Share

Bab 02 - Bagaikan Bom Atom

             Di kediaman keluarga Rayn. Semua sedang menikmati makan malam, kecuali Kiano yang masih di kantor sedang berkutak dengan beberapa pekerjaannya. Ia pun merasa lehernya terasa sangat tegang. Karena ia harus beradu menatap layar pada laptopnya yang berisi beberapa laporan perusahaan. Kedua matanya pun sudah memanas.

            “Lebih baik lembur, daripada harus dengerin ocehan dari mama sama papa soal keturunan,” dengus kesal Kiano sambil melonggarkan dasi pada kra bajunya. Ia sebenarnya muak dengan aturan yang ada di keluarganya. “Kapan aku bisa bebas memilih apa yang aku mau. Tanpa ada campur tangan dari mereka,” gumamnya.

            Di meja kerjanya Celline terlihat mukanya sangat muram. Karena, ia harus lembur bagaikan kuda. Ia bahkan tidak sempat berkencan dengan kekasihnya. Ia merasa bete sebenarnya akan sikap bosnya. Sialnya dia masih terikat kontrak kerja dengan perusahaan Rayn Konstruksi.

            “Bu  Celline nggak pulang?”

            “Mana mungkin saya bisa pulang, Pak. Ini kerjaan mau bagaimana?”

            Karen pun ingin sekali tertawa. Ia hanya bersyukur nasibnya hanya sebagai staf admin penjulannya yang nggak pernah berhubungan langsung dengan atasan. Meskipun, gajinya nggak sebesar Celline.

            “La, ayo balik.”

            “Bentar lagi, Ren. Ini nanggung banget.”

            “La, buruan. Nanti kerjaan kamu mau ditambah lagi sama si bos gimana?”

            Danilla menghela napas singkat. “Iya, sih. Kadang kamu agak pinteran!”

            “Sialan. Emang aku sebego itu kah?” tanya Karen.

            “Ya, bisa dibilang begitu sih,” kekeh Danilla.

            “Sialan banget kamu!” umpat Karen dengan hati dongkol.

            “Kan, kamu emang agak bego. Apalagi kalau soal cinta yang bisa membunuhmu.”

            “Heem. Nggak usah sok ceramahin aku masalah cinta. Bagaimana kabarnya mas Akbar yang tidak kunjung datang? Mungkin aja sudah punya wanita lain. Yang pastinya lebih cantik dan bohay. Ketimbang kamu, La,” Karen pun tertawa kering.

            “Bukan urusan kamu, Karen. Aku yakin, kalau mas Akbar bakalan balik,” ucap Danilla dengan mengangkat kepalanya tegak.

            “Yakin? Bakalan balik lagi mas Akbarnya? Ingat ini udah hampir ratusan purnama loh,” ujar Karen.

            “Tunggu saja tanggal mainnya,” ujar Danilla. “Walau raga aku dan mas Akbar terpisah di antara dua samudra, tapi aku yakin rasa cinta masih sama,” imbuhnya.

            “Masa? Aku kok nggak yakin ya?” Karen berusaha membuat Danilla berprasangka buruk ke Akbar.

            “Aku yakin seribu persen! Mas Akbar bakalan setia,” cetus Danilla dengan tersenyum tipis. “Ya, aku yakin. Mas Akbar bakalan pulang,” batinnya.

            “Setiap tikungan mungkin pasti ada!” kekeh Karen.

            “Sembarangan aja, kalau ngomong!” cetus Danilla menjitak kepala Karen.

            “Auw!” ringis Karen dengan merasa kesakitan sekali.

            *

            “Mana suami kamu, Vir?” Rayn pun bertanya terhadap menantu kesayangannya yang duduk bersama di meja makan.

            “Mas Kiano sedang di kantor lembur, Pa,” jawab Vira.

            “Bagaimana bisa dia berikan saya cucu, kalau dia lembur terus?” ujar Rayn.

            “Sayang, mungkin Kiano sedang ada proyek khusus,” sahut Joana dengan menuangkan air mineral ke dalam gelas suaminya.

            “Mana bisa dia begini terus?” omel Rayn. “Dia punya istri di rumah, seharusnya dia itu lebih cepat pulang. Apa dia nggak sadar kalau sudah beristri, Ma?”

            Vira pun hanya terdiam. Ia tidak tahu lagi menghadapi suaminya.

            “Vir, bilang ke suamimu. Dia harus pulang sekarang, kalau enggak. Saya akan mencoretnya dari data ahli waris keluarga Rayn.”

            “Baik, Pa.”

            Vira seorang perempuan cantik yang dulu tinggal di sebuah panti asuhan, ia pun terpaksa menerima perjodohannya dengan Kiano. Ia sudah terlanjur berjanji terhadap keluarga Kiano yang memberikan bantuan untuk bersekolah.

            Berulang kali Vira menelpon Kiano, namun panggilannya selalu diabaikan. Ia pun hanya terdiam dalam bisunya malam.

            “Apa aku hanya istri yang ada di atas kertas, Mas,” satu tarikan napas Vira sambil menahan rasa sakitnya. Bahkan, pria itu tidak pernah tidur satu ranjang bersamanya.

            Vira pun kembali ke meja makan, ia pun terdiam membeku.

            “Bagaimana suami kamu sudah bisa dihubungi?” Rayn pun bertanya kembali ke menantu kesayangannya.

            Vira hanya mengelengkan kepalanya.

            “Keterlaluan anak itu!” geram Rayn mengepalkan tangan kanannya di atas meja makan. Ia pun merasa kasihan dengan Vira yang selalu diabaikan Kiano.

            “Pa, Vira baik-baik saja. Mungkin, mas Kiano sedang ada banyak pekerjaan di kantor,” Vira pun tersenyum kaku, ia pun tidak ingin ada pertengkaran antara bapak dengan anak. Ia berusaha memberikan alasan, agar situasi tidak bertambah panas.

            “Biar papa yang hubungi dia! Masa kerjaan jadi prioritas, sedangkan punya istri malah dianggurin gitu saja,” omel Rayn dengan nada berat berselimut emosi.

            -

            Kiano semalaman tidak pulang sama sekali. Ia memilih bermalam di kantor hingga ketiduran di dalam ruangannya.

            “Mas?”

            Suara samar-samar terdengar di telinga kanan Kiano.

            “Vira?”

            “Mas, ini sarapan pagi untuk mas,” ujar Vira membawakan satu rantang bersusun dua berisi makanan.

            Kiano pun bangun. Ia merasa tidurnya terganggu dengan kedatangan istrinya.

            “Taruh saja di sana,” Kiano menunjuk ke arah meja dekat sofa. “Dan, kamu sebaiknya pulang saja. Karena saya tidak butuh kamu!”

            Vira hanya diam. Ia pun mencoba menahan rasa perih di hatinya.

            “Aku memang bukan istri idaman kamu, mas. Tapi, apa salahnya aku melakukan tugas sebagai seorang istri untukmu,” Vira mengucap dalam batinnya, lalu ia pun pergi keluar dari ruangan Kiano tanpa menjawab atau berkata sepatah kata pun.

            “Dasar istri sialan!” desis Kiano.

            Kiano pun menelpon seorang office boy untuk ke ruangannya. Lalu, dalam lima menit office boy pun datang.

            TOK! TOK! TOK!

            “Masuk!” perintah Kiano.

            “Ada apa bapak memanggil saya ke sini?” tanya office boy itu dengan nada gemetar. Karena sikap Kiano yang buat banyak karyawan ketakutan.

            “Itu kamu bawa dan makan,” Kiano menunjuk ke sebuah rantang yang tadi dibawakan oleh Vira.

            “Baik, Pak.”

            “Jangan lupa cuci kalau sudah kamu habiskan,” ujar Kiano dengan nada dingin.

            “Terima kasih, Pak.”

            “Heem.”

            Office boy itu pun keluar dengan membawa rantang susun itu. Di ujung sana Vira merasa sangat kecewa. Karena sang suami tidak pernah menghargai usahanya sama sekali. Ia hanya mampu menahan rasa sesak di dadanya.

            “Apa aku harus bertahan dengan pernikahan ini?” pikir Vira dengan menahan tangisnya di sebuah toilet kantor.

            *

            Di kantor ada kabar heboh sekali. Danilla terlihat penasaran, tapi enggan mencari tahu.

            “Emang ada berita apaan sih?” tanya Karen.

            “Mana aku tahu, Ren. Aku bukan anggota lambe turah!” Danilla mengangkat kedua bahunya. Ia memang tidak tahu kalau masalah gosip apapun. Ia tidak ingin hidup ngurusin hidup orang. Karena hidupnya saja udah serumit itu.

            “Dasar kamu nggak pernah update!” cicit Karen dengan bibir manyun.

            “Halah. Paling gosip murahan. Kok peduli amat!” Danilla malah menguyah permen karetnya.

            “Tapi, emang kamu nggak penasaran dengan apa yang digosipin sama yang lain?” Karen menatap Danilla.

            “Penasaran sih, tapi enggak ah. Ntar nambah-nambahin dosa kalau dengerin berita yang belum tentu sumber kebenarannya,” Danilla pun mengambil permen karet dari tasnya lalu mengunyahnya perlahan-lahan.

            “Terus aja makan permen karet, kalau keselek baru tahu rasa!” sindir Karen.

            “Sialan! Kamu pakai nyumpahin aku segala!” dengus Danilla sambil mengembungkan permen karetnya.

