Share

SIMALAKAMA

"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. " 

Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan  di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah.

"Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu.

"Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra.

"Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berdebat lebih jauh. Nanti juga saat tenang wanita bijak ini akan mengerti alasannya.

"Ibu berangkat. Kau pikirkan lagi tentang tawaran itu, ya!" Wanita itu keluar dari kamar putranya.

Pemuda bernama lengkap Rayyan Abqary mengangguk, lalu ikut mengantar ibunya sampai pintu.

Kenapa Rayyan menolak pergi? Padahal bidang pekerjaan ini adalah hobi yang digilainya. Padahal upah dari pekerjaan tersebut juga lebih menggiurkan dari penghasilan yang pernah ia dapatkan sebelumnya. 

Keengganan Rayyan untuk pergi sangat beralasan. Ia pernah mengalami trauma meninggalkan keluarga. Terlebih kini ia hanya memiliki wanita lembut ini. Dulu, saat masih sangat muda, selepas Aliyah saat teman-temannya memilih kuliah ia malah berangkat kerja magang di luar negeri. Mengabaikan keberataan kakaknya. Apa yang ia dapatkan? Ia bahkan kesulitan pulang ketika saudara satu-satunya itu kembali kepangkuan Tuhan. Rayyan hanya bertemu dengan gundukan merah saat tiba di tanah air. Padahal kakaknya itu seperti ayah baginya. Mereka memang telah yatim sejak kecil.

Saat Rayyan masih mengingat pedihnya kejadian empat tahun lalu, suara benda di saku membuyarkan lamunannya.

"Babah bisa temani kakak ke taman?"

Wajah imut bocah perempuan tiba-tiba muncul di layar HP-nya, tepat setelah tangan kokoh sang pemilik menggeser layar.

"Kapan babah datang?"

Bocah lainnya ikut nongol di layar. Kini dua wajah berebut posisi di layar persegi. Dua kepala saling mendorong.

"Baiklah, ini mau siap-siap. Apa yang akan kita lakukan anak-anak?." 

"Terserah Babah saja, kita bisa beli es krim, main masak-masakan atau apa saja."

Siapa yang bisa menolak permintaan anak-anak lucu itu. Rayyan langsung meraih jaket yang tergantung di dinding.

Tidak lama kemudian ia telah meluncur ke kediaman keponakannya 'Affah dan 'Affiyah. Rumah yang tak asing baginya. Dulu saat sang kakak masih hidup, ini adalah rumah keduanya. Jika akhir pekan ia akan pergi pada kakaknya. Sekarang ia telah kehilangan figur kakak sekaligus ayah baginya. Ia juga harus membatasi diri, bagaimanapun kakak ipar bukan muhrim baginya. Namun, tetap saja ia tak bisa lama-lama tak mengunjungi keponakan kembarnya.

* * *

"Terima kasih karena terus ada untuk 'Affah dan Affiyah." Wanita cantik dengan riasan tipis yang pas di wajahnya tersenyum lebar. Menyambut kedatangan pemuda bermata tajam dengan rambut gondrong.

"Tak ada beda antara ayah dan paman, Kak. Lagi pula aku tahu rasanya kehilangan ayah di usia belia." Rayyan melangkah mendatangi dua bocah yang langsung berhamburan ke pelukannya.

"Kudengar Dinda memutuskanmu?" Wanita itu mendatangi Rayyan dengan minuman di nampan. Ia terlihat meneliti reaksi adik iparnya.

Rayyan hanya tersenyum tipis, seperti tak tertarik dengan pertanyaan kakak iparnya. Pemuda itu memang tertutup kecuali dengan orang yang telah sangat dekat dengannya.

"Kakak juga pikir kalian tak cocok. Dinda masih sangat muda. Ia suka bersenang-senang dan kebebasan, sementara kau sedikit terlalu tertutup. Sulit bagi kalian saling melebur satu sama lain." Wanita itu memberikan pendapatnya.

Baik ibunya atau kakak iparnya benar. Dinda seperti itu, sebagai putri tunggal seorang konglomerat ia suka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Nongkrong, belanja, nonton sangat kekanak-kanakan bagi Rayyan yang cenderung serius. 

Entah ia yang terlalu kaku atau memang karena mereka terlalu berbeda hingga sulit disatukan. Namun, yang jelas latar belakang dan gaya hidup mereka sangat berbeda. Hanya yang jelas setelah diputuskan Rayyan tidak merasa keberataan. Ia malah berpikir mungkin ini yang terbaik. Sejak awal ia khawatir gadis manja itu tak bahagia bersamanya. Sekarang Rayyan sudah cukup sibuk menghabiskan waktu bersama keponakan dan ibunya.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status