“Ayo Ran, nyanyi!” seru teman-teman yang lain.
“Ayo nyanyi Ran!”
“Nyanyi!”
Ran kali ini tidak bisa menolak. Ia ditarik oleh beberapa teman-teman perempuannya untuk naik ke atas panggung. Padahal mood-nya sedang tidak bagus. Kalau bukan karena menjaga images, Ran pasti akan pergi pulang sekarang juga.
Begitu tiba di atas panggung, Ran merasa pandangannya mengabur. Kepalanya terasa melayang.
“Sisi, aku rasanya pusing,” ungkap Ran pada Sisi.
“Kamu jangan cari alasan deh, Ran.” Sisi tidak percaya dengan apa yang Ran katakan. Ia pikir temannya itu hanya beralasan supaya tidak jadi bernyanyi. Namun, Ran benar-benar merasakan pusing dan pandangannya sudah mengabur.
“Aku nggak bisa berdiri, bantu aku duduk, Si.” Ran memegang tangan Sisi. Lalu, ia bersandar pada gadis bertubuh berisi itu.
Hera yang berada di bawah panggung pun bergegas menghampiri. Ia menunjukkan ekspresi khawatir.
“Ran kenapa?” tanya Hera pada Sisi dengan mata yang fokus menatap Ran.
“Nggak tahu, tiba-tiba dia bilang pusing,” jelas Sisi.
“Ya sudah, aku bawa dia turun, ya. Kamu tetap di sini,” ujar Hera pada Sisi.
“Oke Her, jaga Ran baik-baik, ya.”
Ran dipapah turun oleh Hera. Hingga tiba di tempat duduk, Ran meminta Hera untuk mengantarkannya pulang. Ia tidak tahan dengan suara musik yang keras dan orang-orang yang bersenda gurau. Semua ini membuat kepalanya semakin sakit.
“Antarin aku pulang, ya Her.”
“Duh, aku mau aja antar kamu pulang, tapi pacar aku bakalan datang. Kalau aku tinggal dia sendiri di sini, jadinya siapa yang nemani dia, dong?” elak Hera menolak permintaan Ran untuk mengantarnya pulang.
“Ran kenapa?” tanya seorang laki-laki datang ke tempat Ran dan Hera duduk.
“Joan,” ucap Hera menyebut nama laki-laki yang berkulit sawo matang itu. Wajahnya terlihat cukup tampan. Alis matanya tebal, rambutnya ditata seperti model kekinian, dan ada kumis tipis membuatnya terlihat maskulin.
“Hera, Ran kenapa?” tanya Joan karena ia melihat Ran seperti menahan rasa sakit.
“Nggak tahu, mungkin Ran sakit. Dia ingin pulang, tapi aku nggak bisa antar. Apa kamu bisa antar Ran pulang?” tanya Hera pada Joan.
Ran tidak lagi mendengar ucapan orang-orang di sekitarnya dengan jelas. Semua hanya seperti dengung yang memekakkan telinga.
“Ya, biar aku yang antar. Kamu bantu Ran turun, aku bakal nunggu di mobil,” ujar Joan.
“Ran, kamu pulang sama Joan aja, ya?”
Ran menganggukkan kepalanya. Hera membantu Ran untuk keluar dari tempat pesta.
Ran terpikir sesuatu. Ia baru sadar dengan nama Joan yang akan mengantarnya pulang tersebut!
“Joan itu kan … laki-laki yang pernah aku tolak saat sekolah dulu,” batin Ran berucap.
“Kamu yakin nitipin aku sama Joan?” tanya Ran pada Hera. Entah kenapa firasat Ran berkata ini tidak baik. Ia tidak ingin dibantu oleh orang yang pernah ia tolak dan sakiti dahulu. Ia juga tidak ingin berutang budi.
“Kenapa? Joan kan baik sama kamu, Ran. Joan juga suka sama kamu, ‘kan? Kali aja kamu bisa move on kalau lo dekat sama Joan,” ujar Hera memberikan semangat untuk sahabatnya agar move on dari kekasih lama, Darell.
Tidak lama berjalan, akhirnya Ran dan Hera pun tiba di parkiran. Joan sudah menunggu di dekat mobilnya dengan bersandar di pintu mobil.
Ran dibawa masuk ke dalam mobil, kemudian saat menutup pintu, Heran dan Joan saling berpandangan.
Lelaki itu mengacungkan jempolnya kepada Hera sebagai kode kerja bagus terhadap apa yang Hera lakukan.
“Good luck, Joan!” Hera berseru sambil mengacungkan jempolnya juga.
“Thanks Hera. Aku bawa Ran dulu. Nggak sabar menghabiskan malam dengan Ran,” ucapnya sambil tertawa.
“Ssstt, hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang dengar,” desis Hera pada Joan. Joan pun spontan menutup mulutnya karena ia kelepasan bicara.
“Lokasinya sesuai yang kamu bilang kemarin itu, kan?” tanya Hera sebelum pergi. Joan yang hendak membuka pintu mobil pun jadi mendadak berhenti.
“Iya. Besok kamu tunggu kabar baiknya saja,” jawab Joan sambil melayangkan senyum penuh kemenangan.
“Oke!” Hera tersenyum sangat lebar. Dalam hatinya ia sangat senang karena sebentar lagi Ran, teman dekatnya itu akan berada di jurang kehancuran. Semua hal yang dibanggakannya akan lenyap dalam semalam.
“Jangan terlalu sombong, Ran. Kamu adalah pembawa sial! Entah itu di keluarga ataupun tempan-teman, kamu selalu memberikan efek sial! Mama kamu aja mati karena melahirkanmu ke dunia ini. Aku kehilangan ketenaran karena kamu membuat semua orang-orang memusatkan perhatian sama kamu! Sekarang, semua yang ada pada dirimu akan hilang dan hanya rasa kecewa serta cemoohan orang-orang yang kamu dapatkan setelah ini. Selamat tinggal Ran yang terkenal. Masa jayamu udah habis! Sekarang adalah kejayaan untuk Hera,” ucap Hera dengan bangga.
Tidak jauh dari tempat itu ada yang mendengar ucapan Hera yang berkata demikian. Orang itu terkejut dengan apa yang terlontar dari bibir Hera. Segera ia pergi dari sana untuk mencari bantuan pada Ran.
Sekarang Ran dalam bahaya!
***
“Joan, kamu tahu rumah aku di mana, ‘kan?” tanya Ran setengah sadar. Matanya sudah berat untuk ia buka.
“Aku nggak tahu, Ran. Aku bawa nginap di hotel aja sementara, ya?”
“Hotel?” tanya Ran. Setelah mendengar kata hotel, Ran tidak tahu lagi apa yang terjadi. Kesadaran dirinya menjadi hilang sepenuhnya.
“Lebih gampang kalau kamu sudah nggak sadar, Ran,” gumam Joan sambil memperbaiki posisi kepala Ran yang miring.
Joan memperhatikan Ran yang terlelap. Ran begitu cantik. Sangat sempurna. Rambut panjang hitamnya begitu lembut, membuat dirinya tak sabar untuk bisa membelai dan menghirup aroma yang pasti sangat memabukkan untuknya.
Bibir tipis berwarna merah menyala milik Ran benar-benar menggoda dan juga terlihat sangat manis. Ingin sekali Joan mengecupinya hingga ia puas. Tidak, sepertinya ia tidak akan puas meski beribu-ribu kali melakukannya terhadap Ran.
“Malam ini kamu akan jadi milikku seutuhnya, Ran.” Joan tersenyum. Sudahlah, ia tidak peduli dengan mana yang benar dan yang salah. Rasa cinta dan obesesi pada Ran benar-benar telah membutakannya. Hingga ia berani melakukan hal seperti ini pada gadis yang masih suci tersebut.
***
Di tempat lain, seorang pria bergegas menghampiri rekannya di dalam kafe. Pria itu terengah-engah karena ia berlari supaya cepat sampai.
“Lie, aku perlu bicara sama kamu. Ini sangat penting,” bisik Rangga pada Charlie.
“Maaf Pak, saya ingin berbicara dengan Rangga sebentar,” ucap Charlie pada klien bisnisnya.
“Ya, silakan.”
Charlie dan Rangga pergi menjauh dari kerumunan para klien bisnis mereka. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Rangga kepada Charlie.
