Single bed milik Gia sudah penuh dengan baju. Hampir seluruh isi lemarinya tumpah di sana. Beberapa pakaian bahkan berceceran di lantai dan tersampir di kursi. Pemilik kamar tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi. Gia memandang dirinya di depan cermin. Dia berputar ke kanan dan ke kiri, lalu tersenyum melihat dress putih yang digunakannya mengembang. Gia menggunakan midi dress berwarna putih bermotif bunga abu-abu kecil, lehernya berbentuk V, dan lengannya pendek. Salah satu dress terbaik yang dimiliki Gia karena di dalam lemarinya sebagian besar berisi celana jins, kaus dan kemeja. Di dalam sana jarang ada pakaian yang membuatnya terlihat lebih wanita. "Kalau gini, kayaknya gue harus beli dress lagi, nih," keluh Gia setelah melihat semua pakaiannya sudah tersebar ke seluruh penjuru kamar. Ponsel Gia berbunyi. Tanda ada sebuah pesan masuk. Gia mencari sumber suara, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Ponselnya entah berada di mana, mungkin tertimbun tumpukan pakaian. Gia memind
Gia sedang asik di dapur sendirian. Dia sibuk memotong-motong wortel menjadi bentuk dadu. Tangannya terampil dan cekatan. Walaupun jarang di dapur, keahlian memasak Gia lumayan. Kalau hanya memasak sup sederhana, dia sudah ahli, tidak perlu diragukan lagi. Sup ayam buatan chef Gia akhirnya jadi. Aroma gurihnya menguar, memenuhi dapur. Perut Gia semakin memberontak. Gia segera memindahkan sup dari panci ke mangkuk. Dibawanya sup buatannya ke meja makan. Hari ini Gia sendirian di rumah. Ayah dan Bunda pergi ke acara family gathering kantor Ayah. Acaranya di puncak selama dua hari semalam. Gia yang merasa sudah dewasa menolak ikut. Dia berniat menghabiskan akhir pekan di rumah atau pergi bersama Jessica nanti. "It's a lazzy time. Hibernasi dua hari semalam tanpa omelan Bunda." Dia berharap saat bangun nanti ada Pangeran Tampan mengajak menikah. Ingatan Gia kembali ke ulah usil Hugo kemarin. Sikap Hugo sukses membuat Gia mirip dispenser, panas dingin. Hugo tanpa beban mengajak anak pe
"Kamu mau minum apa? Saya ada kopi, teh, dan susu." Restu berdiri di samping kulkas. Di tangannya ada toples kopi. Dia baru saja keluar dari kamar Gavin, memastikan anak lelakinya itu sudah benar-benar tertidur. Gavin memaksa Gia ikut ke rumahnya untuk memamerkan robot terbaru miliknya. Baru sebentar mereka bermain, Gavin sudah menguap berkali-kali. Jam baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi Gavin sudah lelah. Perang air tadi siang lumayan menguras tenaganya. Gia menoleh ke arah Restu. "Susu cokelat boleh, deh, Om." Gia jelas tidak akan menolak minuman favoritnya. "Panas atau dingin?" tanya Restu sambil melangkah ke rak gelas. "Panas. Soalnya Gia juga hot. Biar kompakan kita," jawab Gia, lalu pindah ke ruang makan. Dia menarik kursi makan dan duduk manis. Dapur Restu cukup minimalis dengan peralatan masak yang tidak terlalu banyak. Restu selesai membuat minuman favorit Gia. Aroma manisnya susu dan pahitnya kopi beradu memenuhi ruangan. Susu cokelat panas untuk Gia, dan kopi hitam t
Sejak Gavin mulai dekat dengan Gia, Restu jadi sering mengajak Gavin main ke rumah Gia. Entah hanya menemani Gavin berbincang dengan Gia atau mereka asik bercanda bertiga. Terkadang Ayah dan Bunda juga ikutan bergabung. Sesekali Gia dan Gavin sibuk bermain, Ayah dan Restu asik bertanding catur. Sekarang, bahkan Gavin sudah sering dititipkan di rumah Gia, jika Restu harus lembur atau keluar kota. Walau Gia tidak selalu di rumah, Gavin akan dengan senang hati sementara waktu tinggal di rumah Gia. Bunda dan Ayah juga sudah jatuh cinta dengan Gavin. Harapan mereka untuk punya anak lelaki seperti terwujud. Mereka merasa punya cucu. Apa pun yang Gavin mau, pasti dituruti. Restu yang tahu diri, saat menjemput Gavin pasti membawakan sesuatu untuk Gia dan keluarganya. Terkadang hanya berupa martabak telur, tapi di lain waktu dia juga membawakan sesuatu sesuai permintaan Gia. Om-om BawelGi, saya dalam perjalan pulang.Adakah yang harus saya beli? Anggiana Praba Kwetiau goreng seafoodnya Ma
