelam dalam mimpi buruk pertamaku. Itu sudah cukup lama. Namun, bekasnya masih menggantung di ujung pankreasku hingga sekarang.

"Aku butuh waktu, Ter."

Tangan ester mengetat di ujung jariku, membuat aku mendongak dan menatap lekat pada ekspresinya yang cukup hangat.

"Aku mengerti. Kita cuma harus menjernihkan pikiran," ungkapnya pelan, kemudian bangkit dari tempat duduk dan membawa piringnya pergi kembali ke dapur. "Habis ini kita keluar. Aku mau ajak Mbak jalan-jalan ke pasar ikan."

Aku masih terpaku, merasakan betapa dinginnya punggung tanganku ketika genggaman Ester terlepas, genggaman seorang sahabat, atau bisa kubilang keluarga? Dialah tempatku pulang selama ini, menumpahkan semua resah yang menggenang hingga mengucur ke lantai. Esterlah yang membersihkan lumpur sisa-sisa luapan itu.

"Mbak …," panggilnya sekali lagi.

Aku mengerjap, lalu berbalik menatapnya. Mata penuh kekhawatiran itu membawaku kembali tersadar. Aku tidak sepenuhnya paham pada situasi diriku yang sebenarnya, tetapi Ester benar. Aku butuh penjernihan pikiran dan memperbaiki caraku bereaksi pada setiap hal.

Luka masa lalu memang seolah-olah menjadi benang pengikat diriku yang kesulitan berkembang menghadapi semua hal. Usiaku menua, tetapi aku tidak tumbuh sama sekali.

***

Kakiku berjalan pelan, menghindari genangan air yang memenuhi setapak gang-gang sempit di dalam pasar. Meski tempat ini cukup bersih untuk disebut sebagai pasar, tetapi tetap saja cairan yang menempel di lantai itu kotor. Ester yang berada di depanku dengan telaten menuntun tanganku dalam genggamannya. Ia tampak menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati setiap deretan keranjang dan kotak kaca berisi ikan-ikan segar. Aku yang mengikuti arah tatapannya pun menemukan banyak pilihan yang tampaknya membuat pemuda itu bingung nenilih. Atau mungkin, dia tidak menemukan apa yang dicari?

"Kamu nyari apa sih, Ter? Kita udah muter-muter kayak anak itik kesasar, ini."

Langkahnya terhenti, seketika membuat kakiku juga terdiam di tempatnya. Ester berbalik ke belakang dengan tangannya yang masih memegang erat telapak tangan kiriku.

"Aku enggak nemuin tuna di sini. Isinya cakalang semua."

Dahiku mengerenyit tidak suka. "Bukannya mereka sama aja?"

Erangan lirih kudengar dari mulutnya, sembari putaran iris yang searah jarum jam itu tampak menyebalkan di mataku.

"Beda, Mbak! Rasanya pun enggak sama."

Alisku terangkat, membuat ester kembali menggeram, lalu memperhatikan kembali sekeliling. "Lah, bukannya tongkol atau cakalang masih masuk dalam keluarga tuna, ya?."

Ester hanya tampak mendengkus, kemudian kakinya kembali melangkah menyusuri gang-gang sempit di antara orang yang berlalu-lalang.

"Iya, memang, tapi beda!"

"Apanya yang beda? Mereka sama-sama Tuna."

"Rasanya beda, teksturnya beda, semuanya beda! Mbak makan Tongkol rasanya kayak makarel, tau enggak?"

"Makarel kan enak, Ter."

"Ih, Mbak! Ngajak berantem, ya?"

Dasar emak-emak ngidam! Batinku

"Lagian kenapa enggak ke supermarket aja sih? Tuna kan bukan komoditi nelayan daerah sini. Paling mentok kamu di sini cuma bisa nemu ikan besar sejenis layar atau ikan kuwe," gerutuku sembari menatap ikan berwarna silver mengkilap di sebuah akuarium besar. Ika kuwe atau Giant Travely memang ikan yang hidup di hampir seluruh perairan Indo-Pasifik, tidak heran bisa menemukannya di sini. Tuna? Di Malang? Dia harus ke supermarket.

"Ya udah! Kita beli cakalang segar aja!"

Entakan kakinya terasa cukup kuat dan berbalik menyeretku kembali ke penjual cakalang segar di ujung blok yang sempat kami lewati sebanyak tiga kali tadi. Ikan-ikan di sana masih tampak hidup di akuarium besar yang terpajang di depan kios. Setidaknya, dia mendapatkan jenis daging merah yang sama daripada selama dua jam di pasar hanya untuk berdebat masalah ikan.

Aku mendengkus saat kaki kami menapaki tepat di depan si pedagang yang tampak ramah. Wanita paruh baya itu tersenyum, menunjukkan keriputan halus di sekitar kantung matanya. Aku membalas senyumnya seraya menperhatikan apa saja yang berada di kiosnya. Ikan cakalang segar berukuran setengah meter yang dipilih Ester tampak menggoda. Rasanya itu cukup nikmat untuk dijadikan sushi atau grilled fish untuk makan malam.

Mataku terarah pada sebuah ember besar berisi cumi-cumu yang masih bergerak-gerak, menggeliat bebas. Pemandangan itu membuatku geli seketika. Namun, aku tidak memungkiri kalau rasa binatang laut satu itu memang enak.

Sebuah tangan terulur untuk mengambil seekor cumi-cumi besar di dalamnya, kemudian menjatuhkan hewan bertubuh lunak itu ke atas ember yang teronggok di atas timbangan. Sekali lagi tangan itu terulur untuk mengambil satu lagi binatang yang sama. Aku menoleh pada sosok itu yang tepat berada di sampingku. Saat ia bersuara.

"Dua ekor aja, Bu."

Aku tidak menduga ketika kami sama-sama bersemuka dan terpaku dalam keheningan yang sama.

"Eh?!"

"Kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status