“Ada apa?” tanya Charlie. Tidak biasanya ia melihat Rangga yang selalu berwajah datar itu tampak cemas. Ini mungkin yang pertama kalinya.
“Kamu punya adik sepupu bernama, Randu, ‘kan?” tanya Rangga.
Deg!
Sudah sangat lama Charlie tidak mendengar nama adik sepupunya itu. Kurang lebih 7 tahun ia tidak mendengar tentang Ran. Tiba-tiba dentuman yang tidak biasa itu mengguncang dadanya begitu nama Ran disebut oleh Rangga.
“Kenapa?”
“Dia dalam bahaya. Aku lihat dia dibawa sama seseorang pakai mobil. Aku takut ada niat buruk dari laki-laki itu,” jelas Rangga.
“Kamu yakin itu Ran yang dibawa?” tanya Charlie. Bisa saja itu orang lain, bukan Ran yang dimaksud oleh Rangga.
“Iya, aku sangat yakin. Dia persis seperti Aunty kamu. Tadi nggak sengaja berpapasan sama dia tadi saat masuk ke kafe ini.”
Tanpa pikir panjang, Charlie pun langsung mengelurkan ponselnya. Dengan cepat Charlie mengetik sesuatu, seperti sedang mengirimkan pesan.
“Kamu tangani semua di sini sendiri, ya. Aku pergi selamatin Ran kalau memang benar dia berada dalam bahaya,” ucap Charlie pada Rangga.
“Aman Lie. Pergilah,” suruh Rangga.
Bergegas Charlie keluar dari pintu belakang. Ia tidak ingin berpapasan dengan klien yang lain dan bertanya-tanya padanya kenapa buru-buru keluar. Charlie harus bisa mengejar orang yang membawa Ran pergi.
Ran, siapa yang berani berbuat jahat padamu? tanya Charlie membatin.
***
Bersambung—
Ran dibawa masuk oleh Joan ke dalam sebuah hotel bintang lima. Lelaki itu menggendongnya dan bergegas untuk bertemu dengan resepsionis mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan beberapa waktu yang lalu.Joan memesan kamar dengan keamanan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Malam ini adalah malam yang sangat ia nantikan. Ran akan menjadi miliknya. Ya, hanya miliknya dan selamanya. Begitulah yang tertanam di pikiran Joan saat ini.Begitu tiba di kamar, Joan membaringkan Ran di tempat tidur yang besar dan sangat empuk. Tempat tidur dengan seprai berwarna putih itu sangat kontras dengan dress yang Ran kenakan. Ia terlihat begitu kecil berada atas di sana.Joan menanggalkan satu per satu kancing kemejanya. Otot badannya yang kekar dan roti sobek yang ada berjumlah enam itu terlihat menggoda. Salah, bukan menggoda, karena tidak ada yang spesial dari lelaki itu. Ia adalah lelaki jahat yang mengambil kesempatan dalam keadaan yang seharusnya tidak seperti ini.
“Aku di mana?” tanya Ran begitu ia bangun. Ia merasa asing dengan tempat ini.Ran mengucek kedua matanya. Ia ingin memastikan di mana ia berada sekarang.Ran menoleh ke arah samping.“Apa!” teriak Ran sambil menutup mulutnya. Ia melihat ada punggung yang sangat lebar tanpa ada kain yang menutupi. Seperti punggungnya laki-laki.Cepat-cepat Ran melihat dirinya. Pakaiannya juga sangat berantakan, bahkan ada bagian yang robek.“Oh My God!” jerit Ran tercekat. Matanya membulat sempurna.Ia memandangi punggung pria itu dengan tidak berkedip. Pikirannya bertanya-tanya, perihal apa sebenarnya yang terjadi semalam? Apa saja yang sudah ia lakukan hingga menjadi begini?“Shit! Kenapa aku nggak ingat apa pun?” tanyanya sambil memukul kepala. Ran mencari ingatan mengapa sampai hal seperti ini terjadi, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa ia ingat.Tepat saat itu juga pintu kamar te
“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi diri
Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mered