Enam bus berukuran besar memasuki halaman sebuah villa. Setelah bus berhenti, segera serombongan mahasiswa berhamburan keluar. Di hadapan mereka berdiri bangunan kayu dua lantai yang tidak terlalu lebar, tapi bentuknya memanjang ke belakang. Villa itu cukup longgar untuk menampung dua ratus orang selama tiga hari dua malam ini. Suasana villa cukup sejuk. Di sekeliling bangunan utama penuh aneka macam pohon rimbun. Di dekat gerbang masuk ada pos satpam yang dijaga dua orang pria berbadan besar. Di bagian belakang bangunan utama, pemandangan pantai dengan pasir putihnya begitu menggoda. Sayangnya, untuk bermain ombak harus keluar area villa dan berjalan memutar, sekitar seratus meter dari gerbang keluar terlebih dahulu. "Ini villa punya siapa, Bang?" tanya Gia yang terpesona dengan suasana sejuk di sekitarnya. Gia berputar perlahan demi memandang ke seluruh penjuru villa. Matanya jelas memancarkan kekaguman. Gia bahkan tidak sadar kalau mulutnya sudah terbuka. "Ini tempat langganan an
Gia mengambil bungkus bekas mi instan, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam besar. Plastik itu sudah terisi separuhnya, terisi sampah. Gia menghela napas, menyeka keringat yang membasahi keningnya. Matahari sudah berada tepat di atas kepalanya, bersinar cerah dan menyengat. Hari ini jadwal kegiatan utama dari Makrab adalah membersihkan pantai. Pasukan dibagi menjadi dua tim. Tim pertama membersihkan pantai dari sampah apa pun. Tim kedua bertugas masuk ke laut sejauh seratus meter dari bibir pantai, mengumpulkan sampah yang mengambang atau tenggelam sampai dasar. Gia sama sekali tidak menyangka Makrab yang dilaluinya ternyata berupa pengabdian masyarakat yang tidak resmi. Bayangan seram tentang senior sadis dan acara Makrab yang kejam pun lenyap. Gia jadi salut dengan para seniornya. Pantai hari ini tidak terlalu ramai pengunjung karena memang masih hari Senin, hari kerja. Hampir tidak ada orang yang berlibur ke pantai di hari ini. Tapi, dua ratus orang cukup membuat pan
Setelah melalui tiga jam perjalanan, bus yang dinaiki Gia dan rombongannya akhirnya sampai di fakultas hukum kampus Merva. Gia sejak setengah perjalanan sudah tertidur, sampai saat ini juga masih memejamkan matanya dengan tumpuan bahu Hugo. Tidak ada tanda bahwa Gia akan membuka mata dalam waktu dekat. Napasnya teratur, membuktikan bahwa dia tidur sangat nyenyak. Semua teman Gia mulai heboh berebut untuk turun. Tapi, Hugo masih membiarkan Gia tidur dengan mulut sedikit terbuka. Dia enggan menggangu Gia yang terlihat sangat menikmati tidurnya. Lagi pula, hal yang langka bagi Hugo melihat Gia tertidur seperti ini. "HEY, MARFUAH! MAU SAMPAI KAPAN LO MOLOR?" teriak Jessica kepada Gia. Dia terpaksa kembali naik ke bus lagi karena belum melihat Gia turun. "Biarin aja dulu, Je," pinta Hugo mencegah Jessica yang akan berteriak memanggil Gia lagi. "Emang Bang Hugo nggak pegel apa? Lagian itu Gia tidur nganga gitu. Basah itu bahu lo, Bang." Jessica gemas dengan tingkah sahabatnya, yang bisa
"Gia berangkat," pamit Gia ke Ayah dan Bunda sambil setengah berlari menuju ke garasi. Hari ini hari pertama Gia Ujian Semester. Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini. Ujian pertama di jam tujuh pagi. Seharusnya, Gia sudah sampai kampus pukul 06.45, lima belas menit sebelum ujian dimulai. Sayangnya, untuk kesekian kalinya, Gia terlambat bangun. Sekarang sudah pukul 06.25, tapi Gia masih berada di rumah. Gia tidak bisa menahan cemas lagi. Setelah duduk di belakang kemudi, Gia melemparkan tas ransel hitamnya ke bangku samping dan segera menyalakan mesin mobilnya. Berkali-kali dicoba, mobil Gia tetap bergeming, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. "Ya, Allah. Berat banget cobaan gue," keluh Gia frustasi. Dia keluar dari mobil. "AYAH," panggil Gia sekencangnya. Suara cemprengnya memenuhi penjuru rumah. Tangan kirinya berada di pinggang, sedangkan tangan kanannya mengacak-acak rambut. Ayah yang mendengar teriakan putri kesayangannya segera menghentikan sarapan dan keluar r