            Tawa kecil Karen melihat bibir kerucut Danilla.

            “Udah donk jangan ngunyah permen karetnya, kalau ketahuan bos kamu bakalan…”

            “Emang ada pasalnya buat nggak boleh makan permen karet di kantor?”

            “Enggak sich.”

            “Yaudah nggak usah bawa-bawa bos!”

            “Danilla.”

            Danilla tersentak, ketika ia membuat gelembung balon pada permen karetnya. Ia pun tidak sadar di hadapannya ada Kiano. Sedangkan, kerumunan itu sudah berhamburan pergi melihat kedatangan Kiano.

            “Kamu habis ini ke ruangan saya. Ada yang perlu saya sampaikan.”

            Danilla hanya mengangguk dan memasukan kembali gelembung balon permen karet ke dalam mulutnya.

            “Siap Bos!” cengir Danilla sambil mengacungkan tangannya.

            “Satu hal lagi.”

            “Apa, Pak?”

            “Saya tidak melarang karyawan saya makan permen karet. Asal kerjaan kamu bagus,” Kiano mengucapnya dengan nada dingin, lalu membalikkan badan menuju ke ruangan singasananya.

            “La, kamu jangan selengekan begitu di depan bos,” bisik Karen.

            “Udah woles aja!” balas Danilla.

            “Buang dulu permen karet kamu,” ujar Karen sedikit berbisik. “Jangan lupa sampai salam ke Pak Kiano!” cengir Karen sambil mengedip-kedipkan kedua kelopak matanya.

            “ISH!” desis Danilla yang enek dengerin kata-kata dari Karen. “Kenapa mata kamu? Kumat?”

            Karen malah nyengir tanpa menjawab pertanyaan Danilla.

            Danilla pun mengikat rambutnya yang ikal sebahu membentuk kuncir kuda sehingga menonjolkan tengkuk lehernya. Lalu, mengambil beberapa berkas di meja kerjanya.

            “Semangat, La! Kamu pasti bisa!” Karen mengangkat tangan kanan yang dikepalkan sambil melengkungkan senyuman bulan sabit di bibirnya.

            TOK TOK TOK.

            “Masuk!” perintah Kiano dari dalam ruangan.

            Danilla pun masuk ke dalam ruang Kiano Rayn. Ia pun menarik napas pendek, lalu menghembuskan. Ia merasa sangat gugup sekali memasuki gerbang neraka.

            “Bismillah,” ucap Danilla sebelum masuk ke dalam ruangan panas beraura neraka.

            *

            Di luar seperti biasa. Celline menguping di balik pintu ruang bosnya.

            EHEM.

            “Apaan?” Celline menatap sinis, ketika Karen yang memergokinya sedang menguping pembicaraan bosnya dengan Danilla di dalam.

            “Bu Celline, kuping kamu nggak panas?” sindir Karen.

            “Bukan urusan kamu Karen,” sungut Celline dengan menatap tajam Karen. Hidungnya kembang kempis.

            “Astaga, biasa aja Bu Celline. Nggak usah pakai otot,” kekeh Karen.

            Celline menaikkan alis sebelah matanya, ia terlihat sangat dongkol dengan sikap Karen.

            Lima belas menit kemudian Danilla keluar dari ruangan. Hingga membuat Celline terkejut, karena ia takut ketahuan sedang menguping pembicaraan di dalam ruangan bosnya.

            “Pasti dia nggak lama lagi,” gumam Celline sambil pura-pura bekerja di depan komputernya.

            Danilla pun merasa sebal. Karena, ia harus lembur malam ini juga. Padahal dia sudah membeli tiket konser BTS di Senayan.

            “Sial banget! Aku nggak jadi lihat bias nanti malam!” gumam Danila. “Semua ini karena bos sialan itu!” imbuhnya mengetuk-ketuk jari jemari kukunya di atas meja kerjanya.

            “Kamu kenapa, La?” tanya Karen memincingkan kedua matanya. “Apa kamu ada masalah sama si bos?”

            Danilla pun duduk di meja kerjanya dengan wajah murung. Ia melipat kedua tangannya, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.

            “Kenapa kamu? Masa keluar dari ruang bos muka kamu kayak zombie hidup?” tanya kembali Danilla.

            “Aku gagal lihat BTS!” rengek Danilla.

            Karen hanya mampu tertawa hingga perutnya kram. Ia tidak menyangka kalau sahabatnya yang rela antri hingga dua hari dua malam di Senayan buat belain lihat konser BTS. Ternyata harus mengagalkannya.

            Danilla merasa lemas dan ingin berkata kasar terhadap bosnya.

*

Riska Vianka

Selamat membaca ya. Tunggu episode selanjutnya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status