Setelah menangis cukup lama, Ran pun tanpa sadar dari tidurnya. Ia tidak tahu kalau dirinya tertidur dalam pangkuan Charlie. Hingga saat ia bangun, baru ia merasa kalau ada yang memeluk tubuhnya.“Aku … kenapa bisa berada di dalam pelukannya?” pikir Ran mencoba ingat apa yang terjadi sebelumnya.Setelah mengumpulkan nyawa dan membulatkan mata lebar-lebar, akhirnya Ran ingat kalau setelah Charlie berkata akan selalu ada di sisinya dan menjadi tameng untuknya, membuat ia memeluk pria itu tanpa berpikir panjang. Ia meluapkan kesedihannya dalam pelukan Charlie. Semua ketakutan dan kekhawatirannya ia tumpahkan hingga tak sadar jadi tertidur.Ran mencoba untuk melepaskan dirinya dari pelukan Charlie. Ia menyingkirkan tangan Charlie dengan hati-hati. Lalu, ia melihat kalau baju Charlie di bagian dada masih kelihatan agak basah.“Kamu sampai tertidur juga karena tidak ingin melepaskanku,” gumam Ran. Ran melihat jarum jam dinding yan
Ponsel Ran tiba-tiba berdering. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang Charlie lontarkan padanya. Ia langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.“Halo Yun, kenapa tadi lo matiin panggilan gue?” tanya Ran dengan nada ketus. Bukan menunggu temannya menjawab duluan, ia malah menyemprot dengan kata-kata.“Sorry, gue lagi di jalan, mau angkat, tapi malah ketekan matiin,” jawab gadis itu disertai tawa.“Oh! Sekarang lo di mana? Masih di jalan?” tanya Ran lagi.“Enggak, sekarang udah sampai di rumah. Kenapa Ran? Ada yang bisa gue bantu?”“Hmm, gue minta tolong buatin tugas yang dikasih sama Pak Hamdi minggu kemarin. Lo bisa?” tanya Ran dingin. Padahal, ia yang butuh bantuan, tetapi seolah orang lain yang membutuhkan.“Gue nggak bisa bantuin lo, soalnya banyak banget tugasnya. Gue aja seharian kemarin bikin sampai nggak sempat pergi jalan sama pacar gue,” terang Yuni.
Ran kini tengah fokus menonton film di televisi kamarnya Charlie. Charlie mengatur film yang menurutnya bagus untuk Ran jadikan referensi review tugas.Dengan serius Ran mengamatinya. Ia bahkan mencatat hal-hal penting yang bisa ia jadikan bahan penyusun review.Charlie memperhatikan gadis itu. Ia terlihat sangat serius, membuat senyum pun terbit di wajahnya Charlie.“Sudah sangat lama tidak melihatnya seserius ini,” gumam Charlie.Charlie pergi keluar dengan membawa laptopnya. Ia pergi menuju ruangan kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai akibat acara pernikahannya dengan Ran.Saat sedang fokus bekerja, Charlie kepikiran dengan Ran. Ia pun balik ke kamar dan melihat Ran tertidur pulas di tempat tidur. Di depan Ran, ada tablet yang ia serahkan pada gadis itu untuk membuat tugas.Ternyata Ran sudah menyelesaikan tugasnya, hanya perlu memperbaiki sedikit kesalahan pada beberapa penulisan.“Ran, kamu
Ran tengah mencetak tugasnya yang ia kerjakan semalam untuk diserahkan pagi ini. Sementara itu, Charlie pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke kantornya.Selesai mencetak tugas, Ran keluar untuk melihat apa yang bisa ia santap untuk sarapan pagi. Di lemari makanan ada roti tawar dan juga selai cokelat. Sepertinya memang disediakan oleh Charlie. Sangat kebetulan sekali kalau selai cokelat itu adalah kesukaannya.Ran mengeluarkan roti dan selai cokelat itu. Ia membawanya ke meja makan. Lalu, ia mengambil dua piring. Ia oleskan roti tersebut dengan selai cokelat. Satu untuknya, satunya lagi untuk Charlie.Untuk mengoles roti Ran masih bisa, karena tidak terlalu sulit, meski selama di rumah ia pasti dibantu oleh pelayan atau tidak kakak iparnya, Lidya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa membantu, ia juga ingin melakukannya sendiri.Ran merasa puas karena bisa menyiapkan sarapan seperti ini. Ia bergegas menuju lemari pendingin untuk mencari susu cair. Kebetula