Minggu pagi menjadi waktu yang pas buat bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia yang dulu. Gia yang hanya mikir enaknya sendiri, nggak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas--lecek, kucel, kusut, dan bau--tinggal dibuang aja.
Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal, karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya.
Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu.
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya terlihat kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia n
Matahari sudah tenggelam saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Hugo Abbyan RahmanM
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat moodnya meningkat."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja. Padahal, perasaannya berantakan. Dia sadar dia salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius, memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa. Seakan baginya ini memang hanya ocehan tanpa makna."Bang," panggil Gia pel
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung Gia punya Jesica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jesica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran.Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya.Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya dia ada dua mata kuliah lagi, tapi dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di m
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu.Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa tidak jauh beda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Kecuali mereka yang homo, lebih suka melihat sesama lelaki yang ganteng dan macho.Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli.Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan t
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomay berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa."Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan."Gavin, sudah latihannya. Sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah.